ISU-ISU BOHONG DAN FITNAHAN HENDAK MERUSAK CITRA SYI”AH


Dalam tulisan ini, kami akan menyebutkan sebagian dari fitnahan serta isu bohong yang dilekatkan kepada kaum Syi’ah padahal semua itu tak berdasar.Dengan itu kami bertujuan menghilangkan  penyebab ketegangan serta permusuhan yang mengganggu hubungan antara kaum Syi’ah dan Sunnah. Sebelum itu ingin kami kemukakan tentang adanya sekelompok dari Ahlus-Sunnah yang melemparkan tuduhan-tuduhan keji ke alamat kaum Syi’ah, padahal semua itu tidak benar. Dan hal ini terutama dapat dibuktikan pada masa sekarang setelah adanya banyak percetakan dan tersebarnya buku-buku. Juga dengan makin berkurangnya kefanatikan kepada kelompok-kelompok dan kecenderungan banyak orang untuk mengetahui lebih banyak tentang hakikat pelbagai aliran yang berkembang di antara kaum Muslim. Para penuduh itu dapat dibagi menjadi empat golongan:

blogger-image--1305619799

Golongan Pertama,

sekelompok “ulama” yang dengan sengaja ingin “menjilat” dan mendekatkan diri kepada raja-raja Bani Umayah dan Bani Abbas. Hal ini mengingat bahwa setelah peristiwa Shiffin dan Thuff, kaum Syi’ah menjadi lawan politik Bani Umayah dan berdiri di barisan oposisi terhadap kerajaan Bani Abdu Syams. Mereka tak henti-hentinya berupaya menolak kekuasaan itu dan berusaha mengguling-kannya. Maka para penguasa pun melakukan apa saja untuk memusnah-kan kaum Syi’ah dan membunuhi mereka di mana pun mereka berada. Dalam hal ini, para penguasa itu didukung oleh sekelompok “ulama” penipu serta “qurra” munafik, yang bertindak kelewat batas dalam “menghitamkan” citra kaum Syi’ah dan melekatkan segala kenistaan pada diri-diri mereka. Semua ini demi menjelek-jelekkan paham kaum Syi’ah di samping membenarkan segala kekejian yang dilakukan oleh Bani Umayah, termasuk tindakan membunuhi putra-putra mereka sementara membiarkan hidup wanita-wanita mereka (untuk diper-budak). Maka wajarlah jika kaum Syi’ah menunggu-nunggu datangnya saat ketika mereka dapat terlepas dari azab ini, dengan mengharapkan jatuhnya kerajaan Bani Umayah. Tetapi, ketika Bani Abbas menguasai keadaan, mereka pun bertindak terhadap kaum Syi’ah tak ubahnya seperti Bani Umayah juga. Para imam kaum Syi’ah diperlakukan dengan cara-cara amat keji, sehingga Imam Al-Kazhim meninggal dunia di penjara-penjara mereka. Imam Ali Ar-Ridha diminumi racun melalui tangan Al-Makmun. Mereka membongkar kuburan AI-Husain a.s. dan berusaha menghabisi semua keturunan Nabi saw. Maka cobaan demi cobaan amat pedih dirasakan oieh kaum Syi’ah. Baik yang dilakukan oieh para penguasa Bani Abbas dengan kekuasaan mereka ataupun dengan pengkhianatan para “ulama penjilat” yang melemparkan ber-bagai tuduhan keji lewat pena-pena mereka. Bedanya hanyalah bahwa kezaliman pedang tidak menetap sementara kezaliman pena terus terekam sepanjang masa selama masih adanya buku-buku yang mengan-dung kesesatan itu. Maka seyogianyalah orang-orang berakal-sehat tak mempercayai begitu saja segala yang ditulis mengenai kaum Syi’ah oieh ulama yang hidup pada masa kedua kerajaan itu. Sebab semuanya itu hanyalah merupakan fitnahan dan provokasi yang memang diperlukan guna mengukuhkan sendi-sendi politik kekuasaan yang zalim di masa itu.

Golongan Kedua,

sekelompok ulama yang dengan sengaja mem-buruk-burukkan citra kaum Syi’ah, semata-mata karena terdorong oieh ketakutan akan timbulnya simpati rakyat banyak kepada mereka, serta kecenderungan untuk mengikuti jalan mereka. Dengan alasan itu, mereka telah menghalalkan segala cara demi menjauhkan rakyat dari kaum Syi’ah. Kata-kata apa saja boleh diucapkan. Tuduhan-tuduhan yang bagaimana pun boleh dilontarkan. Sedangkan mereka, pada umumnya, mengetahui bahwa kaum Syi’ah Imamiyah bersih dari semua kebohongan itu, jauh dari segala fitnahan yang dilontarkan ke alamat mereka.

