FILSAFAT ALAM DALAM ILMU KALÂM


(Dari Masa Lalu Menuju Masa Depan)*

Filsafat alam (philosophy of nature / فلسفة الطبيعة / الفلسفة الطبيعية / الطبيعيات) adalah filsafat yang berusaha untuk menjelaskan kejadian alam, sifat-sifatnya dan hukum-hukumnya secara teoritis dan menyeluruh.[i]

Pada masa lalu filsafat alam tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu eksakta. Filsafat alam adalah ilmu-ilmu eksakta itu sendiri bagi orang Yunani, atau dia adalah ilmu alam yang menjadi lawan dari etika, metafisika dan estetika. Pada masa itu filsafat alam mencakup isi buku-buku yang dikarang oleh Aristoteles (384-322 SM) seperti: السماع الطبيعي yang berbicara tentang gerak, waktu dan tempat; النفس yang membahas tentang kehidupan dengan berbagai bentuknya; الكون والفساد yang berisi tentang kejadian benda dan kehancurannya; dan الحيوان yang memuat studi ilmiah tetang binatang. Selain itu filsafat alam juga mencakup Holyzoisme, yaitu teori yang memandang bahwa alam semesta adalah sesuatu yang hidup dan berakal. [ii]

Filsafat alam yang dimiliki oleh bangsa Yunani ini kemudian berpindah ke Arab dan Barat dengan pengertian yang tak jauh berbeda. Bahkan sampai abad XVIII yang dimaksud dengan filsafat alam di Barat tak lain adalah ilmu-ilmu eksakta. Baru pada perkembangan terakhir—di saat cabang-cabang ilmu menemukan kemerdekaan dan melepaskan diri dari induknya (filsafat)—dapat dipisahkan antara ilmu-ilmu eksakta dan filsafat alam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat alam (dengan pengertian klasik) adalah cikal bakal bagi lahirnya ilmu-ilmu eksakta modern. ‘Filsafat alam adalah السلف التاريخي المباشر, dan dalam waktu yang bersamaan adalah akar yang sangat kuat—dalam bangunan peradaban—bagi ilmu-ilmu eksakta yang saat ini menempati posisi yang paling strategis dalam bangunan ilmu modern.’[iii]

****

Salah satu pertanyaan yang saat ini banyak menyibukkan para peneliti—baik di Barat maupun di Timur—adalah ‘apakah yang melatarbelakangi gagalnya peradaban Arab (dan Cina) dalam melahirkan ilmu pengetahuan, sementara Barat yang mengalami keterlambatan yang sangat lama dalam hal ini justru mampu menjadikan dirinya sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi?’

Peradaban Arab sebenarnya telah lebih dulu mengenal berbagai cabang ilmu, seperti matematika, astronomi dan kedokteran sampai abad XIII, di saat Barat masih tenggelam dalam kebodohan. Hanya saja kemajuan dalam beberapa bidang ilmu ini tiba-tiba terhenti, untuk kemudian diambil alih oleh Barat. Dalam bidang astronomi misalnya, para astronom Arab—yang dipelopori oleh Ibnu Syâthir—sejak abad XI sampai abad XIV telah melakukan berbagai macam penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki astoronomi Ptolemy yang didirikan atas dasar geosentris. Hanya saja Ibnu Syâthir dan astronom-astronom Arab yang datang setelahnya gagal dalam mengembangkan astronomi dengan asas heliosentris, sebuah pekerjaan yang berhasil digarap dengan apik oleh Copernicus yang datang satu setengah abad setelah Ibnu Syâthir.[iv] Penyebab utama kegagalan Ibnu Syâthir dan kawan-kawannya ini, menurut Toby E. Huff, adalah karena para astronom Arab tersebut tidak mendapatkan ruh yang mampu menjadikan mereka berani untuk keluar dari pandangan umum agama—yang berkembang pada saat itu—terhadap hukum-hukum yang mengatur alam.[v]

Kalau pendapat E. Huff di atas benar, maka dapat disimpulkan bahwa gagalnya bangsa Arab Islam dalam mengembangkan sains tidak dapat dilepaskan dari keyakinan-keyakinan agama yang mereka miliki. Ilmu Kalâm dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting, karena dia adalah ilmu yang lahir dan berkembang sebelum abad terjemah, sehingga memiliki akar yang sangat kuat dalam peradaban Islam. Ilmu Kalâm merupakan usaha pertama yang dilakukan oleh umat Islam dalam memahami dan menjelaskan teks-teks agama dengan menggunakan akal. Dan lebih dari itu ilmu Kalâm adalah ideologi bagi umat Islam yang menggambarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya dan menjadikannya sebagai umat yang mempunyai kepribadian tersendiri. Sementara filsafat Islam (حكمة)—meskipun banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani—tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm.

****

  1. Alam Dalam Pandangan Kalâm Klasik

Berbeda dengan anggapan umum yang selama ini berkembang, filsafat alam memakan porsi yang cukup besar dalam pembahasan ilmu Kalâm, walapun dia bukanlah merupakan permasalahan terbesar dan tema terpenting dalam buku-buku Kalâm.[vi]

Menurut mutakallimîn alam adalah segala yang ada selain Tuhan atau اللطائف atau عالم الشهادة atau dengan bahasa modern dia adalah alam fisika. Ada dua cara yang dapat kita gunakan untuk membahas ilmu Kalâm: pertama, dengan mengkaji golongan-golongannya; dan kedua, dengan mengkaji materi-materinya. Dengan cara terakhir, kita dapatkan bahwa materi ilmu Kalâm ada enam, yaitu: التوحيد, القدر, الإيمان, الوعيد, الإمامة dan اللطائف. الإلهيات mencakup  التوحيد dan القدر; السمعيات mencakup الإيمان, الوعيد, dan الإمامة; sedangkan اللطائف membahas tentang جسم, مادة, gerak, waktu dan tempat, atau materi-materi alam fisika. Oleh karena itulah اللطائف dalam Kalâm dikenal sebagai دقيف الكلام yang merupakan lahan bagi akal semata, dan merupakan kebalikan dari جليل الكلام atau keyakinan-keyakinan yang hanya bisa diketahui dari kitab Allah.[vii]

Atas dasar di atas, para teolog Islam banyak menyibukkan diri dalam اللطائف, dan ini merupakan awal dari persentuhan akal Islam dengan alam fisika. Tumbuhnya pemikiran ilmiah di antara pemikiran agama ini menjadikan peradaban Islam berbeda dengan peradaban Barat. Dalam Islam gerakan berpikir ilmiah sama sekali tidak bertentangan dengan agama, bahkan semua itu berada di bawah naungan agama. Inilah yang memberi kesempatan bagi para ilmuwan Islam pada masanya untuk dapat memberi sumbangan bagi perkembangan sains pada abad pertengahan di saat Barat masih tenggelam dalam kegelapan. Namun, gerakan ilmiah itu kemudian terhenti karena begitu mendominasinya pemikiran agama. Dan inilah yang akan kita bicarakan pada paragraf-paragraf berikut.

****

Alam fisika di tangan mutakallimîn telah berubah menjadi الجواهر  dan الأعراض, yang diambil dari teori atom klasik. Kemudian الجواهر  dan الأعراض berubah menjadi ontologi ilmu Kalâm atau dasar pandangan mutakallimîn terhadap alam. Dengan cara mereka, para mutakallimîn menetapkan bahwa alam itu berubah-ubah karena perubahan yang terjadi pada الأعراض. Oleh karena itulah alam ini  حادث atau dia adalah ciptaan Allah.

دليل الحدوث atau keberadaan alam yang حادث sebagai bukti keberadaan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui adalah bukan saja merupakan sesuatu yang disepakati oleh para teolog Islam, tapi juga umat Islam semuanya. Oleh karena itu, alam bagi mutakallimîn tak lebih dari tanda keberadaan sesuatu yang ada di balik alam itu, yaituTuhan. Dan ini sesuai dengan makna akar kata alam yang terambil dari kata علم yang berarti tanda yang menunjukkan keberadaan pemilik tanda tersebut.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh para teolog Islam adalah hubungan antara Allah dengan alam. Allah adalah Pencipta alam, menjadikannya ada dari tidak ada. Inilah yang terpenting yang terdapat dalam دليل الحدوث. Dari sini kita melihat bahwa دليل الحدوث pada dasarnya adalah قياس الغائب على الشاهد, dan ini sebenarnya adalah salah satu bentuk dari cara berpikir ilmiah empiris. Inilah yang menyebabkan mutakallimîn pada periode awal begitu memperhatikan materi-materi ilmu fisika. Hanya saja di sisi lain دليل الحدوث itu sendirilah yang menjadikan pembahasan terhadap alam dalam ilmu Kalâm terjebak dalam lingkaran tertutup, yang pada gilirannya mengakibatkan terpisahnya ilmu Kalâm dari pembahasan terhadap alam. Pemikiran agamalah yang selanjutnya kembali mendominasi. Sementara pemikiran ilmiah yang baru tumbuh ibarat janin yang digugurkan secara terpaksa.[viii]

Lingkaran tertutup dalam  دليل الحدوث itu disebabkan karena alam bagi mutakallimîn tak lebih dari sekedar tangga untuk mencapai akidah; alam hanyalah sebagai alat untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan manusia, padahal manusialah yang hidup di alam dan membutuhkannya. Inilah yang menyebabkan filsafat alam di dalam pemahaman Kalâm klasik sama sekali keluar dari permasalahan epistimologi, dan hanya berkutat pada permasalahan ontologi, yaitu bahwa kehudûtsan alam membuktikan keberadaan Tuhan.[ix]

دليل الحدوث  inilah yang menjadi kerangka bagi filsafat alam yang terdapat dalam ilmu Kalâm, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Inilah yang menjadikan ketuhanan sebagai akhir dan tujuan, sebagaimana dia adalah awal dan titik tolak, sehingga pembahasan terhadap alam terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya.

Teolog yang pertama kali memanfaatkan teori atom untuk membuktikan kehudûtsan alam adalah Abû al Hudzail al ‘Allâf, seorang teolog mu’tazilah yang hidup antara tahun 135-226 H. Abû al Hudzail mengganti istilah atom dengan istilah baru yang islami, yaitu الجوهر الفرد. Madzhab الجوهر الفرد ini kemudian diikuti oleh semua mu’tazilah—kecuali beberapa orang—dan asyâ‘irah, bahkan madzhab ini sempurna di tangan yang terakhir disebut ini.[x]

Secara umum dapat dikatakan bahwa الجوهر الفرد adalah pondasi dasar bagi filsafat alam dalam Kalâm, sampai sebagian orang menyebut bahwa Kalâm adalah aliran filsafat yang berbicara tentang asas atom. Hanya saja hal ini tidak berarti bahwa teori الجوهر الفرد adalah semata-mata pindahan dari teori atom. Teori atom adalah teori yang mencoba memahami dan mentafsirkan alam. Sedangkan teori الجوهر الفرد adalah terori yang berusaha menjelaskan hubungan alam dengan Penciptanya, berawal dari keberadaan Allah dan berakhir pada penetepan kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang meliputi segalanya. Oleh karena itulah teori الجوهر الفرد terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya (Allah => alam => Allah).[xi]

Atom di tangan para filosof Yunani bergerak dengan gerakan yang tak berakhir. Gerakan inilah yang menjadikan alam menjadi sesuatu yang mekanis yang terdiri dari perpaduan antara atom-atom yang menyusunnya, sehingga tidak membutuhkan penciptaan Tuhan. Sedangkan di tangan para teolog Islam—baik mu’tazilah maupun asyâ‘irah—  الجوهر الفرد adalah sesuatu yang حادث yang diciptakan oleh Allah. Al ‘Allâf telah menambahkan ‘diam’ kepada atom Yunani, dimana ini tidak diakui oleh Democritus. Konsep ‘diam’ bagi Al ‘Allâf adalah penolakan terhadap konsep perpaduan atom dalam teori atom Yunani dan merupakan penegasan bagi penciptaan Tuhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa teori الجوهر الفرد tak lain adalah penetapan keberadaan Tuhan, bahkan dia adalah penetapan terhadap penciptaan alam yang terus-menerus oleh Tuhan.[xii]

****

Sebagaimana disinggung di awal, filsafat Islam (حكمة) tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm. Jalan yang ditempuh oleh filsafat Islam memang relatif berbeda dengan Kalâm. Hanya saja keduanya sebenarnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam naungan peradaban Islam. Kalâm tak lebih dari kegiatan berpikir filsafatis terhadap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh wahyu. Dan pada saatnya Kalâm juga banyak menggunakan logika yang menjadi dasar utama filsafat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam sebenarnya adalah perkembangan dari Kalâm yang telah mencapai kematangan.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kita tidak dapat memahami Kalâm tanpa filsafat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, pembicaraan tentang filsafat alam dalam Kalâm tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang filsafat alam dalam حكمة.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa pembahasan tentang alam di tangan para filosof menjadi lebih jelas dan terarah jika dibandingkan dengan mutakallimîn. Mereka (para filosof Islam) semua sepakat bahwa materi حكمة mencakup tiga aspek: logika, alam dan teologi. Di tangan para filosof alam tak lagi حادث. Hal ini disebabkan oleh pengaruh filsafat Yunani yang tidak bisa membayangkan keberadaan alam dari tidak ada. Oleh karena itu para filosof kemudian menerima dan mengembangkan teori emanasi (pancaran) sebagai ganti dari جوهر فرد. Hanya saja hal ini tak mampu membebaskan alam dari permasalahan ontologi yang mengarah pada teologi dan sebaliknya dalam lingkaran tertutup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan yang dimiliki oleh para filosof Islam terhadap alam pada hakikatnya tidak berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh mutakallimîn.

****

  1. Menuju Kalâm Masa Depan

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa bila dipandang dari kaca mata filsafat ilmu modern, ilmu Kalâm banyak sekali memiliki sisi-sisi negatif. Dengan kata lain, pandangan ilmu Kalâm terhadap alam menjadikan perjalanan sains yang semula tumbuh subur dalam naungan peradaban Islam terhenti bahkan hilang sama sekali. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa Kalâm kehilangan sisi positif sama sekali. Sebagai aktifitas paling pertama dalam memahami wahyu dengan menggunakan akal sebelum masuknya pengaruh luar, Kalâm memiliki akar yang sangat kuat bagi pembentukan pola pikir muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa Kalâm adalah merupakan perwujudan dari apa yang disebut sebagai ‘الغقل العربي الصميم’.[xiii]

Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah pembaharuan Kalâm, dengan tetap memperhatikan sisi-sisi positif yang dimilikinya. Pembaharuan adalah sunnah kehidupan. Semua yang ada di jagad raya berubah dari waktu ke waktu menuju kondisi yang lebih baik. Manusia dan pemikiran-pemikirannya pun tak luput dari sunnah ini.

Kalau kita buka lembaran sejarah, perubahan dan pembaharuan dalam Kalâm ini bukanlah merupakan sebuah hayalan, tapi benar-benar merupakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Sejak abad pertama berdirinya peradaban Islam banyak sekali pertentangan dan perbedaan pendapat seputar masalah akidah. Bahkan di antara sekian banyak pertentangan tersebut banyak sekali yang menimbulkan pertumpahan darah. Kita tentu bukan bermaksud mengulangi sejarah kelam masa lalu tersebut, tapi kita di sini hanya ingin menunjuk bahwa perubahan dalam bidang akidah tersebut merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi, bahkan pada saat-saat awal lahirnya Islam. ‘Perkembangan akidah itu mungkin terjadi, bahkan dia sekarang adalah merupakan sesuatu yang wajib.’[xiv]

****

Yang pertama sekali harus disadari dalam pembaruan ilmu Kalâm ini adalah bahwa Kalâm klasik tak lebih adalah produk sejarah yang timbul sebagai jawaban atas kondisi yang ada pada saat itu. Di sinilah tampak pentingnya membedakan antara akidah dan Kalâm. Keyakinan-keyakinan yang berkenaan dengan Tuhan (akidah) bersifat tetap, suci dan tidak dapat diubah-ubah, sementara ilmu Kalâm tidaklah demikan halnya. Ilmu Kalâm murni bersifat manusiawi, diciptakan oleh manusia dalam ruang dan waktu tertentu dengan kondisi yang tertentu pula.[xv]

Tanpa menyadari keberadaan ilmu Kalâm dengan pemahaman di atas, sangat mungkin sekali kita terjebak dalam apa yang disebut oleh F. Bacon sebagai idols of theatre (أوهام المسرح), yaitu kesalahan-kesalahan yang disebabkan karena kepercayaan yang berlebihan terhadap apa yang ditulis oleh para pendahulu.[xvi] Idols of theater  ini disebabkan karena ketidakmampuan kita dalam membedakan antara yang nisbi dan yang mutlak. Kalâm adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu dia bersifat nisbi dan bisa berubah-ubah sesuai tuntutan kondisi.

“… Sikap kita terhadap turats bukan hanya sebagai pemindah saja. Mereka manusia, kita juga manusia. Kita belajar dari mereka dan bukan sekedar mengikuti mereka. Sikap kita adalah sikap sseorang peneliti dan pengkritik. Apabila mereka memilih sesuatu, maka kita memilih sesuatu yang lain, karena memang kondisi yang berubah. Mereka dulu melakukan ekspansi, sementara kita adalah korban ekspansi. Mereka memberikan prioritas kepada naql, sementara kita memberikannya kepada akal. Mereka mengutamakan iman dan kita mengutamakan amal. Mereka mengedepankan ketuhanan, sementara kita mengedepankan kemanusiaan. Dalam fiqih mereka mementingkan ibadah karena memang agama masih baru, sedangkan kita lebih mementingkan kerja (amal) karena percaturan politik dan ekonomi yang ada saat ini.”[xvii]

Dengan sikap seperti di atas, kita tidak akan menemukan hubungan antara Kalâm baru dan Kalâm klasik sebagai ketersambungan yang bersifat negatif, yang menjadikan klasik sebagai subyek dan baru sebagai obyek, atau yang menjadikan para pendahulu sebagai pewasiat dan kita sebagai pendengar saja. Tapi dalam waktu yang bersamaan hubungan tersebut juga bukan merupakan keterputusan yang menjadikan Kalâm baru tumbuh dari kekosongan. Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan inilah yang menjadikan Kalâm masa depan sebagai kendaraan yang sempurna untuk mencapai kemjuan di masa yang akan datang.[xviii]

Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan ini sangat erat kaitannya dengan القطيعة المعرفية (La Rupture Epistemologique) yang dicetuskan oleh G. Bachleard (1884-1962). Tokoh filsafat ilmu berkebangsaan Perancis ini meletakkan القطيعة المعرفية dalam kerangka filsafat dialektik antara ada-tidak ada dan antara ketersambungan-keterputusan, demi terjadinya pertambahan kualitatif dalam bangunan ilmu dan bukan sekedar pertambahan kuantitatif. القطيعة المعرفية didasarkan pada hukum dialektika yang terkenal: ‘pertambahan kuantitas menyebabkan perubahan kualitas’.[xix]

Menurut teori القطيعة المعرفية ini perkembangan ilmu didasarkan pada pemutusan hubungan dengan masa lalu, tapi bukan dalam arti mengingkarinya. Hal yang terakhir disebut ini tidak pernah terjadi dalam perkembangan ilmu. Newton misalnya, dengan jujur mengakui bahwa dia tampak begitu tinggi karena berdiri di atas pundak para pendahulunya. القطيعة المعرفية memberi pemahaman bahwa apa yang ada hari ini bukanlah sekedar kelanjutan mekanis atau tambahan kuantitatif terhadap apa yang ada pada masa lalu. Kemajuan berdasarkan القطيعة المعرفية berarti membuat jalan baru yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulu, baik karena kondisi yang belum menuntut adanya hal itu maupun karena keterbatasan cara berpikir mereka. Contoh yang diberikan oleh Bachleard dalam hal ini adalah penemuan lampu listrik. Lampu listrik bukan sekedar kelanjutan dari cara-cara penerangan klasik yang didasarkan pada pembakaran, tapi dia adalah merupakan pemutusan terhadap semua cara lama dengan menciptakan penerangan yang sama sekali tidak didasarkan pada pembakaran.[xx]

****

Lalu bagaimanakah bentuk ilmu Kalâm baru setelah dipersenjatai dengan القطيعة المعرفية ini? Sebagaimana disebut di awal, tujuan yang ingin dicapai oleh Kalâm klasik adalah pembuktian akidah. Pada masa awal lahirnya, Islam banyak sekali menghdapi serangan pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Kalâm klasik sebagai usaha untuk mempertahankan keyakinan agama. Kalau kita lihat kondisi kita sekarang, ancaman yang dihadapi oleh para pendahulu kita tersebut sudah hampir tidak ada, atau setidaknya sangat sedikit sekali. Kondisi yang ada pada kita sekarang adalah kebalikan dari kondisi yang ada pada para pendahulu kita. Oleh karena itu pada masa sekarang, kita tidak menjadikan pembuktian akidah sebagai tujuan, tapi justru kita berangkat dari akidah yang sudah mapan menuju pengejewantahan manusia muslim dalam peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Jika dalam Kalâm klasik manusia dan alam dijadikan sebagai muqaddimah untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Esa, maka dalam Kalâm baru Allahlah yang kita jadikan sebagai titik tolak dalam usaha untuk mewujudkan eksistensi manusia dalam perjalanan sejarah.[xxi]

دليل الحدوث yang menjadi pondasi dasar Kalâm klasik telah menjadikan pembahasan terhadap alam sebagai permasalahan ontologi. Maka tugas Kalâm baru adalah mengubah (mengembalikan) pembahasan terhadap alam ini sebagai permasalahan epistimologi. Dengan kata lain Kalâm baru harus memandang alam bukan sekedar sebagai bukti keberadaan Tuhan, tapi dengan tujuan untuk memahami, mentafsirkan, mengadakan prediksi dan eksploitasi bagi kemajuan manusia. Dan untuk itu Kalâm baru harus berani melepaskan diri dari pendahulunya yang menjadikan alam terjebak dalam lingkaran tertutup antara ontologi dan teologi.

Kalau kita perhatikan perkembangan ilmu di Barat, pada awalnya kegiatan ilmiah sama sekali tidak terpisah dari keyakinan agama. F. Bacon misalnya berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya dan para ilmuwan semasanya tak lain adalah usaha untuk memperlajari ‘Taurat Alam’ untuk membuktikan kekuasaan Tuhan yang terdapat pada ciptaannya. Hanya saja, usaha hal ini sama sekali tidak menghalangi mereka untuk melindungi ilmu dari campur tangan Tuhan.

Usaha untuk berpindah dari membaca kita suci menuju kitab alam ini sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan oleh umat Islam. Tapi semua itu jadi tidak berarti di saat umat Islam gagal meletakkan alam dalam kerangka epistimologi dan terjebak dalam lingkaran tertutup yang menjadikan alam hanya sekedar sebagai alat untuk mengenal Tuhan.

Ilmu pada masa sekarang ini bukan lagi ‘membaca kitab alam’ untuk mengetahui hukum-hukum pasti yang ada di dalamnya (determinisme). Tapi ilmu menurut epistimologi modern adalah ‘hipotesa-hipotesa jenius yang berhasil dibuktikan melalui percobaan’.[xxii] Dan tugas Kalâm baru adalah meletakkan alam dalam kerangka epistimolgi modern ini. Kalâm baru harus mampu memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi perkembangan ilmu, karena sebagai hasil cipta rasa manusia ilmu akan terus berkembang secara vertikal dan berubah dari waktu ke waktu. Yang tidak boleh berubah adalah kepribadian kita sebagai muslim. Sebagai peradaban yang bersumber dari wahyu kita harus tetap berpegang pada tauhid yang menjadikan Allah, manusia dan alam dalam satu kesatuan. Ini adalah identitas kita yang harus kita pertahankan secara terus-terus menerus, dengan syarat tidak menghalangi kita untuk mengkaji alam dalam kerangka epistimologi.

Apabila ini mampu dilakukan oleh Kalâm baru, maka berarti dia telah mampu melaksanakan tugasnya menjadikan wahyu sebagai syari’at yang bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Makalah ini dipersembahkan untuk ‘Nurul’. Makasih atas nasehatnya.

——————————————————————————–

[i] …, Falsafatu al Thabî‘ah, dalam Al-Mausû‘ah al Falsafiyah al-‘Arabiyyah, ed. Mu‘sin Ziyâdah, jilid II, Ma‘hadu’l Inmâ’ al ‘Araby, 1988, cet. I, hal. 1020.

[ii] Ibid, hal. 1020.

[iii] Dra. Yumnâ Tharîf al Khûly, Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, Dâru’l Qubâ’, Kairo, 1998, hal. 9.

[iv] Toby E. Huff, Fajru’l ‘Ilmi’l Hadîts, Âlamu’l Ma‘rifah, Kwait, cet. II, 2000, hal. 104.

[v] Ibid, hal. 105.3

[vi] Dra. Yumnâ Tharîf al Khûly, Amîn al Khûly: Al Ab‘âd al Falsafiyah fi al Tajdîd, Dâru’l Ma‘ârif, Kairo, 2000, hal. 109.

[vii] Ibid, hal. 110.

[viii] Ibid, hal. 112.

[ix] Ibid, hal. 113.

[x] Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, op.cit., hal. 83

[xi] Ibid, hal. 83-84.

[xii] Ibid, hal. 84.

[xiii] Ibid, hal. 104.

[xiv] Amîn al Khûly, Al Mujaddidûn fi al Islam, Maktabatu’l Usrah, Kairo, 2001, hal. 58.

[xv] Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, op.cit., hal. 42.

[xvi] Dr. Zaky Najîb Mahmûd, Al-Manthiq Al-Wadl‘iy, juz II, Maktabah Anglo Al-Mishriyah, Kairo, cet. II, 1961, hal. 186.

[xvii] Dr. Hasan Hanafy, Al Dîn Wa al Taharrur al Tsaqâfy, Maktabah Madbûly, Kairo, 1988, hal. 289.

[xviii] Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, op.cit., hal. 52.

[xix] Ibid, hal. 53.

[xx] Ibid, hal. 54.

[xxi] Amîn al Khûly: Al Ab‘âd al Falsafiyah fi al Tajdîd, op.cit., hal. 127.

[xxii] Ibid, hal. 30. VI.52.

SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG

(3/3)

oleh Jalaluddin Rakhmat

Apa  yang dimaksud “air”? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air  mudhaf  (seperti  air  jeruk,  air teh).  Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. “Debu” meliputi pasir dan tanah,  kata  Syafi’i;  tanah  saja,  kata  Hambali; tanah,  pasir,  batuan,  salju  dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi  dan  Hambali;  sebagian  wajah oleh Ja’fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam  bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita  mengenal Jabbariyah  dan  Qadariyah.  Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian  Islam  yang  lebih operasional  seperti  epistimologi  Islam,  teologi Islam, dan sebagainya.

SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH

Masalah-masalah yang berkenaan  dengan  sunnah  lebih  musykil lagi.   Kemusykilan  pertama  terjadi  ketika  kita  mengambil pelajaran dari hadits:  apakah  yang  diberitakan  hadits  itu Sunnah  atau  bukan.  Manakah  yang  sunnah,  mengampuni  para tawanan (seperti yang  dilakukan  Rasulullah  saw.  pada  Fath Makkah)  atau  membunuhnya  (seperti  yang dilakukan Nabi pada perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat  makan  di  bawah, menjilati  jari  setelah  makan,  dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu. Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak  sampainya  hadits. Hadits  dilaporkan  oleh  para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang berlainan bersama  Rasulullah  saw.  Ada  yang menyertai  Nabi  hampir  setiap  saat,  dan  ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja.  Umar  melaporkan  bahwa  mayit  akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki orang yang menangisi mayat. ‘Aisyah menolak hadits ‘Umar  ini. Ketika  Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, ‘Aisyah berkata, “Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar).  Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi jenazah  itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang disiksa.” [5]

SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu  di  ujunguya  ada kata  yang  mengecualikan  (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku?  Kepada  semua  kalimat  atau  kepada  kalimat   yang terakhir.  Yang pertama dipilih oleh Syafi’i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan  dengan tuduhan  berzinah  (QS.  24:4)  mengandung  tiga  kalimah: (1) “Deralah mereka  80  deraan,”  (2)  “Jangan  terima  kesaksian mereka  selama-lamanya,”  dan  (3)  “Mereka itulah orang-orang fasik.” Istitsna datang sesudah  kalimat-kalimat  itu.  Apakah deraan  harus  dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah  bertaubat?  Semua mazhah   –selain   Hanafi–   memilih  rnenjawab  “ya”  untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Inilah salah satu contoh  perbedaan  penggunaan  kaidah  Ushul Fiqh.  Di  samping  itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah,  qiyas,  istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Saya  ingin  mengakhiri  makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang  saya  sampaikan  pada  tempat  lain  (Rahmat,  1986: 99-103). Sepakat pada yang qath’i, siap berbeda pada yang dzhann-i: Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar. Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah –semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah dan Syi’ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku’ dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath’i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim: Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur’an (kalau berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an). Ukuran aqli –yang saya definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi– hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli. Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara untuk menghindarkan “terburu-buru” menangkap ruh dari suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan al-Qur’an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam keterburu–buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan prinsip egalitarian al-Qur’an [6] adalah mendahulukan kritik ‘aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya. Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat. Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas’ud berpendapat shalat Dzuhur dan ‘Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas’ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, “Perselisihan itu semua jelek” -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat. Imam Syafi’i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ. Di Indonesia, banyak paham timbul –barangkali setelah melakukan taryih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak berujung. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan mana yang qath’i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang. Al-Qur’an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan, “Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?” (QS. al-Ra’d:16); “Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya” (QS. Fathir:19); “Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan” (QS. al-Zumar:9) “Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan” (QS. Al-Mujadilah: 11). Mengizinkan setiap orang berijtihad –tanpa mempedulikan perbedaan mereka dalam pengetahuan agama– dapat menimbulkan chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala yang berbentuk kriteria. “Berijtihad” tanpa ilmu berarti membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarkhi. Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-‘Askari menulis studi perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah dalam Ma’alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi’tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi’ah sebagai madrasah al-imamah.

3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi’ah. Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi’ah, sehingga Syi’ah sering disebut sebagai Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz. Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur’an, prinsip pewarisan kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar

al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma’alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah. Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar al-Mu’alim Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi’ah wa al-Hakimun, Beirut:

Dar al-Jawad.————-, 1982, Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khaumsah, tidak diketahui penerbitnya. Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, “Ulu al-Amr ‘inda Madzahib al-Islamiyah,” dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah. Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New

York: Simon and Schuster. ————-, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New

York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London. Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi’a Islam. Beirut: American University. Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge. Rahmat, J., 1986, “Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur’an dan Sejarah” dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma, Bandung: Mizan. Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah. Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi’a, Tidak diketahui penerbitnya. Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr. Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta.

——————————————–

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah

Editor: Budhy Munawar-Rachman

Penerbit Yayasan Paramadina

Jln. Metro Pondok Indah

Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21

Jakarta Selatan

Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173

Fax. (021) 7507174

Taqdir Global Aswaja

Misbah Em, Majidy*

Imam Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, adalah dua sosok yang memiliki tempat tersendiri di kalangan kaum Sunni, karena melalui dua ulama kharismatik itulah ahlu Sunnah Wal Jama’ah lahir sebagai faham ideologi keagamaan. Faham ini lahir sebagai reaksi terhadap perkembangan pemikiran kelompok Mu’tazilah yang begitu ‘liar’, dimana doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dahsyat. Faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang di’ajarkan’ Imam Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi pada galibnya merupakan koreksi terhadap berkembangnya berbagai doktrin keTuhanan dan keimanan (visi aqidah) yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan

Kaitanya dengan pandangan Jabariah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qodariyah yang berpaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti dalam tatapan ideologis kaum Syi’ah dan Mu’tazilah, kaum Sunni (baca : Aswaja) membuat garis batas yang jelas terhadap kedua kelompok tersebut. Secara epistimologi Ahlu Sunnah wal jamaah bisa diartikan sebagai “Para penganut tradisi nabi Muhammad dan Ijma ulama.” Adapun secara terminologi, berarti “Ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah Saw, bersama para sahabatnya.” Pengertian ini mengacu pada hadist nabi yang terkenal hal mana Nabi memprediksikan bahwah suatu saat kelak ummat Islam akan terpecah dalam 73 golongan, semua celaka kecuali satu firqah, yaitu mereka berpegang teguh pada pegangan beliau dan pegangan para sahabat-sahabatnya. Dalam hadist lain yang senada, golongan yang selamat ini disebut sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dalam nuansa komunitas kaum Nahdliyin (baca:Warga Nahdlatul Ulama) definisi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah punya arti yang lebih spesifik, sebagai faham yang berpegang teguh pada pada tradisi: (1) Mengikuti ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam konsepsi Fiqhiyah, walau dalam praktek ritualitas keseharian, para kiyai (ulama) penganut kuat madzhab Syafi’i. (2) Dalam visi Aqidah kaum Nahdliyin meng-imami- ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi. (3) Dalam visi ketasawufan warga Nahdlatul Ulama menganut dasar-dasar ajaran Abu Qosim Al Junaid. Berangkat dari prediksi diatas, terlihat kaum Sunni (baca : Kaum Nahdliyin), dalam menyikapi taqdir global kehidupan (modernitas) menerimanya dengan penuh responsif dan lebih luwes, dibanding mereka yang mengklaim dirinya kaum Modernis , (yang berupaya memurnikan Islam dengan kembali ke pesan Qur’ani dan Sunnah semata, tidak bermadzhab, memberantas segala bentuk Bid’ah), sementara kaum Nahdliyin senantiasa menterjemahkan taqdir global kehidupan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. Dengan penuh totalitas mengacu pada pesan-pesan Qur’ani dan Sunnah Rasul dus menjunjung tinggi nilai-nilai serta tradisi salafu sholih dengan tidak mengabaikan warisan para cerdik cendekia Islam sepanjang sejarah yang terkristalisa-sikan dalam madzhab-madzhab. Sebabnya adalah mustahil suatu generasi memulai upaya pembaruan-nya (guna menyikapi pelik keagamaan kontemporer) dari Nol, dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Toh penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya local dimana Islam disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama yang terkontimasi sehingga perlu pemurnian. Karena penyelelarasan dalam batasan yang jelas justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang warga Nadliyin itu terakumulasi dalam sebuah kaidah Usul Fiqh “Al mukhafadzotu ala al qodimisholih wal Ahdzu bil Jadidil Aslah” (Mempertahankan milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Satu hal yang menandai karakteristik Kaum Nahdliyin kaitanya dengan operasionalisasi ajaran Aswaja dalam pengambilan sumber hukum lebih cenderung ke konsepsi Syafi’iyah (bagi Mazhab Syafi’i sumber hukum meliputi empat hal : Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma serta Qiyas), yang mengantar kaum Nadliyin tampil dalam segala situasi secara fleksibel dan akomodatif serta tidak terpaku pada keputusan masa lalu dalam meluruskan dan merumuskan sikap mereka. Imam Syafi’i sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, watak itu didasari oleh aspek historis kehidupannya yang banyak mengembara dalam mengajarkan misinya di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir, dimana ajarannya berkembang sesuai dengan ‘pelik persoalan sosial keagamaan’ kondisi komunitasnya. Disamping secara konsepsi Fiqhiyah Imam Syafi’i memilih jalan tengah dari Pemikiran Abu Hanifah Al Nu’man (yang cenderung rasionalistik) dan pemikiran Imam Malik Bin Anas (yang terpaku pada dogma Al Sunnah saja), dalam visi aqidati Imam Al Asy’ari pun telah ‘mengawinkan’ pemikiran Mu’tazilah yang rasionalistik dengan pola pemikiran yang berpijak pada kontek Nash. Epoc keagamaan semacam itu pada giliranya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas kaum Nadliyin, yang selalu i’tidal dan tawasuth, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama, sikap tasamuh, (toleran terhadap perbedaan), tawazun (seimbang dan tidak ekstrem), serta amar ma’ruf nahi mungkar, (meng anjurkan kebaikan dan mencega keburukan) dalam menterjemahkan hidup dan kehidupan yang ada. Permasalahannya adalah sudahkah perangkat ideologi Aswaja itu menjadi bagian yang intregral dalam diri kaum Nahdliyin…..? Sebab klaim yang ada, kaum Nahdliyin selalu di identikkan dengan kaum ’sarungan’ yang mengambarkan sosok bersarung dan berbeci, yang berjalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan yang lain menggenggam untaian tasbih, atau jika tidak bagi sementara orang kaum Nahdliyin adalah sebuah stereotip komunitas yang ber-ussali dan ber-qunut-ria dalam sholat mereka dan meyakini bilangan 23 dalam rakaat tarawihnya, serta begitu rajin menggelar tour ke makam auliya’ (tawasul kepada para wali), dengan bahasa yang sedikit minor warga Nadlatul Ulama di sebut sebagai kaum yang berlabel ‘tradisionalis’. Apapun klaim yang di sandangkan satu hal yang tidak bisa kita nafikan bahwah epoc ideologi Aswaja adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan beragama di negeri kita, yang terlihat begitu jelas dalam berbagai dimensi kehidupan yang ada. Sebab pelaku ideologi Aswaja yang basis massanya adalah masyarakat agraris (pertanian) lebih dekat dan akrab dengan alam, tinggal diwilayah pedesaan (rural) yang dalam pandangan kosmologinya, mereka lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama katim-bang nalar (rasio), mempercayakan nasib kepada taqdir jauh lebih dicondongi ketimbang mempertaruhkannya kepada kemampuan dan prakarsa sendiri.

Dalam sudut ke-jam’iyahan, komunitas Nahdliyin lebih terasa tumbuh sebagai masyarakat paguyuban katimbang patembayan, dengan tingkat kesetiaan warganya yang penuh totalitas kepada tokoh yang bersifat formal-impersonal (baca : Para kiai dan Ulama) yang menjadi ‘panutan’ dalam berbagai bentuk konsesus keagamaan, yang oleh Masdar Farid Mas’udi disebut sebagai ‘Feodalisme’ gaya-NU-an. Hal itu sah-sah saja terlebih dalam menyikapi ‘taqdir global langit’ kehidupan saat ini, dimana ‘model’ kehidupan masyarakat kota dan desa sudah begitu samar terkubur dan terpolakan oleh berbagai saluran media elektronik dan media massa. Di mana hal ini banyak menyentuh berbagai strata kehidupan masyarakat, yang punya nilai tersendiri bagi pelaku ideologi Aswaja baca : warga Nahdliyin) dalam mempertahankan nilai dan tradisi pengajian sorogan (pesantren di dusun-dusun) Tahlilan, diba’an (membaca berzanji), dzikir Yasinan, sholawat badar, yang disekat dengan label ’kolot’. Di tengah gebyar arus ‘model’ kehidupan modern yang kian global, peran para kiai dan ulama, dus kaum cerdik cendekia muslim, sangat diperlukan adanya. Esensi permasalahannya bukanlah pada tradisonalitas maupun modernitas dalam me- wajahkan sikap keagamaan yang ada, akan tetapi kebesaran dan keberanian kita dalam menata hati dan fikir dalam menyikapi globalitas taqdir (riak permasalahan zaman) dengan memegang teguh tradisi keyakinan kita berideologi, dus mentranfer nilai-nilai Ahlu Sunnah wal jama’ah pada diri dan komunitas kita. Itulah ‘garapan’ yang perlu kita fikirkan, sebab ‘kemajuan’ tidak mesti dipungkiri, akan tetapi harus di ‘sikapi’ sebagai konsekwensi logis kehidupan insani, karena pada saatnya bukan suatu hal yang mustahil bila seorang kiyai di desa yang terpencil ikut mengisi pengajian via internet. Para kiai (seperti lazimnya dalam tradisi kaum Nadliyin) tidak saja disibukan dengan memberkahi tasyakuran haul dan acara-acara haflah, akan tetapi dituntut pula dengan berkah ‘ngaji’ ilmiah yang tertuang dalam karya tulis, dus makalah-makalah ilmiah keislaman lain-nya. Para kiai tidak saja duduk pada seremonial ritualitas sorogan akan tetapi duduk pula dalam forum seminar dan temuan-temuan ilmiah yang ada. Cara dan metode memang boleh berbeda (karena kodisi zaman) namun misi dan muatan haruslah tetap sama dengan menjadi- kan pesan Qur’ani sebagai pijakan awal langkah amalan kita dus tetap memegang teguh tradisi kenabian dan sunnah Rasul Saw, beserta para sahabatnya dengan mengikuti jejak salafus sholeh. Sebab seperti pesan Qur’ani,“Kebesaran adalah semangat konsistensi dalam menghadapi realita yang ada, serta mampu menyikapi segala permasalahan zaman dengan memegang teguh tradisi kejujuran dalam berkata dan berbuat.”(QS:33.23). Sekedar sebuah usaha untuk belajar mamaknai satu kelaziman yang ada, untuk menata kembali sikap ke- Aswaja-an kita, dalam mengaktualisasikan keislaman kita dan kredibilitas jama’ah kita. Walllahu A’lam.

*Penulis adalah anggota Lembaga Fungsional KMNU Mesir Antara Ghozali dan Ibnu Rusdy Antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd para sahabatnya.

Oleh

ASEP SAEFUL MIMBAR & AGUS SULTHONIE

DALAM realitas sejarahnya, manusia bukanlah makhluk yang vacum, tapi ia adalah makhluk dinamis yang selalu mengembara untuk melakukan pencerahan pemikiran dalam kerangka men-sejarah-kan eksistensi dirinya di bumi. Adalah jenis makhluk pemikir-filosof yang tidak pernah puas atas segala realitas yang terkadang kontras dengan idealisme dan bangunan-bangunan kemanusiaan.

Para filosof yang melakukan pengembaraan dalam refleksi-refleksi intelektual filosofisnya itu bermaksud untuk mencari solusi-solusi atas persoalan-persoalan manusia, alam–bahkan Tuhan sekalipun. Karenanya, sejarah pemikiran filsafat sesungguhnya tidak pernah mandeg dan berhenti. Bukankah, alam pikiran manusia itu bersifat sinambung, demikian ungkap Bernard Delfgauuw (1991:3)–bahkan kesinambungan alam fikiran manusia itu selalu bersamaan dengan perkembangan dan situasi sosial yang dihadapinya.

Dalam sejarah filsafat Islam telah muncul figur-figur filosof Muslim terkemuka model Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, betapapun dari sisi rentang waktu sesungguhnya keduanya tidak sezaman, tetapi keduanya telah memberikan kontribusi dan implikasi yang cukup signifikan bagi dunia dan umat Islam–bahkan sampai sekarang .

Dari hal tersebut di atas, penulis mencoba men-studi dan memahami terhadap beberapa tema dialog intelektual kedua tokoh tersebut, juga aspek-aspek epistemologi yang digunakan dan ditawarkan, dus implikasinya bagi dunia Islam.

Beberapa tema dialog intelektual

Adalah Al-Ghazali, sosok figur ulama-pemikir yang selalu ingin mengetahui kebenaran hakiki–yang bisa diyakini sepenuhnya tanpa sedikitpun keraguan. Karenanya, wajarlah bila Al-Ghazali berusaha mendalami seluruh pemikiran yang muncul saat itu–baik dari filosof Yunani maupun Muslim. Konon, katanya, setelah melalui proses kerja intelektual yang luar biasa, Al-Ghazali berkesimpulan bahwa pemikiran mereka–para filosof, ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicarinya. Bahkan ia berpendapat, bahwa dalam pemikiran mereka terdapat kekacauan dan nampak bertentangan dengan ajaran agama. Untuk maksud tersebut, Al-Ghazali menulis kitab “Maqashid al-Falasifah” (Maksud-maksud para Filosof) yang berusaha memaparkan pemikiran para filosof yang tujuannya sebagai persiapan untuk menolak pandangan mereka. Sedangkan analisis dan kritikannya yang luar biasa itu, terkandung dalam bukunya yang terkenal “Tahafut al-Falasifah” (Kekacauan para Filosof).

Dalam “Tahafut al-Fasalifah” yang kemudian dibahas kembali dalam “Al-Munqidz Min al-Dhalal”, yang diserang Al-Ghazali dengan nada keras hanyalah pada aspek mentafisis dari filsafat yang menurutnya bisa membawa kepada kekufuran. Dalam hal ini, kami kira al-Ghazali telah bertindak benar.

Ada tiga proposisi yang diserang habis-habisan. Pertama, pendirian para filosof akan kekekalan alam (qodim-nya alam). Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan (Tuhan tidak mengetahui juz’iyat), hanya mengetahui yang universal saja. Ketiga, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat, bahwa kebangkitan jasmani sesungguhnya tidak ada.

Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya pernah berkata, bahwa alam ini adalah kekal, tegasnya qadim–tidak mempunyai permulaan zaman. Artinya, bukan hanya Allah yang qadim, tetapi juga ciptaan-Nya. Pandangan tersebut, begitu menggelisahkan seorang Al-Ghazali yang juga dikenal sebagai teolog. Dalam perspektif Al-Ghazali, pengertian qidam itu sebagai ‘ada; sejak zaman tidak bermula yang tidak pernah tidak ada pada masa lampau, dan karenanya akan membawa pengertian kepada tidak diciptakan (ghair makhluq). Dengan demikian, munculnya pendapat tentang yang qadim selain Allah, menurut Al-Ghazali–akan membawa kepada: 1) Banyaknya yang qadim, yakni banyaknya Tuhan, yang berarti syirik; 2) Paham ateisme, alam yang qadim tidak memerlukan pencipta. Kedua pandangan ini secara normatif, dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat eternal dan essensial. Dari sinilah, bisa dimaklumi jika Al-Gazali mengkafirkan orang-orang yang menganut pemikiran qadim-nya alam.

Gugatan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof itu–kelak ditanggapi secara serius oleh Ibn Rusyd. Menurut Rusyd, antara kaum teolog dan kaum filosof terdapat perbedaan yang mendasar tentang makna al-ihdats dan qadim. Menurut kalangan teolog, al-ihdats diartikan sebagai menciptakan dari ‘tiada’, sedangkan para filosof memahaminya sebagai menciptakan dari yang ‘ada’. Dari ‘tiada’ (adam), menurut Ibn Rusyd–tidak bisa berubah menjadi ‘ada’ (wujud) dalam bentuk yang lain. Memang, dalam filsafat muncul suatu paradigma, bahwa penciptaan dari tiada (creatio ex nihillo) adalah suatu kemustahilan belaka. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn Rusyd mengemukakan ayat al- Qur’an surat Hud ayat 7 dan s. Fushilat ayat 11. Pada kedua ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam tempo enam periode. Dan langit pun diciptakan dari asap dan gas.

Dan secara cerdas, Ibn Rusyd berpandangan–bahwa seandainya Tuhan menciptakan sendiri secara langsung segala yang ada di alam ini, maka akibatnya teori tentang ‘sebab akibat’ atau kausalitas menjadi tiada berguna. Padahal apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari hukum sebab akibat.

Menurut para filosof, Tuhan itu tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz’iyat), Tuhan hanya mengetahui yang universal saja. Pendapat ini didukung oleh para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatupun kecuali diri-Nya.

Dari pandangan selintas tersebut di atas, maka Al-Ghazali mementahkan pemikiran tersebut dari dua perspektif:

Pertama, ia sependapat dengan para filosof yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan yang satu sejak zaman azzali dan tidak pernah berubah. Akan tetapi, pendapat mereka mengenai pengetahuan terikat dengan ruang dan waktu tidak bisa dibenarkan dengan akal sehat. Dalam pandangan Al-Ghazali pengetahuan Tuhan harus benar-benar bebas dari persyaratan ruang dan waktu. Menurutnya, Tuhan itu mengetahui hal-hal yang kecil, mulai dari beberapa daun kering yang jatuh di hutan sampai jumlah butiran pasir di pantai, Tuhan mengetahuinya. Dengan demikian, pengetahuan-Nya mencakup hal-hal juz’iat, juga yang tunduk pada ruang dan waktu. Perubahan yang mungkin terjadi pada modus pengetahuan–tidak harus terjadi pada modus pengetahuan, tidak harus terjadi perubahan pada Dzat Yang Menciptakan–melainkan hanya pada teknis pengetahuan dengan obyeknya yang terus menerus terjadi transformasi (perubahan).

Kedua menurut Al-Ghazali, mengapa para filosof mesti takut untuk mengatakan bahwa Tuhan juga mengetahui hal-hal yang kecil? Al-Ghazali juga mempertanyakan keyakinan para filosof yang menyatakan bahwa alam ini bersifat qadim. Bukankah alam itu merupakan subyek bagi perubahan-perubahan itu sendiri. Maka, menurut Al-Ghazali jika para filosof itu menyakini akan perubahan sesuatu yang qadim (alam), seharusnya mereka juga tidak menolak untuk mempercayai bahwa pengetahuan Tuhan bisa menimbulkan perubahan pada diri Tuhan.

Gugatan-gugatan Al-Ghazali tersebut disanggah secara bijak oleh Ibn Rusyd yang berpandangan bahwa pertentangan antara filosof dengan Al-Ghazali, hal itu muncul dari adanya penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibn Rusyd, hal-hal yang khusus juz’iat itu diketahui oleh manusia melalui panca indrawinya, sedangkan yang universal (kulliyat) diketahui melalu akal. Selanjutnya, menurut Ibn Rusyd pengetahuan Tuhan itu bersifat Qadim, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baru (hadist). Pengetahuan yang universal merupakan sebab, sedangkan pengetahuan yang khusus merupakan akibat. Dengan demikian, para filosof sesungguhnya tidak pernah mengatakan, apakah pengetahuan Tuhan tentang alam ini bersifat juz’i atau kulli.

Para filosof berpendapat, bahwa yang kekal itu hanyalah jiwa manusia, bukan fisiknya. Mereka menolak kembalinya dan menyatunya jiwa denga fisik, mereka juga menolak adanya siksa neraka dalam bentuk fisik dan kesenangan surgawi dalam bentuk fisik pula. Menurut Ibnu Sina, semuanya itu hanyalah simbol dari Tuhan yang menggambarkan tentang kebahagian dan kesengsaraan, di mana surga merupakan simbol kebahagian, sedangkan neraka merupakan simbol kesengsaraan, yang menurut Ibnu Sina jika manusia sanggup memaksimalkan potensi dirinya yang memililiki delapan potensi sampai pada tingkat intelektualitasnya, maka ia memperoleh kebahagian dan menjadi ‘insan kamil’.

Al-Ghazali sepakat dengan para filososof bahwa kenikmatan ruhani jauh lebih tinggi tinimbang kenikmatan jasmani. Demikian pula dengan keabadian jiwa sesudah berpisah dari badan, karena jiwa merupakan subtansi yang berdiri sendiri, dan ini sesuai dengan QS. Al-Imran ayat 169-170.

Secara tegas Al-Ghazali meng-konstatir argumentasi pemikiran para filosof yang dipandangnya tidak menyakinkan dan tidak berdasar, maka satu-satunya jalan adalah dengan cara kembali kepada otoritas kitab suci Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Kemudian, Al-Ghazali merasa heran dan mempertanyakan, apa sih keberatanya Tuhan SWT memberikan balasan kepada manusia berupa kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat spiritual dan sekaligus bersifat fisikal. Menurutnya, bukankah keterpaduan kedua hal tersebut lebih sempurna dari pada hanya berupa ruhani belaka. Karenanya, kita wajib membenarkan akan kebangkitan fisik dan ruhani. Kritikan dan gugatan Al-Ghazali nampak lebih bersifat normatif dan cenderung skripturalis dari pada didasarkan pada pandangan-pandangan filosofis.

Karenanya, menjadi wajarlah bila Ibn Rusyd pun kemudian menyanggahnya–bahwa kritikan Al-Ghazali terhadap para filosof dianggap sebagai salah alamat. Menurut Ibn Rusyd, para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu–karena memang, Al-Farabi dan Ibn Sina tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah itu. Memang, Ibn Rusyd tidak sepenuhnya sepakat dan overconfidence sebagaimana pemikiran filosof Ibn Sina cs. Sebab Ibn Rusyd masih memperhatikan firman Allah yang mengatakan: Tuhan akan membalas orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, dan mereka langgeng di dalamnya. Akan tetapi yang menarik bagi Rusyd sesungguhnya adalah kelanjutan ayat tersebut yang mengatakan bahwa ‘keridhaan Allah itulah yang utama’.

Dari uraian-uraian tersebut di atas, secara tentatif dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertentangan Al-Gazali dengan para filosof–yang, kelak termasuk dengan Ibn Rusyd, adalah karena perbedaan interpetasi ijtihadi terhadap doktrin-doktrin Islam.

Sebagaiman diakuinya sendiri oleh Al-Ghazali dalam “al-Munqidz”, bahwa dirinya adalah seorang empiris-rasionalis, dimana panca indra dan rasio dianggap sebagai media untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Namun dalam pergumulannya itu, Al-Ghazali skeptis terhadap pengetahuan yang diperoleh panca indra (empiris), lalu Al-Ghazali beralih pada pengetahuan rasional (filsafat, logika). Dimana ia yakin bahwa pengetahuan rasional bisa menyakinkan dirinya.

Arkian, sehubungan dengan pengetahuan dan kebenaran empiris-rasional itu relatif, maka Al-Ghazali beralih pada kebenaran yang diajarkan tasawuf dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui ma’rifat. Inilah barangkali epistemologi tasawufnya Al-Ghazali dalam menemukan kebenaran hakiki yang sejati.

