Kisah Sahabat Nabi Saww Yang Mengharukan


Juwaibar dan Zuifa 

Seorang lelaki dari Yamamah datang ke Madinah, lantas masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik. Dia mengkaji ilmu-ilmu Islam, dan terdidik oleh pengajaran-pengajaran Islam. Namanya Juwaibar. Postur tubuhnya jelek, kulitnya hitam, miskin dan tak memiliki apa-apa. Dia sebatang kara di Madinah. Setiap malarn tidur di masjid. Pada suatu hari para fuqara kaum Muslimin berkumpul. Nabi menyuruh mereka tidur di masjid yang sama.

Jumlah mereka semakin bertambah. Maka datanglah perintah Allah agar masjid dipelihara kebersihannya dan tidak dipergunakan sebagai termpat tidur. Juga telah turun perintah untuk menutup pintu-pintu rumah orang-orang yang mengarah ke masjid, dengan kekecualian pintu rumah Ali al-Murtadha dan Fatimah-al-Zahra. Tertutuplah pintu-pintu itu dan tertutuplah jalan lalu lalang di masjid itu, kecuali dari pintu-pintu untuk orang umum, demi kemuliaan masjid. Bagi para fuqara itu Nabi menyuruh membangun saqifah (balairung) di sudut-sudut kota Madinah, untuk tempat tinggal mereka. Saqifah itu dikenal dengan “Al-Shuffah”, dan mereka yang tinggal di dalamnya dikenal sebagai “Ahl al-Shuf-fah.”

Juwaibar juga termasuk di antara Ahl al-Shuffah, Rasul mulia dan seluruh kaum Muslimin mengasihi dan menjamin kehidupan mereka. Pada suatu hari Rasuiullah menernui mereka, dan berkatalah Rasuiullah kepada Juwaibar: “Hal Juwaibar, betapa baiknya bila engkau menikah, agar engkau dapat memenuhi hajatmu, dan (agar pernikahan itu) menolongmu, untuk kepentingan dunia dan akhiratmu.” Juwaibar menjawab: “Ya, Ra­suiullah. Tapi siapakah yang mau menikah denganku.

Aku ini tidak bernasab mulia, tidak mempunyai apa-apa, tidak berharta juga tidak punya paras yang elok. Siapa­kah yang tuan pandang cocok untuk lelaki seperti aku ini?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya, dengan Islam, Allah telah menghinakan siapa yang mulia di dalam kejahiliyahan; dan dengan Islam pula Dia mulia-kan orang yang hina di masa jahiliyahnya; juga dengan Islam Dia hormati orang yang hina di masa jahiliyah. Semua manusia yang putih, yang hitam, yang Quraisy, yang Arab, dan yang ‘Ajam — berasal dari Adam, dan Adam Allah ciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian itu adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” Kemudian Rasuiullah berkata kepadanya: “Tidak satu orang pun dari kaum Muslimin yang berhijrah, dan dari kalangan Anshar, yang tinggal di rumah-rumah mereka, itu lebih mulia daripada engkau kecuali karena takwa.” Kemudian Juwaibar disuruhnya pergi ke rumah Ziyad bin Labid al-Anshari — seorang ahli Madinah, yang terhormat — untuk berkata kepadanya: “Sesungguhnya Rasuiullah mengutus aku kepada engkau untuk meminang putrimu, Zulfa, untuk diriku.”

Maka Juwaibar pun melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan segera pergi ke rumah Ziyad. Dia dapati Ziyad sedang bersama sebagian keluarga dan kerabatnya. Maka dia pun meminta izin untuk duduk. Katanya kepada Ziyad: “Aku membawa pesan dari Rasuiullah. Apakah engkau kehendaki aku mengatakan-nya secara diam-diam atau terang-terangan?” Ziyad men­jawab’: “Sesungguhnya pesan Rasuiullah itu mengundang kebanggaan, maka katakanlah terus terang.” Berkatalah Juwaibar: “Sungguh, Rasulullah telah mengutusku untuk meminang putrimu, Zulfa, untuk diriku. Maka bagaimana pendapat engkau? Katakanlah, agar aku sampaikan jawabanmu itu kepada Rasulullah.”. Ziyad terheran-heran dan bertanya kepadanya: “Rasulullah mengirimmu untuk hal itu?” “Benar, Rasul­ullah mengutusku, dan sesungguhnya aku tidak men-dustakan Rasulullah,” jawab Juwaibar. Ziyad pun ber­kata: “Bukanlah kebiasaan kami itu mengawinkan putri-putri kami dengan orang-orang Anshar yang tidak se­derajat dengan kami. Pulanglah engkau, dan aku akan menemui Rasulullah.”

