MENYINGKAP RAHASIA DI BALIK ASMA TUHAN


Pada suatu hari ikan-ikan di samudera berkumpul di hadapan pemimpin mereka. Mereka berkata, “Ya Fulan, kami bermaksud menghadap lautan. Bukankah karena ia kami berada dan tanpa ia kami tiada. Tunjukkan kepada kami arahnya dan ajari kami jalan untuk menuju dan mencapainya. Sudah lama kami mendengarnya, tapi tidak mengenalnya. Kami tidak tahu di mana tempatnya dan di mana arahnya.”

(Baca juga perbedaan jumlah asma Allah Sunni dan Syi’ah)

Pemimpinnya berkata, “Kawan-kawan, saudara-saudara, ucapan ini tidak layak bagi kalian dan orang-orang seperti kalian. Lautan terlalu luas untuk kalian capai. Ini bukan urus-anmu. Ini juga bukan posisimu. Diamlah. Janganlah berbicara dengan pembicaraan seperti ini. Cukuplah kalian yakini bahwa kalian berada karena adanya dan tidak akan ada tanpa keberadaannya.”

Mereka berkata, “Jawaban ini tidak ada gunanya bagi kami. Larangan tidak akan menahan kami. Kami harus menujunya. Anda harus me-nunjuki kami untuk mengenalnya dan mem-bimbing kami ke dalam wujudnya.”

Ketika Sang Pemimpin melihat gelagat ini dan larangannya tidak digubris, ia mulai men-jelaskan, “Saudara-saudara, lautan yang kalian cari, yang kalian ingin temui, ada bersamamu dan kalian bersamanya. la meliputi kamu dan kalian diliputinya. Yang meliputi tidak terpisah dari yang diliputi. Lautan itu adalah yang di situ kalian berada. Ke mana pun kamu meng-hadap, di situ ada lautan. Di sekitarmu tidak ada yang lain selain lautan. Lautan bersama kamu dan kamu bersama lautan. Kamu pada lautan dan lautan pada kamu. la tidak gaib darimu. Kalian juga tidak gaib darinya. la lebih dekat padamu daripada urat lehermu.”

Ketika mendengar ucapan itu, mereka semua bangkit untuk membunuh Sang Pemimpin. Sang Pemimpin lalu berkata kepada mereka, “Apa salahku sehingga kalian mau membunuhku.”

Mereka berkata, “Karena, menurutmu, lautan yang kami cari adalah lautan yang di situ kami berada. Bukankah kami berada di dalam air. Apa hubungannya air dengan lautan? Kamu hanya ingin menyesatkan kami dari jalan-nya. Kamu hanya memperdayakan kami.”

Sang Pemimpin berkata, “Demi Allah, bukan begitu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Sebetulnya lautan dan air itu satu dalam hakikat. Di antara keduanya tidak ada perbedaan. Air adalah nama lautan dari segi hakikat dan wujud. Lautan adalah nama bagi-nya dari segi kesempurnaan, kekhususan, keluasan, dan kebesaran di atas semua fenomena.”

Sayyid Haydar Amuli, sufi besar abad ke-14, menukil cerita di atas untuk menggambarkan hubungan makhluk dengan Tuhan (seolah-olah hubungan antara penghuni lautan dengan lautan). Perbandingan ini tentu saja tidak tepat. la hanyalah upaya untuk menyederhanakan hakikat yang sangat jauh dari ruang lingkup pengalaman kita. Walaupun begitu, kebanyak-an orang tidak juga sanggup memahaminya. Alih-alihberterima kasih, dalam sejarah, seperti ikan-ikan itu, kita menolak penjelasan itu, mengkafirkan mufasirnya, dan tidak jarang membunuhnya. Yang jarang adalah sikap merendah menghadapi sesuatu yang tidak kita pa-hami. Lebih jarang lagi adalah kesediaan untuk memahami dan menerima penjelasan, seperti yang dilakukan oleh para pendeta Nasrani di zaman khilafah Abu Bakar:Sekelompok pendeta datang ke Madinah. Mereka bertanya kepada Abu Bakar tentang Nabi dan Kitab yang dibawanya. Abu Bakar berkata, “Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia membawa Kitab Suci.” Mereka bertanya lagi, “Adakah dalam Kitab Suci itu disebut wajah Allah?” Kata Abu Bakar, “Betul.” “Apa tafsirnya?” tanya mereka. Abu Bakar berkata, “Ini pertanyaan yang terlarang dalam agama kami. Nabi saw. tidak menjelaskannya kepada kami.”