Untuk mencapai ma’rifat yang akan membawanya pada nur Ilahi dan ilm al-mukasysyafah (pencerahan, iluminasi), menurut Al-Ghazali: maka seseorang harus menempuh maqamat-maqamat (stasiun-stasiun) tertentu.

Akhirnya, Al-Ghazali dalam pergumulannya dengan berbagai macam intelektualisme saat itu, ia menempuh jalan sufi. Pilihannya yang terakhir ini sebagai upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki, ia mencoba untuk mereguk kedalaman spiritualitas sufistik secara mengagumkan. Melalui pengalaman mistisnya ini, Al-Ghazali men-sitensis-kan prinsip-prinsip filsafat dan mistis dalam sistem teologinya.

Epistimologi Ibn Rusyd berawal dari pembagian akal–akal aktif dan akal pasif. Akal aktif adalah akal yang dinamis yang mampu melahirkan konsep-konsep dan mendorong aktivitas. Sedangkan akal pasif adalah kemampuan yang bersifat operasional untuk mengaktualisasikan konsep-konsep.

Dalam epistemologi Ibn Rusyd, kedudukan akal untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sangat tinggi. Menurut keyakinannya, segala permasalahan harus bisa diselesaikan oleh akal, dus dalam persoalan ketuhanan sekalipun. Namun demikian, ia mengakui bahwa sumber kebenaran itu ada dua, yakni agama dan akal.

Karena sumber kebenaran untuk mencapai kebenaran itu sendiri ada dua, maka Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa agama dan akal atau agama dan fisafat itu bisa diketemukan.

Epistimologi Ibn Rusyd intinya adalah perpaduan agama dan filsafat. Inilah yang disebut sebagai doble-truth. Ibn Rusyd sendiri menulis sebuah makalah yang berjudul “Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah al-Ittishal”.

Memang ada beberapa tudingan yang dialamatkan kepada Al-Ghazali yang dianggap sebagai tokoh figur anti intelektualisme. Sehingga pemikiran Al-Ghazali yang sangat Asy’arian tersebut dipandang harus turut bertanggungjawab atas kemerosotan kaum muslimin di dunia. Dan ini juga mungkin diangap sebagai bias atas serangan Al-Ghazali terhadap filsafat peripatetik-nya Ibnu Sina melalui bukunya “Tahafut al-Falasifah”.

Tetapi sesungguhnya, kurang fair bila kemunduran kaum muslimin diakibatkan dari pemikirannya Al-Ghazali. Dalam magnum opus-nya “Ihya ‘Ulum al-Dien”, Al-Ghazali justru membagi ilmu menjadi dua, Syar’iyah dan ghair Syar’iyah. Ilmu Syar’iyah adalah segala sesuatu yang datang dari para Nabi yang wajib ditekuni oleh setiap muslim. Sedangkan yang ghair syar’iyah adalah segala ilmu yang bukan datang dari para Nabi. Sedangkan dari sisi sifatnya, ilmu itu ada yang terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Ilmu-ilmu yang terpuji itu termasuk ilmu kedokteran, ilmu hisab, industri (al-shana;at) dan ilmu-ilmu yang lainya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka menpelajarinya menjadi fardu kifayah, termasuk di dalamnya ilmu politik (al-siyasah).

Dan sudah barang tentu tidak ada alasan bagi kaum muslimin untuk berpandangan bahwa Al-Ghazali mempunyai andil dalam meruntuhkan kaum muslimin. Justru, kemunduran umat Islam di dunia karena mengalami kemacetan berpikir di dunia Islam–itu pun khususnya di dunia Sunni–yang memang merupakan fenomena sosiologis yang sangat kompleks. Demikian kompleksnya, hinga tuduhan orang terhadap Al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran umat, sungguh sangat tidak berdasar sama sekali.

Sedangkan Ibn Rusyd yang dipandang sebagai orang yang paling serius di kalangan pemikir Islam, dalam pengembaraannya di arena filsafat memang sangat mengagumkan. Sehinga pengaruhnya di dunia–khususnya Barat (Eropa), memang karena pikiran-pikiran Ibn Rusyd yang brilian. Hal ini diakui oleh para pengamat Barat–bahwa pengaruh Ibn Rusyd di Eropa jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Ibn Sina sekalipun. Pikirannya tidak saja terkenal sebagai penganjur pembaharuan tetapi juga dianggap sebagai ‘Bapak’ yang mengutamakan akal-filsafat secara modern.

Kami kira banyak manfaat yang kita peroleh–bahwa perdebatan dan pergumulan pemikiran dalam filsafat Islam antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd seharusnya memberi keinsyafan intelektual bagi kaum muslimin untuk selalu kritis sekaligus terbuka (inklusif). Lebih dari itu, dinamika dan kreativitas pemikiran serta intelektualitas Islam tidak boleh stagnan. Dalam hal ini, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd telah memberikan keteladanan kepada kita–dalam pengembaraan intelektual dan dialog pemikiran-pemikirannya yang tajam. Wallahu ‘alam bi al-shawab***

Asep S. Mimbar & Agus Sulthonie, adalah dosen pada Fak. Ushuluddin IAIN SGD dan aktifis pada Institute for Religious and Institutional Studies (IRIS) Bandung.

Hibriditas Filsafat Islam

Oleh Muhammad Nugroho

26/06/2006

Posisi filsafat dalam keluarga ilmu-ilmu keislaman ibarat anak pungut. Sebagai anak pungut, filsafat yang cerdas dan cenderung subversif telah ikut membesarkan keluarga, namun kehadirannya tetaplah dianggap the others (liyan). Sebagai liyan, sejumlah intelektual muslim pernah berusaha untuk mengislamkannya seperti yang dilakukan Al-Gazali dan Mulla Shadra. Sebetulnya perlukah filsafat dijinakkan untuk menjadi Islamis?

Tulisan ini tidak ingin menafikan pencapaian pemikiran filsafat yang yang dilakukan sebagian filsuf muslim, khususnya para pendukung filsafat Islam. Namun lebih karena ingin memposisikan filsafat sesuai habitatnya di tengah pengembangan filsafat Islam. Sebagian intelektual muslim hingga kini masih berjarak dengan filsafat. Indikasinya bisa dilihat dari masih kuatnya keinginan sebagian filsuf muslim untuk mengislamkan filsafat.

Kesan itu di Indonesia paling tidak bisa dibaca dari dua buku filsafat Islam yang menjadi buku teks di kampus. Pertama, Buku Saku Filsafat Islam (Mizan, 2003) karya Dr. Haidar Bagir, dosen Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies-Paramadina, Jakarta. Kedua, buku Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis karya Madjid Fakhry, Guru Besar Filsafat di Universitas Georgetown, Washington DC (Mizan). Untuk konteks buku ini, yang dimaksud adalah kata pengantar yang ditulis Musa Kazhim, anggota Dewan Redaksi “Seri Filsafat Islam Mizan”.

Buku Dr. Haidar dan pengantar Musa Kazhim menjelaskan secara umum definisi dan karakter filsafat Islam. Secara ringkas, kedua intelektual tersebut ingin mengatakan bahwa filsafat Islam benar-benar eksis dan memiliki posisi unik di peta filsafat pada umumnya. Filsafat Islam adalah filsafat profetis yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Filsafat Islam bahkan mencapai puncak pencapaiannya di tangan Mulla Shadra yang merumuskan apa yang disebut filsafat hikmah.

Pandangan kedua inteletual ini sejalan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr, cendekiawan muslim dari Iran. “Filsafat Islam disebut Islam bukan hanya lantaran pemekarannya di Dunia Islam dan di tangan orang-orang Muslim, melainkan lebih utama lantaran seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber-sumber wahyu Islam, “ kata Nasr dalam buku History of Islamic Philosophy terbitan Routledge (London, 1996) yang memang dijadikan rujukan Musa Kazhim.

Pertanyaan utamanya, tepatkah penggunaan istilah filsafat hikmah untuk padanan filsafat Islam. Kata hikmah seperti ditulis Musa Kazhim, berakar sama dengan sifat Allah Al-Hakim (Mahabijaksana), dan hukm (hukum). Hikmah merupakan perjalanan tritunggal ruh-akal-raga mendaki puncak-puncak kesempurnaan spiritual, intelektual dan ritual manusia. Itulah makna sejati philosophos sebagai perpaduan antara kebajikan aktif (philo atau cinta) dan kebijakan intelektif (sophos).

Pemakaian istilah hikmah oleh para filsuf Islam, menurut Musa Kazhim, sebenarnya untuk menegaskan posisi unik filsafat Islam. Hikmah bukan sekadar pelancongan mental yang tidak ada sangkut pautnya dengan aspek praksis kehidupan – seperti tren umum di dunia Barat sejak era Renaisans. Hikmah muncul pada era pasca Ibu Rusyd. Kata Musa Kazhim, filsafat Islam semakin menampakkan otonominya setelah wafatnya Ibnu Rusyd pada 1198 M dan berpindahnya ladang filsafat Islam dari belahan barat dunia Islam ke timur. Orang-orang seperti Surahwardi, Mulla Shadra, Sabzewari, Khomeini, Thabaththaba’i dan Muthahhari, bahkan sudah tidak lagi menggunakan istilah falsafah dalam pengertian filsafat yang umum dikenal di Barat. Dalam pengantar tulisan-tulisan selalu ada penjelasan mengenai makna falsafah yang sepadan dengan hikmah ilahiyah atau teosofi.

Menurut hemat saya, hikmah sebagai bagian dari khasanah filsafat Islam boleh-boleh saja eksis dan memang harus muncul dari pemikiran para filsuf muslim. Persoalannya, tepatkah filsafat Islam dipadankan dengan hikmah? Mengapa para filsuf muslim begitu bersemangatnya untuk memiliki istilah tersendiri untuk filsafat Islam dengan istilah hikmah? Ada kemungkinan beberapa faktor psikologis yang melatar-belakangi keinginan sebagian filsuf muslim untuk memiliki istilah sendiri hikmah untuk padanan filsafat Islam.

Pertama, untuk menepis tudingan inferioritas filsafat Islam. Seperti kata Musa Kazhim, ada kesan kuat yang berkembang di kalangan sarjana Barat – Muslim maupun bukan – bahwa filsafat Islam tidak benar-benar Islam. Filsafat Islam tidak lebih dari sekadar filsafat Yunani dalam bahasa Arab. Perannya tak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani. Tidak ada autentisitas dan keaslian di dalamnya. Bahkan, adalah mungkin filsafat Islam justru menjadi limbah yang mengotori kejernihan dan kebeningan arus peradaban. Kedua, ada semangat apologia dari sebagian filsuf Muslim yang ingin menunjuk-nunjukkan bahwa Islam memiliki filsafat sendiri yang bersumber dari wahyu al-Quran dan Sunnah. Ada latar psikologis untuk menunjukkan diri sebagai yang superior di depan filsafat-filsafat yang lain.

Para pendukung filsafat hikmah sebetulnya tak perlu mengupayakan agar hikmah dipadankan dengan filsafat Islam. Hikmah harus diakui sebagai produk genuine yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya dari al-Quran dan Sunnah. Namun posisinya dalam peta filsafat tak bisa serta merta disamakan dengan filsafat Islam. Filsafat Islam seharusnya diberi definisi yang lebih luas dari hikmah. Paling tidak, filsafat Islam harus didefinisikan sebagai filsafat yang berkembang di lingkungan umat Islam, atau dirumuskan oleh para filsuf muslim. Filsafat Islam karena itu mengakomodasi konsep filsafat sejak Al-Farabi hingga Muhammad Iqbal (India).

Kaum filsuf muslim mestinya mengakui dengan rendah hati sifat hibriditas filsafat Islam. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur untuk menjadi bagian dari dirinya. Sifat hibriditas itu fakta sejarah, karena filsafat Islam muncul berkat pengaruh berbagai peradaban yang berkembang sebelum Islam, antara lain filsafat Yunani. Jadi, filsafat sebagaimana adanya memang harus diakui sebagai anak pungut dalam keluarga keilmuan Islam.

Menyadari hibriditas filsafat Islam ini penting untuk memberikan ruang bagi filsafat, untuk bergerak bebas sesuai habitatnya. Dengan sikap begini, para filsuf muslim bisa leluasa mengeksplorasi pemikiran seliar mungkin untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia. Harus diakui bahwa panggung filsafat kontemporer dunia masih didominasi para filsuf liberal seperti Derrida, Foucault, Baudrillard dan Gilles Deleuze. Di mana peran filsuf muslim?

Para penganut filsafat hikmah tak perlu takut pada filsafat yang liar dan subversif, toh bukankah banyak jalan menuju kebenaran (perennial wisdom). Jadi, biarkan filsuf menari dan percayalah pada kalimat bijak filsuf Francis Bacon. “A little philosophy inclineth man’s mind to atheism, but depth in philosophy bringeth men’s minds about to religion.” *

Muhammad Nugroho, mahasiswa Islamic College for Advanced Studies

Filsafat Ilmu

Teori Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir “. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.

Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.

Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma’rifah).

Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.

Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata “philos” dan “shopia” yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata “philoshop” adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.

Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.

Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ?

Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, “Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan.”

Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.

Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga.

Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.

Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa’ kay).

” Cogito, ergosum “-nya Descartes.

Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah ” Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada “.

Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.

Keraguan al Ghazzali.

Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah ” Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan “.

Sumber Dana Alat Pengetahuan.

Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.

Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :

Alam tabi’at atau alam fisik

Alam Akal

Analogi ( Tamtsil)

Hati dan Ilham

  1. Alam tabi’at atau alam fisik

Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi’at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang “barangkali” paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi’at.

Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi’at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma’lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.

Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).

Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.

  1. Alam Akal

Kaum Rasionalis, selain alam tabi’at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.

Aktivitas-aktiviras Akal

Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.

Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza’. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.

Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).

Pemilahan dan Penguraian.

Penggabungan dan Penyusunan.

Kreativitas.

  1. Analogi (Tamtsil)

Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.

Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.

Analogi dibagi dua;

Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.

Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.

  1. Hati dan Ilham

Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.

Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.

Bagaimana mengetahui lewat hati ?

Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, “Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya “

Kemudian beliau melanjutkan, “Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut .” (al-Asfar al-Arba’ah jilid 7 halaman 24-25).

Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, “Sesungguhnya para ‘arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya.” (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para ‘arif halaman 363-364)

Kemudia beliau melanjutkan, “Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang ‘arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi’at.”

Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.

Islam dan Sumber-sumber Pengetahuan

Dalam teks-teks Islam -Qur’an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:

Indra dan akal

Allah swt. berfirman, “Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur “. (QS. al-Nahl: 78).

Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman, “Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi.” (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur’an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, “Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur.” (QS. al-Anbiya’: 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis.

Atau ayat lain yang berbunyi, “Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?” (QS. al-Zumar: 29)

Hati

Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon.” (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil.

Atau ayat yang berbunyi, “Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.

Syarat dan Penghalang Pengetahuan.

Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.

Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :

Konsentrasi

Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.

Akal yang sehat

Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.

Indra yang sehat

Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.

Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.

Wal hamdulillah awwalan wa akhiran.

Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah  Filsafat Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad

Belajar Filsafat di IAIN

Oleh Dr. AFIF MUHAMMAD, M.A.

FILSAFAT berasal dari bahasa Yunani philo dan sophia yang artinya ”cinta kebijaksanaan.” Dari pengertian ini saja, orang dapat memahami bahwa tujuan filsafat, pada mulanya adalah mulia. Yakni, memuat orang cinta kebijaksanaan, dan seterusnya menjadi bijaksana. Filsafat merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada rasio (akal), dan karena rasio (akal) adalah anugerah Allah, maka capaiannya kadang-kadang bisa benar. Tetapi, karena ia bukan wahyu, maka akal pun bisa keliru.

Dengan demikian, capaian filsafat ada yang baik, dan ada pula yang buruk. Yang baik, misalnya, ketika Thales mengatakan bahwa segala sesuatu ini berasal dari air, jauh mendahului Alquran. Thales mengatakannya sekira abad ke-6 SM, sedangkan Alquran mengemukakannya pada abad ke-6 SM. Herakleitos mengatakan bahwa, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berubah dan terus mengalir bagaikan sungai (panta rei), dan Alquran mengatakan bahwa alam semesta ini fana. Fana adalah lawan dari baqa, dan jika baqa berarti kekal (tidak berubah, abadi), maka fana berarti tidak kekal, alias rusak. Lalu, ketika Plato menegaskan adanya alam idea, maka pandangannya ini dapat mendukung teori tentang wahyu.

Di dalam contoh-contoh di atas kita menemukan bahwa, pada kali-kali tertentu apa yang dicapai filsafat dibenarkan oleh wahyu (agama), dan ada kesesuaian antara keduanya. Tetapi, pada kali lain, banyak pula ajaran-ajaran filsafat yang bertentangan dengan wahyu (agama). Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lain, produk filsafat tidak semuanya baik, tetapi ada yang buruk. Sisi buruknya bisa sangat berbahaya. Sebab filsafat berbicara tentang berbagai persoalan penting, antara lain tentang manusia, agama, dan Tuhan. Liberalisame, ateisme, Marxisme, komunisme, adalah sekadar beberapa contoh produk filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, beberapa pemikiran filsafat memang dapat membahayakan akidah, khususnya akidah orang awam. Karena itu mereka harus dilindungi.

Ada dua macam cara untuk melindungi akidah dari ancaman filsafat. Pertama, mengharamkan filsafat dan melarang peredaran buku-bukunya, seperti yang dilakukan Arab Saudi. Cara ini memang sangat efektif, tetapi mengandung risiko besar. Dengan pelarangan seperti itu, masyarakat atau umat akan semakin tidak mengerti filsafat. Padahal di Indonesia filsafat tidak dilarang, dan buku-bukunya diedarkan secara luas. Jika masyarakat tidak mengerti filsafat, mereka bisa-bisa termakan filsafat tanpa mereka sadari.

Cara kedua adalah mempelajari filsafat secara kritis untuk menemukan titik-titik kesalahannya, lalu menjelaskannya kepada umat. Misalnya, apa itu komunisme dan apa pula bahayanya. Di situ, tidak bisa tidak seseorang harus mempelajari filsafat terlebih dulu, dan harus pula memiliki landasan akidah yang kuat. Ketika Imam Al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah menyerang filsafat, mereka berdua menunjukkan penguasaannya yang sangat kuat tentang filsafat yang ditentangnya. Tujuan seperti itulah yang dimiliki oleh Jurusan Aqidah dan Filsafat (bukan Aqidah-Filsafat) ketika ia didirikan. Di jurusan ini akidah dipelajari secara mendalam sebagai landasan yang dengan itu persoalan-persoalan filsafat dikritisi secara mendalam.

Jurusan Aqidah dan Filsafat di IAIN Bandung berdiri pada tahun 1989, dan sayalah ketua jurusan pertamanya. Begitu saya ditunjuk menjadi ketua jurusan, saya segera sadar bahwa jurusan ini adalah jurusan ”keras.” Karena itu harus diambil langkah-langkah yang dapat mengawal para mahasiswa agar tidak mengarah pada hal-hal yang membahayakan. Sebab para mahasiswa, sesuai tingkat perkembangan jiwa dan intelektualnya, adalah manusia-manusia yang serbaingin tahu. Secara kebetulan atau tidak, di Jurusan Aqidah dan Filsafat diajarkan ilmu-ilmu yang, untuk para mahasiswa semester-semester awal, pasti terbilang baru, bahkan tidak ditemukan di jurusan-jurusan lain. Akibatnya, ketika mereka memperoleh pengetahuan seperti itu, mereka cenderung ingin memamerkannya kepada orang lain, sehingga keluarlah ungkapan-ungkapan yang bagi orang lain mungkin terdengar aneh. ”Tuhan telah Mati,” kata Nietzsche, dan ”religion is the opium of the people,” kata Marx. Bayangkan, bagaimana menyengatnya ucapan-ucapan seperti itu. Lantas, tidakkah hal seperti itu harus dihadapi, dijelaskan, dan dikritisi?

Sebenarnya, ”Tuhan telah mati” dan ”religion is the opium of the people,” adalah semangat kritis yang dilancarkan para filosof Barat terhadap cara pemahaman dan pengamalan ajaran Katolik di kalangan kaum borjuis yang dipandang menindas kemanusiaan. Tetapi ia bisa pula tertuju pada semua agama, sepanjang pemahaman dan pengamalan agama-agama tersebut menunjukkan fenomena serupa. Misalnya, korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Muslim, dan kemewahan yang diperlihatkan para pemimpin agama, sementara sebagian besar umatnya berada dalam kondisi miskin.

Bagi mahasiswa semester-semester awal, tema-tema seperti itu merupakan hal-hal baru yang pasti tidak dipelajari oleh mahasiswa jurusan lain, apalagi mahasiswa yang baru memasuki masa ta`aruf. Lantas, para seniornya menjadi ingin memamerkan ilmu barunya dengan mengatakan, ”Tuhan telah mati,” misalnya.

Perlu diketahui bahwa IAIN Bandung, sebagaimana IAIN-IAIN lainnya, dewasa ini sangat membuka diri terhadap lulusan sekolah menengah umum yang secara faktual kurang memiliki landasan keilmuan Islam yang kokoh. Ketika mereka kemudian belajar filsafat, maka semangat kritis mereka tidak didasarkan pada landasan akidah yang kuat. Akibatnya segera bisa ditebak, yang muncul adalah sikap arogan dan sembrono, semata-mata karena ingin pamer ilmu.

Sebenarnya hal semacam itu tidak perlu terjadi. Sebab, Jurusan Aqidah dan Filsafat tidak hanya mengajarkan filsafat Barat yang sebagiannya bertentangan dengan ajaran Islam. Dari judul jurusannya saja, kita sudah dapat menangkap isyarat jelas bahwa jurusan ini mengajarkan akidah Islam, bahkan juga tasawuf dalam porsi yang cukup besar. Pada saat saya menjadi ketua jurusan, yang mengajarkan filsafat adalah dosen-dosen yang sangat ahli dalam bidangnya, misalnya Prof. Ahmad Tafsir dan Prof. Juhaya S. Praja. Saya yakin betul bahwa kedua dosen ini dapat mengajarkan filsafat Barat dengan sangat baik, sehingga para mahasiswa memperoleh pengetahuan dan bekal yang cukup. Untuk landasan akidahnya, diajarkan teologi Islam. Teologi Islam lazimnya diajarkan dengan pendekatan aliran-aliran: Asy`ariah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Salafiah, Syi`ah, dan lain-lain, yang juga menggunakan pendekatan filosofis.

Sadar akan ”keras”-nya filsafat yang diajarkan di Jurusan Aqidah dan Filsafat, maka saat itu saya berusaha ”mengawal” secara ketat pelajaran Ilmu Kalam ini. Sebab, jika filsafat diajarkan oleh para doktor, maka Ilmu Kalam pun harus diajarkan oleh dosen yang benar-benar menguasai bidangnya. Karena itu, di samping saya sendiri yang mengajar, saya juga menempatkan dosen-dosen senior untuk ikut mengawal. Dengan demikian, filsafat Barat bergerak seimbang dengan akidah yang diajarkan lewat Ilmu Kalam.

Akan tetapi kondisi seperti itu jelas tidak akan pernah berjalan stabil dan mapan. Sebab, tak lama sesudah itu saya dialihtugaskan menjadi Ketua Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada saat yang sama para doktor yang saya sebut di atas mendapat tugas-tugas baru, dan meninggalkan jurusan Aqidah dan Filsafat. Lantas, terjadilah kepincangan seperti yang dikemukakan saudara Solatun: filsafat Barat didorong lebih kencang dan pengajaran akidah kurang dapat mengimbanginya (”PR”, Rabu/13 Oktober).

Dengan tuturan di atas, saya bukan bermaksud mencuci tangan dengan menimpakan kesalahan kepada para dosen muda sesudah kami, tetapi sekadar mengingatkan bahwa keseimbangan seperti itu harus selalu dipertahankan. Dalam suatu diskusi malam hari yang pernah diadakan oleh para mahasiswa Aqidah dan Filsafat saya diundang untuk membedah pemikiran Nietzsche. Itu waktu saya bertanya kepada para mahasiswa, ”Mengapa Anda lebih tertarik pada Nietzsche dan tidak pada Iqbal atau Ghazali?” Terus terang mereka tidak menjawab, dan saya merasa sangat prihatin ketika menangkap kesan bahwa mereka memang belum belajar Iqbal dan Al-Ghazali.

Saya juga harus mengatakan bahwa, sampai saat ini saya masih mengajar filsafat Barat, khususnya di Program Pascasarjana. Setiap awal semester, saya selalu memulai perkuliahan filsafat dengan menjelaskan manfaat dan madharat belajar filsafat, dan di akhir semester para mahasiswa saya tanya, ”Apakah dengan belajar filsafat seperti yang sudah kita jalani satu semester ini iman Anda menjadi goyah?” Para mahasiswa saya menjawab, ”Tidak, bahkan semakin menambah keimanan kami”.

Akan tetapi, secara jujur saya harus mengakui bahwa, kasus yang belakangan ini melanda jurusan Aqidah dan Filsafat adalah akibat kelalaian kami, termasuk saya sendiri. Faktor-faktornya tidak hanya pada keseimbangan itu sendiri, tetapi pada metode dan isi pengajaran akidah Islam. Hingga pertemuan di Lembang yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu dalam rangka merekonstuksi pembidangan ilmu keislaman, saya kembali mengemukakan keluhan saya tentang perlunya memberi tambahan sks untuk mata kuliah tauhid dan akhlak. Tetapi hingga saat ini harapan saya itu ibarat teriakan di padang pasir. Karena itu, kiranya sudah tiba waktunya bagi Jurusan Aqidah dan Filsafat, bahkan semua jurusan di IAIN untuk memberi bobot yang lebih besar pada kedua mata kuliah tadi (akidah dan filsafat).

Terlepas dari itu semua, teriakan ”Anjing hu Akbar” saya yakin hanya mungkin diucapkan oleh seorang mahasiswa dungu yang sok pamer, dan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Jurusan Aqidah dan Filsafat, apalagi dengan IAIN Bandung. Tidak ada mata kuliah apa pun di IAIN Bandung, tak terkecuali di Jurusan Aqidah dan Filsafat, yang mengajarkan hal seperti itu. Dengan demikian, mahasiswa yang meneriakkan ucapan itu harus ditindak tegas. Rektor dan dekan tidak perlu ragu-ragu melakukannya. Tentu saja sesudah dia diminta klarifikasinya. Akan tetapi, kesimpulan yang mengatakan bahwa IAIN mengajarkan dan menyebarkan paham ateis, komunis, sinkretisme, dan bahwasanya di IAIN Bandung paham itu tumbuh dengan subur, adalah suatu kesimpulan gegabah. Dan, jika benar kesimpulan itu sudah disebarluaskan ke masyarakat, maka ia harus dipertanggungjawabkan.