Golongan Ketiga,

sekelompok orang yang terkacaukan pengetahu-annya tentang Syi’ah. Sebab, nama “Syi’ah” tidak hanya khusus di-gunakan untuk menyebutkan kaum Imamiyah saja, tetapi juga untuk berbagai kelompok lainnya. Seperti misalnya, kelompok Agha Khan, Kisaniyah, Nawusiah, Khattabiyah, Futh-hiah, Waqifiah, dan lain-lain. Adakalanya seseorang mendapati paham kafir atau aliran sesat yang dianut oieh suatu kelompok dari yang tersebut di atas yang biasanya juga disebut “Syi’ah”, lalu mengira bahwa yang demikian itu merupa­kan anutan kaum Syi’ah semuanya. Sebagai akibatnya, hal itu melekat pada diri semua penganut aliran Syi’ah dan disebarluaskan sebagai se-suatu yang tak diragukan lagi. Kenyataan ini ditambah lagi oieh ke-bencian yang memang telah tertanam dalam hati orang-orang tertentu sehingga menghalangi mereka untuk berhati-hati dan memastikan ter-lebih dahulu tentang apa saja yang akan dikutip yang berkaitan dengan kaum Syi’ah.

Bandingkanlah dengan sikap kaum Imamiyah yang sangat ber­hati-hati terhadap paham sesat sebagian kalangan Ahlus-Sunnah. Seperti, misalnya, kelompok Karramiah {yang tergolong Ahlus-Sunnah juga}. Mereka ini berpendapat bahwa Allah SWT benar-benar duduk dan menetap di atas ‘arsy, persis seperti Anda duduk dan menetap di atas tanah. Sebagian lagi dari kelompok-kelompok itu menyatakan bahwa Allah SWT menangisi bencana topan dan banjir di masa Nabi Nuh sehingga mata-Nya menderita sakit dan para malaikat pun menjenguk-Nya. Ada pula kelompok Al-Ha-ithiyah dan Al-Haditsiyah (dua kelompok dari kalangan Mu’tazilah) yang menyatakan hulul (luruh)-nya Zat Allah dalam jasad sebagian para nabi, sama seperfi yang dikatakan oleh kaum Nasrani tentang Nabi Isa a.s. Keterangan tentang hal tersebut ditegaskan oleh Syahrastani dalam bukunya, Al-Milal wa An-Nihal. Walaupun demikian, kaum Syi’ah tidak menisbahkan kedua pendapat sesat itu kepada Ahlus-Sunnah secara keseluruhan. Juga pendapat terakhir tidak dikaitkan oleh mereka dengan kaum Mu’tazilah secara ke­seluruhan. Sebaliknya, mereka membatasi paham-paham tersebut hanya pada kelompok-kelompok tertentu yang memang benar-benar menganutnya. Oleh sebab itu, mengapa gerangan ucapan-ucapan kelompok Khattabiyah dan Nawusiah, misalnya, dinisbahkan kepada kaum Syi’ah secara keseluruhan? Mari kita bersikap adil tentang hal ini.

Golongan Keempat,

sekelompok orang yang telah mengutip semua fitnahan keji berkaitan dengan kaum Syi’ah berdasarkan keterangan-keterangan yang berasal dari kaum pendahulu mereka. Apa pun yang dikutip oleh para penulis terdahulu, langsung dikutip juga oleh yang datang kemudian. Padahal seandainya mereka ingin mengetahui yang sebenarnya tentang kaum Syi’ah, lalu meneliti ucapan-ucapan ulama Syi’ah sendiri — dalam ushul maupun furu’ — sudah barang tentu sikap seperti itu lebih dekat kepada keadilan dan kejujuran. Sungguh kami tak tahu bagaimana mereka telah meninggalkan jauh-jauh semua kitab karangan kaum Imamiyah, padahal amat banyak yang telah tersebar luas di mana-mana. Sebagai gantinya, mereka lebih mendasarkan uraian-uraian mereka tentang Syi’ah kepada kutipan musuh-musuh mereka yang tak segan-segan menyebarkan hasutan dan fitnahan yang keterlalu-an, dan yang tak henti-hentinya mengucapkan kebohongan dan kepalsuan yang menyesatkan.