Pendeta itu tertawa seraya berkata, “Demi Allah, Nabi kamu itu hanya pendusta be-laka. Dan kitab suci kamu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja.” Ketika me reka keluar dari situ, Salman mengajak mereka menemui ‘Ali bin Abi Thalib. Ke-padanya, mereka mengajukan pertanyaan yang sama. ‘Ali berkata, “Aku akan menjawabnya dengan demonstrasi, tidak dengan ucapan.” ‘Ali kemudian memerintahkan kepada seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, dan ia pun membakarnya. Ketika kayu itu terbakar dan menjadi api, Imam Ali bertanya kepada para pendeta, “Wahai pendeta, mana muka api?” Semua pendeta itu menjawab, “Ini semua muka api.” Mendengar itu, All berkata, “Semua wujud ini adalah wajah Allah. (Kemudian ‘Ali membaca ayat Al-Quran). Ke mana pun kamu menghadap di situ wajah Allah (QS 2: 115). Semuanya binasa kecuali wajah-Nya. Kepunya-an-Nya segala hukum. Dan kepada-Nya kamu semua kembali (QS 28: 88).” Mendengar pen-jelasan itu, semua pendeta itu masuk Islam dan menjadi pengikut tauhid yang arif. Dalam peristiwa tersebut, para pendeta berhasil memahami makna ayat-ayat itu. Tapi Ali, yang bergelar Taj Al-‘Arifin, pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan. la menyampaikan sesuatu yang berada di luar ke-mampuan orang yang mendengarnya. Hammam, seorang yang sangat taat beribadah, memohon kepada ‘Ali untuk menjelaskan tanda-tanda orang-orang takwa. ‘Ali berkhutbah tentang hubungan seorang yang bertakwa dengan Tuhan. Begitu ‘Ali selesai berkhutbah, Hammam jatuh pingsan dan akhirnya meninggal dunia. “Tadi aku sebetulnya mencemaskan dia.

Para Nabi dan kekasih-kekasih Tuhan adalah orang-orang yang telah mencapai tahap yang sangat tinggi dalamhubungannya dengan Tuhan. Kedekatan mereka dengan Tuhan telah memberikan kepada mereka pengetahuan langsung (‘ilm hudhuri); dan bukan pengetahuan yang berdasarkan pembuktian rasional (‘ilm hushuli). Ketika mereka ingin menyampaikan apa yang mereka saksikan kepada orang awam, mereka tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat dan dapat dimengerti.

Kenyataan inilah yang menyebabkan lidah Musa a.s. terikat sehingga ia berdoa, “Tuhanku, Icgakan dadaku, mudahkan urusanku, dan lepaskan ikatan lidahku, supaya mereka mengerti pembicara-anku (QS 20:25-28).” Inijuga yang menyebabkan Nabi Muhammad saw. berkata, “Tidak seorang nabi pun yang merasakan sakit seperti yang kuderita.” Ketika mengulas hadis ini Imam Khomeini berkata:

“Jika hadis ini otentik, maka maknanya ber-kaitan dengan ketidakmampuan Nabi untuk menyampaikan secara utuh apa yang dia alami, atau menemukan orang yang dapat menerima-nya. Hal itu menyedihkan beliau meskipun pengalamanbeliau lebihbesar dibandingpeng-alaman para nabi sebelumnya, namun dia tidak dapat menyampaikannya kepada semua orang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan kesedihan seorang ayah yang ingin membuat anak-nya yang buta dapat memahami matahari; ba-gaimana ia dapat menyampaikannya sehingga dapat menjelaskan arti dari cahaya.”

