Keyakinan Di Atas Keraguan


Ketika kita perhatikan zaman sekarang ini dari sudut agama dan maz-hab, khususnya dalam kaitannya dengan kalangan muda, kita temukan zaman ini sebagai zaman keguncangan dan perubahan. Zaman modern telah melemparkan serangkaian persoalan dan keraguan ke medan pengkajian dan menghidupkan kembaU persoalan-persoalan klasik yang telah terlupakan dalam bentuknya yang baru dan menjadikannya sebagai pokok pembicaraannya. Apakah keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan ini — yang terkadang mencapai tingkat yang ekstrem — akan kita hadapi dengan perasaan yang putus asa, sesak nafas, dan pesimistis? Tidak, saya tidak percaya bahwa ke-raguan-keraguan ini akan membawa kita kepada kesedihan. Sebab, justru, keraguan membimbing orang kepada keyakinan, pertanyaan membawa orang menuju kesimpulan, dan kegeh’sahan adalah pengantar menuju ketetapan. Keraguan adalah jembatan yang menakjubkan, sekaligus tempat tinggal yang buruk.

Ketika Islam menganjurkan tafakur dan memperoleh keyakinan sedemikian intens, ia memahami benar bahwa keadaan manusia pada : ermulaannya adalah ragu dan bimbang. Dengan pemikiran yang jernih, ia dapat mencapai keyakinan dan ketenteraman. Salah seorang pemikir mengatakan, “Manfaat pembicaraan kita sekarang ini hanyalah membawa Anda kepada keyakinan dan kebimbangan untuk Anda lanjutkan sendiri dengan pengkajian dan penelitian menuju keyakinan.” Benar, dalam keraguan tidak terdapat ketetapan dan ketenangan. Tetapi juga benar bahwa ketetapan dan ketenangan dapat pula tak lebih dari “ketidaktetapan” dan “ketidaktenangan” itu sendiri. Ada dua macam ketetapan (istiqrar), yaitu ketetapan,yang lebih rendah daripada keragu­an dan ketetapan yang lebih tinggi daripada keraguan.

Ketika kita mengatakan bahwa binatang menikmati ketenangan, maka ketenangan itu merupakan ketenangan yang lebih rendah dari­pada keraguan, di samping ia tidak akan membawa kepada keyakinan. Sedangkan orang-orang beriman, yang termasuk ahli yakin, menikmati jenis keyakinan yang kedua, keyakinan yang lebih tinggi daripada keraguan. Mereka telah melampaui tahap keraguan dan sampai kepada tahap keyakinan.

Dengan mengecualikan sejumlah orang yang langsung diberi petunjuk olch Allah, maka pemilik-pemilik keyakinan dari kalangan orang-orang bcriiuaii telah melewati posisi ragu dan bimbang, kemudian sampai kepada keyakinan dan keimanan. Oleh karena itu, tidaklah layak bila kita menuduh zaman ini, hanya karena dipenuhi kebimbang-an dan kcraguan, sebagai zaman kebimbangan dan kemerosotan. Sebab, kcraguan yang terjadi bukanlah keraguan yang lebih rendah daripada kctcnangan yang naif yang tidak akan beranjak. Sebenarnya, yang harus kita sesali adalah apabila orang meragukan sesuatu, tetapi dia tidak melakukan penelitian terhadap sesuatu yang dia ragukan itu. Atau apabila kebimbangan sosial terjadi, lantas para pemikir tidak bergerak untuk mengatasi kemusykilan-kemusykilan yang menyebabkan ke­bimbangan-kebimbangan tersebut.

Dua puluh tahun terakhir ini, setiap saya akan menulis buku atau makalah, yang saya tuju hanyalah satu, yaitu memecahkan kemusykil­an-kemusykilan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar pokok persoalan, yaitu “Islam pada zaman modern”. Terkadang tulisan saya bercorak filsafat, sosiologi, etika, atau fiqih dan sejarah. Walaupun per-soalannya berbeda-beda, arah dan tujuan yang dikandungnya sama, yaitu semata-mata persoalan Islam.

Hingga saat ini, Islam masih merupakan agama yang belum dikenal secara benar; banyak kebenaran yang diabaikan sehingga banyak orang menghindarinya. Semua itu disebabkan oleh ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin keliru yang disampaikan kepada orang banyak dengan meng-atasnamakan Islam. Pada zaman sekarang inilah, justru Islam mendapat pukulan paling berat dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai penjaganya. Dengan segala cara, terang-terangan atau diam-diam, para kolonialis telah menyerang Islam dan memperlemah pengaruhnya dalam jiwa kaum Muslim; dan pada sisi lain, Islam menjadi lemah karena kejahilan dan ketidakmampuan sebagian besar orang Islam yang mengaku menjadi penjaganya. Pada zaman seperti inilah banyak orang terpengaruh untuk meninggalkan setiap lapangan pemikir-an Islam, sejak persoalan ushul hingga persoalan furu’. Bahkan telah mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan terhadap pe-mikiran-pemikiran semacam itu. Oleh karena itu, saya merasa berkewajiban untuk berusaha sekuat tenaga melaksanakan sebagian kewajiban dalam bidang ini.