Di masa ini, tak sepatutnya kita mendengarkan omongan. siapa saja yang mengutip secara sembarangan atau melepas lidahnya tanpa bukti nyata. la harus menunjukkan kepada kita sumber informasinya, se­cara jelas dan pasti. Beribu-ribu karangan ulama Imamiyah telah ter­sebar luas di seluruh negeri Parsi, India dan lainnya, baik di bidang fiqih, hadis, ilmu kalam, akidah, tafsir, ushul, ataupun doa-doa, zikir, etika dan akhlak. Silakan mencarinya agar Anda memperoleh informasi yang sebenarnya. Jangan sekali-kali mengandalkan ocehan orang-orang yang memang kerjanya hanya menebarkan benih-benih kebencian dan permusuhan di kalangan sesama Muslim. Yaitu mereka yang setiap kali menulis tentang kaum Syi’ah, senantiasa -mengutip segala suatu yang berupa kebohongan amat keji. Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa kebohongan di antaranya, demi mencapai tujuan kami menulis ini:

Ibn Hazm menulis dalam bukunya, Al-Fishal (jilid IV, halaman 182), sebagai berikut:

“. . . Di antara kaum Imamiyah, ada yang mem-bolehkan menikahi sembilan wariita sekaligus. Dan di antara mereka ada yang mengharamkan makan kurumb (sayuran sejenis kubis) karena, menurut mereka, ia tumbuh pertama kali di atas tanah yang bersimbah darah Al-Husain a.s. dan belum pernah ada sebelumnya. . ,”1 Kaum Imamiyah terialu agung untuk mengandalkan khurafat-khurafat seperti ini sebagai landasan dalam menyimpulkan hukum-hukum Allah.)

Kami ingin menegaskan di sini, bahwa menikahi lebih dari empat wanita sekaligus, adalah hal yang disepakati haramnya oleh semua kaum Imamiyah, baik dalam nash hukumnya maupun dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Hal ini merupakan persoalan yang, secara dharuri (tidak boleh tidak), harus telah diketahui dalam mazhab mereka. Tak seorang pun akan meragukannya. Adapun tentang sayuran kurumb, tak pernah ada judul khusus yang membahasnya dalam buku-buku Imamiyah, sebab ia adalah sejenis sayuran yang hukumnya sama saja dengan sayur­an lainnya, seperti selada, lobak, dan sebagainya.

Demi Allah, wahai para peneliti, dan demi kebenaran, keadilan, kehormatan dan kejujuran, telitilah dengan saksama semua kitab fiqih dan ushul kaum Imamiyah, yang lama ataupun yang baru, atau kitab-kitab hadis dan tafsir mereka. Periksalah halaman demi halaman dari kitab-kitab itu, yang ringkas maupun yang terinci, matan-nya. maupun syarah-nya, Jika Anda mendapati di dalamnya apa yang bersesuaian dengan yang ditulis oleh Ibn Hazin di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa tak ada kebenaran apa pun yang menjadi landasan kaum Syi’ah. Tetapi, jika tidak Anda dapati, maka sungguh Ibn Hazm dan yang serupa dengannya tergolong sebohong-bohong manusia. Memang, dalam bukunya itu, ia telah melancarkan fitnahan-fitnahan keji ke alamat kaum Syi’ah, yang tak mungkin terucapkan oleh seseorang yang benar-benar beragama secara tulus. la telah bersikap aniaya terhadap mereka sedemikian kejamnya sehingga tak mungkin siapa pun berani melaku-kannya kecuali seorang yang tidak mempercayai datangnya Hari Akhir. la melemparkan tuduhan-tuduhan penuh dusta sedemikian jahatnya sehingga tak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang tak takut kepada Allah dan tak memiliki rasa malu kepada manusia.

Dengan telah tersebarnya buku-buku kaum Syi’ah Imamiyah, kami merasa tak perlu menyusahkan diri untuk membuktikan kepalsuan ucapannya atau menelanjangi kebatilannya. Namun yang perlu di sebutkan di sini, bahwa Ibn Hazm tidak saja membatasi sikap aniayanya kepada kaum Syi’ah saja, tetapi ia juga telah bersikap aniaya terhadap imam-imam Ahlus-Sunnah serta ulama kaum Mu’tazilah. Banyak dari kalangan ulama Salaf yang telah dianggapnya kafir, sehingga hampir-hampir tak seorang pun selamat dari ketajaman lidahnya. Sedemikian sehingga ketika menyebutkan riwayat hidup Ibn Hazm dalam buku Al-Wafayat, Ibn Al-‘Irrif menulis: “Lidah Ibn Hazm dan pedang Al-Hajjaj adalah dua saudara kembar.”