Kita yang awam ini adalah orang-orang buta dan ruli. Kita hanya menyaksikan hal-hal yang material saja, wujud yang terendah. Da-lam pandangan Ibn ‘Arabi, materi adalah wujud yang paling banyak adam-nya; eksistensi yang paling non-eksisten.

Al-Quran adalah firman Dia, Wujud Mutlak yang Mahasempurna. Antara Allah dan kita terletak rentangan jarak yang tidak terhingga. Karena itulah Al-Quran hams “diturunkan” se-tingkat demi setingkat; mula-mula “diturunkan” ke dalam hati Nabi saw., kemudian “diturunkan” lagi pada tingkat yang paling rendah – tingkat orang awam. Pada tingkat terendah itu, hakikat disampaikan dalam bentuk lam-bang. Metafora, sebagai perbandingan, selalu merupakan proses penyederhanaan. Dalam pe-nyederhanan, selalu ada bagian-bagian makna yang tersembunyi.

Para awliya’ berus,aha untuk menemukan makna-makna yang tersembunyi itu. Mereka menukik kepada hakikat di balik lambang-lam-bang. Ayat-ayat Al-Quran tampak kepada mereka sebagai “entry point” untuk masuk ke “dunia” yang jauh lebih luas dan sangat mis-terius. Upaya mereka melahirkan “gaya penaf-siran” yang disebut tafsir isyari, tafsir metaforis. Ambillah sebagai contoh tafsir isyari dari Al-Nisaburi untuk ayat: Sesungguhnya di antara be-batuan itu ada yang memancar dari dalamnya su-ngai-sungai. Di antaranya ada yang apabila diguncangkan barulah keluar darinya air. Di antaranya juga ada yang runtuh karena takut kepada Allah (QS 2: 74).

Al-Nisaburi menulis, “Dari segi kekerasan, hati mempunyai martabat yang bermacam-ma-cam. Yang memancarkan sungai-sungai adalah lambang hati yang padanya tampak cahaya-ca-haya ruh dengan meninggalkan kesenangan dan syahwat. Di situ juga muncul sebagian hal yang luar biasa… Yang berguncang kemudian mengeluarkan air adalah hati yang padanya muncul cahaya-cahaya ruh pada waktu-waktu tertentu ketika hijab-hijab manusiawi tersingkap. Dalam keadaan seperti itu, diperlihatkan kepadanya sebagian ayat dan makna-makna yang ma’qul seperti terjadi pada sebagian hukama’. Yang runtuh karena Allah adalah apa yang terjadi pada sebagian pengikut agama ketika menerima refleksi cahaya-cahaya ruh dari balik hijab lalu mereka merasa takut dan cemas. Martabat-martabat ini ada pada baik orang Islam maupun umat yarig lain.”

Ketika menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 58-59, Ibn ‘Arabi berkata:

