Hujja kebenaran kemaksuman Imam Syi’ah


Dalil-dalil Aqli tentang Kemaksuman para Imam Syi’ah Imamiyah

Dalil Pertama

Al-Hilli, seorang ulama yang terkemuka telah menulis dalam salah sa-tu kitabnya yang berjudul Al-Alfain, bahwa segala sesuatu yang mungkin (jaiz) terjadi atau tak, akan selalu membutuhkan adanya penyebab (‘illah) yang bukan dari jenisnya sendiri. Sebab jika penyebab itu terdiri dari jenis yang sama, maka secara pasti membutuhkan kepada penyebab yang pasti (lazim) dan tak hanya kepada penyebab yang mungkin. Demikian pula halnya dengan kesalahan yang mungkin terjadi pada manusia. Jika kita ingin meniadakan kesalahan yang bersifat mungkin terjadi dari manusia, maka kita harus kembali kepada seorang yang tidak mungkin terkena segala macam kesalahan, yaitu ma’shum. Ketakberadaan seorang maksum adalah mustahil, karena hal itu membuat semacam siklus kesalahan yang tiada henti-hentinya (missing link).

Jika seorang imam tidak maksum, maka ia memerlukan imam yang lain, karena sebab (‘illah) pengangkatan seorang imam adalah adanya ke-mungkinan umat melakukan kesalahan. Jika imam tersebut juga dapat melakukan kesalahan, maka dengan sendirinya imam itu memerlukan imam lain yang maksum. Jika tidak, maka akan terjadi mata rantai kesalahan yang tak berakhir. Jika imam itu tidak maksum, ia akan memerlukan umat untuk mengembalikannya kepada kebenaran. Jika ia melakukan kesalahan, maka siapa yang mesti diikuti padahal di saat yang sama umat memerlukan imam itu juga untuk diikuti. ( Al-Allamah Al-Hilli, Al-Alfain, hal. 54).

DalilKedua

Imamiyah berpendapat bahwa pengertian ‘imam’ mengandung arti maksum; sebab dari segi bahasanya ‘imam’ berarti “orang yang diikuti jejaknya”.

Kalau imam itu dapat berbuat dosa (kesalahan), maka pada saat ia melakukan kesalahan itu, ada dua alternatif, diikuti atau tidak. Jika diikuti seakan-akan Allah menyuruh mengikuti orang yang berbuat salah (dosa).Dan ini mustahil!

Alternatif pertama

Ketika berbuat kesalahan dan diikuti oleh yang lain-nya. Anggapan ini tak benar. Sebab Allah meme-rintahkan agar hamba-Nya berbuat kesalahan atau dosa. Ini jelas sesuatu yang mustahil.

Alternatif kedua

Tak diikuti dan dengan demikian ia tak mengikuti fungsi imamah (keluar dari jabatan imamah). Oleh karena itu, untuk menghilangkan dilemma seperti ini; antara taat kepada imam dan kewajiban amar ma’rufnahi munkar, kita harus menerima ada-nya orang yang ma’shum. ( Al-Arbain Al-Razi, hal. 434).

Kaum muslimin wajib melaksanakan amor ma’ruf dan nahi munkar terhadap kesalahan yang telah drlakukan oleh imam mereka yang harus diikuti. Keruwetan ini semua dapat kita atasi dan dihilangkan seketika dengan pengertian bahwa kemaksuman itu dengan sendirinya tersirat dalam pengertian imam dan merupakan bagian terpenting dalam wujudnya.

DalilKetiga

Kaum Syi’ah Imamiyah beranggapan bahwa imam adalah hujjah-huj-jah Allah untuk menyampaikan syariat kepada sekalian hamba-Nya, untuk mendekatkan para hamba-Nya kepada ketaatan dan menjauhkan mereka dari kemaksiatan; karena banyak pemimpin yang mengaku pimpinan melakukan kedurjanaan yang tidak boleh ditiru. Karena itu, apabila mereka menyerukan taat kepada Allah padahal mereka melakukan kemaksiatan, maka mereka terkena ayat-ayat Allah dalam firaan-Nya dalam Al-Quran berikut ini:

Mengapa engkau sumh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri…(QS 2:44)

Dalam keadaan-keadaan seperti ini, seorang mukallaf tak akan mempercayai ucapan-ucapan pemimpin itu, dan dia dapat beralasan seperti itu. Maka jelaslah kiranya bahwa para imam itu mendekatkan umat kepada ketaatan terhadap Allah, bukan bertindak dari segi keimanannya, tetapi selaku seorang maksum. Dan orang yang melanggar perintahnya tidak punya alasan lagi. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah di-utusnyapara Rasul (yang maksum itu)… (QS 4:165)

Para imam itu juga berkedudukan sebagai bukti-bukti Allah (hujjatul-lah) yang harus ditaati oleh umat manusia, seperti halnya para Rasul, karena para imam itu ditunjuk oleh Allah SWT guna memberi petunjuk umat dengan perantara Nabi Muhammad saaw.( Al-Syahristani,Nihayah Al-Iqon, hal. 85)

Inilah tiga (dari banyak) dalil aqli yang dijadikan sandaran oleh Im-amiyah dalam membuktikan adanya ‘ishmah para imam.