Artinya, sudahkah kesimpulan seperti itu didasarkan atas penelitian yang cukup bisa dipercaya, atau —setidak-tidaknya— didukung oleh fakta yang akurat? Apakah dengan adanya ucapan ”Anjing hu Akbar” yang diteriakkan oleh salah seorang mahasiswa, lantas bisa disimpulkan bahwa IAIN, khususnya Jurusan Aqidah dan Filsafat, menyebarkan ajaran ateis, komunis, dan anti-Tuhan? Kalau ya, tidakkah seseorang juga bisa mengatakan bahwa, ketika ada dua orang mahasiswa dan mahasiswi Itenas dan Unpad melakukan hubungan seks bebas yang direkam dan kemudian disebarluaskan dalam bentuk vcd, berarti Itenas dan Unpad mengajarkan dan menyebarkan seks bebas? Tentu saja tidak. Sebab, itu hanyalah ulah seorang oknum mahasiswa, dan kita tidak perlu terjebak dalam hujat-menghujat seperti itu.

Masih banyak mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat yang baik-baik, di antaranya empat orang mahasiswa dari sekira 30 orang mahasiswa yang diterima di Program Takhassus, suatu jumlah yang terbilang banyak dibanding wakil dari jurusan-jurusan lain di IAIN. Program Takhassus adalah prgram yang dirancang IAIN untuk mempersiapkan kader-kader ulama. Di program ini diajarkan Qira`ah, Ulum Alquran, Ulum Alhadits, tafsir dan ilmu-ilmu keislaman lainnya secara mendalam. Salah satu syarat untuk bisa diterima di program ini adalah mampu membaca kitab gundul. Jangan lupa pula bahwa para lulusan jurusan ini juga ada yang jadi kiai pesantren, dosen pendidikan agama yang baik di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, wakil bupati, dai yang andal, dan aktivis-aktivis LSM.

Lalu, jika penyebaran vcd Bandung Lautan Asmara beberapa waktu yang lalu dianggap sebagai tindak kejahatan, maka dari segi hukum penyebaran vcd kasus ta`aruf mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat juga dapat dikategorikan dalam kejahatan serupa. Karena itu, sebagaimana halnya dengan mahasiswa yang mengucapkan kalimat munkar itu, oknum yang menyebarkannya juga mesti dimintai pertanggungjawaban, dan harus ditindak secara tegas.

Akhirnya, perlu juga saya kemukakan bahwa, jangan kata menyebarkan paham ateis, komunis, dan sinkretis, yang dilakukan oleh IAIN dan para mahasiswanya adalah menyebarkan Islam ke segenap penjuru.

Cobalah Anda berjalan-jalan suatu sore, lalu mampirlah ke setiap masjid besar dan kecil yang tersebar dari Cileunyi hingga Cimahi, lalu tanyalah pengurus masjidnya tentang siapa yang jadi ”kuncen” masjid itu, dan siapa pula yang menjadi guru di TPA-TPA yang diselenggarakan di masjid-masjid itu, saya jamin Anda akan mendapat jawaban bahwa sebagian besar dari mereka adalah anak-anak IAIN.

Saya juga harus menginformasikan kepada pembaca bahwa, dulu Cipadung adalah daerah ”basis merah”. Kecuali masjid IAIN (dulu Diklat milik Depag), boleh dikata tidak ada masjid di daerah ini. Sekarang, setiap RW mempunyai masjid, bahkan ada yang sampai dua atau tiga.

Dengan bukti seperti ini, dapatkah IAIN disebut sebagai menyebarkan paham ateis? Karena itu, sebaiknya FUUI lebih dulu datang ke IAIN untuk melihat dari dekat apa yang sebenarnya ada di perguruan tinggi Islam ini, dan karena itu pula, saya sangat gembira ketika mendengar bahwa pihak rektor bermaksud mengundang FUUI dan para tokoh Islam untuk berdialog di IAIN.

Saudara Rizal Fadhilah yang menurut pengakuannya juga menyayangi IAIN menyambut gembira rencara dialog itu, dan bahkan sudah menyatakan kesediaannya untuk datang. Nah, daripada kita saling menghujat, lebih baik tabayyun dan dialog yang dapat memberi masukan kepada IAIN dalam memperbaiki dirinya dalam menyongsong tantangan yang semakin berat. Wallahu A`lam bish Shawab.***

Penulis, dosen dan mantan Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat, IAIN Bandung. Kini Asdir Bidang Akademik Prog. Pascasarjana IAIN Bandung.

Filsafat

Dari Wikiquote Indonesia, sumber kutipan bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: panduan arah, cari

Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941, karya yang ditulis di masa pembuangan politik di Banda Neira oleh kolonialis Belanda.

Filosofi berguna untuk penerangkan pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu. Dalam pergaulan hidup, yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan hidup sehari-hari–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Apa sebenarnya yang disebut filosofi, lebih baik jangan dipersoalkan pada permulaan menempuhnya. Akan hilang jalan nanti karena banyak ragam dan paham. Tiap-tiap ahli berlainan pendapatnya tentang apa yang dikatakan filosofi. Tiap-tiap filosofpun lain-lain pula tujuannya–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Filosofi orang sebut juga berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Filosofi meninjau dengan pertanyaan apa itu, dari mana dan ke mana. Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat dari pada sesuatu masalah–seperti yang diselidiki oleh ilmu–, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana jadinya dan ke mana tujuannya–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Filosofi memandang alam sebagai satu soal yang bulat. Ia mencari pengetahuan yang selesai tentang alam dan penghidupan. Itulah yang dicarinya senantiasa dengan tak pernah sampai ke penghabisannya–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Filosofi mencukil soalnya lebih dalam. Ia tidak puas menilik sesuatunya dari jurusan sebagaimana adanya. Sering ia bertanya, apakah barang yang lahir itu barang yang sebenarnya ataukah hanya bayangan daripada suatu pokok atau sifat yang lebih dalam letaknya?–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Ada masanya yang filosofi hampir bertaut dengan agama, sebagai pada permulaan tarikh Masehi dan di masa Zaman Tengah. Dalam Zaman Tengah filosofi kedudukannya hanya sebagai anggota akal untuk menyuluhi kebenaran yang lebih sempurna, yang didapat sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan–Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1941.

Filsafat itu memberi ketenangan pikiran dan kemantapan hati, meski sekalipun menghadapi maut–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Pekerjaan berfilsafat itu ialah berpikir. Hanya makhluk manusia yang telah tiba di tingkat berpikir, yang berfilsafat–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Berfilsafat ialah berpikir dengan insaf. Yang dimaksud dengan berpikir dengan insaf ialah berpikir dengan teliti, menurut suatu aturan yang pasti–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Ilmu-ilmu yang lain itu mewatasi yang diperiksanya dan dipikirkannya pada suatu bahagian dari alam, atau pada suatu kumpulan peristiwa, filsafat menyelidiki dan memikirkan seluruh alam, seluruh kenyataan–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Berfilsafat itu menghendaki berpikir dan menyelidiki yang bebas, yaitu yang bukan saja tidak terikat kepada sesuatu ilmu, tetapi juga tidak terikat kepada sesuatu kepercayaan dari semula, suatu dogma dll. Baginya tidak ada yang suci, tidak ada yang pantang, segalanya dibawanya ke gelanggang pikiran dan penyelidikan–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Dalam tujuannya yang tunggal, yaitu kebenaran, yang tak dapat dimadui itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain–Sutan Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika 1947.

Jika aliran filsafat dalam perkembangannya tumbuh menjadi ideologi sedemikian rupa, ia akan kehilangan ciri khasnya sebagai filsafat, yaitu keterbukaan serta kebebasan berpikir; keterbukaan untuk diuji lebih lanjut. Dengan hilangnya ciri khas tersebut, maka filsafat akan beku sebagai alam pikiran–Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme 1973.

Tidak seorang filsuf pun pernah menganggap dirinya mampu menyatakan ‘kata akhir’–Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme 1973.

Filsafat menunjukkan arah, ilmu menjalani arah itu. Dengan meminjam istilah militer, filsafat menentukan strategi dan ilmu melaksanakan taktik–Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

Di mana filsafat berakhir, di situ ilmu dimulai.–Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

Apabila ilmu dan teknik bergerak, tanpa filsafat memberikan haluannya, maka kedua itu tidak tentu arah.–Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

Kalau menghadapi masalah-masalah yang tidak tertampung oleh ilmu tidak dibantu oleh filsafat, orang akan jatuh kepada dongeng dan khayalan.–Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

Diperoleh dari “http://id.wikiquote.org/wiki/Filsafat”

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian ‘Filsafat Timur’ atau ‘Filsafat Barat’), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia (1967).

Disusun menurut kronologi

Sebagai hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam kenyataan terdapat bermatjam-matjam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula –M.Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.

Pantja Sila ini adalah pantjaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnja –M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.

Saja jakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami nenek mojang Indonesia membatja, jaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan jang terdapat pada alam itu. Nenek mojang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu mentjiptakan adat itu dan adat itulah jang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnja–M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.

Untuk mengetahui dan menjelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menjelidiki adat dan pantun Indonesia–M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.

Kehidupan desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof, melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke angkatan.–Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.

Bahasa Indonesia tepat sekali memakai perkataan budi sebagai dasar daripada budidaya atau kebudayaan. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris; disana tidak ada perhubungan antara mind dengan culture atau civilization, sehingga dilihat dari suatu jurusan ilmu kebudayaan, yang dalam bahasa Inggris sering disebut ilmu sosial, pada hakekatnya kacau. Dalam bahasa Jerman ada suatu kesadaran, bahwa pengertian Geist yang sama dengan mind atau budi itu, rapat berhubungan dengan pengertian kultur; die Geisteswissenschaften boleh disamakan dengan die Kulturwissenschaften–Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari jurusan Nilai-Nilai 1977.

Bagi bangsa Indonesia pandangan hidu itu dapat dipelajari dari khazanah adat, istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah–R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.

Hasil real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah –R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.

Bangsa Jawa menambahkan tokoh-tokoh dari kebudayaannya sendiri kepada tokoh-tokoh Mahabharata dalam bentuk Semar, Gareng, Petruk, Bagong –Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.

Tiba di sini, tibalah kita pada soal local genius, yaitu keistimewaan bakat dan pembawaan kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara atau Bumantara, yaitu kuatnya tenaga kekreatifan estetik yang sejalan dengan kecakapan menerima dan mensintesis konsep dan pemikiran dari kebudayaan lain dalam suatu integrasi struktur dan penjelmaan bentuk baru yang seimbang dan agung –Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.

Siapa yang pernah melihat tari Ramayana Thailand, Jawa atau Bali dan pernah juga melihat tari Ramayana India, akan sadar bahwa ketiga kebudayaan yang pertama itu telah membuat seni tari dan drama yang besar dari cerita suci India Ramayana yang indahnya jauh mengatasi tari dan drama Ramayana India –Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.

Shiwa memberikan tarinya kepada Indonesia dan meninggalkan abunya di India –Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.

Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkretisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa menimbulkan banyak konflik dalam jiwa dan diri kita –Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.

Sambil kita mendoa minta rakhmat dan minta perlindungan Allah, kita juga pergi ke kuburan nenek moyang kita untuk minta tolong dan bantuan. Kita cari tuyul supaya menolong kita cepat kaya, atau minta bantuan ke Gunung Kawi untuk hal yang sama –Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.

Pada akhirnya kita harus menjadi diri kita sendiri. Sebab yang lain itu tak mungkin menerimanya sebagai bagian dari diri mereka. Engkau bukan bagian dari diri kami. Engkau berbeda dengan kami. Barangkali Engkau memang hidup seperti kami hidup, tetapi jelas bahwa engkau tidak tumbuh dari akar kami. Engkau beda. Engkau bukan kami. Lantas, ke mana kita akan menggabung? Pulang ke ibu. Pulang pada nilai-nilai Jawa, Batak, Sunda, Bugis, karena ibunda kita memang ada di sana. Setiap Malin Kundang itu akan menjadi batu –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi siapakah dia itu? Kita lebih mengenal pikiran-pikiran Gramsci daripada Tan Malaka, pemikiran Fromm daripada Ki Hadjar Dewantoro–Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Berpikirlah dari bawah, dari kenyataan budaya kita yang konkrit ini. Jangan terlalu banyak membaca buku dan menyimak berita berbahasa Inggris. Bacalah rakyat. Kita hidup di bumi kontekstual bernama kepulauan Nusantara –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Tetapi, kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini, mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat lokal itu? –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Kita lupa bahwa budaya pendidikan negara-negara maju ini bertolak dari kebudayaan mereka sendiri. Apa yang mereka ajarkan adalah pencapaian-pencapaian budaya nenek moyang mereka. Pendidikan negara-negara maju ini, dilihat secara budaya, merupakan garis lurus perjalanan cara berpikir, cara berbuat dan semua produk kegiatan itu. Sementara kita mempunyai garis sejarah budaya yang berbeda –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Masyarakat Indonesia itu memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Bagi masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai ‘pegangan hidup’ sejak dulu dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui ‘filsafat’ orang Indonesia, kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika) –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Orang Papua menjalankan filsafat Papua, orang Jawa menjalankan filsafat Jawanya, orang Sunda, orang Minang, orang Bugis, orang Melayu, orang Dayak, masing-masing menjalankan filsafatnya. Bahwa mereka memang demikian, terlihat dari caranya membangun rumah adat mereka yang berbeda-beda, dalam menganyam ragam hias pakaian mereka, dalam melukiskan simbol-simbol mereka, dalam jargon-jargon hidup kesukuan mereka, semuanya berbeda-beda –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Mengapa sikap politik Bung Karno berbeda dengan Bung Syahrir, Bung Hatta dan Tan Malaka? Tidak adakah pola pikir pra modern dibelakangnya? Mengapa Habibie berbeda dengan Gus Dur? Mengapa sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX semacam itu dalam sejarah RI? Semua itu dapat dijelaskan dari pola pikir struktural masyarakat lokal yang membesarkan mereka –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Lantas nenek moyang kita dulu itu kerjanya apa? Mencangkul melulu? Yang jelas, bangsa apa pun, memiliki tradisi pemikiran mereka sendiri. Orang Aborigin saja punya –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

Meskipun pada usia sepuluh tahun saya dibawa ke desanya Foucault, tetap saja Klaten saya bawa-bawa. Dan orang sana juga tahu (meskipun bahasa Perancis saya cas cis cus) saya tetap orang udik pedalaman Jawa –Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.

C A B A N G

Epistemologi, membicarakan tentang kebenaran.

Filsafat Biologi, membicarakan tentang hidup.

Filsafat Psikologi, membicarakan tentang jiwa.

Filsafat Antropologi, membicarakan tentang manusia.

Filsafat Sosiologi, membicarakan tentang masyarakat dan negara.

Etika, membicarakan tentang baik dan buruk.

Estetika, membicarakan tentang indah.

Filsafat Agama, membicarakan tentang agama.

Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981), membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang masih dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, sebagai berikut:

 

Filsafat tentang pengetahuan:

Epistemologi

Logika

Kritik ilmu-ilmu

Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:

 

Metafisika umum atau, ontologi

Metafisika khusus, terdiri dari:

 

Teologi metafisik (disebut juga “teodise” dan “filsafat ketuhanan”

Antropologi

Kosmologi disebut juga “filsafat alam

Filsafat tentang tindakan:

 

Etika disebut juga “filsafat moral”

Estetika disebut juga “filsafat seni”, “filsafat keindahan

Sejarah filsafat

Berikut ini penjelasan masing-masing secara lebih dalamnya:

Epistemologi, merupakan “pengetahuan tentang pengetahuan”. Suatu studi tentang asal usul, hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa pertanyaan yang mungkin diajukan dalam espistemologi adalah: Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan? Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal penting yang tidak dapat dijawab oleh sains (ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui pikiran perasaan orang lain?

Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir kita sehat. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan antara argumen yang masuk akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta tentang berbagai bentuk argumentasi. Contohnya: apa perbedaan antara pemikiran induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi “Semua anjing adalah kucing. Sokrates adalah anjing. Maka, Sokrates adalah kucing” dianggap valid? Apa pebedaan antara logika penjelasan ilmiah dan logika pertimbangan moral?

Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal, metode, objek dari ilmu-ilmu (“filsafat ilmu”). Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas ilmu pengetahuan. Adakah satu metode yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah perbedaan antara sebuah teori dan sebuah hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan manusia selaras dengan ilmu pengetahuan?  Berikutnya…

TERMINOLOGI SEJARAH I SEJARAH II  C A B A N G ALIRAN

Upaya Mempertegas Fungsi Sosial Filsafat dalam Masyarakat Pluralistik

Judul buku: Filsafat yang Berkesudahan, Pengarang : Jo Verhaar SJ, Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 1999, Tebal: 109 halaman.

FILSAFAT bertujuan pada usaha intelektual untuk “mencintai kebijaksanaan”. Maka seorang filsuf idealnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Para filsuf menggunakan kekayaan intelektualnya dalam keragaman metode agar setiap orang pada tingkat tertinggi daya pikir mencintai

hal yang sama, yakni cinta akan

kebijaksanaan.

Itulah sebabnya sepanjang sejarah filsafat, muncul berbagai metode yang dikembangkan oleh para filsuf tertentu. Mereka berupaya menyusun sebuah metode guna memperoleh pengakuan universal di samping untuk mempertanggungjawabkan dan mempertahankan kekayaan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu.

Seiring dengan perkembangan zaman, filsafat sebagai disiplin ilmu yang dinamis juga terus mengarahkan manusia untuk selalu “mencintai kebijaksanaan”. Hal ini tercermin dalam aliran pemikiran penganut postmodernisme yang berpandangan bahwa dunia bukanlah totalitas benda, tetapi makna. Semuanya adalah makna; makna adalah segalanya. Apa pun sesuatu itu, ditentukan oleh maknanya.

Klemens, seorang filsuf asal Alexandria menyatakan bahwa filsafat bertugas mencari kebenaran. Dan kendati menurut Ernest Geher bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sukar dipahami, multi bentuk, batiniah, subyektif, tetapi bagi seorang filsuf sejati, kesulitan demi kesulitan justru menjadi medan tantangan untuk mencapai kebenaran hakiki.

Di tengah masyarakat pluralistis dan perubahan zaman yang begitu cepat dengan segala tawaran dan perkembangan baru yang membentuk dan menentang masyarakat manusia, kiranya para filsuf perlu bekerja keras untuk mempertegas jatidiri dalam fungsi sosialnya.

Buku Filsafat yang Berkesudahan ini merupakan kumpulan karangan yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk diskusi ataupun perdebatan tentang apa sebaiknya fungsi sosial filsafat dalam masyarakat pluralistis, dan khususnya perdebatan tentang purnamodernisme.

Esai yang pertama adalah semacam “latihan” untuk mendekatkan dua bidang yang umum dianggap berbeda dalam kerangka pikiran “modern”, yakni filsafat dan kesusastraan, karena dalam perspektif purnamodern kedua bidang itu harus dijadikan satu.

Pikiran itu dapat berupa mimpi yang diceriterakan atau dapat berarti menyangkut impian. Struktur pembingkaiannya: A bercerita kepada B suatu cerita C dan D, sedemikian rupa sehingga C mengisahkan suatu cerita kepada D, tentang E dan F, dan dalam cerita baru itu E menceritakan kepada F tentang G dan H, seterusnya demikian. Ada (katakanlah) induk kisah, anak kisah, cucu kisah, cicit kisah, dan seterusnya. Pada tahap “cucu”, pendengar sudah tidak dapat memproses informasi itu lagi dan mulai mengalami suatu keadaan “trans” (hal. 13).

Demikianlah filsafat berperan naratif yang menceriterakan tentang: kisah orang “Lain”, tentang pengisah, menghasilkan kisah baru tentang pengisah oleh pengisah, yang kini dapat membebaskan diri dari si Lain sebagai penguasa, dan menemukan yang lain sebagai teman, sebagai pelengkap, sebagai perspektif dan sebagai harapan.

Karangan kedua menjelaskan purnamodernisme tanpa komplikasi sistematis. Perspektif purnamodernisme menyatakan bahwa pengetahuan dilihat sebagai keseluruhan dari apa yang kita ketahui. Identitas manusia dapat dilambangkan dengan banyak cara; interioritas manusia dapat dipahami sebagai pengaruh ke-efektif-an dan emosionalan dalam salah satu “pusat” yang dianggap tidak selalu harus atau tidak dapat menjadi kentara secara lahiriah. Pencapaian kepastian lahir dari keinginan untuk mengatasi skeptisme (hal. 21).

Karangan ketiga secara aklusif menyajikan tema purnamodern. Sebelum abad ke-17 “rasio” dianggap suatu keluhuran yang membedakan manusia dari binatang, kemudian rasio itu mulailah dianggap sebagai keluhuran eliter yang membedakan kaum ahli “idiologi”, kaum “idiologi” dari rakyat kecil yang dianggap begitu bodoh, berbahaya dan tanpa moralitas.

Salah satu akibat dari perkembangan tersebut adalah: pemerintahlah yang rasional, dan tentunya secara istimewa kaum “filosofi”, sedangkan yang lain tidak tidak rasional. Maka dari itu, bayangan zaman “Pencerahan” tentang pemerintah adalah: “memerintah” itu sama dengan “mengajar”.

Dalam zaman “Pencerahan” itu, Pemerintahlah yang bijaksana, yang lain bodoh; yang tahu kebenaran adalah pemerintah sedangkan warga negara adalah golongan yang perlu ditolong untuk mengetahui kebenaran. Tidak mengherankan, seluruh pendidikan hanya dianggap “aman” bila di tangan pemerintah (hal. 42).

Pada zaman “modern”, rasio manusia adalah alat untuk berkuasa. Demokrasi terus berkembang, dan pemerintah tidak sama lagi dengan “mengajar”. Maka dewasa ini dalam banyak negara yang paling demokratis pun campur tangan pemerintah dalam hal sistem sekolah tetap kuat. Sebagian karena penentuan konstitusional dan sebagian lagi karena suatu tradisi yang lama, tradisi yang memandang pegawai sebagai orang yang menarik perhatian.

Juga dalam politik “pendidikan”, terjadi sentralistis birokratis dan kehomogenitas pengurusan pendidikan. Hal-hal seperti itu dapat dimengerti hanya dalam bayangan pemerintah yang menafsirkan pemerintah sebagai suatu sumber pengertian dan kebijaksanaan (hal. 44).

Jadi, dalam masa Pencerahan “rasio” menjadi lambang pengetahuan, sumber kepastian, dasar kekuasaan (dewasa ini disebut “pengetahuan instrumental” yaitu pengetahuan sebagai alat kekuasaan). Sebelum abad ke-18 rasio dimengerti sebagai sesuatu yang membedakan manusia (yang ber-rasio) dari binatang (yang tidak ber-rasio). Maka pada zaman Pencerahan, rasio itu membedakan orang yang berkuasa dari rakyat kecil yang miskin dan yang dianggap bodoh, tak terpercayai, penuh takhyul, tanpa keseimbangan, dan tidak bermoral.

Karangan keempat mengetengahkan apa yang menjadi sifat purnamonernisme. Tugas filsafat bukannya untuk menjadi pengganti teologi atau iman. Bahkan di luar iman dan teologi, filsafat bukan suatu sumber kebenaran agung berdasarkan usaha filosofis itu sendiri.

Dulu masyarakat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin agama. Perspektif ini lalu disekularisasi, sehingga filsuflah yang dianggap pantas memimpin (ingat bayangan filsuf sebagai raja pada Plato). Kini sedang menjadi makin jelas bahwa filsuf pun tidak terpanggil untuk memimpin berdasarkan identitas profesionalnya sebagai filsuf.

Sebaliknyalah, kini filsuf sudah menjadi bukan orang yang berwibawa, melainkan ahli penafsir-semacam “fasilitator” dialog dalam masyarakat pluralistis-penengah antarwacana, dan pemecah soal-soal kontradiksi yang menjadi sasaran tugas “dekonstruksi”.

Tidak mengherankan, dewasa ini filsafat mulai diidentifikasi dengan sastra. Filsuf dan sastrawan, apa bedanya? Semakin lama semakin tampak, bagi semakin banyak orang, bahwa kiranya tak ada perbedaan hakiki antara sastra dan filsafat dan antara sastrawan dengan filsuf.

Tentunya, selamanya akan ada filsafat, dan seorang filsuf selalu dapat menemukan identitasnya di bidang itu. Bukan filsafat gaya Plato, yakni filsafat sebagai “kebijaksanaan” (dan bukan pertama-tama sebagai “pengetahuan”); bukan pulalah filsafat yang lebih realistis dan mengaku mencari pengetahuan, karena pengetahuan filosofis tetap mengandaikan adanya sumber pengetahuan yang bertransendensi terhadap hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan; bukan juga filsafat sebagai “agregat” hasil-hasil ilmu pengetahuan, seperti dalam positivisme; melainkan filsafat penafsir, pendamai, penemu cara yang dapat diterima oleh semua pihak.

Orientasi macam itu akan juga mengubah fungsi sosial filsafat. Ia bukan metafisika yang berupa teologi yang disekularisasi; jadi bukan semacam “imamat” sekular, seperti halnya sebelum Descartes. Bukan juga metafisika yang mengabdikan diri kepada negara, dalam usaha menentukan apa yang paling baik untuk orang lain tanpa orang lain itu dimintai pendapat tentang nasibnya sendiri. Akhirnya bukan pula filsafat akademis yang menuntut akreditasi melalui gelar-gelar akademis, sehingga sang filsuf dapat berbicara terus kepada orang yang terpaksa diam saja (hal. 69).

Buku ini ditutup dengan suatu karangan tentang berbagai aliran mutakhir di bidang purnamodernisme, dengan memperhatikan pula dimensi historis aliran tersebut, yakni karangan yang berjudul Antihumanisme, Dekonstruksi, dan Fragmentasi Identitas.

Mereka yang ingin memperdalam pengetahuan tentang purnamodernisme dapat menemukan elemen-elemen yang relevan dalam buku ini. Akan tetapi, bagi yang ingin melengkapi pengetahuan filsafatnya ataupun bahkan yang mulai belajar filsafat, buku ini juga banyak menambah pengetahuan. Apalagi bagi para mahasiswa.

(P Efrem Zuba, CssR, pemerhati masalah sosial, pastor pada Sanggar Misi Umat Redemptoris Elopada, Sumba Barat, NTT )

Ajaran & Filsafat

Ajaran & Filsafat Tao secara teoritis sudah banyak dikenal, tetapi pembahasannya banyak yang kurang tepat. Karena itulah kami mencoba untuk sedikit menyumbang buah pikiran dari para Tao Yu.

