APA ITU FILSAFAT?


Pengertian Harfiah dan Semantik

Para ahli logika mengatakan bahwa ketika seseorang menanyakan pengertian (hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang berbagai macam perkara. Kadang-kadang seseorang menanyakan pengertian konseptual sepatah kata. Mak-sudnya, ketika kita bertanya apakah sesuatu itu, maka kita sebenarnya sedang menanyakan pengertian dari kata itu sendiri. Dalam menanyakan ke-apaannya itu, kita berusaha mengetahui pengertian leksikal dan idiomatik kata tersebut. Andaikan suatu ketika kita membaca buku, kita menemukan kata pupak (hoope) dan tidak mengetahui artinya. Lalu kita bertanya kepada seseorang, “Apakah pupak itu?” Dia menjawab, “Pupak adalah nama seekor burung.” Atau, katakanlah, kita membaca kata kali-mah (yang dalam bahasa Arab berarti kata) menurut terminologi ahli ilmu logika dan kita menanyakan-nya kepada seseorang, “Apakah arti kalimah dalam istilah para ahli logika?” Orang itu menjawab, “Kalimah menurut para ahli logika berarti sama dengan fi’l (kata kerja) dalam bahasa para ahli tata bahasa.” Jelaslah hubungan antara kata dengan pengertian bersifat konvensional dan terminologis, baik istilah itu bersifat terbatas maupun umum.

Dalam menjawab pertanyaan semacam itu, seseorang harus menelusuri contoh-contoh penggunaan, atau membuka kamus. Pertanyaan semacam itu mungkin mempunyai sejumlah jawaban, yang kesemuanya benar. Karena, mungkin saja sebuah kata memiliki berbagai pengertian dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, sebuah kata mungkin memiliki arti tertentu menurut penggunaan para ahli logika dan para filosof, dan arti lain dalam penggunaan para ahli tata bahasa. Kata kalimah memiliki arti tertentu dalam penggunaan secara umum dan dalam penggunaan para ahli tata bahasa, dan mempunyai arti yang lain pula menurut pemakaian para ahli logika. Atau, kata qiyas (analogi, silogisme) mempunyai satu arti menurut pemakaian para ahli logika dan arti lain menurut para ahli hukum dan undang-undang. Jika sebuah kata memiliki dua arti atau lebih dalam satu kumpulan penggunaan, maka harus dikatakan bahwa kata itu memiliki arti ini dalam ungkapan ini, dan arti itu dalam ungkapan itu. Jawaban yang tersedia untuk pertanyaan-perta-nyaan semacam itu disebut pengertian-pengertian verbal.

Kadang-kadang ketika seseorang menyelidiki pengertian sesuatu, maka apa yang dicari bukanlah arti katanya, melainkan hakikat (realitas) yang diru-juknya. Kita tidak bertanya, “Apa arti kata ini?” Kita mengetahui arti kata tersebut, tapi bukan realitas dan kesejatian rujukannya. Sebagai contoh, jika kita bertanya, “Apakah manusia itu?”, kita tidak berusaha mengetahui apa arti kata “manusia”. Kita semua mengetahui bahwa kata tersebut digunakan bagi makh-luk berkaki dua, berpostur tegak-lurus dan dapat berbicara. Sebaliknya, kita berusaha mengetahui identitas dan realitas makhluk manusia ini. Jelaslah, dalam masalah ini hanya terdapat satu jawaban yang benar, yang disebut definisi (ta’rif) yang nyata.

Pengertian verbal lebih dahulu dari pengertian (definisi) yang nyata. Maksudnya, pertama-tama, seseorang harus memastikan terlebih dahulu arti konseptual kata tersebut, baru kemudian menggam-barkan pengertian nyata dari rujukannya. Jika tidak, akan timbul kekeliruan dan perselisihan tiada ujung karena suatu kata bisa mempunyai berbagai arti secara leksikal dan idiomatik, dan keberagaman arti ini sangat gampang terabaikan. Setiap kelompok dapat mendefinisikan suatu kata dengan arti dan pemakaian idiomatik tertentu, dengan tidak memper-hatikan fakta bahwa arti itu menggambarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh kelompok lain. Dengan demikian, mereka berselisih secara sia-sia.

