‘Filsafat Ilmiah”


Mengakui adanya masalah-masalah yang harus diteliti di bidang filsafat, Marxisme menyatakan bahwa masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan penemuan-penemuan ilmu rksperimental. Para penulis Marxis melakukannya dengan, pertamakali, mengambil contoh dari alam, lalu diikuti dengan contoh dari fenomena sosial atau sejarah. Langkah ketiga adalah menarik kesimpulan umum dengan memaksakan suatu hubungan antara kedua contoh itu, dan dengan demikian — dalam bayangan mereka — berarti telah membuktikan prinsip filsafat yang dipermasalahkan. Mereka menganggap dengan cura seperti itu telah berhak untuk menyebut filsafatnya sebagai “ilmiah” dan didasarkan pada penemuan-penemuan ilmu eksperimental. Mcskipun prosedur ini mungkin berpengaruh kepada orang-orang yang tak akrab dengan masalah-masalah filsafat dan metodologi ilmu — sehingga tak mampu membedakan titik-titik lemah dan kerancuan yang Irrsembunyi dalam jalan penalaran itu — tetapi bagi orang yang memiliki pengetahuan dalam masalah:masalah tersebut, cara ini tak memiliki nilai folosofis dan dipandang sebagai satu bentuk sophistry.

Kami tak menolak kenyataan bahwa telah ada keterpecahan (frag-mentasi) dalam ilmu-ilmu yang disebabkan spesialisasi besar-besaran dalam banyak bidang; dan, dengan demikian, ada kebutuhan untuk mcnsintesis hasil-hasil penelitiannya serta menjembatani jurang yang mcmisahkan bidang-bidang ilmu. Kami juga tak berkeberatan atas usaha-usaha tersebut di atas yang disebut “filsafat ilmiah”, karena . memang tak ada ketentuan etis atau hukum yang melarang penciptaan istilah dan nama-nama baru. Tetapi, yang kami tolak adalah penyalah-gunaan istilah-istilah dan penyembunyian fakta-fakta di bawah label-label yang menyimpangkan pemahaman. Ini, kami yakin, patut dicela dan harus dilawan.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa para penulis Marxis lidak menciptakan apa yang mereka sebut “filsafat ilmiah” dengan mjuan melayani dunia ilmu dan akademis, dengan cara membuat lintesis antara hasil-hasil penelitian dalam banyak bidang ilmu, dan dengan menggabungkan kerja-kerja dalam bidang yang beragam satu sama lainnya. Jauh dari tujuan altruistik seperti itu, motivasi sesungguh-nya adalah untuk memberikan pembenaran bagi ideologi mereka yang rak berdasar, dan sebagai pondasi filosofis bagi gagasan-gagasan mereka yang tak matang dan tak konsisten. Lebih jauh, meskipun dalam kerangkanya sendiri — yaitu, mendasarkan pada penemuan-penemuan ilmu untuk menemukan jawaban bagi masalah-masalah metafisis — sudah tak menghasilkan dan tak benar, kaum Marxis juga tak setia kepada pendekatan ini, karena mereka mengabaikan banyak fakta ilmu yung tak dapat ditolak dan malah mendasarkan diri kepada teori-teori yang lemah dan tak terbukti, yang tak memiliki nilai keilmuan. Dan ketika kerancuan teori-teori tersebut telah terbuktikan, alih-alih menerimanya sebagai pelajaran dari seluruh usahanya yang sia-sia, serta mengakui kegagalan pendekatannya, mereka bergerak tanpa ragu sedikit pun dengan mengambil teori lain, dan lewat akrobatik intelektual yang merupakan keahlian mereka, mengajukannya sebagai bukti lebih lanjut dari keabsahan materialisme dialektik.

Kami akan meninggalkan pemeriksaan kesalahan umum kaum Marxis atas peristiwa-peristiwa di masa depan, dan kami hanya ingin mengatakan bahwa gagasan “filsafat ilmiah” — dalam artian suatu filsafat yang berusaha menyelesaikan masalah-masalah filosofis lewat penerapan metodologi ilmu eksperimental dengan berdasarkan penemu-an-penemuan ilmu belaka — adalah suatu penyimpangan yang tak dapat diterima oleh setiap pemikir yang kompeten. Dan kata sifat “ilmiah” untuk filsafat bukan saja tak menambahkan sesuatu yang berharga bagi filsafat — karena penisbahan suatu karakteristik yang tak cocok bagi-nya — tapi juga membukakan kerancuan para penggagas awalnya yang dengan itu terbukti tak dapat membedakan batas-batas yang memisah-kan ilmu dari filsafat dan metode yang tepat untuk menangani masalah-masalah filsafat. Tampaknya mereka membenarkan kontradiksi yang gamblang ini sebagai sebuah contoh “kontradiksi dialektis”, dan meng­ajukannya sebagai fenomena filosofis tingkat tinggi kepada pengikut butanya.

Ada satu hal lain yang mesti dicatat. Sama halnya menisbahkan istilah “ilmiah” kepada pembicaraan masalah filosofis itu disebabkan kebodohan atau keinginan menipu publik, melecehkan dan mengecam-nya sebagai “tak ilmiah” juga merupakan suatu bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kata “ilmiah” yang berwibawa. Dan seperti juga penyifatan “ilmiah” tak menambah suatu nilai pada penyelidikan metafisis, penyifatan “tak ilmiah” pun sama sekali tak menurunkan nilainya. Karena, seperti yang telah kita sebutkan, menjadi “ilmiah” berarti menghadapkan suatu subjek studi kepada pembuktian empiris, sementara kualitas yang dimiliki masalah-masalah yang murni teoretis mengatasi wilayah persepsi inderawi. Dengan kata lainnya karena sesuatu itu berada di luar wilayah persepsi inderawi dan tak dapat dibuktikan lewat metode eksperimental, tidak membuatnya tak ber­harga dan tak dapat dibuktikan. Tapi ini berarti ia harus dianalisis dengan bantuan metode rasional dan dengan sarana aksioma-aksioma nalar yang terbukti-diri. Lebih jauh, seperti yang akan ditunjukkan nanti, masalah-masalah keilmuan sendiri membutuhkan prinsip-prinsip metafisis dan rasional.

Leave a comment