Dalil-dalil Naqli tentang Kemaksuman Para Imam

Firman Allah SWT:

“…sesungguhnyaAku menjadikan engkau imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “(Dan soya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfir-man: “Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim.” (QS 2:124)

Ayat tersebut menunjukkan adanya kemaksuman, sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinya, sesuai dengan firman Allah:

….di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri…(QS 35:32)

2.    Firman Allah SWT:

…..orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu… (QS 4:59)

Dari ayat suci tersebut, dapat disimpulkan bahwa perintah-perintah para ulil amri yang wajib ditaati perintahnya itu harus cocok dengan hukum Allah SWT, sehingga mereka wajib ditaati. Ketaatan tak akan pernah dilaksanakan kecuali jika pemimpin (ulil amri) tersebut adalah orang yang maksum. Jika mereka berbuat kesalahan, harus ditegur dan ditolak seketika. Sikap semacam ini bertentangan dengan taat kepada mereka. Akhirnya dua perintah Allah tanpa kemaksuman menjadi saling berben-turan, padahal keduanya menuntut adanya pelaksanaan untuk menghin-dari murka Yang Mahakuasa, dalam arti kata taat kepada mereka.( 10. Al-Hilli ,Kasyf Al-Murad, hal. 124).

Firman Allah dalam surat Al-Ahzab 33. Ayat ini menunjukkan kemaksuman Ahlul Bait yang menjadi sebab diturunkannya ayat ini. Allah SWT berth-man:

Sesungguhnya   Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dan kamu, hoi Ahlul Bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya… (QS 33:33)

Maka setelah penetapan turunnya ayat tersebut kepada Ahlul Bait, para ulama ahli hadis dan tafsir menyatakan bahwa ayat tersebut turun

atas Nabi Muhammad saaw, Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain. (Ahmad bin Hanbal, Musnad; Al-Hakim, Mustadrak; Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur; Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-Ummal; Al-Tunnudzi, Sunan; Al-Thabari, Tafar; Al-Nasai, Khashaish; Tarikti Baghdad; Ibn Abd AI-Barr,Istiab; Al-riyadh ,Al-Riyadh Al-Nadliirah; Abu Dawud, Musnad; Ibnu Hajar, UsudAl-Ghabah).

Sesungguhnya dengan ayat tersebut para ulama masih memperma-salahkan tentang arti kata rijs (dosa) sampai titik kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah setiap dosa atau kesalahan yang tidak mungkin mereka lakukan. Perlu diketahui bahwa fungsi kemauan (iradah) di sini bersifat kreatif (takwiniyah), karena iradah tasyri’iyah dimaksudkan untuk manusia seluruhnya.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan ‘ishmah adalah karunia dari Allah dan juga kesanggupan hamba. Keterangan ini sudah jelas sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam hakikat ‘ishmah. Demi-kianlah dalil-dalil Imamiyah tentang ‘ishmah yang semuanya dikutip dari Kitabullah dan Sunnah, serta dalil akal. Lalu apa hubungannya dengan Abdullah bin Saba’? Dan di mana letak kebenaran tuduhan itu?

Para pembaca berhak untuk mempertanyakannya kepada penulis-pe-nulis itu: “Apakah mereka sudah pernah atau belum membaca sumber-sumber rujukan mazhab Syi’ah Imamiyah ketika mereka menulis tentang Syi’ah Imamiyah? Kalaulah mereka mengatakan sudah pernah membaca, maka apakah sebenarnya latar belakang kekacauan mereka dan tuduhan-tuduhan palsu semacam itu? Kalau mereka belum membaca, maka apa alasan mereka membahas persoalan-persoalan yang belum pernah mereka baca? Bukankah dalam hal ini Islam mempunyai kode etik kesopanan yang digambarkan secara jelas oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

Dan janganlah engkau mengikuti apa-apayang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan had, semua itu akan dimintaipertanggungjawaban. (QS 17:36)

Pada saat itu juga metode ilmiah menolak tindakan ceroboh ini; yaitu menghubung-hubungkan masalah yang sama sekali tidak memiliki hubung-an satu sama lain, atau tidak memiliki sumber. Jika seandainya masalah ‘ishmah tidak mempunyai dalil, maka ia juga tak layak dialihkan dari sumbernya untuk dinisbatkan kepada oknum fiktif seperti Abdullah bin Saba’

Leave a comment