Kegagalan untuk mengenali pengertian sebuah kata dari realitas yang dirujuknya kadang-kadangmengakibatkan transformasi dan evolusi yang menggantikan arti sebuah kata dengan sesuatu yang dianggap berasal dari realitas yang dirujuknya. Se-bagai contoh, suatu kata tertentu pertama kali mungkin dipakai untuk menunjukkan keseluruhan, dan kemudian, lewat perubahan penggunaan, dipakai untuk menunjukkan satu bagian dari keseluruhan tadi. Jika seseorang gagal mengenali arti kata terse-but dari realitas rujukannya, dia akan mengirabahwa keseluruhan itu benar-benar telah dipecah-pecah, sedangkan pada kenyataannya tidak ada perubahan yang telah terjadi dalam keseluruhan itu. Yang ter-jadi adalah kata yang dipakai untuknya telah ber-ganti arti sehingga digunakan untuk merujuk suatu bagian dari kesefuruhan itu.

Kesalahan semacam inilah yang berkaitan dengan kata “filsafat” yang diakibatkan oleh filsafat Barat dan para penirunya di Timur. Filsafat meru-pakan suatu kata idiomatik dan telah mendapatkan berbagai macam arti idiomatik pula. Berbagai kelompok filosof mendefinisikan filsafat dengan cara yang khas masing-masing, namun keberagam-an dalam definisi ini tidak berhubungan dengan realitas apa pun. Masing-masing kelompok meng-gunakan kata ini dalam pengertian tertentu, yang mereka definisikan sebagai objeknya. Apa yang di-pandang oleh satu kelompok sebagai filsafat, tidak dianggap sebagai filsafat oleh kelompok lain; mereka menolak mentah-mentah nilai filsafat kelompok lain, dan menyebutnya sebagai sesuatu yang berbeda, atau menganggapnya sebagai bagian dari ilmu lain. Demikianlah, tidak ada satu kelompok pun yang akan menganggap kelompok lain sebagai filosof. Saya akan membahas berbagai macam. penggunaan ini dalam uraian berikut.

Kata “Filsafat”

Falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dalam ba-hasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (mashdar) yang diturunkan dari kata ghilosophia, yang merupakan gabungan dari philos dan sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti kebijaksanaan. Oleh karena itu, philosophia berarti cinta kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates sebagai seorang philosophos (filosof) dalam pengertian seorang pencinta kebijaksanaan(Lihat Muhammad Syahrastani, Kitab Milal wa Al-Nihat, jilid 2, him. 231, dan Dr. Human, Tarikh-i Falsafah, jilid 1, him. 20). Oleh karena itu, kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu mashdar yang berarti kerja atau pencarian yang di-lakukan oleh para filosof.

Sebelum Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sophis) yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas (kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Se-cara bertahap kata “sophis” (Sophist, sophistes) ke-hilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah yang keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry (cara berpikir yang menyesatkan), yang mempunyai asal kata yang sama dalam bahasa Arab . dengan kata safsathah, dengan arti yang sama.

Socrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan untuk menghindarkan pengidentifi-kasian dengan kaum Sophis, melarang orang menye-but dirinya seorang sophis, seorang cendekiawan(Dr. Human, Tarikh-i Falsafah, jilid 1, hlm.69).

Oleh karena itu, ia menyebut dirinya seorang filosof (philpsophos), pencinta kebijaksanaan, pen-cinta kebenaran, menggantikan sophistes yang ber-arti sarjana, dan gelaran yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi orang yang menggunakan pe-nalaran yang salah. Filsafat (philosophia)kemudian menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan (kea-rifan). Oleh sebab itu, philosophos (filosof) sebagai satu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang pun sebelum Socrates, dan tidak pula dikenakan pada seseorang segera setelahnya. Istilah philosophic! juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu; diceritakan bahwa bahkan Aristoteles sendiri tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin meluas.