Cukup kiranya bagi Anda, apa yang dilakukan oleh Ibn Hazm dalam rangka kecamannya yang pedas kepada kaum Murji’ah. Di situ ia itu dalam buku Al-Wafayat.* Yang dimaksud di sini ialah bahwa nenek-moyang Ibn Hazm adalah bekas budak Yazid bin Mu’awiyah yang kemudian dimerdekakan — Penerj.} Karena itu, tak mengherankan apabila ia lebih mengutamakan kemuliaan kedudukan Ummu Habibah binti Abi Sufyan (salah seorang istri Nabi saw. — Penerj.) di atas kedudukan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Yaitu ketika ia membahas tentang aspek-aspek perbandingan keutamaan di antara para Sahabat. la lebih memilih untuk mengutamakan kedudukan para istri Nabi saw. di atas semua orang kecuali para nabi. Pendapatnya ini didasarkan atas pelbagai dalih yang sama sekali tak berharga sedikit pun, namun dipeganginya erat-erat. Maka patutlah pembahasannya itu diteliti dan disimak oleh siapa saja yang terpesona dengan pribadi Ibn Hazm. Bacalah jilid IV bukunya itu dari halaman 112 sampai 134, niscaya Anda terheran-heran dibuatnya. Dalam uraian-uraiannya itu dan yang setelah itu, akan tampak jelas kebenciannya yang sangat terhadap pribadi Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta Ahiul-Bayt secara keseluruhan. Sampai-sampai ia lebih mengutamakan kedudukan Shuhaib di atas Al-Abbas dan putra-putranya, Aqil bin Abi Thalib dan putra-putranya serta kedua putra Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan AI-Husain, cucu-cucu Rasulullah saw. dan pemuka para pemuda penghuni surga. Semua itu karena ia meng-ingkari segala keutamaan Ahlul-Bayt.

Tak sedikit pula orang-orang yang mengikuti jejak Ibn Hazm dalam membuat-membuat kebohongan keji tentang kaum Imamiyah. Di antara mereka, Asy-Syahrastani dalam bukunya, Al-Milal wa An-Nihal. la menisbahkan kepada mereka segala macam keburukan. Antara lain ia menyebutkan bahwa kaum Imamiyah telah berpecah-belah setelah Imam Al-Hasan Al-‘Askari, menjadi sebelas kelompok. Padahal Allah lebih mengetahui bahwa mereka tidak pernah terpecah, baik dalam ushul ad-din ataupun dalam suatu aspek ‘aqidah. Dan sesungguhnya Asy-Syahrastani dengan pernyataannya itu hanyalah bermaksud me-madamkan cahaya mereka. Sungguh amat mengherankan bahwa ia tidak pernah menyebutkan kitab apa pun atau tokoh mana pun yang menjadi rujukannya dalam kutipan-kutipannya tentang pelbagai pendapat dari kelompok-kelompok yang, menurutnya, telah terpecah-belah itu. la tidak pula menyebutkan tentang daerah-daerah mana gerangan yang menjadi tempat kediaman kelompok-kelompok itu atau kapan terjadinya dan apa saja nama-nama mereka?! la hanya berkata sebagai berikut: “Mereka itu tidak mempunyai nama julukan yang dikenal, tetapi kami akan menyebutkan pendapat-pendapat dari sebagian mereka.”

Demi Allah, pernahkah Anda mendengar berita tentang kelompok-kelompok yang saling bertengkar dan aliran-aliran yang saling berselisihan, namun tak diketahui nama seorang pun di antara mereka, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati?!

