Ciri Khas Fiqih Abu Hanifah


Fiqih Abu Hanifah berpijak pada kemerdekaan berkehendak, ka-rena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan terhadap kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapat beliau senantiasa berpijak pada.pendirian bahwa kemerdekaan, dalam pandangan syariat, wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembe-laan terhadap kemerdekaan adalah lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya.

Oleh karena itu kejahatan yang diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya adalah lebih ringan bencananya ketimbang ia dipaksa untuk kawin dengan laki-laki yang tidak dikehendakinya. Dam­pak negatif dari pembelaan orang yang dungu terhadap hartanya dapat diatasi dengan mernbatalkan seluruh tindakannya terhadap harta yang merugikannya. Adapun penghapusan terhadap kemerdekaan merupakan penyia-nyiaan terhadap kemanusiaannya, danhal ini merupakan kerugian yang tidak dapat diperbaiki sama sekali. Bagaimanapun, peng-aniayaan dalam penghapusan hak itu lebih membahayakan ketimbang penganiayaan dalam penyia-nyiaan harta benda, karena penghapusan hak itu merupakan penganiayaan terhadap jiwa, menyia-nyiakan kehendak, dan bertentangan dengan kemanusiaan.

Abu Hanifah tidak membolehkan wakaf kecuali kepada masjid, ka­rena wakaf atau penahanan harta itu mengikat kemerdekaan pemiliknya dalam mengelola. Bahkan, dalam hal kesungguhan dalam mem-bela kemerdekaan ini, beliau tidak membolehkan hakim membatasi kemerdekaan pemilik harta, meskipun ia melakukan kesalahan dalam pengelolaan hartanya sampai membahayakan orang lain. Beliau meng-hendaki agar semua ini ditinggalkan demi rasa solidaritas sosial yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu, sehingga seseorang meng-hormati kemerdekaan orang lain dan mempertahankan kemerdeka-annya sendiri dengan cara tidak melanggar kemaslahatan atau ke­merdekaan orang lain. Hal ini merupakan urusan yang membela kebe-basan manusia dalam kehidupan bersama dan tidak ada jalan bagi ha­kim untuk bercampurtangan membatasi kemerdekaan seseorang dalam segala tindakannya.

Pernah datang kepada Abu Hanifah seorang laki-laki untuk mela-porkan tindakan tetangganya yang menggali sumur di dekat tem-boknya sehingga mempengaruhi kelembaban rumah laki-laki itu. Maka beliau memerintah laki-laki itu untuk meminta agar tetangganya menimbun sumur tersebut dan menggali lagi di tempat lain. Dalam kesempatan lain, laki-laki itu berkata, “Saya telah memintanya agar menimbun sumurnya itu, namun ia menolak dengan aniaya.” Abu Ha­nifah menasihati, “Kalau begitu galilah saluran di rumahmu ke arah sumur tersebut. Laki-laki itu kemudian melakukan perintah tersebut, sehingga air sumur tersebut teraliri dari saluran itu, dan karenanya te-tangga itu terpaksa menimbun sumur tersebut dan menggali lagi di tempat yang jauh dari tembok milik laki-laki yang melapor itu.

Demikian Abu hanifah memberi penerangan kandungan ajaran Is­lam kepada manusia, misalnya, menghormati kemerdekaan dan kehendak dengan berpedoman kepada Al-Quran, sunnah yang sahih, dan pendapat yang digali melalui kias, dan dengan senantiasa memelihara kemaslahatan yang telah terwujud atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam.

Pendapat-pendapat beliau di bidang fiqih telah memperkaya da-ya-nalar manusia, menggugah hati, dan menggerakkan semangat untuk mempertahan kemerdekaan dalam bertindak dengan berpegang kepada prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama.

Seluruh pendapat Abu Hanifah ini bertentangan dehgan suasana waktu itu, di mana beliau hidup, yaitu masa yang aturan hukumnya dilandasi dengan pengkafiran terhadap musuh, penyia-nyiaan darah, perampasan berbagai kemerdekaan, keabsolutan kekuasaan hakim, dan penekanan para penguasa terhadap orang-orang lemah.

Oleh karena itu musuh-musuhnya dari kalangan fuqaha di ling-kungan istana menuduh beliau telah keluar dari Islam. Yang kemudian Abu Hanifah berfatwa tentang keharaman keluar untuk memerangi kaum Muslim dan pembantaian terhadap mereka.