Pemakaian di kalangan Filosof Muslim

Kaum Muslim mengambil kata “fllsafat” dari orang Yunani. Lalu mereka memberi kata itu sighat (bentuk) Arab dan nuansa Timur, dan menggunakannya untuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat menurut pemakaian para filosof Muslim secara umum tidak merujuk kepada suatu disiplin atau sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional – bukan ilmu-ilmu yang diwahyukan atau diriwayatkan – seperti etimologi, sintaksis, sharaf, retorika, gaya bahasa, tafsir, sunnah, dan hukum. Karena kata ini mempunyai arti yang umum, maka hanya seseorang yang memahami secara penuh semua sains-sains rasional yang ada pada waktu itu, termasuk teologi, matematika, ilmu-ilmu kealaman, politik, etika, dan ekonomi domestik, yang dapat disebut sebagai seorang filosof. Oleh karena itu bi-asa dikatakan, “Menjadi seorang filosof adalah menjadi dunia pengetahuan, yang sama belaka dengan dunia objektif’.

Ketika kaum Muslim berusaha mengembangkan kembali klasifikasi sains menurut Aristoteles, mereka memakai kata-kata falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan, “Filsafat, yaitu sains rasional, mempunyai dua bagian: teoretis dan praktis”. — Filsafat teoretis menggambarkan sesuatu seba-gaimana adanya; sedangkan filsafat praktis menggambarkan perilaku manusia sebagaimana seharus-nya. Filsafat teoretis terdiri atas tiga bagian: teologi atau filsafat tinggi, matematika atau filsafat mene-ngah, dan ilmu-ilmu kealaman atau filsafat rendah. Filsafat tinggi atau teologi pada gilirannya terdiri atas dua disiplin, fenomenologi umum dan teologi itu sendiri. Matematika terdiri atas empat bagian, masing-masing bagiannya menjadi satu sains tersendiri: aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Ilmu kealaman mempunyai banyak bagian. filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi domestik, dan kewarganegaraan (civics). Filosof yang lengkap menguasai seluruh sains tersebut.

Filsafat yang Benar

Menurut pandangan para filosof, ada satu wilayah yang menikmati keistimewaan khusus di antara wilayah-wilayah filsafat yang banyak itu. Wilayah itu disebut filsafat pertama, filsafat tinggi, sains tertinggi, sains universal, teologi, atau meta-fisika. Para filosof masa lalu percaya bahwa salah satu sifat yang membedakan sains ini dari semua sains yang lain ialah dasarnya yang lebih kuat pada demonstrasi (burhan) dan kepastian. Ciri yang lain adalah bahwa sains tersebut memimpin semua sains yang lain; ia bahkan ratu dari semua sains karena yang lain sepenuhnya tergantung padanya. Tapi, sebaliknya, ia tidak mempunyai ketergantungan se-macam itu pada sains yang lain. Ciri ketiga yang membedakannya adalah bahwa filsafat lebih umum dan universal dibanding sains yang lain (Penjelasan atau pendemonstiasian ketiga hal ini berada di luar niang lingkup tulisan singkat ini. Lihat Ibnu Sina, Danishnama-yi A ‘la ‘i: Ilahiyat, tiga bab pertama, dan Mulla Shadra, Al-Asfar AI-Arba’ah, beberapa bab pertama.)

Menurut pendapat para filosof ini, sains ini adalah filsafat yang sejati. Memang, kadang-kadang kata “filsafat” dibatasi pemakaiannya pada sains ini. Namun pemakaian ini jarang digunakan.

Oleh Karena itu, umam pandangan para filosof masa lalu, kata “filsafat” mempunyai dua arti:

Pertama:

pengertian umum dari pengetahuan rasional sebagaimana adanya, meliputi semua sains kecuali ilmu yang diperoleh melalui pewahyuan;

kedua;

pengertian lain yang agak jarang dipakai yaitu teologi atau filsafat pertama, salah satu dari tiga bagian filsafat teoretis.

Sesuai dengan itu, terdapat dua kemungkinan jika kita memilih untuk mendefinisikan filsafat menurut penggunaan para filosof kuno.

Pertama:

jika kita mengambil pemakaian yang umum, karena dalam hal ini filsafat merupakan suatu istilah generik yang tidak dilekatkan pada suatu sains atau disiplin khusus, maka ia tidak akan mempunyai definisi yang khusus. Filsafat di sini meliputi semua sains yang tidak diwahyukan. Menjadi seorang filosof berarti menguasai seluruh sains-sains rasional. Pengertian ini sesuai dengan pengertian umum filsafat’ yaitu” Filsafat adalah penyempurnaan jiwa manusia, baik dari sudut teoris maupun praktis.