Wu

Tao mengutamakan Wu, yang secara harafiah dapat diartikan sebagai “Kesadaran dan nalar yang tinggi”.

Wu adalah pola berpikir yang melewati pertimbangan “Hati nurani” dan “Akal sehat” dengan mempertimbangkan “Situasi”, “Kondisi”, dan “Cara” untuk menghasilkan suatu keputusan atau tindakan yang “Paling Tepat”.

Dalam Wu, suatu keputusan atau tindakan tidak hanya dilihat pada keputusan atau tindakan itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan pengaruh atau akibat dari keputusan atau tindakan tersebut.

Dengan daya Wu yang tinggilah akan dihasilkan suatu keputusan atau tindakan yang “Bijaksana”.

Sudah tinggikah daya Wu Anda? Mari kita kembangkan bersama!

Sekilas Mengenai Wu

90% Kualitas Hidup Kita Tergantung “Wu”

Wu Wei ( )

Wu Wei adalah salah satu prinsip Tao () yang paling terkenal dan “hebat”. Tetapi karena pemahaman Wu Wei yang kurang tepat, banyak orang yang salah terima terhadap Tao.

Banyak orang mengira bahwa Wu Wei yang artinya “Tidak Berbuat” bermakna “diam saja” atau “pasif” dan tidak melakukan kegiatan apa pun. Padahal makna sebenarnya sangatlah dalam dan tidak sesederhana itu.

Tao “tidak berbuat” apapun, tetapi karena Nya lah segalanya “tercipta”.

Filsafat dan Pandangan Hidup Orang Sunda

Oleh H RACHMAT MAS

SETIAP bangsa memiliki filsafat yang diyakini kebenarannya oleh sebagian terbesar dari bangsa itu. Dengan filsafat itu sebagai motivator dan pengarah bangsa itu berjuang mencapai cita-citanya. Pada umumnya, filsafat tersebut disimbolkan dalam sebuah benda yang disakralkan, seperti Panca Sila dalam Lambang Negara Garuda. Karena filsafat berkaitan dengan tujuan dan perjuangan bangsa, maka lebih umum lagi dia disimbolkan dalam senjata utama bangsa tersebut, seperti pedang atau senjata tajam lainnya. Orang Sunda menamakannya pakarang atau ageman.

Pakarang adalah senjata fisik untuk memudahkan perjuangan. Ageman pun, senjata juga, namun sifatnya spiritual. Ageman adalah kepercayaan dan keyakinan yang terhunjam dalam-dalam di dalam batin, yang selanjutnya menjadi pengarah, pendorong, pemberi kekuatan dan kepercayaan diri kepada pemegangnya dalam mempertahankan dan mencapai cita-cita.

Orang Sunda yang jumlahnya tidak sedikit dan memiliki sejarah cukup panjang, pasti memiliki filsafat sendiri. Para karuhun Sunda menciptakan dan memiliki filsafat yang mengantarkan mereka kepada kejayaan di masanya dan mengharapkan anak-cucunya meningkatkannya.

Filsafat Sunda merupakan perasan dari pengertian yang sangat mendalam tentang makna yang paling esensial dari hidup dan kehidupan. Karuhun Sunda memahami betul bahwa hidup dan kehidupan termasuk manusianya yang diciptakan Allah SWT Yang Menyebut Dirinya Bersifat Lahir dan Batin (Al Hadid; 3), pasti memiliki aspek lahir dan batin juga. Pemahaman dan keyakinan itulah yang menjadi pokoknya, katakanlah filsafat induk. Filsafat induk itu mereka simbolkan dalam pakarang utama orang Sunda, kujang, berbentuk senjata tajam bermata dua. Kujang dua pangadekna.

Dengan memberi dua mata kepada kujang, para karuhun kita ingin mengisaratkan bahwa pada waktu itu mereka memiliki dua buah senjata yang berpadu menjadi satu. Tak mungkin dan tak boleh dipisahkan. Satu mata, sebagai pakarang, dan satu lagi sebagai ageman. Dengan kujang, para karuhun memberi petunjuk bahwa seke-seler Sunda seharusnya memahami makna hidup dan kehidupan di alam raya ini dan dalam mengarunginya diharapkan memiliki dua senjata ampuh yang menyatu dalam diri, yaitu ilmu dunia dan ilmu akhirat. Atau ilmu lahir dan ilmu batin. Atau tek dan tak, teknik dan takwa, yang akan menjadikan Ki Sunda memiliki SDM yang berkUalitas tinggi.

Itulah tanda karuhun Sunda memahami makna hidup dan kehidupan, sekaligus membuktikan bahwa mereka sangat memahami tugas esensial dari seorang Muslim: berjihad fii sabilillah mencapai kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Dalam bahasa Sunda yang sederhana: ikhtiar neangan karaharjaan lahir jeung batin.

Penulis tidak tahu, kapan filsafat itu lahir. Apakah sebelum atau sesudah Islam masuk ke Sunda? Kalau lahir sesudah Islam, itu tandanya ruh Islam mendarah daging dalam diri karuhun Sunda. Kalau lahir sebelum Islam, itulah salah-satu bukti nyata bahwa Sunda adalah Islam dan Islam adalah Sunda.

Mungkinkah Sunda sudah islam sebelum Islam masuk? Mungkin sekali. Semua Nabi yang digelarkan Allah SWT, tidak diperbedakan. Semuanya disebut Muslim. Agama yang dianggap benar dan lurus adalah agama yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, yaitu agama tauhid, hanya mengakui Satu Allah Yang Esa. Agama yang dibawa Nabi Muhammad saw boleh dikatakan kelanjutan sekaligus penyempurnaan dari agama Nabi Ibrahim as, yang notabene termasuk karuhun Nabi Muhammad saw juga. Keyakinan orang Sunda sebelum Islam masuk, disebut agama Sunda. Agama Sunda bukan animisme, bukan pula polytheisme, melainkan monotheisme. Bertuhan satu dan yang Satu itu adalah Sanghyang Tunggal. Agama Sunda adalah agama tauhid, sejalan dengan agama Nabi Ibrahim as. Karena itu sangatlah logis bila roh agama Sunda dan roh agama Islam memiliki kesamaan yang sangat esensial.

Karena itu tidaklah terlalu penting mengetahui apakah filsafat Sunda lahir sebelum atau sesudah Islam Yang penting, orang Sunda sekarang wajib merasa bangga dan bersyukur, sebab diwarisi sebuah ageman yang paling ampuh untuk segala persoalan, tepat dimanfaatkan di segala tempat dan relevan di segala zaman Tauhid dan ilmu dunia, ageman yang adiluhung. Tetapi, jangan hanya semata-mata bangga karena bisa terjerumus ke dalam sikap agul ku payung butut, atau merasa nikmat bernostalgia dengan kehebatan karuhun. Satu sikap yang tidak akan menghasilkan apa-apa, tetapi justru bisa sangat kontraproduktif. Harus berlanjut ke rasa syukur. Tepatnya memanfaatkan ageman yang adiluhung itu di zaman sekarang demi kejayaan lahir batin bangsa Indonesia umumnya, etnis Sunda khususnya, dan demi masa depan generasi berikutnya.

Untuk efektivitas penggunaan dan menjaga kelurusan ageman, para karuhun Sunda meninggalkan filsafat-filsafat terperinci- katakanlah sebagai penjelasan dan juklak filsafat induk- yang tidak bisa tidak pasti religius juga sifatnya. Semua itu bertebaran dalam bentuk ceritera-ceritera rakyat. Salah satu contohnya: Lutung Kasarung.

Lutung Kasarung terpental dari Kahyangan ke alam nyata dalam wujud binatang karena melakukan yang dilarang. Di dunia, LK yang buruk rupa dipertemukan dengan Purbasari, putri cantik berakhlak baik, berhati suci lambang ilmu ketuhanan/agama yang waktu itu sedang dihina dan disiksa oleh saudara-saudaranya yang jahat. LK membela Purbasari. Hakikat pembelaan itu adalah menegakkan keadilan dan kebajikan dan menghancurkan kebatilan. Ini adalah perintah harian Allah SWT kepada manusia, khususnya kepada yang beriman. Bersamaan dengan keberhasilannya menyelamatkan dan memiliki Purbasari sebagai istri, LK dikembalikan ke bentuk aslinya, seorang satria ganteng tanpa tanding, gagah dan perkasa. LK yang sejati adalah seorang lalaki langit lalanang jagat, kesatria yang religius dan gagah perkasa, atau satria pinandita. Sebelum kembali ke kahyangan LK sempat mendapatkan kehormatan dan martabat yang sangat tinggi di dunia.

Bandingkan cerita rakyat ini dengan kisah Nabi Adam as yang juga terpental dari surga karena melakukan hal yang dilarang. Beliau berkelana di dunia dengan banyak derita. Di dunia dipertemukan dengan Siti Hawa yang konon tercipta dari tulang rusuk beliau sendiri. Bersama-sama mereka berjuang hidup dan setelah ratusan tahun berkelana dan setelah melaksanakan petunjuk dari Allah SWT bisa kembali dengan selamat ke surga dan mendapat kehormatan dan martabat seorang Nabi Allah.

Hakikatnya, semua manusia adalah lutung kasarung. Manusia yang polos dari nilai-nilai rohani, tak ada bedanya dengan seekor binatang. Kasarung artinya tersesat. Tersesat di dalam dan sekitar sehelai sarung. Tampaknya mustahil bisa tersesat dalam wilayah yang begitu sempit. Tetapi begitulah kenyataannya kebanyakan manusia dari dahulu sampai kelak. Bagai binatang tersesat di dunia yang tampaknya luas, padahal sebenarnya sempit dan kecil sekali dibandingkan dengan alam di sana. Tersesat dalam pemikiran yang melebar dan memanjang, berkesimpulan bahwa hidup di dunia ini rumit, berlika-liku sekali, harus begini dan begitu, harus memiliki ini dan itu yang semuanya berbelit-belit sehingga membingungkan. Dalam kebingungan itulah kesesatan semakin jauh. Yang pandai menjadi binatang buas, yang bodoh menjadi binatang kecil dan lemah, menjadi santapan binatang lebih besar. Padahal sebenarnya, persoalan intinya sangat sederhana dan kuncinya sangat dekat, yaitu percaya dan taat kepada Sang Pencipta.

Begitulah juga yang disindirkan oleh Si Kabayan ketika dia disuruh turun ke sawah ngala tutut. Dia menolak karena dianggapnya sawah sangat dalam. Begitu dalamnya sehingga tembus ke langit. Tetapi setelah dia diceburkan ke dalamnya dan menghayatinya sendiri, maka dengan gayanya yang khas, humoristis namun bernas dia berkata: el dan deet.

Karuhun Sunda, mengharapkan agar seuweu-siwi Sunda, dengan arahan dan kawalan filsafat Sunda tidak abadi menjadi lutung kasarung. Melainkan harus menjelma menjadi lalaki langit lalanang jagat di segala bidang, dengan karakteristik yang dimiliki LK atau Guru Minda, yakni cageur jasmani-rohani, bageur, berakhlak baik, pinter, cerdas dan rasional, bener, sesuai kaidah agama. Seandainya ini bisa terwujud- dan semoga begitu adanya pada suatu saat nanti- maka karaharjaan lahir batin Ki Sunda akan menyinari langit dan menyuburkan bumi tatar Sunda.

Dari dalam karaharjaan lahir-batin, akan bermunculan karya dan kreativitas yang mewujudkan kebaikan dan kebajikan semata. Nagara jadi raharja, rea ketan rea keton, anu tani pada mukti, sodagar pada beunghar, nu jareneng teu matak ningnang, somah betah tumaninah di lemah anu genah tur merenah. Seni jeung budaya oge tangtu nanjung, baranang nyongcolang tembong ka mana-mana.

Dari batin yang gersang, tidak banyak kebaikan dan kebajikan yang bisa diharapkan. Itulah sebabnya penulis yakin sekali, bila karaharjaan lahir-batin tercapai, atau sedikitnya bisa didekati, maka keterpurukan, keterkucilan, keterceceran dan segala ketidakenakan lainnya yang dirasakan Ki Sunda sekarang semuanya akan sembuh dengan sendirinya. Insya Allah.

Juklak lain yang lebih praktis bertebaran dalam bentuk paribasa-paribasa, seperti silih asih, silih asuh, silih asah. Herang caina beunang laukna. Teu langkung anu dibendo. Someah hade ka semah. Dan juga dalam nasihat ulah pupulur memeh mantun. Semua itu sangat Islami, ada cantolannya pada ayat -ayat Al Quran atau hadis Nabi saw.

Silih asih, maksudnya saling kasihsayangi karena Allah . Di atas landasan itu tegak dengan kokohnya silih asuh dan silih asah. Silih asuh bermakna saling senangkan dan saling jaga dari berbagai bencana. Adapun silih asah menuju kepada saling tajamkan akal dan perasaan, atau dengan kalimah lain dalam basa Sunda, silih simbeuhan ku pangarti.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mengasihsayangi orang lain kalau di dalam dirinya sendiri tidak ada rasa kasih-sayang yang bersumber dari Sifat Rahman dan Rahimnya Allah SWT? Bagaimana seseorang bisa memiliki sifat-sifat itu bila dia sendiri tidak percaya dan tidak taat kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Bagaimana seseorang bisa menyenangkan orang lain bila dirinya sendiri sedang tidak senang dan tidak memiliki kemampuan mengasuh, atau tidak memiliki kedewasaan? Bagaimana bisa ada saling asah diantara sesama yang sama bodohnya? Terasa sekali dengan kentalnya dalam paribasa ini ada aspek hablumminallahi dan aspek hablumminannasi, ada ketuhanan dan ada keduniawian. Malah, kalau dilanjutkan sampai terfahami betul, bisakah kita menolak bahwa enas-enasna paribasa ini adalah rahmatan lil ‘aalamiin, yang artinya menyebarkan kasih-sayang, menyebarkan manfaat dan kebaikan kepada alam sekitar?

Herang caina beunang laukna; Ini adalah nasihat agar dalam bekerja, atau dalam perjuangan kita harus berusaha bisa meraih tujuan utama tanpa menimbulkan kekeruhan atau kerusakan yang bisa merugikan banyak pihak. Pendeknya diminta arif dan bijaksana. Bukankah arif bijaksana berada dalam koridor shirothol musta-qim?

Teu langkung anu dibendo; Yang dimaksud dengan yang dibendo adalah pemimpin. Semua orang Sunda (mesti) tahu bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk taat setia kepada Allah dan RasulNYA dan kepada para pemimpinnya, sepanjang pemimpin itu berjalan di koridor kebenaran ilahi. Tidak ada sedikit pun dalam paribasa ini yang bisa diartikan sebagai perintah untuk kodomoyo atau bersikap sumuhun dawuh sadaya-daya. Justru sebaliknya betul, bila pemimpin menyimpang, diwajibkan mengoreksinya, harus berani menjalankan jihad yang paling afdol, mengatakan tidak kepada pemimpin yang zalim.

Someah hade ka semah; Jelas sekali, ini adalah perintah agama Islam dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Tamu harus dihormat paling lama selama tiga hari. Lewat tiga hari tidak perlu, apalagi sampai memaksakan diri menghormat dan menjamunya. Namun bukan pula untuk dimusuhi atau diusir. Kalau yang menjadi tamu itu seorang muslim dia akan tahu hak dan kewajibannya.

Sifat someah hade ka semah tidak bisa dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya perasaan tidak merasa jadi tuan di rumah sendiri seperti yang terjadi selama ini karena banyak tempat dan posisi yang seharusnya diisi orang Sunda ditempati yang bukan orang Sunda. Dilihat dari cara mereka datang ke mari, mereka bukan tamu. Dihitung jangka waktu keberadaan mereka di sini, kalau pun akan dianggap tamu, sekarang sudah bukan tamu lagi. Dilihat dari kacamata kewarganegaraan Indonesia, mereka pun bukan tamu.

Kita sendiri juga tidak pernah bersikap sebagai pribumi kepada mereka. Kita mendiamkan mereka. Mendiamkan tidak selalu berarti someah. Kalau sekarang terasa terjadi jati kasilih ku junti, mereka yang menjadi junti dan kita merasa terganggu dan merasa tidak menjadi tuan di rumah sendiri, kesalahan lebih banyak berada pada kita, mengapa tempat-tempat itu tidak (mampu) kita penuhi dari dahulu? Para pendatang yang mencari hidup melihat ada tempat kosong yang strategis dan produktif lalu merebutnya karena tidak ada hukum yang melarangnya, dapatkah disalahkan? Dalam mengatasi masalah semacam inilah kita dituntut bekerja dengan filsafat herang caina beunang laukna.

Ulah pupulur memeh mantun; Maksudnya sederhana sekali, jangan mendahulukan hak dari kewajiban. Agama Islam menghendaki begitu. Nabi saw mencontohkan begitu. Penulis pernah menyaksikan seorang inohong Sunda mengatakan nasihat ini tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Katanya, sekarang zamannya orang harus berani minta bayaran lebih dahulu, sekurang-kurangnya dengan wang muka. Untuk beberapa kasus tertentu bisa jadi pendapat itu bisa diterapkan, tetapi bukankah ketidaknyamanan yang sekarang melanda seluruh nusantara kita salah satunya diakibatkan oleh kesalahan kebanyakan dari kita yang suka mendahulukan hak dari kewajiban?

Banyak inohong Sunda yang berpendapat bahwa kelemahan-kelemahan Ki Sunda sekarang disebabkan karena masih berpegang kepada filsafat yang dianggapnya sudah tidak berlaku lagi di zaman semodern sekarang. Padahal, mana mungkin sesuatu yang bernilai Islami menjadi tidak berlaku lagi di masa kini. Hanya ketidakmengertian, atau kefrustrasian saja yang bisa membelokkannya dari makna yang asli. Tapi juga bukan mustahil, bila karena benci dan sinis, seseorang yang walau faham, sengaja menyalahartikannya demi kepentingan tertentu, seperti kaum orientalis membiaskan Islam. Penulis sendiri meyakini, kelemahan ini mulai terjadi sejak ada satu generasi Ki Sunda yang justru terlalu banyak meninggalkan filsafat yang adiluhung itu. Kelemahannya memarah dan berlanjut berkepanjangan hingga kini.

Filsafat yang diyakini dan diaktualisasikan secara konsekwen, akan menjadi sifat dan ciri khas pelakunya. Karakteristik itu sekarang dikenal dengan istilah jatidiri. Kalau sampai sekarang masih ada yan

DAFTAR BAB ==> Ada Apa dengan Teori Evolusi? Agar Bebas dari Prasangka Sejarah Singkat Teori Evolusi Mekanisme Khayalan Teori Evolusi Catatan Fosil Membantah Evolusi Dongeng tentang Transisi dari Air ke Darat Asal-Usul Burung dan Mamalia Penafsiran Menyesatkan tentang Fosil Penipuan-Penipuan Evolusi Skenario Evolusi Manusia Kebuntuan Evolusi Molekuler Ilmu Termodinamika Menyanggah Evolusi Antara Rancangan dan Kebetulan Pernyataan-Pernyataan Evolusionis dan Fakta Teori Evolusi: Kewajiban Materialistis Media: Lahan Subur bagi Evolusi Kesimpulan: Evolusi Adalah Sebuah Kebohongan Fakta Penciptaan

Teori Evolusi: Kewajiban Materialistis

Informasi yang telah disampaikan sejauh ini menunjukkan bahwa teori evolusi tidak memiliki dasar ilmiah; dan sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusi bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang menyokong evolusi bukanlah ilmu pengetahuan. Evolusi memang dibela oleh beberapa “ilmuwan”, tetapi pasti ada kekuatan lain yang berperan. Kekuatan ini adalah filsafat materialis.

filsafat materialis merupakan salah satu sistem pemikiran tertua dalam sejarah manusia. Karakteristiknya yang paling mendasar adalah anggapan bahwa materi itu absolut. Menurut filsafat ini, materi tidak terbatas (infinite), dan segala sesuatu terdiri dari materi, dan hanya materi. Pendekatan ini menutup kemungkinan terhadap kepercayaan kepada Pencipta. Oleh sebab itu, materialisme sejak lama memusuhi agama-agama yang memiliki keyakinan terhadap Allah.

Jadi, pertanyaannya sekarang: apakah cara pandang materialis itu benar? Untuk mengujinya, kita harus menyelidiki pernyataan-pernyataan filsafat tersebut yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Misalnya, seorang filsuf abad ke-10 dapat mengatakan bahwa ada pohon keramat di permukaan bulan, dan semua makhluk hidup tumbuh seperti buah pada cabang-cabangnya lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap filsafat ini menarik dan mempercayainya. Namun pada abad ke-20, ketika manusia telah sampai ke bulan, filsafat semacam ini tidak mungkin dikemukakan. Ada atau tidaknya pohon semacam itu di sana dapat ditentukan dengan metode-metode ilmiah, yaitu dengan pengamatan dan eksperimen.

Dengan metode ilmiah, kita dapat menyelidiki pernyataan materialis bahwa materi itu abadi, dan materi ini dapat mengorganisir diri tanpa memerlukan Pencipta serta mampu memunculkan kehidupan. Namun sejak awal, kita melihat bahwa materialisme telah runtuh karena gagasan ten-tang kekekalan materi telah dihancurkan oleh teori Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat raya diciptakan dari ketiadaan. Pernyataan bahwa materi dapat mengorganisir diri dan memunculkan kehidupan adalah pernyataan “teori evolusi” – teori yang telah dibahas oleh buku ini dan ditunjukkan keruntuhannya.

Akan tetapi, jika seseorang berkeras mempercayai materialisme dan mendahulukan kesetiaan pada paham ini daripada hal-hal lainnya, maka ia tidak akan menggunakan metode ilmiah. Jika orang tersebut “mendahulukan materialismenya daripada keilmuwanannya”, maka ia tidak akan meninggalkan materialisme sekali pun tahu bahwa konsep evolusi tidak diakui ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia berusaha menegakkan dan menyelamatkan paham ini dengan mendukung konsep evolusi apa pun yang terjadi. Inilah keadaan sulit yang dihadapi evolusionis.

Yang menarik, ternyata mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Ahli genetika evolusionis terkenal dari Universitas Harvard, Richard C. Lewontin, mengakui bahwa dia “materialis dulu baru ilmuwan” dengan kata-kata berikut:

Bukan metode dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan material, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Lagi-pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk.1

Istilah “apriori” yang digunakan Lewontin ini sangat penting. Istilah filosofis ini merujuk pada praduga tanpa dasar pengetahuan eksperimental. Sebuah pemikiran dikatakan “apriori” jika Anda menganggapnya benar dan menerimanya, meskipun tidak ada informasi tentang kebenaran pemikiran tersebut. Seperti yang diungkapkan Lewontin secara jujur, materialisme adalah sebuah “apriori” yang memang disediakan bagi evolusionis dan mereka mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan dengannya. Karena materialisme mengharuskan pengingkaran akan keberadaan Pencipta, mereka memilih satu-satunya alternatif yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Mereka tidak peduli jika evolusi telah menyimpang dari fakta-fakta ilmiah. Ilmuwan seperti mereka telah menerima “apriori” sebagai kebenaran.

Sikap berprasangka ini membawa evolusionis kepada keyakinan bah-wa “materi yang tak berkesadaran telah membentuk diri sendiri”, yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan juga akal sehat. Profesor kimia yang juga pakar DNA dari Universitas New York, Robert Shapiro, seperti telah dikutip sebelumnya, menjelaskan keyakinan evolusionis dan dogma materialis ini sebagai berikut:

Maka diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara campuran-campuran kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama. Prinsip ini belum dijelaskan secara teperinci ataupun didemonstrasikan, namun telah diantisipasi dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi secara mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam filsafat materialisme dialektis, sebagaimana diterapkan pada asal-usul kehidupan oleh Alexander Oparin.2

Propaganda evolusionis yang selalu kita temui dalam media terkemuka di Barat serta majalah-majalah ilmu pengetahuan terkenal dan bergengsi, muncul dari keharusan ideologis ini. Karena dirasa sangat diperlukan, evolusi dikeramatkan oleh kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.

Demi menjaga reputasi, beberapa ilmuwan terpaksa mempertahankan teori yang berlebihan ini, atau setidaknya berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang bertentangan dengannya. Akademisi di negara-negara Barat diharuskan menerbitkan artikel mereka di majalah-majalah ilmu pengetahuan tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi “keprofesoran”. Semua majalah yang berhubungan dengan biologi dikendalikan oleh evolusionis, dan mereka tidak mengizinkan artikel anti evolusi muncul di majalah mereka. Karenanya, setiap ahli biologi harus melakukan studinya di bawah dominasi teori evolusi. Mereka juga bagian dari tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai keharusan ideologis. Itulah sebabnya mereka secara buta membela “kebetulan-kebetulan mustahil” yang telah kita bicarakan sejauh ini.

Pengakuan-pengakuan Materialis

Pernyataan ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar Von Dithfurt, merupakan contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah mengutarakan contoh susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia mengungkapkan kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan:

Mungkinkah keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah pertanyaan mendasar dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan “Ya, mungkin” berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secara kritis dapat dikatakan, mereka yang menerima ilmu alam modern tidak punya pilihan selain mengatakan “ya”, karena dengan ini dia akan dapat menjelas-kan fenomena alam melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada hukum-hukum alam tanpa menyertakan campur tangan metafisis. Bagaimanapun, menjelaskan segala sesuatu dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan pertanda bahwa tidak ada lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat dilakukannya selain mempercayai konsep kebetulan? 3

Darwinisme dan Materialisme

Walau nyata-nyata ditolak ilmu pengetahuan, teori Darwin masih dipertahankan. Satu-satunya alasan untuk ini adalah hubungan erat antara teori ini dengan materialisme. Darwin menerapkan filsafat materialis pada ilmu alam. Pendukung filsafat ini, terutama penganut Marxisme, terus-menerus membela Darwinisme tidak peduli apa pun yang terjadi.

Pembela teori evolusi terkenal dewasa ini, ahli biologi Douglas Futuyma, menuliskan: “Bersamaan de-ngan teori sejarah materialistis Marx… teori evolusi Darwin merupakan penopang mekanisme dan materialisme.” Inilah pengakuan yang sangat jelas mengapa teori evolusi begitu penting bagi para pembelanya.1

Evolusionis terkenal lainnya, ahli paleontologi Stephen J Gould mengatakan: “Darwin menerapkan filsafat materialisme yang konsisten pada interpretasi-nya tentang alam”.2 Leon Trotsky, salah satu pencetus Revolusi Komunis Rusia bersama Lenin, berkomentar: “Penemuan Darwin merupakan kemenangan terbesar konsep dialektika dalam keseluruhan bidang materi organik.”3 Namun, ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa Darwinisme bukan kemenangan bagi materialisme, melainkan pertanda keruntuhan filsafat tersebut.

