TUHAN ATAU KEBEBASAN


Tuhan atau Kebebasan

Deterministik dan freewill (jabr wa ikhtiyar) adalah salah satu masalah filsafat dan teologi yang masyhur. Apakah manusia di paksa dalam tindakan-tindakannya dan tak memiliki kebebasan untuk memilih? Ataukah manusia bebas dalam aksi-aksinya? Masalah lain yang dikaji dalam metafisika adalah masalah qadha’ dan qadar (ketentuan Ilahi dan determinasi). Qadha’ dan qadar menandakan perintah Ilahi yang tegas dan jelas yang menentukan jalannya kejadian-kejadian dalam kehidupan dunia ini berikut batasan dan keluasannya. Pertanyaan apakah qadha’ dan qadar Ilahi adalah general serta mencakup segala hal dan peristiwa atau tidak. Jika ia adalah merata secara umum, maka bagaimanakah posisi kebebasan dan free will manusia? apakah mungkin qadha’ dan qadar merata secara umum dan mencakup segala hal serta apakah manusia memiliki peranan bebas pada saat yang sama?

Jawabnya ya. Topik ini telah Penulis bahas dalam buku “Manusia dan Takdir”, Dan telah membuktikannya bahwa terdapat hubungan yang compatibel  antara ketentuan Tuhan secara umum pada satu sisi dan kebebasan manusia di sisi lainnya. Tentu saja, pembahasan dalam buku tersebut bukan merupakan sesuatu yang telah dikatakan penulis sebelumnya. Apa saja yang telah penulis katakan adalah bersumber dari Al-Quran. Para filosof Islam sebelumnya pun telah melakukan cara serupa dan secara memadai telah mendiskusikan masalah ini.

Namun dewasa ini, di dunia Barat kita temukan sejumlah orang seperti Jean Paul Sartre yang tersesat dalam labirin permasalahan ini. Dan ketika mereka tak mampu menemukan komprominya, mereka mengingkari Tuhan. Jean Paul Sartre berkata: “Sejak saya meyakini dan beriman pada kebebasan maka konsekwensinya saya menolak Tuhan, karena jika saya menerima Tuhan saya harus menerima takdir, dan jika saya menerima takdir saya tak dapat menerima kebebasan individu dan karena saya inginkan kebebasan dan mencintainya serta beriman padanya, maka saya tak dapat beriman pada Tuhan.”

Dalam pandangan filsafat Islam, iman dan keyakinan pada Tuhan adalah equivalen dengan kebebasan manusia atau free will. Kebebasan sebenarnya adalah esensi manusia. Meskipun Al-Quran mengintrodusir Tuhan sebagai yang Maha Besar dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu, tetapi pada saat yang sama Tuhan mempertahankan kebebasan manusia.

Bukankah telah datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedang ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang dapat di sebut? “ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus: ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS : 76: 1-3)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia bebas dan dia boleh memilih jalan yang benar atau jalan yang sesat sesuai dengan kehendaknya.

Lebih jauh Qur’an menyatakan :

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya, dan Kami tentukan nerakajahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan bersungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya di balas dengan baik. Kepada masing-masinggolongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS, 17:18-20)”

Inilah logika Quran yang tak melihat kontradiksi antara ketentuan Tuhan dan kebebasan manusia. Dan berdasarkan pandangan filsafat juga terdapat dalil-dalil konklusif yang menegasikan kompotisi antara kedua masalah yang telah dikemukakan.

Betapapun, filosof abad keduapuluh telah menghayal bahwa mereka bisa memiliki kebebasan bila mereka menolak Tuhan. Bahkan mereka juga menghayalkan untuk memutuskan hubungan masa lalu mereka dengan masa sekarang — yakni sejarah dan lingkungan — dan dengan suatu keinginan yang terpisah dari sejarah serta pilihan masyarakat dalam membangun masa depan — meskipun isu determinisme (jabr) dan kebebasan memilih (ikhtiyar) tak ada hubungannya dengan menerima atau menolak Tuhan. Dengan menerima Tuhan juga menunjukkan peran bebas dan aktif manusia dalam melakukan pilihan.

Demikian juga, penegasian Tuhan sama dengan menentang konsep freewill (Ikhtiyar) berdasar pada sebab hukum alam. Yakni, akar determinisme, atau implikasi dari determinisme yang dibayangkan berada pada kepercayaan akan sebuah sistem yang definitif dari hukum sebab akibat yang diakui oleh para teolog dan kaum materialis. Jika tak ada pertentangan antara sistem yang pasti dengan kebebasan manusia dengan kehendaknya, maka keyakinan akan adanya Tuhan tidak akan menyebabkan pengingkaran terhadap kebebasan. Untuk lebih jelasnya anda boleh merujuk pada buku “Manusia dan Takdir”.