Kedua:

Jika kita mengambil pemakaian yang lebih jarang digunakan, yang mendefinisikan filsafat sebagai aktivitas yang dinamai oleh para filosof di masa lalu sebagai filsafat sejati, filsafat pertama atau filsafat tertinggi, berarti kita menetapkan definisi yang khas bagi filsafat. Maka jawaban atas perta-nyaan “Apakah filsafat itu?” akan berbunyi: “Filsafat meliputi suatu sains tentang keadaan-keadaan wujud, dipandang dari segi bahwa ia adalah wujud, bukan dari segi bahwa ia memiliki individuasi khusus seperti badan, kuantitas, kualitas, manusia, tetumbuhan, atau apa saja yang ada.”

Pengetahuan kita tentang segala sesuatu terdiri atas dua macam: yang dapat dibatasi pada suatu spesies atau genus tertentu; ia dapat berlaku untuk kondisi-kondisi, ketentuan-ketentuan (ahkam), dan aksiden (‘awaridh) dari suatu spesies atau genus tertentu; sebagaimana halnya pengetahuan kita mengenai ketentuan-ketentuan dalam bilangan (arit-matika), kuantitas-kuantitas (geometri), keadaan dan sifat-sifat tanaman (botani), atau tentang keadaan, sifat, dan ketentuan yang berlaku pada badan manusia (kedokteran atau fisiologi) (Ahkam bentuk jamak dari hukn, suatu istilah dalam logika, yang berarti kesesuaian dengan relasi afirmatif atau negatif antara subjek dan predikat -penerj. Inggris. Bentuk pengetahuan ini meliputi hampir seluruh sains seperti me-tereologi, geologi, minerologi, zoologi, psikologi, sosiologi, dan ilmu atom.

Atau, pengetahuan yang tidak dapat dibatasi pada suatu spesies tertentu. Kita mungkin mengata-kan bahwa wujud memiliki ketentuan-ketentuan, keadaan-keadaan dan sifat-sifat, bukan dari sudut bahwa wujud itu adalah bagian dari suatu spesies tertentu, melainkan dari sudut bahwa ia wujud. Kadang-kadang kita mempelajari alam semesta dari sudut subjek-subjeknya yang diskrit dan jamak, se-mentara kadang kala kita mempelajarinya dari sudut kesatuan; artinya, kita memandang penciptaan dari sudut pandang bahwa penciptaan itu merupakan satu kesatuan, dan kita menyelenggarakan studi kita ber-dasarkan anggapan tentang kesatuan yang meliputi segala sesuatu itu.

Jika kita menyerupakan alam semesta dengan sebuah tubuh, kita melihat bahwa studi kita tentang tubuh akan terdiri atas dua macam. Sebagian studi kita akan berkenaan dengan anggota-anggota tubuh (seperti kepala, tangan, kaki, atau mata); yang lain akan berkenaan dengan tubuh secara keseluruhan. Misalnya kita bertanya, “Kapan tubuh ini muncul, dan berapa lamakah ia dapat bertahan?” Atau apakah ada artinya mempertanyakan “kapan” dalam hubungannya dengan tubuh sebagai suatu keseluruhan? Apakah tubuh ini memiliki kesatuan yang nyata, yaitu bahwa keserbaragaman anggota-anggota tubuhnya merupakan penampakan (lahiriah), bukan keserbaragaman yang real (hakiki)? Atau, apakah kesatuannya itu bersifat nominal, pada tingkat kesalinghubungan mekanis; yaitu, apakah kesatuannya itu tidak lebih dari kesatuan perkakas yang merupakan hasil manufaktur? Apakah tubuh ini memiliki suatu anggota sumber yang darinya anggota-anggota lain berasal? Sebagai contoh, apakah tubuh ini mempunyai kepala yang merupakan sumber bagi anggota-anggota tubuh yang lain? Atau apakah ada tubuh tanpa kepala? Jika tubuh mempunyai kepala, apakah kepala ini mempunyai jiwa yang dapat berpikir dan merasa, atau apakah ia lemah dan kosong? Apakah keseluruhan tubuh ke bawah sampai kuku dan tulang menikmati semacam kehidupan, atau apakah inteligensi dan persepsi tubuh ini dibatasi pada sejumlah entitas yang-timbul secara kebetulan seperti ulat pada mayat – ulat-ulat yang kita namakan binatang, termasuk manusia? Apakah tubuh ini sebagai suatu keselu-ruhan mengejar suatu tujuan, berjalan ke arah suatu kesempurnaan dan realitas, atau merupakan makh-luk yang tidak mempunyai tujuan? Apakah kemun-culan dan peluruhan anggota-anggota tubuh merupakan kebetulan, atau ada hukum sebab-akibat mengaturnya, bahwa tidak ada fenomena yang tam-pak tanpa adany a sebab, dan setiap pengaruh tertentu timbul dari suatu sebab tertentu pula? Apakah sistem yang mengatur tubuh ini bersifat pasti dan mutlak? Apakah susunan dan prioritas anggota-anggota tubuh ini hakiki atau tidak? Berapa banyak organ dasar tubuh ini?