Keluarlah Juwaibar. Pikirannya kacau. Sesekali dia teringat ucapan Rasul tentang Islam yang menghapuskan kebanggaan karena gelaran dan keturunan, dan sesekali dia berpikir tentang apa yang didengarnya dari Ziyad, bahwa mereka tidak mengawinkan putri-putrinya kecuali dengan mereka yang sederajat. Maka Juwaibar pun ber-gumam kepada dirinya: “Sungguh apa yang dikatakan lelaki itu bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Quran. Demi Allah, al-Quran tidak turun (dengan ajaran) demikian, dan tidak demikian tujuan pengutusan Muham­mad.” Sementara itu, Zulfa ternyata mendengar segala-nya. Bertanyalah ia kepada ayahnya tentang masalah tersebut. Ayahnya memberitahukan kepadanya kisah itu. Berkatalah Zulfa: “Demi Allah, sesungguhnya Juwaibar itu jujur. Jangan biarkan Juwaibar pulang menemui Rasuluilah dengan hampa. Utuslah seseorang untuk memanggilnya agar kembali kepadamu.” Ziyad pun melakukan permintaan putrinya. Juwaibar pun diterima di rumah itu.

Akhirnya Ziyad pergi sendiri menemui Rasulullah yang mulia, dan berkata: “Demi ayah dan ibuku, sesung­guhnya, wahai Rasulullah, Juwaibar telah datang menemuiku dengan membawa pesan Tuan. Padahal kami tidak biasa mengawinkan putri-putri kami dengan orang-orang yang tidak sederajat dengan kami.” Ber­katalah Rasulullah saw.: “Wahai Ziyad. Juwaibar adalah seorang Mukmin, dan orang Mukmin itu sederajat dengan seorang Mukminah dan orang Muslim itu sedera­jat dengan seorang Muslimah.” Ziyad pun kembali, dan kemudian mengabarkan apa yang didengarnya. Zulfa pun menjawab: “Bagaimana aku tidak rela, padahal Rasulullah-lah yang mengutusnya, dan sesungguhnya aku rela untuk dikawininya.” Maka Ziyad pun menarik tangan Juwaibar, lantas membawanya ke tengah-tengah kumpulan kaumnya dan mengawinkan putrinya dengan Juwaibar, si Hitam yang fakir, sesuai dengan Sunnah Allah dan Rasul-Nya.

Karena Juwaibar tidak memiliki rumah, maka Ziyad menyediakan rumah yang layak untuknya. la pun mem-persiapkan putrinya dengan persiapan yang sempurna. Kemudian ia mengirimkannya ke rumah pernikahan dengan dua stel pakaian untuk Juwaibar. Maka ketika Juwaibar memasuki kamar pengantin dan melihat semua itu, bersyukurlah ia atas nikmat dan karunia-Nya. Islam telah memuliakannya. Perasaan syukur kepada Allah menjadikannya semakin tenggelann sampai-sampai ia lewati malamnya dengan tinggal di sebuah sudut rumah hingga subuh. Dia bersyukur kepada Allah, bermunajat dan beribadah kepada-Nya. Ketika menoleh, dia sadar bahwa subuh telah tiba, dan ia pun berniat puasa pada hari itu. Keadaan seperti ini dilewatinya selama tiga hari. Dia lakukan ibadah kepada Allah SWT, sampai-sampai keraguan menyelimuti keluarga mempelai wanita: Apa-kah lelaki itu memang perlu seorang istri.

Berita Juwaibar ini sampai kepada Rasulullah, maka beliau memanggilnya dan menanyakan hal tersebut. Juwaibar menjawab: “Wahai Rasulullah, ketika aku masuk, aku lihat rumah itu begitu luas, di dalamnya ter-dapat peralatan rumah dan kasur, juga wanita cantik. Dan semua itu untukku. Maka aku seperti diingatkan diriku bahwa sebenarnya aku ini manusia fakir dan orang asing yang tinggal di kota ini. Allah telah mengaruniaiku dengan semua itu karena Islam, maka aku wajib ber-syukur kepada-Nya pada malam itu. Aku pun berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah. Aku lewati siang hari dengan puasa dan malamnya untuk bersyukur kepada Allah, dan sungguh sekarang aku akan kembali ke rumah dan keluargaku.”

#Juwaibar dan Zuifa adalah simbol persamaan derajat!