Selain itu, ia juga telah mengutip beberapa hal yang amat keji berkenaan dengan tokoh-tokoh Syi’ah tertentu, seperti Zurarah bin A’yan, Hisyam bin Hakam, Mu’min Ath-Thaq Muhammad bin Nu’man dan Hisyam bin Salim.( Kami telah cukup menyanggah Asy-Syahrastani dalam masalah ini. Yaitu dalam buku kami beijudul Mtikhtashar Al-Kalam fi Mu-allifi Asy-Syi’ah min Shadr Al-Islam, Bacalah keterangan mengenai hal itu dalam majalah Al-‘Irfan, Vol. II, haiaman 189 dan 231. ) Namun tuduhan-tuduhannya itu tak sedikit pun mengurangi kemuliaan kedudukan mereka di sisi Allah, RasuI-Nya serta kaum Mukmin. Sungguh kami tak tahu, bagaimana Asy-Syahrastani dapat memperoleh keistimewaan mengetahui apa yang tidak kami ketahui tentang pandangan keagamaan tokoh-tokoh besar itu. Padahal mereka itu adalah para cendekiawan terdahuiu dari mazhab kami serta panutan kami dalam urusan agama. Telah kami pelajari pandangan-pandangan mereka dan kami teliti ajaran mereka. Karena itu wajarlah apabila kami lebih mengerti tentang mazhab mereka. Buku-buku kumpulan hadis kami penuh dengan hadis-hadis dari hasil periwayatan mereka. Khazanah pustaka kami penuh dengan ucapan-ucapan mereka dalam ilmu-kalam, tafsir, fiqih dan ushul-nya. Riwayat hidup mereka terekam secara terinci dalam kitab-kitab kami. Maka mustahillah ter-sembunyi bagi kami apa yang tampak bagi seseorang di luar kalangan kami. Sedangkan ia amat jauh kecenderungannya dari mereka, bertentangan dengan mereka dalam mazhabnya dan tak pernah menjadikan mereka sebagai panutannya dalam urusan agama maupun dunianya!

Kami pun, seandainya melihat mereka itu berpandangan seperti yang dituduhkan oleh Asy-Syahrastani, niscaya kami akan meninggal-kan mereka dan berlepas-tangan dari mereka, sebagaimana yang selalu menjadi kebiasaan kami berkenaan dengan siapa saja yang menyimpang dari kebenaran dan lebih suka menapak jalan kesesatan. Bahkan kami tak segan-segan berpaling dari beberapa di antara putra-putra para imam kami, betapa pun besarnya kecintaan dan keikhlasan kami kepada Keluarga Suci ini; dan kami pun dengan tegas mengkafirkan sekelompok tertentu dari orang-orang yang pernah ber-sahabat dengan mereka, mem-fasik-kan sebagian yang lain, melemahkan riwayat dari sekelompok lainnya serta mengabaikan sebagiannya. Sikap kami itu dapat disaksikan oleh siapa saja yang benar-benar mengenal cara-cara kami. Maka seandainya keadaan tokoh-tokoh yang telah disebutkan nama-nama mereka di atas memang seperti yang dinyatakan oleh Asy-Syahrastani, niscaya takkan sulit sedikit pun bagi kami untuk meng­kafirkan mereka. Selanjutnya mereka itu akan kami ikutkan dengan orang-orang seperti Abu Al-Khaththab Muhammad bin Miqlash Al-Ajda’, Mughirah bin Sa’ad, Abdullah bin Saba, Al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, dan lain-lainnya yang sebarisan dengan mereka. Namun, musuh-musuh Ahlul-Bayt dengan sengaja menujukan tuduhan-tuduhan keji itu kepada kawan-kawan dan murid-murid terkemuka mereka, dengan tujuan menjatuhkan martabat mereka di mata rakyat banyak. Semua itu semata-mata disebabkan kedengkian dan kezaliman yang keterlaluan. Kemudian datanglah Asy-Syahrastani yang mengetahui tuduhan-tuduhan itu lalu ia pun mengikutinya tanpa me-meriksa kebenarannya terlebih dahulu. Wa la haula wa la quwwata ilia billah Al-‘Aliy Al-‘Azhim!

Sebagian lagi dari kaum yang memusuhi Ahlul-Bayt secara fanatik, tak segan-segan menuduh kaum Syi’ah telah mengingkari kewajiban puasa, shalat, haji, zakat serta kewajiban-kewajiban lainnya. Di antara yang mengutip keterangan seperti itu ialah Jaudat Pasya (dalam bukunya yang dicetak di Beirut tahun 1308, jilid I, halaman 366 (Telah kami sebutkan dalam buku Muallifi Asy-Syi’ah tentang ucapan Jaudat Pasya, dan kami telah menyanggahnya dengan sempurna. Bacalah yang telah disiarkan oleh Majalah Al-‘Irfan, vol. 11/190. Juga dalam pasal sebelum ini telah dijelaskan tentang sikap kaum Imamiyah berkenaan dengan segala yang diwajibkan dan diharamkan oleh agama). Sungguh kami tak habis pikir betapa kebohongan-kebohongan seperti ini dapat terjadi. Namun semua itu hanya menunjukkan puncak kebodohan si pendusta serta betapa sedikitnya rasa malu yang dimiliki-nya. Na ‘udzu billah!