Bagian dari studi kita yang menyangkut or-ganologi alam makhluk adalah sains, sedangkan bagian yang membahas fisiologi alam semesta secara keseluruhan adalah filsafat.

Dengan demikian, terdapat.kelompok persoalan khusus, yang tidak menyerupai satu sains mana pun, yang menyelidiki wujud-wujud partikular, tetapi memiliki kelompok tersendiri. Jika kita memandang studi tentang kelompok persoalan ini sebagai eksplorasi atas bagian-bagian sains, dan jika kita ingin memahami tentang subjek persoalan-per-soalan kelompok ini yang, secara teknis, merupakan aksiden-aksiden, maka kita melihat bahwa per-soalan-persoalan itu adalah aksiden dari wujud qua wujud.

Setiap kali kita meneliti identitas (mahiyah, esensi) sesuatu – misalnya, menyelidiki identitas, hakikat, pengertian yang sejati tentang tubuh atau manusia – atau setiap kali kita mempertanyakan kemaujudan sesuatu – misalnya, apakah suatu ling-karan atau garis yang nyata itu ada atau tidak -disiplin yang sama akan terlibat karena mempertanyakan fenomena-fenomena ini berarti mempertanyakan aksiden-aksiden wujud qua wujud. Mak-sudnya, identitas-identitas ini adalah di antara aksiden-aksiden dan ketetapan-ketetapan yang ter-dapat pada wujud qua wujud.

Jika salah seorang di antara kita harus bertanya, “Apakah filsafat itu?” Maka sebelum menjawabnya, kita harus menyatakan bahwa kata ini (filsafat) mempunyai pengertian tertentu dalam pemakaian setiap kelompok yang ada. Di antara para filosof Muslim, kata itu pada umumnya berarti kata benda umum yang meliputi semua sains rasional, bukan nama dari suatu sains khusus. Sedikit yang mengar-tikan sebagai nama bagi filsafat pertama, suatu sains mengenai aspek-aspek wujud yang paling universal, yang tidak menyangkut suatu subjek tertentu saja, rnelainkan keseluruhan subjek yang ada. Filsafat adalah suatu sains yang meneliti semua wujud sebagai satu kesatuan.

Metafisika

Aristoteles adalah filosof pertama yang melihat serangkaian persoalan yang tidak berhubungan de-ngan sains-sains kealaman, matematika, etika,

sosial, ataupun logika, dan harus dilihat sebagai suatu sains yang terpisah. la mungkin adalah filosof pertama yang melihat sumbu yang padanya semua pertanyaan-pertanyaan lainberputar sebagai aksiden dan keadaan-keadaan, yang merupakan wujud qua wujud. la juga mungkin merupakan filosof pertama yang menemukan faktor yang menghubungkan per-soalan-persoalan setiap sains, dan standar yang de-ngannya persoalan-persoalan itu dibedakan dari persoalan-persoalan sains lain – dengan kata lain, apa yang disebut sebagai subjek dari suatu sains,

Persoalan-persoalan sains ini, seperti halnya sains yang lain, kemudian diperluas dan ditambah secara besar-besaran. Fakta ini tampak secara jelas melalui perbandingan antara metafisika Aristoteles dengan metafisika Ibn Sina, untuk tidak menyebut metafisika Mulla Shadra. Tapi Aristoteles adalah filosof pertama yang memperluas sains ini sebagai suatu lapangan yang independen, memberikannya tempat yang khusus di antara sains-sains yang lain.