Trotsky

Darwin

Marx

1 Douglas Futuyma, Evolutionary Biology, edisi ke-2. Sunderland, MA: Sinauer, 1986. hal. 3.

2 Alan Woods dan Ted Grant, “Marxism and Darwinism”, Reason in Revolt: Marxism and Modern Science, London, 1993.

3 Alan Woods dan Ted Grant. “Marxism and Darwinism”, London, 1993.

Memang, seperti yang dikatakan Dithfurt, penyangkalan “campur tangan supranatural” dipilih sebagai prinsip dasar pendekatan ilmiah materialis untuk menjelaskan kehidupan. Begitu prinsip ini dipilih, kemungkinan paling mustahil pun dapat diterima. Contoh-contoh mentalitas dogmatis ini dapat kita temui dalam semua literatur evolusionis. Pendukung teori evolusi terkenal dari Turki, Profesor Ali Demirsoy, hanyalah salah satu dari mereka. Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, menurut Demirsoy: probabilitas pembentukan secara kebetulan Sitokrom-C, protein penting untuk kelanjutan hidup, adalah “sama dengan kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik tanpa membuat kesalahan sedikit pun”.4

Tidak diragukan lagi, menyetujui kemungkinan semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar nalar dan akal sehat. Satu huruf saja di atas kertas sudah pasti ditulis manusia, apalagi buku sejarah dunia. Tak ada orang waras yang akan setuju bahwa huruf-huruf dalam buku tebal tersebut tersusun “secara kebetulan”.

Akan tetapi, sangat menarik untuk mengetahui bagaimana “ilmuwan evolusionis” seperti Profesor Ali Dermisoy menerima pernyataan tidak masuk akal semacam ini:

FOKUS : Kematian Materialisme

Materialisme abad ke-19 menyatakan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal dan tidak diciptakan, dan dunia organik dapat dijelaskan sebagai interaksi antar materi. Inilah yang men-jadi dasar pijakan teori evolusi. Namun, penemuan-penemuan ilmiah abad ke-20 jelas-jelas menggugurkan hipotesis ini.

Anggapan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal, telah dipupus habis oleh temuan bahwa alam semesta dimulai dengan sebuah ledakan besar (peristiwa yang disebut “Big Bang”) yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Teori ini menunjukkan bahwa semua materi fisik di alam semesta muncul dari ketiadaan: dengan kata lain, diciptakan. Salah seorang filsuf ateis pembela utama materialisme, Anthony Flew, mengakui:

Banyak orang mengatakan bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Karenanya saya akan memulainya dengan mengakui bahwa ateis Stratonisian dipermalukan oleh konsensus kosmologis jaman sekarang (Big Bang). Tampaknya para ahli kosmologi telah memberikan suatu bukti ilmiah… bahwa jagat raya memiliki permulaan.1

Teori Big Bang juga menunjukkan bahwa pada masing-masing tahap, alam semesta terbentuk melalui penciptaan yang terkendali. Ini jelas dibuktikan oleh keteraturan yang muncul setelah Big Bang, yang terlalu sempurna jika terbentuk dari sebuah ledakan tak terkendali. Seorang dokter terkenal, Paul Davies, menjelaskan keadaan ini:

Sulit menolak kesan bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang tampaknya begitu sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil dalam angka, telah dipikirkan dengan cermat…. Kesesuaian menakjubkan nilai-nilai numerik yang menjadi dasar konstanta-konstanta di alam, tetap merupakan bukti kuat suatu desain kosmik.2

Kenyataan yang sama membuat profesor astronomi Amerika, George Greenstein, berkata:

Setelah mengkaji semua bukti, terus-menerus muncul pemikiran bahwa suatu kekuatan (atau Kekuatan) supranatural pasti terlibat di dalamnya.3

Jadi, hipotesis materialistis yang me-nyatakan bahwa kehidupan dapat di-jelaskan hanya dari interaksi materi, juga gugur menghadapi temuan-temuan ilmu pengetahuan ini. Khususnya, asal usul informasi genetis yang menentukan semua makhluk hidup, sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan kekuatan material murni. Fakta ini diakui salah se-orang pembela teori evolusi terkemuka, George C. Williams, dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1995:

Para ahli biologi evolusionis tidak menyadari bahwa mereka bekerja dengan dua bidang yang tidak dapat dibandingkan: bidang informasi dan bidang materi… gen adalah paket informasi, bukan sebuah materi… Pemisah ini menjadikan materi dan informasi dua bidang berbeda, dan karenanya harus dibahas secara terpisah dalam bidang masing-masing.4

Situasi ini merupakan bukti keberadaan Kebijakan Supramaterial yang menciptakan informasi genetis. Tidak mungkin materi menghasilkan informasi di dalam dirinya. Direktur Institut Fisika dan Teknologi Federal Jerman, Profesor Werner Gitt, mengatakan:

Seluruh pengalaman menunjukkan bahwa diperlukan sebuah pemikiran yang bebas menjalankan kehendak, kesadaran dan kreativitasnya sendiri. Tak mungkin ada hukum alam, proses atau urutan kejadian yang menyebabkan informasi muncul dengan sendirinya di dalam materi. 5

Seluruh fakta ilmiah ini menjelaskan bahwa alam semesta beserta seluruh makhluk hidup diciptakan oleh Sang Pencipta yang memiliki kekuatan dan pengetahuan, yakni Allah. Sedangkan materialisme, seperti diungkapkan seorang filsuf terkenal abad ini, Arthur Koestler: “Tidak dapat lagi dinyatakan sebagai filsafat ilmiah”.6

——————————————————————————–

1) Henry Margenau, Roy A. Vargesse. Cosmos, Bios, Theos. La Salle IL: Open Court Publishing, 1992, hlm. 241.

2) Paul Davies. God and the New Physics. New York: Simon & Schuster, 1983, hlm. 189.

3) Hugh Ross. The Creator and the Cosmos. Colorado Springs, CO: Nav-Press, 1993, hlm. 114-115.

4) George C. Williams. The Third Culture: Beyond the Scientific Revolution, New York, Simon & Schuster, 1995, hlm. 42-43.

5) Werner Gitt. In the Beginning Was Information. CLV, Bielefeld, Germany, hlm. 107, 141.

6) Arthur Koestler, Janus: A Summing Up, New York, Vintage Books, 1978, hlm. 250.

Pada dasarnya, kemungkinan pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian, dapat dikatakan bahwa probabilitasnya kejadiannya hanya satu kali di seluruh alam semesta. Lebih dari itu, suatu kekuatan metafisis di luar definisi kita pasti telah melakukan pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir berarti tidak sesuai dengan tujuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kita harus meng-ambil hipotesis pertama. 5

Selanjutnya Demirsoy menyatakan bahwa ia menerima kemustahilan ini agar “tidak usah menerima kekuatan-kekuatan metafisis”, artinya agar tidak mengakui penciptaan oleh Allah. Sangat jelas, pendekatan seperti ini tidak memiliki hubungan apa pun dengan ilmu pengetahuan. Karenanya tidak mengherankan jika saat Demirsoy berbicara mengenai asal usul mitokondria dalam sel, ia mengakui secara terbuka bahwa ia menerima penjelasan konsep kebetulan ini meskipun sebenarnya “sangat bertentangan dengan pemikiran ilmiah”.

Inti permasalahannya adalah bagaimana mitokondria mendapatkan sifat ini, karena untuk mendapatkannya secara kebetulan, bahkan oleh satu individu pun, memerlukan probabilitas yang sulit diterima akal…. Sebagai alat respirasi dan katalis pada setiap langkah dalam bentuk berbeda, enzim ini membentuk inti dari mekanisme. Sebuah sel harus mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap. Jika tidak, sel tersebut tidak akan berarti. Di sini, meskipun bertentangan dengan pemikiran biologis, untuk menghindari penjelasan yang lebih dogmatis atau spekulasi, mau tidak mau kita harus menerima bahwa semua enzim respirasi telah tersedia lengkap di dalam sel sebelum sel pertama menggunakan oksigen.6

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa evolusi sama sekali bukan teori yang dihasilkan melalui penelitian ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan substansi teori ini ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistis. Selanjutnya teori ini menjadi kepercayaan atau dogma, walau-pun bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah konkret. Lagi-lagi kita dapat melihat dengan jelas dari literatur evolusionis bahwa semua usaha ini benar-benar memiliki “tujuan”. Tujuannya adalah menghalangi setiap kepercayaan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Sang Pencipta.

Oleh evolusionis tujuan ini didefinisikan sebagai “ilmiah”. Namun, rujukannya bukan ilmu pengetahuan melainkan filsafat materialis. Materialisme secara mutlak menolak keberadaan apa pun “di luar” materi (atau apa pun yang supranatural). Ilmu pengetahuan sendiri tidak diharuskan menerima dogma semacam itu. Ilmu pengetahuan berarti menyelidiki alam dan membuat kesimpulan-kesimpulan berdasarkan apa-apa yang ditemukan. Jika penemuan-penemuan ini menyimpulkan bahwa alam ini diciptakan, ilmu pengetahuan harus menerimanya. Demikianlah tugas seorang ilmuwan sejati; dan bukan mempertahankan skenario mustahil dengan berpegang teguh pada dogma-dogma materialis kuno abad ke-19.

Materialis, Agama Palsu dan Agama Sejati

Sejauh ini, kita telah membahas bagaimana kelompok yang setia kepada filsafat materialis mengacaukan ilmu pengetahuan, menipu orang un-tuk kepentingan dongeng evolusionis yang mereka yakini secara buta, dan bagaimana mereka menutupi kenyataan. Namun di samping itu, kita juga harus mengakui bahwa kelompok materialis ini memberikan “layanan” berarti, walaupun tanpa disengaja.

Mereka melakukan “layanan” ini dalam usaha membenarkan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang dan ateis, dengan cara memaparkan semua kejanggalan dan ketidakkonsistenan tradisionalis dan pemikiran fanatik yang mengatasnamakan Islam. Serangan-serangan kelompok ateis-materialis membantu mengungkap agama palsu yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Al Quran atau Islam. Agama palsu ini biasanya berdasarkan pada kabar angin, takhayul, dan omong kosong, dan tidak memiliki argumen konsisten untuk dikemukakan. Agama palsu ini dibela oleh kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesungguhan dalam keyakinannya dan dengan seenaknya bertindak atas nama Islam tanpa bukti-bukti yang benar. Berkat kelompok ateis-materialis, ketidakkonsistenan, penyimpangan dan ketidaklogisan agama palsu terungkap.

Jadi, materialis membantu masyarakat menyadari kesuraman mentalitas tradisional fanatik, dan mendorong mereka mencari inti dan sumber agama sesungguhnya dengan merujuk dan mematuhi Al Quran. Tanpa sengaja, mereka mematuhi perintah Allah dan menegakkan agama-Nya. Lebih jauh lagi, mereka menyingkapkan semua kekerdilan mentalitas yang mendirikan agama palsu atas nama Allah dan menawarkannya sebagai Islam kepada semua orang. Mereka juga membantu melemahkan gerakan sistem fanatik yang mengancam masyarakat luas.

Jadi mau tak mau dan sesuai dengan takdir, mereka menjadi alat untuk mewujudkan firman Allah bahwa Dia menegakkan agama sejati-Nya melalui pertentangan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Hukum Allah ini dinyatakan dalam Quran sebagai berikut:

Dan seandainya Allah tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam. (QS. Al Baqarah, 2: 251)

Sampai di sini, kita perlu membuka pintu bagi sebagian pendukung pemikiran materialis evolusionis. Orang-orang ini mungkin pernah memulai pencarian yang jujur, namun terseret jauh dari agama sejati karena pengaruh omong kosong yang dibuat dengan mengatasnamakan Islam, kebohongan yang dibuat dengan mengatasnamakan Rasulullah saw, dan dongeng-dongeng yang mereka dengar sejak masa kanak-kanak, sehingga mereka tidak pernah berkesempatan menemukan kebenaran. Mungkin mereka pernah mempelajari agama dari buku-buku yang ditulis oleh para lawan agama, yang mencoba menggambarkan Islam dengan kebohongan dan kekeliruan yang tidak ada dalam Al Quran, disertai tradisionalisme atau fanatisme. Inti dan asal usul Islam sama sekali berbeda dengan apa yang telah diajarkan kepada mereka. Berdasarkan alasan ini, kami meng-anjurkan mereka segera mengambil Al Quran dan membaca kitab Allah ini dengan hati terbuka dan pandangan cermat, tanpa prasangka, dan mempelajari agama asli dari sumber yang benar. Jika membutuhkan bantuan, mereka dapat merujuk kepada buku-buku yang ditulis pengarang buku ini, Harun Yahya, mengenai konsep-konsep dasar dalam Quran.

  1. Richard Lewontin, “The Demon-Haunted World”, The New York Review of Books, 9. Januar 1997, S. 28
  2. Robert Shapiro, Origins: A Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York, 1986, S. 207

3.Hoimar Von Dithfurt, Im Anfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), Vol 2, hlm. 64.

  1. Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Vererbung und Evolution), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, S. 61
  2. Ibid, hlm. 61.
  3. Ibid, hlm. 94

skip to main | skip to sidebar

Melek Media ala AG. Eka Wenats Wuryanta Communication is perhaps the most human of all human activities. Humans have been seeking new media through which to extend the possibilities of communications – their ability to trancend time and space. Therefore, mass media is an exotics things. 100% to be hatred, 100% to be loved…but We must have Media Literacy

Monday, June 19, 2006

Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi

(AG. Eka Wenats Wuryanta, M.Si)<!–[if !supportFootnotes]–>

Pembuka Wacana

Dalam sejarah keilmuan, wacana positivisme klasik sempat menjadi primadona paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Wacana positivisme yang dipelopori oleh para pemikir empirik radikal (pertama kali dicetuskan oleh Saint Simon pada tahun 1825) menjadi landasan epistemologi dalam menentukan kebenaran dalam ilmu sosial. August Comte dengan Sosiologi Positif menjadi paradigma pokok ilmu sosial yang berbasis pendekatan empirik sosial. Gugus ilmu sosial yang berkembang pada waktu itu menjadikan positivisme sebagai dominator rasionalitas dalam ilmu pengetahuan. Ini tentu saja dilandasi dengan pemikiran yang sudah berkembang pada waktu Renaissance dibuka sebagai swift epistemology dari epistemologi deduktif Platonik menjadi epistemologi induktif empirik Aristotelian yang semakin diradikalkan oleh Francis Bacon dalam induktivisme rasional.

Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mengalami modifikasi metodologis dan epistemologis yang sebenarnya juga menjauhi maksud sebenarnya pendekatan positif ditawarkan sebagai suatu sistem kebenaran.

Ilmu komunikasi dalam sejarah awal pembentukan juga tidak jauh dari kecenderungan positivisme ilmiah. Paradigma utama dalam ilmu komunikasi pun tidak jauh dari masalah metodologis yang bersifat empirik positif. Pendekatan mekanistik ala Shannon-Weaver tidak jauh melihat bahwa komunikasi merupakan pecahan mekanik yang dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya meniru perilaku mesin transmitter dan receiver. Kecenderungan bahwa komunikasi merupakan proses linear mekanistik merupakan derivasi pemahaman ilmu alam dalam gugus perilaku manusiawi. Beberapa model pokok dalam ilmu komunikasi tidak jauh dari masalah distansi penuh antara peneliti dan yang diteliti, objektivistis-mekanistik, deduktif-nomonologis dan penelitian eksternal faktual dari setiap gejala yang masuk dalam perilaku komunikatif. Kecenderungan positivistik dalam ilmu komunikasi pun akhirnya membentuk bentuk ilmu sosial yang bersifat otoriter dan cenderung minus kecuali dalam memuaskan aturan dan sistem logika ketat yang menuntut pengujian korelasional yang dapat diuji secara praktis.

Kecenderungan dominan positivisme dalam ilmu komunikasi memberikan hasil model-model meta naratif pada pengalaman sosial manusia yang disebut dengan komunikasi. Meta narasi komunikasi yang bersifat universal mempunyai tantangan bahwa pola komunikasi sebenarnya sangat terikat dengan ruang dan waktu manusiawi. Padahal sifat keterikatan dengan ruang dan waktu ini bisa sangat bersifat tentatif dan relatif, mengingat sifat manusia yang bisa sangat kontekstual. Relasi komunikatif adalah kontekstual dalam arti bahwa relasi komunikatif tidak bisa begitu saja direduksi dalam pola kuantitatif yang bisa sangat rigid dengan keadaan yang sebenarnya.

Meta narasi universal dalam paradigma komunikasi pada suatu saat menimbulkan penyederhanaan pengalaman manusia yang bersifat tentatif. Tapi di lain waktu, meta narasi universal dalam paradigma komunikasi menimbulkan rejim otoriter dalam menentukan kebenaran yang bisa sangat bersifat manipulatif. Rejim otoriter ini menimbulkan masalah dogmatis dalam ilmu pengetahuan yang pada akhirnya mengakibatkan krisis epistemologis terutama dalam pendekatan rasional pada pengalaman manusia yang disebut dengan komunikasi.

Makalah ini memberikan gambaran singkat terhadap wacana alternatif terhadap pendekatan ilmu pengetahuan, terutama ilmu komunikasi. Ada perkembangan masyarakat yang tidak cukup dipahami dengan sederetan angka dan prosentase. Angka justru menimbulkan kesesatan pikir baru yang bersifat ideologis. Wacana alternatif tersebut adalah wacana teori kritis.

Hanya memang tulisan ini mencoba untuk mengembangkan diskusi teoritis tentang teori kritis dengan masalah bagaimana teori kritis dipahami dalam kerangka praksis.

Diskusi 1. Sekilas tentang Teori Kritis

Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.

Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.

Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Diskusi 2: Pengaruh Teori Kritis dalam Wacana Ilmu Komunikasi

Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu komunikasi sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu komunikasi di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi informasi bahkan sebelum perang dunia I. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan komunikasi massa di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu komunikasi dipenuhi dengan paradigma positivistik.

Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.

Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.

Riset komunikasi yang berkembang bersamaan dengan asumsi pemikiran administratif adalah riset studi efek media massa. Selanjutnya dalam era 30-40-an pemikiran Teori Kritis mengembangkan studi tentang ekonomi politik media, analisis budaya atas teks, dan studi resepsi khalayak – studi ideologi dalam media yang pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat pada era 70-80-an.

Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya – untuk kepentingan apapun – dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Studi Kajian Budaya Kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka media menjadi ideological apparatus.

Studi resepsi kritis menempatkan bahwa kelompok khalayak terbagi dalam klasifikasi status sosial dan ekonomi. Secara politis, masyarakat terbagi dalam kelompok sosial yang mempunyai tingkat resepsi yang berbeda. Pendekatan Bordieu banyak memakai metode ini.

Diskusi 3. Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Ideologi Dan Hegemoni

Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.

Pendapat Golding dan Murdock (Currant & Guravitch ed., 1991:188) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan.

Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).

Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.

Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa.

Wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.

Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.

Para awak media dalam konteks pemberitaan teks media selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman awak media terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.

Diskusi 4. Penerapan Aplikatif: Paradigma Kritis Dan Wacana Teks Media

Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis tapi terutama adalah kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yang berada di balik teks media yang bersangkutan menjadi hal yang penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Diskusi 5: Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Paradigma Dan Teori Kritis

Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai:

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Terlepas dari segala variasinya, perbedaan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain dapat dikelompokkan berdasarkan hal yang mendasar. Hal-hal tersebut adalah hal yang berkaitan dengan konsep dan ide dasar ilmu sosial, atau asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, opsi moral, serta komitmen terhadap nilai-nilai tertentu.

Setidaknya ada empat paradigma yang bisa dikelompokkan dalam teori-teori penelitian ilmiah komunikasi. Paradigma-paradigma itu adalah sebagai berikut paradigma humanis radikal (radical humanist paradigm), paradigma struktural radikal (radical structuralist paradigm), paradigma interpretif (Interpretive paradigm), dan terakhir adalah paradigma fungsionalis (fungsionalist paradigm).

Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan paradigma, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi paradigma di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Apabila terjadi tiga pembedaan paradigma dalam ilmu sosial, maka terjadi perbedaan pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tersebut adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.

Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).

Pengaruh idea marxisme – neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.

Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.

Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media dalam konteks paradigma kritis.

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.

Reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang sudah ditentukan justru dimarginalisasikan ? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau wilayah pertarungan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa dalam konteks wacana – terutama dalam konteks wacana komunikasi – sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan verbal selalu memakai kata. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya – tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi – konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang (M.Shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

Buku-Buku

Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication

Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University Press

Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:Pantheon

Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward Arnold

Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage Publication

Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage Public

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold

Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge

Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books

Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge

Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius

Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press

Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan

Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing Company

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOI

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia

Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:Routledge

Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil Blackwall

Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage Publications

Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge

Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon

Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication

Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher

Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage Publication

Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press

Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:Longman

Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara

Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group

Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya

Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PC

Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:Routledge

Tentang Blogger

AG, Eka Wenats Wuryanta

Jakarta, Indonesia, ID

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Jakarta – Indonesia Direktur Eksekutif Center for Cultural and Communications Reform Jakarta

View my complete profile

skip to main | skip to sidebar

Melek Media ala AG. Eka Wenats Wuryanta Communication is perhaps the most human of all human activities. Humans have been seeking new media through which to extend the possibilities of communications – their ability to trancend time and space. Therefore, mass media is an exotics things. 100% to be hatred, 100% to be loved…but We must have Media Literacy

Monday, June 19, 2006

Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi

(AG. Eka Wenats Wuryanta, M.Si)<!–[if !supportFootnotes]–>

Pembuka Wacana

Dalam sejarah keilmuan, wacana positivisme klasik sempat menjadi primadona paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Wacana positivisme yang dipelopori oleh para pemikir empirik radikal (pertama kali dicetuskan oleh Saint Simon pada tahun 1825) menjadi landasan epistemologi dalam menentukan kebenaran dalam ilmu sosial. August Comte dengan Sosiologi Positif menjadi paradigma pokok ilmu sosial yang berbasis pendekatan empirik sosial. Gugus ilmu sosial yang berkembang pada waktu itu menjadikan positivisme sebagai dominator rasionalitas dalam ilmu pengetahuan. Ini tentu saja dilandasi dengan pemikiran yang sudah berkembang pada waktu Renaissance dibuka sebagai swift epistemology dari epistemologi deduktif Platonik menjadi epistemologi induktif empirik Aristotelian yang semakin diradikalkan oleh Francis Bacon dalam induktivisme rasional.

Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mengalami modifikasi metodologis dan epistemologis yang sebenarnya juga menjauhi maksud sebenarnya pendekatan positif ditawarkan sebagai suatu sistem kebenaran.

Ilmu komunikasi dalam sejarah awal pembentukan juga tidak jauh dari kecenderungan positivisme ilmiah. Paradigma utama dalam ilmu komunikasi pun tidak jauh dari masalah metodologis yang bersifat empirik positif. Pendekatan mekanistik ala Shannon-Weaver tidak jauh melihat bahwa komunikasi merupakan pecahan mekanik yang dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya meniru perilaku mesin transmitter dan receiver. Kecenderungan bahwa komunikasi merupakan proses linear mekanistik merupakan derivasi pemahaman ilmu alam dalam gugus perilaku manusiawi. Beberapa model pokok dalam ilmu komunikasi tidak jauh dari masalah distansi penuh antara peneliti dan yang diteliti, objektivistis-mekanistik, deduktif-nomonologis dan penelitian eksternal faktual dari setiap gejala yang masuk dalam perilaku komunikatif. Kecenderungan positivistik dalam ilmu komunikasi pun akhirnya membentuk bentuk ilmu sosial yang bersifat otoriter dan cenderung minus kecuali dalam memuaskan aturan dan sistem logika ketat yang menuntut pengujian korelasional yang dapat diuji secara praktis.

Kecenderungan dominan positivisme dalam ilmu komunikasi memberikan hasil model-model meta naratif pada pengalaman sosial manusia yang disebut dengan komunikasi. Meta narasi komunikasi yang bersifat universal mempunyai tantangan bahwa pola komunikasi sebenarnya sangat terikat dengan ruang dan waktu manusiawi. Padahal sifat keterikatan dengan ruang dan waktu ini bisa sangat bersifat tentatif dan relatif, mengingat sifat manusia yang bisa sangat kontekstual. Relasi komunikatif adalah kontekstual dalam arti bahwa relasi komunikatif tidak bisa begitu saja direduksi dalam pola kuantitatif yang bisa sangat rigid dengan keadaan yang sebenarnya.

Meta narasi universal dalam paradigma komunikasi pada suatu saat menimbulkan penyederhanaan pengalaman manusia yang bersifat tentatif. Tapi di lain waktu, meta narasi universal dalam paradigma komunikasi menimbulkan rejim otoriter dalam menentukan kebenaran yang bisa sangat bersifat manipulatif. Rejim otoriter ini menimbulkan masalah dogmatis dalam ilmu pengetahuan yang pada akhirnya mengakibatkan krisis epistemologis terutama dalam pendekatan rasional pada pengalaman manusia yang disebut dengan komunikasi.

Makalah ini memberikan gambaran singkat terhadap wacana alternatif terhadap pendekatan ilmu pengetahuan, terutama ilmu komunikasi. Ada perkembangan masyarakat yang tidak cukup dipahami dengan sederetan angka dan prosentase. Angka justru menimbulkan kesesatan pikir baru yang bersifat ideologis. Wacana alternatif tersebut adalah wacana teori kritis.

Hanya memang tulisan ini mencoba untuk mengembangkan diskusi teoritis tentang teori kritis dengan masalah bagaimana teori kritis dipahami dalam kerangka praksis.

Diskusi 1. Sekilas tentang Teori Kritis

Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.

Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.

Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Diskusi 2: Pengaruh Teori Kritis dalam Wacana Ilmu Komunikasi

Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu komunikasi sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu komunikasi di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi informasi bahkan sebelum perang dunia I. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan komunikasi massa di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu komunikasi dipenuhi dengan paradigma positivistik.

Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.

Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.

Riset komunikasi yang berkembang bersamaan dengan asumsi pemikiran administratif adalah riset studi efek media massa. Selanjutnya dalam era 30-40-an pemikiran Teori Kritis mengembangkan studi tentang ekonomi politik media, analisis budaya atas teks, dan studi resepsi khalayak – studi ideologi dalam media yang pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat pada era 70-80-an.

Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya – untuk kepentingan apapun – dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Studi Kajian Budaya Kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka media menjadi ideological apparatus.

Studi resepsi kritis menempatkan bahwa kelompok khalayak terbagi dalam klasifikasi status sosial dan ekonomi. Secara politis, masyarakat terbagi dalam kelompok sosial yang mempunyai tingkat resepsi yang berbeda. Pendekatan Bordieu banyak memakai metode ini.

Diskusi 3. Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Ideologi Dan Hegemoni

Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.