Saya selalu menyadari, seperti telah saya jelaskan dalam beberapa buku saya yang lain, bahwa penerbitan-penerbitan keagamaan kita berjalan tidak sistematis. Man kita tinggalkan saja tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat membahayakan dan memalukan itu dan selanjutnya kita kaji tulisan-tulisan yang bermanfaat. Sekarang ini kita tidak mendapati tulisan-tulisan yang mampu menjawab kebutuhan kita yang mendcsak karena setiap penulis hanya menulis persoalan yang sejalan dengan pikirannya saja. Setelah buku-buku itu diterbitkan, kita tahu, tak ada satu buku pun yang menulis tema-tema penting. Bahkan buku-buku yang demikian gencar diterbitkan itu hanya berbicara tentang persoalan yang itu-itu saja.

Salah   satu   kemalangan   kita  sekarang  ini   adalah   karena  kita brrdtam   di  suatu  negara yang ekonominya  tidak  dipusatkan  pada liindasan sosial yang kokoh. Setiap orang hanya memproduksi apa yang menjadi kesukaannya, atau mengimpor komoditi dari luar yang sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa suatu pengorganisasian yang dapat uk iicntukan  standar  komoditi,  atau  mengekspor  komoditi tertentu berdasarkan  kebutuhan-kebutuhan negara.  Dengan  kata lain,  segala nciiuatu dilakukan dengan serba kebetulan. Jelas, pada kondisi seperti ini sebagian besar dana dihabiskan untuk hal-hal yang konsumeristik,sementara sebagian  komoditi  lain yang diperlukan oleh pasar sama sekali tidak ada. Jadi, bagaimana cara mengatasinya? Mudah. Langkah pertama analisisnya dapat dilakukan dengan meminta bantuan kepada para pemikir, penulis, dan peneliti. Sayangnya, acapkali yang menyita prrliatian kita hanyalah kepentingan diri kita sendiri. Setiap orang di antara kita  berkeyakinan  bahwa pemecahan paling benar dan satu-satuya hanyalah pemecahan yang dilakukannya, sedangkan yang dilkukan orang lain salah sama sekali. Seringkali ketika saya mendialog-kan persoalan tersebut dengan sebagian penulis dan pemikir lain, alih-alih  dukungan dan dorongan, yang saya peroleh dari mereka adalah keberatan-keberatan, dan mereka anggap saya menyalahkan mereka. Saya tidak mengklaim bahwa tema-tema yang saya pilih dan saya meminta untuk didiskusikan adalah tema-tema yang benar-benar penting. pernyataan saya terbatas pada bahwa saya — sesuai dengan pengetahuan, spesialisasi, dan kemampuan saya sebagai penulis — belum memberikan perhatian terhadap tema-tema keislaman tersebut sehingga saya berusaha sedapat mungkin “memecahkan kerumitan dan menjelaskan prmikiran-pemikiran   Islam   sebagaimana   adanya   menurut   sumber-sumbcrnya yang orisinal. Dengan demikian, orang yang tidak mampu mrnghadang  penyelewengan-penyelewengan praktis, paling tidak ia harus berdiri tegak menghadang penyelewengan-penyelewengan  pemikiran, terutama yang menyangkut persoalan-persoalan yang sering di gunakan oleh para penentang Islam  dan dijadikan alasan bagi keengganan mereka menerima Islam sebagai agama Tuhan. Persoalan ini saya bahas dengan mengacu kepada kaidah yang masyhur, yaitu “menduhulukan yang paling penting” yang, menurut kacamata saya, pada Niat  ini  persoalan  inilah  yang merupakan persoalan paling penting. Sekitar tiga atau empat tahun bclakangan ini, saya sisihkan banyak waktu untuk mengkaji persoalan-persoalan Islam yang berkaitan dengan wanita   dan  hak-haknya  dalam  bentuk  makalah-makalah  yang saya publikasikan melalui koran dan majalah, atau dalam bentuk buku secara tersendiri. Upaya ini tidak hanya saya lakukan karena saya menyaksikan banyaknya penyelewengan praktis dalam bidang “hak-hak wanita” saja,  tetapi juga  karena saya melihat banyak penulis, pemikir, dan pcngajar di sekolah-sekolah dalam berbagai lapangan dan dalam berbagai bidang studi mulai menaruh perhatian terhadap perspektif –Islam dalam bidang wanita dan hak-haknya serta batas tugas-tugasnya dengan gambaran yang diputarbalikkan sehingga banyak membenarkan pemeo terkenal yang berbunyi: “Engkau yang membunuh, kemudian engkau pula yang ber-ta’ztyah kepada keluarga yang terbunuh.” Mereka nisbahkan kepada Islam sesuatu yang bertentangan dengan Islam, dan selanjutnya mereka hancurkan apa yang mereka gambarkan kepada orang-orang sebagai Islam. Semuanya itu terjadi di tengah-tengah masyarakat yang pada umumnya tidak memahami hakikat Islam secara ilmiah. Bukan hanya menyangkut persoalan itu, melainkan juga menyangkut persoalan-persoalan lain. Karena persoalan itu pulalah, upaya-upaya tersebut meluas, dan orang-orang —laki-laki dan wanita — akhir-nya melihat Islam dengan kacamata hitam. Alasan ini jugalah yang mendorong saya untuk menjelaskan pandangan Islam menyangkut persoalan wanita dan hak-haknya, lalu saya buktikan kepada mereka bahwa Islam tidak saja bisa memecahkan kemusykilan tersebut, tetapi sekaligus menunjukkan perhatian Islam terhadap problem itu dalam semua seginya, kemudian memberikan solusi kemanusiaan. Ini merupa-kan bukd paling kuat tentang kebenaran Islam, dan bahwasanya ia bersumber dari Zat yang berada di atas manusia.

(Sumber Buku Keadilan Ilahi Murtadha Mutahhari)

Leave a comment