Aristoteles tidak memberikan nama bagi sains ini. Karya-karyanya dikumpulkan ke dalam sebuah ensiklopedia, setelah ia meninggal. Bagian yang te-ngah dipersoalkan ini ditempatkan setelah bagian mengenai filsafat alam dan, karena tidak mempunyai nama khusus, kemudian dikenal dengan metafisika, yang berarti setelah (yang) fisih. Istilah itu diterje-mahkan ke dalam bahasa Arab dengan istilah ma ba ‘d al-thabi ‘ah.

Pada akhimya, dilupakan bahwa nama ini diberikan pada sains tersebut karena ia muncul setelah bab filsafat alam dalam karya Aristoteles. Diperkirakan hal ini terjadi karena paling tidak beberapa perta-nyaan yang dilontarkan dalam sains ini, seperti ten-tang Tuhan dan inteligensi-inteligensi, berada di luar alam (fisik). Oleh karena itu, sejumlah orang, seperti Ibn Sina, berpendapat bahwa sains ini tidak seharus-nyadinamai metafisika, melainkan profisika; karena ia meliputi subjek-subjek tentang Tuhan, yang ada sebelum alam, bukan setelahnya (Lihat llahiyat ofAl-Syifa’ (edisi lama), him. 15).

.

Kesalahan verbal dalam penerjemahan ini kemudian membawa pada kesalahan dalam pema-haman di kalangan sejumlah pelajar modem yang mempelajari filsafat. Banyak orang Eropamengang-gap metafisika sama dengan hiperfisika, dan bahwa subjek sains ini adalah fenomena eksternal alam. Kenyataannya, sains ini meliputi yang alami dan adi-alami. Atau secara singkat, semua yang wujud. Kelompok ini, secara salah, mendefinisikan sains ini sebagai berikut: “Metafisika adalah sains yang berkaitan semata-mata dengan Tuhan dan fenomena yang terpisah dari alam.”

Filsafat pada Zaman Modern

Titik penting yang membedakan filsafat modern (dimulai pada abad keenambelas Masehi) dan filsafat kuno adalah digantikannya metode silogistik dan rasional dalam ilmu pengetahuan (sains) oleh metode empiris dan eksperimental, sebuah perubahan

yang dicanangkan oleh sekelompok orang terkenal yang di antarany a adalah Descartes, dari Francis, dan Bacon, dari Inggris. Bangunan ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari wilayah penalaran silo-gistik dan memasuki wilayah metode eksperimen. Sementara matematika mengambil karakter semi-silogistik, semi-eksperimental.

Setelah berlangsung beberapa lama, beberapa orang mulai mengatakan bahwa metode silogistik tidak dapat diandalkan. Jadi, jika sebuah sains berada di luar jangkauan eksperimen konkret, jika ia hanya tergantung pada penalaran silogistik semata, maka sains itu dikatakan tidak mempunyai landasan. Karena demikianlah halnya dengan metafisika, yaitu tak ada tempat untuk eksperimen konkret di dalam-nya, maka metafisika pun dikatakan tidak memiliki landasan. Pertanyaan-pertanyaannya berada di luar pembenaran atau penyangkalan yang dapat dilaku-kan melalui riset. Orang-orang ini mencoretkan garis merah pada ilmu yang dulunya tegak di atas semua ilmu dan disebut sebagai ilmu yang paling tinggi dan ratu dari segala ilmu. Menurut mereka, ilrnu metafisika atau filsafat pertama tidak ada dan tidak bisa ada. Mereka meniadakan pertanyaan-pertanya-an yang oleh rasio manusia dirasakan sebagai masa-lah-masalah yang paling dibutuhkan jawabannya sepanjang masa.

Kelompok lainnya mempertahankan pendapat bahwa metode silogistik bukannya sama sekali tidak dapat diandalkan dan harus digunakan dalam metafisika dan etika. Mereka menciptakan termi nologi baru: Apa-apa yang dapat berbentuk riset melalui metode eksperimental disebut sains, dan apa-apa yang harus didekati melalui metode silogistik, termasuk metafisika, etika, dan logika, disebut filsafat. Filsafat terdiri atas ilmu-ilmu yang berpijak pada riset yang dilakukan melalui metode silogistik saja dan tidak memerlukan eksperimen konkret.