“(Kami berfirman: Turunlah darinya semua). Dia mengulangi perintah ‘turun’ untuk menunjukkan bahwa Dialah yang menghendaki demikian. Kalau bukan karena kehendak-Nya, Iblis tidak akan mampu menyesatkan mereka. Karena itu kata ihbat (menurunkan) disandarkan pada diri-Nya, tanpa menghubungkannya dengan sebab sesudah menghubungkan keluar-nya Adam dengan setan. Seperti Allah berkata kepada para Nabi: Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. Dari sini diketahui rahasia qadha dan qadr-Nya. Kemudian Dia menjelaskan hikmah turun itu dengan firman sesudahnya (Maka ketika da-tang kepadamu dari-Ku petunjuk, siapa yang meng-ikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan takut dan tidak akan bersedih hati). Kata ‘maka’ artinya jika terjadi peristiwa ‘turun’, tidak mungkin mereka mengikuti petunjuk, tidak akan tampak yang baik dari yang buruk, tidak akan terjadi pahala dan siksa, sia-sia saja surga dan neraka sebagai tempat balasan, bahkan kamu sendiri tidak akan ada. Petunjuk artinya syarak. Siapa yang mengikutinya ia akan aman dari bencana. la tidak takut akan datangnya siksa dan kebinasa-an. la lepas dari syahwat dan kesenangan. la tidak bersedih hati karena harta dunia dan kenikmatan yang hilang darinya; karena mata-batin (bashirah)nya sudah berhiaskan cahaya kepatuhan, telah memperoleh petunjuk dari se-suatu yang tidak bisa diperbandingkan dengan kesenangan dunia, yaitu berupa citarasa ruhaniah, ketersingkapan rahasia, kesaksian hati, ilmu-ilmu aqliah, dan mawajid nafsiyah.”

Tradisi tafsir isyari memang tradisi tashaw-wuf. Tidak semua ulama sepakat dengan tafsir isyari. Yang menentang biasanya tidak menye-butnya tafsir, tetapi ta’wil. Walaupun begitu, para ahli ‘Ulum Al-Qur’an menerima tafsir isyari dengan persyara tan yangketat: (1) tidak berten-tangan dengan makna lahiriah dari ayat-ayat Al-Quran, (2) tidak menyatakan bahwa itulah satu-satunya maksud ayat dengan mengesam-pingkan yang lahir, (3) harus ada kesaksian sya-rak yang memperkuatnya, sehingga tidak bertentangan dengan. syarak dan akal.

kepada tingkat awam. Tapi kita merasa masih banyak juga yang misterius di dalamnya.

“Apabila kita ingin mempelajari Al-Quran dan penafsirannya, kita harus menggunakan tafsiran-tafsiran yang ada sebagai alat bantu yang barangkali memang ditujukan bagi orang buta dan tuli seperti kita,” kata Imam Khomeini. Tapi, betapa pun banyaknya tafsir yang kita baca, kita baru menangkap sebagian kecil saja dari makna Al-Quran. Tidak akan pernah ada tafsir yang komprehensif. Menurut keya-kinan Imam Khomeini, hanya para imam yang maksum saja yang memiliki pemahaman yang lengkap, berdasarkan petunjuk langsung dari Rasulullah saw.

Dengan rendah hati, Imam Khomeini ber-kata, “Karena itulah, jika saya mengulas be-berapa ayat Al-Quran, saya tidak mengklaim bahwa saya telah menjelaskan makna yang se-sungguhnya secara rinci. Apa yang saya sam-paikan hanyalah bersifat kemungkinan, bukan kepastian. Saya tidak mengatakan: Inilah satu-satunya penafsiran yangbenar.” Sambil menunjukkan bahwa tafsir isyari bukan satu-satunya penafsiran yang benar, Imam Khomeini juga meyakinkan pendengarnya untuk menghargai keragaman dalam penafsiran. Alih-alih sebagai , hal yang membingungkan, penafsiran yang fberagam harus dilihat sebagai perbendaharaan pengetahuan Qurani yang saling melengkapi.

1       Vide Hasan Zadeh Amuli, Hasyt-e Risalah-ye-Arabi, Teheran: Muassasah Mutalaat-o-Tahqiqaat-e-Far-hangi, 1365, him. 37.

2.NahjAl-Balaghah, Khuthbah 192.

Nizham Al-Din Al-ISIisaburi, Ghara’ib Al-Qur’an wa Raghaib Al-Furqan, Kairo: Al-Halabi, t.t. 1: 348.

4 Ibn Arabi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Teheran: Inti-syarat Nashir Khosrow, t.t., him. 42.

5 Manahil Al-‘lrfan, 2: 81.

Oleh Jalaluddin Rakhmat

Leave a comment