Ada lagi kebohongan lainnya yang dituduhkan kepada kaum Syi’ah oleh sebagian orang yang mungkin telah pikun. Yaitu bahwa mereka (kaum Syi’ah) tidak mau (atau mengharamkan) makan daging unta. Padahal semua orang tahu berapa banyak unta yang disembelih setiap harinya di sekitar makam para imam a.s. (untuk disedekahkan kepada para peziarah). Juga di daerah-daerah lain yang mayoritas pen-duduknya adalah kaum Syi’ah, terutama di kota Najaf, pusat para ahli fiqih mereka. Di samping itu, siapa saja yang mengkaji kitab-kitab fiqih mereka, pada bab yang membahas tentang makanan dan minuman, tak akan mendapati mereka memakruhkan makan daging unta sebagaimana mereka memakruhkan daging kuda, baghal dan keledai. Tetapi mereka menyebutkan daging unta dalam deretan yang tidak makruh di samping daging sapi, kambing dan domba. Juga dalam bab cara menyembelih, mereka menegaskan bahwa menyembelih unta ialah di antara dada dan lehernya. Hukum ini termasuk di antara yang diketahui oleh semua orang dari mereka.

Yang lebih mengherankan lagi ialah tuduhan beberapa pembohong yang menyatakan bahwa kaum Syi’ah tidak mewajibkan ‘iddah (masa tunggu sebelum kawin lagi) bagi kaum wanita yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Padahal kaum Syi’ah lebih bersikap hati-hati (ihtiyath) dalam masalah ini daripada orang-orang selain mereka. Menurut mazhab mereka, seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, terhitung sejak ia mengetahui tentang kematian suaminya itu. Dengan demikian, seandainya ia pada hari ini baru mendengar bahwa suaminya telah meninggal dunia empat bulan sepuluh hari yang lalu atau lebih, maka ia tidak boleh menikah lagi sampai ia menunggu lagi; paling sedikit empat bulan sepuluh hari lagi. Demikian itu menurut pendapat mazhab Imamiyah. Adapun menurut pendapat lainnya, di luar mazhab Syi’ah Imamiyah, maka ia dibolehkan menikah lagi saat itu juga. (Sebab ‘iddah-nya. dihitung sejak saat kematian si suami, bukan sejak ia menge-tahui ten tang kematiannya itu).

Demikian pula apabila si suami mati sedangkan si istri dalam keadaan hamil, maka — menurut mazhab Imamiyah — ia hams me­nunggu “jangka waktu yang terpanjang di antara saat kelahiran dan masa ‘iddah bagi istri yang tidak hamil” (yakni empat bulan sepuluh hari). Berdasarkan hal itu, seandainya telah lewat empat bulan sepuluh hari namun ia belum melahirkan, wajib atasnya menunggu lagi sampai ia telah melahirkan putranya. Sebaliknya, apabila ia telah melahirkan sebelum berlalunya masa empat bulan sepuluh hari, maka ia tetap hafus menjalani masa ‘iddah sampai ia menyempurnakan masa tersebut. (Jika ingin mengetahui secara lebih terinci, silakan membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadis karangan ulama Syi’ah yang kini telah tersebar luas terutama di India, Iran, Irak, Siria, dan negeri-negeri Muslim lain­nya).

Untuk memudahkan, kami akan menyebutkan beberapa di antara kitab tersebut yang telah dicetak, sebagai berikut:

Di bidang ilmu fiqih: Syara-i’ Al-Islam wa Jawahir Al-Kalam; Masalik Al-Afham wa Madarik Al-Ahkam; Miftah Al-Karamah wa Tadzkirat Al-‘Allamah; Al-Burhan Al-Qati’; Al-Mukhtashar An-Nafi’; Ar-Raudhah Al-Bahiyah fi Syarh Al-Lum’ah Ad-Dimasyqiyah; Jami’ Al-Maqashid fi Syarh Al-Qawa-id; dan masih banyak lainnya, yang ringkas maupun yang terinci.

Di bidang ilmu hadis: Wasa-il Asy-Syi’ah ila Ahkam Asy-Syari’ah, dan di bidang tafsir: Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Bacalah buku-buku itu agar Anda mengetahui yang sebenarnya.*

Di Sadur Dari Karya Syarafuddin Al-Musawi

Info Tulisan

Leave a comment