Menurut pandangan ini, sebagaimana pandang-an para sarjana zaman kuno, filsafat bersifat generik, tidak spesiflk, dalam artian bahwa filsafat bukanlah nama sebuah ilmu, tetapi meliputi beberapa ilmu. Namun demikian, filsafat dalam pengertian ini memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding pengertiannya pada masa kuno. Filsafat (dalam pengertian modern – penerj.) meliputi metafisika, etika, logika, hukum, dan mungkin beberapa bidang lain, tetapi matematika dan ilmu-ilmu alam berada di luar cakupannya.

Pengikut-pengikut kelompok pertama sama sekali menyangkal metafisika dan metode silogistik, dan hanya mempercayai sains empiris dan eksperimental. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyadari bahwa jika segala sesuatu berada dalam wilayah sains eksperimental, dan jika pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan hanya terbatas pada subjek-subjek yang partikular, maka mereka akan tercerabut dari pemahaman yang menyeluruh tentang alam semesta, sebagaimana yang diberikan oleh filsafat atau metafisika. Untuk mengatasi hal ini, mereka kemudian membangun filsafat ilmiah, yaitu filsafat yang sepenuhnya berlandaskan pada sains.

Melalui studi komparatif terhadap berbagai bidang ilmu, penyelidikan tentang bagaimana suatu permasalahan dapat dikaitkan dengan permasalahan yang lain, dan penemuan jenis hubungan antara hukum-hukum dan pertanyaan-pertanyaan ilmiah, serta kesatuan yang dibentuknya, muncullah perta-nyaan yang lebih besar. Mereka menyebut perta-nyaan umum ini sebagai filsafat. Auguste Comte dari Francis dan Herbert Spencer dari Inggris, adalah tokoh-tokoh yang mengambil jalan ini.

Filsafat tidak lagi merupakan ilmu yang otonom baik dalam subjek-subjek yang dipertanyakan mau pun dalam sumber-sumbernya, karena subjek se-buah ilmu yang otonom adalah masalah wujud qua wujud dan sumbernya – paling tidak sumber utamanya – adalah aksioma pertama. Filsafat telah menjadi ilmu yang fungsinya untuk mempelajari produk ilmu lain, untuk saling menghubungkannya, dan untuk menurunkan pertanyaan umum dari per-tanyaan yang lebih sempit. Filsafat positivisme Auguste Comte dan filsafat sintetis Herbert Spencer merupakan filsafat jenis ini. Menurut pandangan mereka, filsafat bukan merupakan ilmu yang ter-pisah dari ilmu yang lain, tetapi (fungsinya untuk) membukakan wawasan yang lebih luas dan men-dalam dari hal-hal yang diketahui dan dipelajari oleh ilmu-ilmu lain.

Beberapa tokoh lain, seperti Kant, berpendapat bahwa pertama-tama perlu dipelajari tentang penge-tahuan itu sendiri, sekaligus dengan fakultas yang merupakan sumber-sumbernya, yaitu rasio. Mereka mengajukan kritik terhadap rasio manusia dan me-ngatakan filsafat mereka sebagai filsafat yang demikian (filsafat kritik atas rasio – penerj.) atau filsafat kritik. Namun demikian, kelompok ini pun tak memiliki apa-apa kecuali kata-kata yang tak berbeda artinya dengan apa yang disebut filsafat oleh para filosof kuno atau dengan positivisme Comte atau filsafat sintetis Spencer. Filsafat Kant lebih banyak berkenaan dengan logika, yang merupakan bentuk khusus dari ideologi dalam penger-tiannya yang sempit (fikr syinasi), daripada dengan filsafat dalam pengertiannya yang orisinal, yang merupakan kosmologi.

Dalam lingkup budaya Eropa, segala sesuatu yang bukan sains, yaitu semua yang tidak sesuai dengan ilmu alam dan matematika, tak terkecuali teori mengenai alam semesta, manusia, atau masyarakat, perlahan-lahan dikenal sebagai filsafat. Jika kita mengumpulkan semua ‘isme’ yang telah disebut-sebut sebagai filsafat di Eropa dan Amerika dan mendaftar semua defmisinya, akan kita temukan bahwa keseluruhan isme tersebut tidak memiliki kesamaan apa-apa kecuali sama-sama merupakan sejenis ilmu pengetahuan (sains).