Pendapat Golding dan Murdock (Currant & Guravitch ed., 1991:188) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan.

Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).

Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.

Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa.

Wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.

Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.

Para awak media dalam konteks pemberitaan teks media selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman awak media terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.

Diskusi 4. Penerapan Aplikatif: Paradigma Kritis Dan Wacana Teks Media

Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis tapi terutama adalah kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yang berada di balik teks media yang bersangkutan menjadi hal yang penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Diskusi 5: Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Paradigma Dan Teori Kritis

Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai:

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Terlepas dari segala variasinya, perbedaan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain dapat dikelompokkan berdasarkan hal yang mendasar. Hal-hal tersebut adalah hal yang berkaitan dengan konsep dan ide dasar ilmu sosial, atau asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, opsi moral, serta komitmen terhadap nilai-nilai tertentu.

Setidaknya ada empat paradigma yang bisa dikelompokkan dalam teori-teori penelitian ilmiah komunikasi. Paradigma-paradigma itu adalah sebagai berikut paradigma humanis radikal (radical humanist paradigm), paradigma struktural radikal (radical structuralist paradigm), paradigma interpretif (Interpretive paradigm), dan terakhir adalah paradigma fungsionalis (fungsionalist paradigm).

Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan paradigma, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi paradigma di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Apabila terjadi tiga pembedaan paradigma dalam ilmu sosial, maka terjadi perbedaan pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tersebut adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.

Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).

Pengaruh idea marxisme – neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.

Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.

Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media dalam konteks paradigma kritis.

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.

Reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang sudah ditentukan justru dimarginalisasikan ? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau wilayah pertarungan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa dalam konteks wacana – terutama dalam konteks wacana komunikasi – sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan verbal selalu memakai kata. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya – tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi – konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang (M.Shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

Buku-Buku

Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication

Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University Press

Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:Pantheon

Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward Arnold

Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage Publication

Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage Public

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold

Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge

Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books

Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge

Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius

Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press

Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan

Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing Company

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOI

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia

Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:Routledge

Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil Blackwall

Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage Publications

Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge

Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon

Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication

Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher

Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage Publication

Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press

Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:Longman

Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara

Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group

Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya

Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PC

Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:Routledge

Halqah ‘Usyariyah

Mîzân Study Club Cairo

Rabu, 12 September 2001

FILSAFAT ALAM DALAM ILMU KALÂM

(Dari Masa Lalu Menuju Masa Depan)*

  1. Pendahuluan

Filsafat alam (philosophy of nature / فلسفة الطبيعة / الفلسفة الطبيعية / الطبيعيات) adalah filsafat yang berusaha untuk menjelaskan kejadian alam, sifat-sifatnya dan hukum-hukumnya secara teoritis dan menyeluruh. [i]

Pada masa lalu filsafat alam tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu eksakta. Filsafat alam adalah ilmu-ilmu eksakta itu sendiri bagi orang Yunani, atau dia adalah ilmu alam yang menjadi lawan dari etika, metafisika dan estetika. Pada masa itu filsafat alam mencakup isi buku-buku yang dikarang oleh Aristoteles (384-322 SM) seperti: السماع الطبيعي yang berbicara tentang gerak, waktu dan tempat; النفس yang membahas tentang kehidupan dengan berbagai bentuknya; الكون والفساد yang berisi tentang kejadian benda dan kehancurannya; dan الحيوان yang memuat studi ilmiah tetang binatang. Selain itu filsafat alam juga mencakup Holyzoisme, yaitu teori yang memandang bahwa alam semesta adalah sesuatu yang hidup dan berakal.  [ii]

Filsafat alam yang dimiliki oleh bangsa Yunani ini kemudian berpindah ke Arab dan Barat dengan pengertian yang tak jauh berbeda. Bahkan sampai abad XVIII yang dimaksud dengan filsafat alam di Barat tak lain adalah ilmu-ilmu eksakta. Baru pada perkembangan terakhir—di saat cabang-cabang ilmu menemukan kemerdekaan dan melepaskan diri dari induknya (filsafat)—dapat dipisahkan antara ilmu-ilmu eksakta dan filsafat alam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat alam (dengan pengertian klasik) adalah cikal bakal bagi lahirnya ilmu-ilmu eksakta modern. ‘Filsafat alam adalah السلف التاريخي المباشر, dan dalam waktu yang bersamaan adalah akar yang sangat kuat—dalam bangunan peradaban—bagi ilmu-ilmu eksakta yang saat ini menempati posisi yang paling strategis dalam bangunan ilmu modern.’ [iii]

****

Salah satu pertanyaan yang saat ini banyak menyibukkan para peneliti—baik di Barat maupun di Timur—adalah ‘apakah yang melatarbelakangi gagalnya peradaban Arab (dan Cina) dalam melahirkan ilmu pengetahuan, sementara Barat yang mengalami keterlambatan yang sangat lama dalam hal ini justru mampu menjadikan dirinya sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi?’

Peradaban Arab sebenarnya telah lebih dulu mengenal berbagai cabang ilmu, seperti matematika, astronomi dan kedokteran sampai abad XIII, di saat Barat masih tenggelam dalam kebodohan. Hanya saja kemajuan dalam beberapa bidang ilmu ini tiba-tiba terhenti, untuk kemudian diambil alih oleh Barat. Dalam bidang astronomi misalnya, para astronom Arab—yang dipelopori oleh Ibnu Syâthir—sejak abad XI sampai abad XIV telah melakukan berbagai macam penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki astoronomi Ptolemy yang didirikan atas dasar geosentris. Hanya saja Ibnu Syâthir dan astronom-astronom Arab yang datang setelahnya gagal dalam mengembangkan astronomi dengan asas heliosentris, sebuah pekerjaan yang berhasil digarap dengan apik oleh Copernicus yang datang satu setengah abad setelah Ibnu Syâthir. [iv] Penyebab utama kegagalan Ibnu Syâthir dan kawan-kawannya ini, menurut Toby E. Huff, adalah karena para astronom Arab tersebut tidak mendapatkan ruh yang mampu menjadikan mereka berani untuk keluar dari pandangan umum agama—yang berkembang pada saat itu—terhadap hukum-hukum yang mengatur alam. [v]

Kalau pendapat E. Huff di atas benar, maka dapat disimpulkan bahwa gagalnya bangsa Arab Islam dalam mengembangkan sains tidak dapat dilepaskan dari keyakinan-keyakinan agama yang mereka miliki. Ilmu Kalâm dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting, karena dia adalah ilmu yang lahir dan berkembang sebelum abad terjemah, sehingga memiliki akar yang sangat kuat dalam peradaban Islam. Ilmu Kalâm merupakan usaha pertama yang dilakukan oleh umat Islam dalam memahami dan menjelaskan teks-teks agama dengan menggunakan akal. Dan lebih dari itu ilmu Kalâm adalah ideologi bagi umat Islam yang menggambarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya dan menjadikannya sebagai umat yang mempunyai kepribadian tersendiri. Sementara filsafat Islam (حكمة)—meskipun banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani—tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm.

****

  1. Alam Dalam Pandangan Kalâm Klasik

Berbeda dengan anggapan umum yang selama ini berkembang, filsafat alam memakan porsi yang cukup besar dalam pembahasan ilmu Kalâm, walapun dia bukanlah merupakan permasalahan terbesar dan tema terpenting dalam buku-buku Kalâm. [vi]

Menurut mutakallimîn alam adalah segala yang ada selain Tuhan atau اللطائف atau عالم الشهادة atau dengan bahasa modern dia adalah alam fisika. Ada dua cara yang dapat kita gunakan untuk membahas ilmu Kalâm: pertama, dengan mengkaji golongan-golongannya; dan kedua, dengan mengkaji materi-materinya. Dengan cara terakhir, kita dapatkan bahwa materi ilmu Kalâm ada enam, yaitu: التوحيد, القدر, الإيمان, الوعيد, الإمامة dan اللطائف. الإلهيات mencakup  التوحيد dan القدر; السمعيات mencakup الإيمان, الوعيد, dan الإمامة; sedangkan اللطائف membahas tentang جسم, مادة, gerak, waktu dan tempat, atau materi-materi alam fisika. Oleh karena itulah اللطائف dalam Kalâm dikenal sebagai دقيف الكلام yang merupakan lahan bagi akal semata, dan merupakan kebalikan dari جليل الكلام atau keyakinan-keyakinan yang hanya bisa diketahui dari kitab Allah. [vii]

Atas dasar di atas, para teolog Islam banyak menyibukkan diri dalam اللطائف, dan ini merupakan awal dari persentuhan akal Islam dengan alam fisika. Tumbuhnya pemikiran ilmiah di antara pemikiran agama ini menjadikan peradaban Islam berbeda dengan peradaban Barat. Dalam Islam gerakan berpikir ilmiah sama sekali tidak bertentangan dengan agama, bahkan semua itu berada di bawah naungan agama. Inilah yang memberi kesempatan bagi para ilmuwan Islam pada masanya untuk dapat memberi sumbangan bagi perkembangan sains pada abad pertengahan di saat Barat masih tenggelam dalam kegelapan. Namun, gerakan ilmiah itu kemudian terhenti karena begitu mendominasinya pemikiran agama. Dan inilah yang akan kita bicarakan pada paragraf-paragraf berikut.

****

Alam fisika di tangan mutakallimîn telah berubah menjadi الجواهر  dan الأعراض, yang diambil dari teori atom klasik. Kemudian الجواهر  dan الأعراض berubah menjadi ontologi ilmu Kalâm atau dasar pandangan mutakallimîn terhadap alam. Dengan cara mereka, para mutakallimîn menetapkan bahwa alam itu berubah-ubah karena perubahan yang terjadi pada الأعراض. Oleh karena itulah alam ini  حادث atau dia adalah ciptaan Allah.

دليل الحدوث atau keberadaan alam yang حادث sebagai bukti keberadaan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui adalah bukan saja merupakan sesuatu yang disepakati oleh para teolog Islam, tapi juga umat Islam semuanya. Oleh karena itu, alam bagi mutakallimîn tak lebih dari tanda keberadaan sesuatu yang ada di balik alam itu, yaituTuhan. Dan ini sesuai dengan makna akar kata alam yang terambil dari kata علم yang berarti tanda yang menunjukkan keberadaan pemilik tanda tersebut.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh para teolog Islam adalah hubungan antara Allah dengan alam. Allah adalah Pencipta alam, menjadikannya ada dari tidak ada. Inilah yang terpenting yang terdapat dalam دليل الحدوث. Dari sini kita melihat bahwa دليل الحدوث pada dasarnya adalah قياس الغائب على الشاهد, dan ini sebenarnya adalah salah satu bentuk dari cara berpikir ilmiah empiris. Inilah yang menyebabkan mutakallimîn pada periode awal begitu memperhatikan materi-materi ilmu fisika. Hanya saja di sisi lain دليل الحدوث itu sendirilah yang menjadikan pembahasan terhadap alam dalam ilmu Kalâm terjebak dalam lingkaran tertutup, yang pada gilirannya mengakibatkan terpisahnya ilmu Kalâm dari pembahasan terhadap alam. Pemikiran agamalah yang selanjutnya kembali mendominasi. Sementara pemikiran ilmiah yang baru tumbuh ibarat janin yang digugurkan secara terpaksa. [viii]

Lingkaran tertutup dalam  دليل الحدوث itu disebabkan karena alam bagi mutakallimîn tak lebih dari sekedar tangga untuk mencapai akidah; alam hanyalah sebagai alat untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan manusia, padahal manusialah yang hidup di alam dan membutuhkannya. Inilah yang menyebabkan filsafat alam di dalam pemahaman Kalâm klasik sama sekali keluar dari permasalahan epistimologi, dan hanya berkutat pada permasalahan ontologi, yaitu bahwa kehudûtsan alam membuktikan keberadaan Tuhan. [ix]

دليل الحدوث  inilah yang menjadi kerangka bagi filsafat alam yang terdapat dalam ilmu Kalâm, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Inilah yang menjadikan ketuhanan sebagai akhir dan tujuan, sebagaimana dia adalah awal dan titik tolak, sehingga pembahasan terhadap alam terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya.

****

Teolog yang pertama kali memanfaatkan teori atom untuk membuktikan kehudûtsan alam adalah Abû al Hudzail al ‘Allâf, seorang teolog mu’tazilah yang hidup antara tahun 135-226 H. Abû al Hudzail mengganti istilah atom dengan istilah baru yang islami, yaitu الجوهر الفرد. Madzhab الجوهر الفرد ini kemudian diikuti oleh semua mu’tazilah—kecuali beberapa orang—dan asyâ‘irah, bahkan madzhab ini sempurna di tangan yang terakhir disebut ini. [x]

Secara umum dapat dikatakan bahwa الجوهر الفرد adalah pondasi dasar bagi filsafat alam dalam Kalâm, sampai sebagian orang menyebut bahwa Kalâm adalah aliran filsafat yang berbicara tentang asas atom. Hanya saja hal ini tidak berarti bahwa teori الجوهر الفرد adalah semata-mata pindahan dari teori atom. Teori atom adalah teori yang mencoba memahami dan mentafsirkan alam. Sedangkan teori الجوهر الفرد adalah terori yang berusaha menjelaskan hubungan alam dengan Penciptanya, berawal dari keberadaan Allah dan berakhir pada penetepan kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang meliputi segalanya. Oleh karena itulah teori الجوهر الفرد terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya (Allah => alam => Allah). [xi]

Atom di tangan para filosof Yunani bergerak dengan gerakan yang tak berakhir. Gerakan inilah yang menjadikan alam menjadi sesuatu yang mekanis yang terdiri dari perpaduan antara atom-atom yang menyusunnya, sehingga tidak membutuhkan penciptaan Tuhan. Sedangkan di tangan para teolog Islam—baik mu’tazilah maupun asyâ‘irah—  الجوهر الفرد adalah sesuatu yang حادث yang diciptakan oleh Allah. Al ‘Allâf telah menambahkan ‘diam’ kepada atom Yunani, dimana ini tidak diakui oleh Democritus. Konsep ‘diam’ bagi Al ‘Allâf adalah penolakan terhadap konsep perpaduan atom dalam teori atom Yunani dan merupakan penegasan bagi penciptaan Tuhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa teori الجوهر الفرد tak lain adalah penetapan keberadaan Tuhan, bahkan dia adalah penetapan terhadap penciptaan alam yang terus-menerus oleh Tuhan. [xii]

****

Sebagaimana disinggung di awal, filsafat Islam (حكمة) tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm. Jalan yang ditempuh oleh filsafat Islam memang relatif berbeda dengan Kalâm. Hanya saja keduanya sebenarnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam naungan peradaban Islam. Kalâm tak lebih dari kegiatan berpikir filsafatis terhadap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh wahyu. Dan pada saatnya Kalâm juga banyak menggunakan logika yang menjadi dasar utama filsafat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam sebenarnya adalah perkembangan dari Kalâm yang telah mencapai kematangan.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kita tidak dapat memahami Kalâm tanpa filsafat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, pembicaraan tentang filsafat alam dalam Kalâm tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang filsafat alam dalam حكمة.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa pembahasan tentang alam di tangan para filosof menjadi lebih jelas dan terarah jika dibandingkan dengan mutakallimîn. Mereka (para filosof Islam) semua sepakat bahwa materi حكمة mencakup tiga aspek: logika, alam dan teologi. Di tangan para filosof alam tak lagi حادث. Hal ini disebabkan oleh pengaruh filsafat Yunani yang tidak bisa membayangkan keberadaan alam dari tidak ada. Oleh karena itu para filosof kemudian menerima dan mengembangkan teori emanasi (pancaran) sebagai ganti dari جوهر فرد. Hanya saja hal ini tak mampu membebaskan alam dari permasalahan ontologi yang mengarah pada teologi dan sebaliknya dalam lingkaran tertutup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan yang dimiliki oleh para filosof Islam terhadap alam pada hakikatnya tidak berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh mutakallimîn.

****

  1. Menuju Kalâm Masa Depan

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa bila dipandang dari kaca mata filsafat ilmu modern, ilmu Kalâm banyak sekali memiliki sisi-sisi negatif. Dengan kata lain, pandangan ilmu Kalâm terhadap alam menjadikan perjalanan sains yang semula tumbuh subur dalam naungan peradaban Islam terhenti bahkan hilang sama sekali. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa Kalâm kehilangan sisi positif sama sekali. Sebagai aktifitas paling pertama dalam memahami wahyu dengan menggunakan akal sebelum masuknya pengaruh luar, Kalâm memiliki akar yang sangat kuat bagi pembentukan pola pikir muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa Kalâm adalah merupakan perwujudan dari apa yang disebut sebagai ‘الغقل العربي الصميم’. [xiii]

Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah pembaharuan Kalâm, dengan tetap memperhatikan sisi-sisi positif yang dimilikinya. Pembaharuan adalah sunnah kehidupan. Semua yang ada di jagad raya berubah dari waktu ke waktu menuju kondisi yang lebih baik. Manusia dan pemikiran-pemikirannya pun tak luput dari sunnah ini.

Kalau kita buka lembaran sejarah, perubahan dan pembaharuan dalam Kalâm ini bukanlah merupakan sebuah hayalan, tapi benar-benar merupakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Sejak abad pertama berdirinya peradaban Islam banyak sekali pertentangan dan perbedaan pendapat seputar masalah akidah. Bahkan di antara sekian banyak pertentangan tersebut banyak sekali yang menimbulkan pertumpahan darah. Kita tentu bukan bermaksud mengulangi sejarah kelam masa lalu tersebut, tapi kita di sini hanya ingin menunjuk bahwa perubahan dalam bidang akidah tersebut merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi, bahkan pada saat-saat awal lahirnya Islam. ‘Perkembangan akidah itu mungkin terjadi, bahkan dia sekarang adalah merupakan sesuatu yang wajib.’ [xiv]

****

Yang pertama sekali harus disadari dalam pembaruan ilmu Kalâm ini adalah bahwa Kalâm klasik tak lebih adalah produk sejarah yang timbul sebagai jawaban atas kondisi yang ada pada saat itu. Di sinilah tampak pentingnya membedakan antara akidah dan Kalâm. Keyakinan-keyakinan yang berkenaan dengan Tuhan (akidah) bersifat tetap, suci dan tidak dapat diubah-ubah, sementara ilmu Kalâm tidaklah demikan halnya. Ilmu Kalâm murni bersifat manusiawi, diciptakan oleh manusia dalam ruang dan waktu tertentu dengan kondisi yang tertentu pula. [xv]

Tanpa menyadari keberadaan ilmu Kalâm dengan pemahaman di atas, sangat mungkin sekali kita terjebak dalam apa yang disebut oleh F. Bacon sebagai idols of theatre (أوهام المسرح), yaitu kesalahan-kesalahan yang disebabkan karena kepercayaan yang berlebihan terhadap apa yang ditulis oleh para pendahulu. [xvi] Idols of theater  ini disebabkan karena ketidakmampuan kita dalam membedakan antara yang nisbi dan yang mutlak. Kalâm adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu dia bersifat nisbi dan bisa berubah-ubah sesuai tuntutan kondisi.

“… Sikap kita terhadap turats bukan hanya sebagai pemindah saja. Mereka manusia, kita juga manusia. Kita belajar dari mereka dan bukan sekedar mengikuti mereka. Sikap kita adalah sikap sseorang peneliti dan pengkritik. Apabila mereka memilih sesuatu, maka kita memilih sesuatu yang lain, karena memang kondisi yang berubah. Mereka dulu melakukan ekspansi, sementara kita adalah korban ekspansi. Mereka memberikan prioritas kepada naql, sementara kita memberikannya kepada akal. Mereka mengutamakan iman dan kita mengutamakan amal. Mereka mengedepankan ketuhanan, sementara kita mengedepankan kemanusiaan. Dalam fiqih mereka mementingkan ibadah karena memang agama masih baru, sedangkan kita lebih mementingkan kerja (amal) karena percaturan politik dan ekonomi yang ada saat ini.” [xvii]

Dengan sikap seperti di atas, kita tidak akan menemukan hubungan antara Kalâm baru dan Kalâm klasik sebagai ketersambungan yang bersifat negatif, yang menjadikan klasik sebagai subyek dan baru sebagai obyek, atau yang menjadikan para pendahulu sebagai pewasiat dan kita sebagai pendengar saja. Tapi dalam waktu yang bersamaan hubungan tersebut juga bukan merupakan keterputusan yang menjadikan Kalâm baru tumbuh dari kekosongan. Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan inilah yang menjadikan Kalâm masa depan sebagai kendaraan yang sempurna untuk mencapai kemjuan di masa yang akan datang. [xviii]

****

Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan ini sangat erat kaitannya dengan القطيعة المعرفية (La Rupture Epistemologique) yang dicetuskan oleh G. Bachleard (1884-1962). Tokoh filsafat ilmu berkebangsaan Perancis ini meletakkan القطيعة المعرفية dalam kerangka filsafat dialektik antara ada-tidak ada dan antara ketersambungan-keterputusan, demi terjadinya pertambahan kualitatif dalam bangunan ilmu dan bukan sekedar pertambahan kuantitatif. القطيعة المعرفية didasarkan pada hukum dialektika yang terkenal: ‘pertambahan kuantitas menyebabkan perubahan kualitas’. [xix]

Menurut teori القطيعة المعرفية ini perkembangan ilmu didasarkan pada pemutusan hubungan dengan masa lalu, tapi bukan dalam arti mengingkarinya. Hal yang terakhir disebut ini tidak pernah terjadi dalam perkembangan ilmu. Newton misalnya, dengan jujur mengakui bahwa dia tampak begitu tinggi karena berdiri di atas pundak para pendahulunya. القطيعة المعرفية memberi pemahaman bahwa apa yang ada hari ini bukanlah sekedar kelanjutan mekanis atau tambahan kuantitatif terhadap apa yang ada pada masa lalu. Kemajuan berdasarkan القطيعة المعرفية berarti membuat jalan baru yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulu, baik karena kondisi yang belum menuntut adanya hal itu maupun karena keterbatasan cara berpikir mereka. Contoh yang diberikan oleh Bachleard dalam hal ini adalah penemuan lampu listrik. Lampu listrik bukan sekedar kelanjutan dari cara-cara penerangan klasik yang didasarkan pada pembakaran, tapi dia adalah merupakan pemutusan terhadap semua cara lama dengan menciptakan penerangan yang sama sekali tidak didasarkan pada pembakaran. [xx]

****

Lalu bagaimanakah bentuk ilmu Kalâm baru setelah dipersenjatai dengan القطيعة المعرفية ini? Sebagaimana disebut di awal, tujuan yang ingin dicapai oleh Kalâm klasik adalah pembuktian akidah. Pada masa awal lahirnya, Islam banyak sekali menghdapi serangan pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Kalâm klasik sebagai usaha untuk mempertahankan keyakinan agama. Kalau kita lihat kondisi kita sekarang, ancaman yang dihadapi oleh para pendahulu kita tersebut sudah hampir tidak ada, atau setidaknya sangat sedikit sekali. Kondisi yang ada pada kita sekarang adalah kebalikan dari kondisi yang ada pada para pendahulu kita. Oleh karena itu pada masa sekarang, kita tidak menjadikan pembuktian akidah sebagai tujuan, tapi justru kita berangkat dari akidah yang sudah mapan menuju pengejewantahan manusia muslim dalam peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Jika dalam Kalâm klasik manusia dan alam dijadikan sebagai muqaddimah untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Esa, maka dalam Kalâm baru Allahlah yang kita jadikan sebagai titik tolak dalam usaha untuk mewujudkan eksistensi manusia dalam perjalanan sejarah. [xxi]

دليل الحدوث yang menjadi pondasi dasar Kalâm klasik telah menjadikan pembahasan terhadap alam sebagai permasalahan ontologi. Maka tugas Kalâm baru adalah mengubah (mengembalikan) pembahasan terhadap alam ini sebagai permasalahan epistimologi. Dengan kata lain Kalâm baru harus memandang alam bukan sekedar sebagai bukti keberadaan Tuhan, tapi dengan tujuan untuk memahami, mentafsirkan, mengadakan prediksi dan eksploitasi bagi kemajuan manusia. Dan untuk itu Kalâm baru harus berani melepaskan diri dari pendahulunya yang menjadikan alam terjebak dalam lingkaran tertutup antara ontologi dan teologi.

Kalau kita perhatikan perkembangan ilmu di Barat, pada awalnya kegiatan ilmiah sama sekali tidak terpisah dari keyakinan agama. F. Bacon misalnya berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya dan para ilmuwan semasanya tak lain adalah usaha untuk memperlajari ‘Taurat Alam’ untuk membuktikan kekuasaan Tuhan yang terdapat pada ciptaannya. Hanya saja, usaha hal ini sama sekali tidak menghalangi mereka untuk melindungi ilmu dari campur tangan Tuhan.

Usaha untuk berpindah dari membaca kita suci menuju kitab alam ini sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan oleh umat Islam. Tapi semua itu jadi tidak berarti di saat umat Islam gagal meletakkan alam dalam kerangka epistimologi dan terjebak dalam lingkaran tertutup yang menjadikan alam hanya sekedar sebagai alat untuk mengenal Tuhan.

Ilmu pada masa sekarang ini bukan lagi ‘membaca kitab alam’ untuk mengetahui hukum-hukum pasti yang ada di dalamnya (determinisme). Tapi ilmu menurut epistimologi modern adalah ‘hipotesa-hipotesa jenius yang berhasil dibuktikan melalui percobaan’. [xxii] Dan tugas Kalâm baru adalah meletakkan alam dalam kerangka epistimolgi modern ini. Kalâm baru harus mampu memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi perkembangan ilmu, karena sebagai hasil cipta rasa manusia ilmu akan terus berkembang secara vertikal dan berubah dari waktu ke waktu. Yang tidak boleh berubah adalah kepribadian kita sebagai muslim. Sebagai peradaban yang bersumber dari wahyu kita harus tetap berpegang pada tauhid yang menjadikan Allah, manusia dan alam dalam satu kesatuan. Ini adalah identitas kita yang harus kita pertahankan secara terus-terus menerus, dengan syarat tidak menghalangi kita untuk mengkaji alam dalam kerangka epistimologi.

Apabila ini mampu dilakukan oleh Kalâm baru, maka berarti dia telah mampu melaksanakan tugasnya menjadikan wahyu sebagai syari’at yang bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

 

ISLAM MENETAPKAN KEMERDEKAAN BERKEHENDAK

Agama Islam menetapkan bahwa manusia diciptakan dan dibekali kekuatan, bakat, kesiapan dan persediaan tenaga serta ilmu. Semuanya (kekuatan dan lain-lain) dapat digunakan untuk kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu tidak mungkin bahwa semuanya akan diarahkan kepada kebaikan semata-mata atau ke arah keburukan semata-mata, sekali pun perlu diakui bahwa kehendak ke arah kebaikan dalam diri sebagian manusia adalah lebih kuat dan kehendak keburukan di sebagian orang yang lain lagi lebih kuat pula. Selisih yang sedemikian ini rasanya tidak ada yang dapat mengetahui selain Allah Taala sendiri. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, “Setiap anak dilahirkan menurut fitrah (asal kejadiannya yakni suci, bersih dan murni).”

Hadis lain menyebutkan, “Manusia adalah bagaikan barang tambang seperti galian emas dan perak. Manusia pilihan di zaman Jahiliah itulah yang pilihan di zaman Islam, jika mereka pandai.”

Kedua hadis di atas dikuatkan oleh firman Allah Taala, “Dan jiwa serta apa yang disempurnakan untuknya. Kemudian Allah mengilhamkan padanya yang salah dan yang takwa (benar)” (Q.S. Asy-Syams:7-8)

Maksudnya Allah swt. setelah menciptakan manusia, lalu diberi suatu jiwa yang dapat digunakan untuk alat penyempurnaan manusia itu sendiri. Jiwa ini mula-mula dijadikan dalam keadaan sama rata, lurus dan jujur, tetapi mempunyai fungsi dapat menerima kebenaran dan kesalahan, juga mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.

Allah swt. membekali manusia dengan akal pikiran sejak lahir yang dengannya ia dapat membedakan antara yang benar dan salah, tentang yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan, juga dapat membedakan antara yang baik dan buruk dalam hal perbuatan, bahkan juga dapat digunakan untuk membedakan antara yang dusta dan yang bukan dusta dalam hal ucapan. Dengan akal yang bersumber pada otak, manusia diberi Allah Taala suatu kemampuan untuk dapat menyatakan sesuatu yang benar sebagai kebenaran, juga sesuatu yang batil sebagai kebatilan. Dengan kekuasaannya pula ia dapat melaksanakan tercapainya sesuatu kebaikan atau meninggalkan sesuatu kejahatan, juga dapat berkata yang benar, menjauhi yang dusta, bahkan juga dapat menggariskan jalan yang benar, hak dan baik, sesuai dengan perintah-perintah yang terdapat dalam kitab-kitab suci Tuhan dan sesuai pula dengan ajakan-ajakan yang diberikan oleh para rasul-Nya.

Jadi selama manusia masih mempunyai akal pikiran yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai kekuasaan untuk berbuat mana saja yang disukai, juga mengetahui jalan mana yang akan dia tempuh sesuai dengan keinginannya dan semua itu secara jelas terbuka di hadapannya, maka manusia benar-benar mempunyai kemerdekaan berkehendak dan mempunyai hak memilih dalam segala perbuatan dan tindakannya. Dari itu manusia tentunya secara sukarela hendak mengarahkan kekuatannya yang sesuai dengan pilihan jiwanya benar atau salah, hak atau batil, baik atau buruk, dusta atau bukan dan lain sebagainya. Dalam AlAllah swt. berfirman,“Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberikan petunjuk kepada manusia akan jalan yang dapat ditempuhnya (untuk mencapai kebaikan), tetapi adakalanya manusia berterima kasih dan adakalanya ia bersikap kafir (mengingkari nikmat yang dilimpahkan kepadanya)” (Q.S. Al-Insan:3)

Jelasnya, Allah Taala sudah memberikan petunjuk dan bimbingan, ada yang menjurus ke arah yang hak dan ada yang ke arah yang batil, kepada kebaikan dan keburukan, ke arah benar dan dusta, maka manusia itu sendiri yang berhak memilihnya untuk menempuh salah satu dari keduanya. Jika ia menempuh jalan petunjuk yang lurus berarti ia mensyukuri nikmat hidayah yang diberikan padanya dan jika ia menempuh jalan yang bengkok maka berarti ia menutupi nikmat itu. Seirama dengan pengertian ini, Allah swt. berfirman dalam Alquran, “Dan Kami (Allah) memberikan petunjuk kepada manusia itu akan dua jalan.” (Q.S. Al-Balad:20)

Insafilah bahwa setiap manusia pasti akan dimintai pertanggungjawaban tentang didikan dirinya sendiri, usaha memperbaikinya dan upaya untuk meluruskannya sehingga ia dapat mencapai suatu kesempurnaan yang ditakdirkan untuknya. Sebabnya ialah karena memperbaiki diri dan jiwa sendiri, menyucikan dan menumbuhkannya dengan mengisi ilmu pengetahuan yang bermanfaat, amal saleh dan tindakan yang jujur adalah suatu jalan untuk memperoleh kebahagiaan dan keuntungannya sendiri, sebab pasti diridai oleh Allah Taala, malah dapat mendekatkan diri untuk menyaksikan keagungan dan keindahan Tuhan. Sebaliknya dengan melalaikan pendidikan diri dan jiwa serta menelantarkannya adalah berarti menempuh jalan untuk menjadikannya merugi, menyesal dan jatuh ke lembah berbahaya. Allah Taala berfirman, “Sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya. Dan amat merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams:9-10)

Lagi firman-Nya, “Malah manusia itu dapat melihat dengan terang terhadap dirinya sendiri.” (Q.S. Al-Qiyamah:14)

Juga firman-Nya, “Setiap diri itu tergadai karena perbuatannya sendiri.” (Q.S. Al-Muddatstsir:38)

Dan firman-Nya, “Setiap orang tergadai dengan perbuatannya sendiri.” (Q.S. Ath-Thur:21)

Ayat-ayat yang menjelaskan perihal ketetapan kebebasan atau kemerdekaan manusia itu amat banyak sekali, di antaranya ialah firman Allah swt., “Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik, maka keuntungannya adalah untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang mengerjakan perbuatan buruk, maka bahayanya adalah atas dirinya sendiri pula. Tuhanmu tidaklah menganiaya (merugikan) pada hamba-hambanya.” (Q.S. Fushshilat:46)

Terang bahwa dalam ayat itu dijelaskan tentang amal saleh atau yang buruk, seluruhnya disandarkan pada kehendak manusia itu sendiri. Andaikata manusia tidak merdeka dan bebas memilihnya tentu tidak akan disandarkan perbuatannya kepada dirinya. Dalam tempat yang lain dari Alquran, Allah Taala berfirman lagi, “Apa saja musibah (bencana) yang menimpa dirimu semua itu adalah disebabkan oleh perbuatanmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari dosa-dosa itu.” (Q.S. Asy-Syura:30)

Jadi keburukan-keburukan atau bencana-bencana yang diderita oleh seseorang hanyalah sebagai pengaruh dari perbuatannya sendiri dan itu pulalah yang merupakan buah dan hasil pilihan dan pemikirannya yang merdeka dan bebas. Sementara Alquran juga seringkali memperbincangkan tentang kerusakan atau marabahaya yang selalu menimpa diri manusia, lalu dijelaskan bahwa itu semua bukanlah karena perbuatan Tuhan, tetapi hanyalah merupakan akibat perbuatan manusia itu belaka. Allah Taala berfirman, “Tampaklah kerusakan di daratan dan lautan dengan sebab apa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia, karenanya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka, barangkali mereka surut dari kelakuannya yang salah itu.” (Q.S. Ar-Rum:41)

Inilah penetapan yang diikrarkan oleh Islam dan dijelaskan oleh Alquran yang dapat diringkas sebagai berikut:

Manusia wajib merasa bahwa segala sesuatu timbul dari dirinya sendiri.

Manusia wajib mengakui bahwa amal-amal yang dilakukannya timbul dari kemauan dan kehendaknya sendiri. Ia berhak melakukannya sepanjang iradahnya dan berhak pula melaksanakan sesuai pilihan hatinya.

Manusia boleh mengerjakan segala macam perbuatan, baik atau jahat, benar atau salah, sekehendak hatinya, tetapi boleh pula meninggalkannya sekehendak hatinya.

Jika manusia mengerjakan yang bermanfaat dan berfaedah, ia berhak memperoleh pujian dan pahala.

Jika manusia mengerjakan yang berbahaya dan menyebabkan kerusakan, ia pasti akan memperoleh celaan dan siksa.

Jadi ia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih, karena Andaikata tidak ada, tentu ia tidak berhak menerima pujian sebab amal baiknya dan tidak berhak menerima celaan sebab amal buruknya. Demikian kesimpulan dari berbagai ayat yang tertera di atas. Lagi pula andaikata manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan memilih, tentu di dunia ini tidak ada yang berhak disebut orang baik dan orang jahat, sebab baik yang berbuat kebaikan atau keburukan sama-sama terpaksa saja dalam melakukannya yakni kelakuan-kelakuan tidak timbul dari kehendak dan kemauannya sendiri. Dengan demikian, maka tentu tidak berguna adanya amar makruf (perintah kebaikan) dan nahi mungkar (larangan berbuat jahat) Kedua hal ini nanti akan menjadi tidak berguna, sebab seluruh manusia sudah tidak beriradah lagi, kemauan dan kehendaknya telah dirampas. Jika ini terjadi, tentu tidak ada artinya perintah-perintah Allah Taala (taklif) yang dibebankan kepada umat manusia, sebab diberi perintah tetapi kemampuan untuk beriradah dan berkehendak sudah dilenyapkan dan dirampas, adalah merupakan suatu penganiayaan yang tiada taranya, padahal Maha Suci Allah Taala dari sifat sedemikian itu. Ini adalah sama dengan ucapan seorang penyair, “Ia dilemparkan di laut, tangan kakinya diikat erat-erat, namun kepadanya diberi kata pengingat awas, awas, jangan sekali-kali tubuhmu tersentuh air! Mungkinkah itu terjadi?”

Lebih dari itu bahayanya, sekiranya iradah manusia sudah terampas dan hanya sebagai makhluk yang musayyar seperti mesin belaka, akan sia-sia fungsi dari undang-undang dan syariat, juga tidak berarti adanya balasan pahala dan siksaan.

Dahulu kaum musyrikin mengemukakan alasan sebab kemusyrikannya karena iradah dan kehendak Allah Taala. Mereka mengatakan, sekiranya Allah Taala tidak berkehendak untuk menjadikan mereka musyrik dan kafir, tentu tidak terjadi bahwa mereka itu musyrik dan kafir. Alasan mereka yang tidak masuk akal itu lalu dibantah sekeras-kerasnya oleh Allah Taala dan ditolak serta digugurkan dengan firman-Nya, “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan nanti akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki niscaya kita dan nenek-moyang kita tidak akan mempersekutukan-Nya, pula tidak akan mengharamkan sesuatu apa pun. Demikian itulah cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang sebelum mereka, mereka mendustakan kebenaran Tuhan, sehingga mereka merasakan hukuman kami.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu semua mempunyai pengetahuan yang dapat kamu semua kemukakan kepada kami? Kamu semua itu hanya memperturutkan persangkaan saja dan kamu semua hanya membuat kebohongan semata-mata.’ Katakan pula, ‘Allah mempunyai alasan yang tepat. Jika sekiranya Dia menghendaki, niscaya kamu semua akan diberi petunjuk.’” (Q.S. Al-An’am:148-149)

Dalam ayat di atas, Alquran mengemukakan penolakan terhadap kebohongan kaum musyrikin dari dua jalur, yaitu:

Pertama Allah Taala akan memberikan azab dan siksa-Nya kepada kaum kafir dan musyrik. Andaikata mereka tidak mempunyai hak pilihan menurut kemauan dan kehendak mereka sendiri, juga andaikata kesalahan-kesalahan, kemaksiatan-kemaksiatan, dosa, kafir dan syirik yang mereka lakukan itu bukan timbul dari diri mereka sendiri, tentulah Allah Taala tidak akan menurunkan azab dan siksa pada mereka, sebab Allah Maha Adil, tidak akan menganiaya seseorang, sekali pun hanya seberat timbangan debu yang amat ringan sekali.

Kedua kaum durhaka di atas menyangka bahwa mereka melakukan kekafiran dan kemusyrikan disebabkan tidak mengerti tentang ketuhanan, tidak mengerti tentang agama yang benar. Mereka mengatakan bahwa merektidak mempunyai pengetahuan yang dapat digunakan sebagai sandaran dan pedoman. Tetapi yang jelas bahkekafiran dan kemusyrikan mereka adalah karena penyelewengan dari agama yang benar dan pengingkaran dari kebenaran yang diturunkan oleh Allah Taala yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Oleh sebab itu, terhadap umat-umat yang dahulu (kuno) Allah Taala sudah menurunkan siksa-Nya. Jika kaum kafir dan musyrik sudah tidak mempunyai alasan lagi yang dapat dikemukakan, jelaslah bahwa apa yang mereka kemukakan tersebut hanya sebagai klaim yang bersumber dari prasangka belaka yang sama sekali tidak perlu diperhatikan, karena tidak beralasan sedikit pun, malah tidak terdapat suatu bukti pun yang membenarkan.

Dengan demikian, apa yang sudah dikemukakan oleh Allah Taala adalah suatu bantahan yang benar-benar mengenai sasaran kepada orang-orang musyrik. Andaikata Allah swt. bermaksud hendak memberi petunjuk kepada mereka, tentu petunjuk ini akan dilaksanakan dengan serta-merta. Tetapi bukan demikian sunatullah, sebab kalau ini terjadi, pasti bukan manusia lagi namanya, karena yang manusia yang sebenarnya terang-terangan dikaruniai suatu hak untuk bebas dan merdeka memilih mana yang dia sukai.

ANTARA KEHENDAK TUHAN DAN KEHENDAK MANUSIA

Ada sementara orang mengatakan jika memang benar Allah Taala memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada hamba-Nya untuk memilih yang dia sukai dan dia kehendaki, maka bagaimana pengertian ayat yang berbunyi, “Itu adalah bagi siapa di antara kamu yang berbuat kejujuran (lurus). Tetapi kamu semua tidak akan dapat berbuat demikian melainkan jika Allah Tuhan seru sekalian alam menghendaki seperti itu pula.” (Q.S. At-Takwir:28-29)

Terhadap penanya ini, baiklah kita jawab bahwa kehendak manusia tidak akan tercapai melainkan harus mengikuti salah satu dari dua jalan yang sudah ditentukan oleh kehendak dan iradah Tuhan. Jadi kehendak manusia tidak terlepas dari kehendak Tuhan. Namun demikian Allah Taala tetap berkehendak agar manusia memilih salah satu antara dua jalan yang masing-masing boleh dengan sesuka hatinya ditempuh dan dilalui yaitu jalan petunjuk dan jalan sesat.

Kalau manusia memilih jalan pertama, berupa petunjuk baik dan hidayah, itu pun tetap termasuk dalam lingkungan kehendak Ilahi juga dan kalau pun ia memilih jalan kedua yakni kesesatan, itu pun termasuk dalam lingkungan kehendak-Nya. Semua ayat yang tercantum dalam Alquran yang serupa atau hampir serupa dengan ayat di atas, maka pengertiannya tentu tidak akan keluar dari apa yang telah kami uraikan di atas itu.

16 Januari 2007

Ilmu dan Tsaqafah

Dipublikasi pada Monday, 02 October 2006 oleh informatika

  1. Shiddiq Al-Jawi

Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau umat Islam terkecoh menganggap ilmu-ilmu alam seperti fisika sama universalnya dengan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi. Mengapa? Sebab, pandangan tersebut juga dominan di negara-negara Barat, setelah kuatnya pengaruh Positivisme yang dirintis oleh August Comte (1798-1857). Sistem pendidikan di Dunia Islam yang didasarkan pada paradigma sekularisme akhirnya mengimbaskan pandangan yang sama itu kepada umat Islam (Butt, 1996: 17 & 42).

Positivisme adalah anggapan bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan ‘positif’. Positivisme merupakan tradisi berpikir dalam ilmu-ilmu sosial Barat yang sebenarnya dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu-ilmu alam dalam memahami dan menyelidiki fenomena alam. Karena itu, Positivisme mempercayai universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah (scientific method) sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal atau cocok (appropriate) untuk semua, kapan saja, dan di mana saja (Fakih, 2001: 24).

Walhasil, dominasi Positivisme dan metode ilmiah yang diterapkan dalam lapangan ilmu-ilmu sosial itulah yang mengakibatkan umat Islam menganggap ilmu-ilmu sosial bersifat universal, sebagaimana halnya ilmu-ilmu alam. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau ide demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme dianggap sama universalnya dengan fisika atau kimia. Demikian pula sosiologi dan psikologi; juga dianggap universal seperti halnya astronomi dan biologi.

Kenyataan itulah yang membuat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani prihatin. Dari sinilah lalu beliau merumuskan gagasannya tentang klasifikasi pengetahuan menjadi ilmu dan tsaqâfah, termasuk gagasan tentang metode berpikir untuk menghasilkan masing-masing pengetahuan itu. An-Nabhani menegaskan, ilmu-ilmu sosial bukanlah pemikiran universal, melainkan pemikiran khas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat. Dengan kata lain, karakter ilmu sosial adalah terikat atau mengandung nilai (value-bound), berbeda dengan fisika atau kimia yang bebas nilai (value-free) (Agus, 1999: 58). An-Nabhani memandang pula, ada perbedaan metodologi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Metode ilmiah, menurut beliau, hanya valid (sah) diterapkan dalam ilmu-ilmu alam, tidak berlaku secara universal untuk bidang ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi (An-Nabhani, 1973: 32-34).

Pengertian Ilmu dan Tsaqâfah

Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma‘rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaqâfah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhbâr), penyampaian transmisional (at-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinbâth). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).

Dalam khazanah pengetahuan kontemporer, istilah ilmu dalam klasifikasi An-Nabhani di atas identik dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), yang sering disingkat ‘sains’, sedangkan tsaqâfah kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Sebagian intelektual, seperti Jujun S. Suriasumantri (Kompas, 27/4/1983), mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu (science), (yang mencakup ilmu-ilmu alam dan sosial), dan humaniora (humanities). Humaniora, menurut Elwood (1975) adalah seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya (L. Wilardjo dalam Suriasumantri, 1992: 237), yang meliputi filsafat, moral, seni, sejarah, dan bahasa.

Istilah lain dikemukakan oleh S. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences (2002: 34-57), yang mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies) dan ilmu-ilmu sosial-humanistik (humanistic-social sciences). Yang terakhir ini adalah gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Istilah tsaqâfah menurut An-Nabhani tampaknya lebih tepat diterjemahkan sebagai humanistic-social sciences, daripada sekadar social sciences.

Dari definisi ilmu dan tsaqâfah An-Nabhani di atas, dapat dianalisis bahwa kriteria dasar klasifikasinya adalah metode yang digunakan memperoleh pengetahuan, atau aspek epistemologisnya. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah yang asumsi dasarnya adalah netral atau bebas nilai. Sebaliknya, tsaqâfah tidak diperoleh melalui metode ilmiah, melainkan metode rasional (rational method), yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran atau keputusan (judgement) terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi sebelumnya yang telah ada dalam memori otak (An-Nabhani, At-Tafkir, 1973: 28). Kesimpulan yang diperoleh dari metode atau pendekatan rasional ini, dengan sendirinya, tidaklah universal, karena bergantung pada jenis informasi yang dikaitkan dengan fakta yang ada. Riba (baik disebut interest atau usury) sebagai suatu fakta akan ditafsirkan secara berbeda oleh seorang Muslim dan orang sekular. Orang Muslim akan menilai riba haram; orang kapitalis sekular akan menganggapnya baik, menguntungkan, dan bahkan menjadi tulang punggung sistem ekonomi Barat.

Kesimpulannya, dasar klasifikasi An-Nabhani sesungguhnya ada 2 (dua): Pertama, aspek epistemologisnya, yaitu metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah, sedangkan tsaqâfah melalui metode rasional. Kedua, aspek nilainya, yaitu keterkaitan pengetahuan dengan pandangan hidup (wijhah an-nazhar, world-view, weltanschauung) atau apa yang sering disebut nilai (value), yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai harga dan karenanya dianggap  baik atau benar, atau sesuatu yang diharapkan atau ingin dimiliki oleh manusia (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1992:13).

jadi, ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedangkan tsaqâfah adalah pengetahuan yang mengandung nilai (value-bound). Namun, patut dicatat, bahwa karakter bebas-nilai pada ilmu hanya ada pada dataran epistemologinya. Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tetapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya. Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran pornografi.

Dengan memahami dasar klasifikasi An-Nabhani di atas, kita akan dapat memahami mengapa An-Nabhani membuat beberapa pengecualian untuk beberapa cabang pengetahuan ketika diklasifikasikan, apakah masuk kategori ilmu atau tsaqâfah. Ada pengetahuan yang aslinya merupakan tsaqâfah, karena tidak eksperimental, namun kemudian digolongkan sebagai ilmu, karena tidak terkait dengan pandangan hidup dan bersifat universal. Contoh yang dikemukakan An-Nabhani, misalnya ilmu hisab (astronomi), perdagangan, pelayaran (al-milâhah), dan kerajinan tangan atau keahlian produksi barang (ash-shinâ’ât)

Mengenai astronomi, dalam sejarah Islam diketahui banyak dilakukan penerjemahan buku-buku astronomi berbahasa India dan Yunani. Muhammad A. Fajari (w. 161 H), seorang astronom Muslim, menerjemahkan buku astronomi berbahasa India, Shiddhanta Barahmagupta (ilmu bintang), ke dalam bahasa Arab. Astronom Muslim lainnya, Yakub Ibn Thariq (w. 162 H) menerjemahkan Shiddanta Aryabhrata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq menerjemahkan Almagest (karya Ptolomeus) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (Sriyatin Shadiq, 1995: 61). Jadi, walaupun astronomi asalnya adalah tsaqâfah, karena dimiliki bangsa non-Muslim dan diperoleh secara non-eksperimental, namun kemudian dimasukkan ke dalam kategori ilmu, karena sifatnya yang universal dan bebas nilai.

Perbedaan dan Implikasi

Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang membedakan ilmu dengan tsaqâfah. Pertama, aspek epistemologinya (metode memperoleh pengetahuan). Ilmu diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperimen ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material dalam laboratorium. Sebaliknya, tsaqâfah diperoleh bukan dari metode ilmiah, melainkan metode rasional berupa penyampaian informasi (misalnya dalam akidah Islam), penyampaian trasmisional (misalnya ilmu tarikh, riwayat hadis), dan penyimpulan dari pemikiran (misalnya fikih Islam). Kedua, aspek nilainya (kaitannya dengan nilai kehidupan). Ilmu bersifat bebas nilai dan universal, sedangkan tsaqâfah tidak bebas nilai dan juga tidak universal. Ketiga, aspek adopsi. Ilmu dapat diadopsi oleh umat Islam dari manapun sumbernya, walaupun dari bangsa non-Muslim. Sebaliknya, tsaqâfah tidak boleh diadopsi dari bangsa non-Muslim karena pasti mengandung pandangan hidup yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.

Implikasi perbedaan ini sangat radikal dan fundamental, khususnya yang menyangkut tsaqâfah. Dalam hal ilmu, masyarakat Islam pada masa datang masih dapat memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi semaksimal mungkin. Sebab, sains dan teknologi terkategori ilmu yang bersifat universal dan dapat diadopsi dari mana saja sumbernya. Namun, dalam hal tsaqâfah, masyarakat Islam tidak boleh mengadopsi tsaqâfah Barat, yaitu segala konsep atau pengetahuan non-eksperimental yang lahir dari paradigma sekularisme, seperti sekularisme itu sendiri, sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, HAM, feminisme, nasionalisme, pasar bebas, dan sebagainya. Tidak boleh pula umat Islam mengadopsi segala cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat yang ada saat ini seperti ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, kriminologi, seni, dan sejarah. Semuanya telah dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai ideologi Kapitalisme yang kufur sehingga tidak boleh diadopsi, dipraktikkan, dan disebarluaskan. Namun, dalam jenjang pendidikan tinggi, berbagai ide dan ideologi asing seperti itu tetap boleh dipelajari dalam rangka untuk dikritisi, bukan diadopsi.

Jadi, tatanan masyarakat Islam akan dapat dibayangkan, yaitu maju secara sains dan teknologi, namun tetap Islami dalam pemikiran, perasaan, dan peraturannya. Tidak seperti sekarang, penguasaan sains dan teknologi umat Islam payah, sementara masyarakatnya rusak berat karena didominasi oleh paham sekular yang kufur, meski mereka adalah individu-individu Muslim. Ini tentu sangat menyedihkan dan menyakitkan. []

Daftar Pustaka:

  • Agus, Bustanudin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1995.  Identifikasi Terhadap Krisis Pemikiran Modern dan Alternatif Pemecahannya (Al-Azmah Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah). Terjemahan oleh A. Zarkasyi Khumaidi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

  • Al-Attas, Syed M. Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.
  • An-Nabhani, Taqiyuddin. 1973. At-Tafkîr. T.tp. : Hizbut Tahrir.
  • ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyyah. Juz I. Beirut: Darul Ummah.
  • An-Najjar, Abdul Majid. 1994. “Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Pemikiran Islam Antara Pandangan Konvensional dan Pandangan Orisinal”, dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman dkk, Metodologi Islam dan Ilmu-Ilmu Tingkah Laku Serta Pendidikan (Al-Minhajiyah al-Islâmiyyah wa al-‘Ulûm as-Sulûkiyyah wa at-Tarbawiyyah). Terjemahan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: DDII-IIIT.
  • Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan XIV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam (Science and Muslim Society). Terjemahan oleh Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah.
  • Campbell, Norman. 1989. Ilmu Pengetahuan Alam Tantangan Akal-Budi Manusia (What is Science). Terjemahan oleh Sony Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Fakih, Mansour. 2003. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Garishah, Ali. 1992. Metode Pemikiran Islam (Manhaj at-Tafkîr al-Islâmî). Terjemahan oleh Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press.
  • Husain, Syed Sajjad & S. Ali Asharaf (Ed). 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam (The Crisis of Muslim Education). Terjemahan oleh Rahmani Astuti. Bandung: CV Gema Risalah Press.
  • Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences: An Introduction to Islamic Ethics, Law, Education, Politics, Economics, Sociology, and System Planning. New Delhi: Goodword Books.
  • Shadiq, Sriyatin.1995. ”Perkembangan Hisab, Rukyat, dan Penetapan Awal Bulan Qamariyah”, dalam Muammal Hamidy (Ed.), Menuju Kesatuan Hari Raya, Surabaya: PT Bina Ilmu.
  • Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: PT Gramedia.
  • ———-. 1992. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Cetakan X. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pondok Pesantren Sidogiri adalah sebuah pesantren tua di Pasuruan, didirikan oleh Sayyid Sulaiman pada tahun 1745 M. Lokasi PPS berada di Desa Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur. Telp. (0343) 420444 Fax. (0343) 428751. Email: pusat@sidogiri.com

————————————–

Web site engine code is Copyright © 2003 by PHP-Nuke. All Rights Reserved. PHP-Nuke is Free Software released under the GNU/GPL license.