Perbedaaan antara filsafat kuno dan filsafat modern tidak sama dengan perbedaan antara sains kuno dan sains modern. Bandingkanlah kedokteran, geometri, psikologi, atau botani dari zaman kuno dan zaman modern. Sains kuno secara identitas tak berbeda dengan sains modern (sebagai contoh, kata ‘kedokteran’ tidak merujuk kepada hal yang berbeda

baik pada sains kuno ataupun pada sains modern). Ilmu kedokteran kuno dan modern memiliki defmisi yang sama; kedokteran terdiri atas pengetahuan mengenai keadaan dan kondisi-kondisi simptomatik tubuh manusia. Tetapi kedokteran kuno dan modern berbeda dalam cara mendekati permasalahan. Kedokteran modern lebih bersifat empiris, sementara itu kedokteran kuno lebih bersifat deduktif dan silo-gistik. Kedokteran modern juga lebih pesat berkem-bang. Perbedaan-perbedaan ini berlaku pula bagi semua cabang ilmu.

Namun demikian, istilah ‘filsafat’ memang merujuk kepada berbagai bidang acuan, dan setiap bidang acuan memiliki defmisi yang berbeda, baik pada masa kuno maupun pada masa kini. Pada masa kuno, terkadang filsafat diartikan sebagai sains rasional seperti di atas dan terkadang mempunyai pengertian yang khusus ketika diterapkan pada satu cabang ilmu pengetahuan (seperti metafisika atau filsafat pertama). Pada zaman modern, kata filsafat diterapkan di berbagai bidang acuan, dan memiliki definisi yang berbeda di setiap bidangnya.

Perpisahan Sains dari Filsafat

Kekeliruan terbesar yang telah menjadi lumrah di masa kita yang muncul dari Barat dan kemudian tumbuh menyebar di kalangan para peniru pemikir Barat di Timur adalah mitos terpisahnya sains dari filsafat. Perubahan linguistik yang menyangkut kon-vensi penggunaan kata telah disalahartikan sebagai perubahan makna yang berkaitan dengan keadaan

yang sebenarnya. Dalam bahasa zaman kuno, kata-kata ‘filsafat’ dan ‘hikmah’ biasanya digunakan dalam pengertian pengetahuan rasional, bukan pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Jadi, kata-kata tersebut melingkupi semua ide-ide intelektual dan rasional manusia. Dalam pemakaian seperti ini, filsafat merupakan kata generik, bukan kata benda, bukan sebuah nama.

Pada zaman modem, kata ini menjadi terbatas pada metafisika, logika, estetika, dan yang sejenis. Perubahan dalam nama-nama ini telah menimbulkan anggapan pada beberapa kelompok bahwa filsafat pada masa kuno dulu hanya merupakan sejenis ilmu pengetahuan tertentu yang meliputi teologi dan ilmu alam, matematika, serta ilmu-ilmu pengetahuan lain dan bahwa kemudian ilmu alam dan matematika terpisah dari filsafat dan tumbuh secara independen di luar filsafat. Sebagai contoh, seakan-akan kata ‘tubuh’ dulunya berarti badan manusia, sebagai lawan dari jiwa, dan mencakup seluruh badan manusia sejak dari kepala hingga kaki namun belakangan memperoleh arti batang tubuh dan anggota badan tanpa kepala. Umpamanya ada orang yang memba-yangkan bahwa kepala manusia telah terpisah dari batang tubuhnya. Perubahan linguistik telah disalah-artikannya sebagai perubahan dalam makna. Perha-tikan pula kata ‘Pars’, yang dulunya merujuk pada keseluruhan wilayah Iran tetapi kini hanya merujuk kepada salah satu provinsi di sebelah selatannya. Orang-orang bisa jadi berpikir bahwa provinsi Pars telah melepaskan diri dari Iran. Seperti inilah status keterpisahan sains dari filsafat. Sains dulunya per-nah terpadu di bawah nama ‘filsafat’, tetapi kini nama tersebut hanya dinisbahkan pada sejenis sains. Perubahan makna dalam nama ini tidak ada kait-annya dengan perpisahan antara sains dari filsafat. Sains tidak pernah merupakan bagian dari kata filsafat; sehingga tidak mungkin sains bisa terpisah dari filsafat. (Murtadha Mutahhari).

Leave a comment