Karena fatwa itu sebagian prajurit berpaling dari memerangi Bani Ali, musuh-musuh penguasa, dan para penentang pendapat mereka. Di antara prajurit tersebut adalah Al-Hasan bin Qahthubah, salah seorang komandan pasukan Al-Manshur, yang kemudian datang kepada Abu Hanifah untuk bertanya apakah Allah berkenan menerima tobatnya. la pernah memimpin pasukan Al-Manshur dalam memerangi Bani Ali dan musuh-musuh Bani Abbas. Abu Hanifah berkata, “Apabila Allah mengetahui bahwa kamu menyesali perbuatan yang telah kamu lakukan, sehingga seandainya kamu disuruh memilih antara membunuh orang Muslim dan membunuh dirimu maka kamu akan memilih bunuh diri daripada membunuhnya, dan kamu berjanji kepada Allah untuk tidak kembali membunuh orang-orang Islam. Bila kamu memenuhi semua itu, maka itulah tobatmu.” Al-Hasan berkata, “Saya akan mela­kukan hal itu dan berjanji kepada Allah untuk tidak mengulangi mem­bunuh orang-orang Muslim.” “Dan ketika Bani Ali memberontak, lalu Al-Manshur memerintah untuk membantai mereka. Maka realisasi tobatmu adalah apabila kamu memenuhi janjimu itu, dan jika kamu tidak memenuhinya, maka kamu akan disiksa dari awal sampai akhir,” ujar Abu Hanifah.

Alkisah, ketika komandan tersebut tidak mau melaksanakan pe­rintah Al-Manshur dan menyerahkan dirinya untuk disiksa, bahkan minta dibunuh. Maka ketika itu juga Khalifah marah dan memerintah-kan agar ia dibunuh, sehingga salah seorang saudaranya membelanya dengan mengatakan, “Sesungguhnya kami mengingkari akalnya sejak setahun terakhir ini. la telah gila.”

Ketika Khalifah bertanya kepada orang yang bergaul akrab dengan komandan itu, maka dijawab bahwa komandan tersebut akhir-akhir ini sering mengunjungi Abu Hanifah. Khalifah merahasiakan peristiwa itu kepada Abu Hanifah.

Di sisi lain, musuh-musuh Abu Hanifah justru menggunakan ke­sempatan itu. Mereka membakar kemarahan Khalifah dan meng-hasutnya agar mengadili Abu Hanifah dengan tuduhan bahwa beliau mendalangi pemberontakan, mengendorkan semangat prajurit, menghasut manusia untuk bersikap anti-pemerintah, dan membentuk pesantren yang terdiri dari para fuqaha yang semuanya diajak mem­berontak terhadap Khalifah.

Di antara musuh beliau ada seorang faqih yang berfatwa bahwa murid-murid Abu Hanifah mengadakan pemberontakan terhadap pe-merintah dan murtad dari Islam. Sehingga difatwakan bahwa meng-habiskan khamr adalah lebih baik daripada terdapat salah seorang sahabat Abu Hanifah.

Di antara mereka, ada seorang faqih lain yang tahu ketika ia se-dang menunaikan ibadah. haji. Ketika seorang sahabat Abu Hanifah akan memimpin shalat, maka ia tidak dapat menahan kemarahannya dan menjerit, “Sekarang lebih baik saya mati.”

Ketegaran dan Keyakinan

Abu Hanifah menolak berbagai jabatan. Bani Umayyah pernah menawari beliau untuk menjadi hakim, namun beliau menolaknya. Dengan penolakan ini mereka memenjarakan Abu Hanifah dan me-nyiksanya di penjara. Mereka memukulinya setiap hari dengan cambuk hingga kepalanya bengkak. Namun demikian beliau tetap menolak jabatan. Semua itu dikarenakan beliau berpandangan bahwa memikul tanggung jawab di masa pemerintahan para penguasa yang, menurut beliau, merupakan orang-orang zalim dan perampas, berarti berserikat dalam penganiayaan dan pengakuan terhadap perampasan.

Ketika dalam penjara, beliau ingat pada ibunya yang sedih, maka beliau menangis. Tetangganya dalam penjara bertanya mengapa beliau menangis, padahal beliau adalah seorang faqih yang agung dan keras pendirian. Sambil meneteskan air mata beliau menjawab, “Demi Allah, cambuk-cambuk tidak menyakitkan aku, tetapi aku ingat ibuku hingga tetesan air matanya menyakitkan aku.”

Kondisi fisik beliau sangat buruk ketika di penjara, sementara pem-berontakan mulai semakin menarik minat orang-orang yang anti-Khalifah karena penderitaan yang menimpa Abu Hanifah, sehingga akhir-nya beliau dilepaskan.

Abu Hanifah tidak lagi mendapatkan tempat di Kufah, tempat di mana beliau disiksa. Beliau kemudian meninggalkan tempat kela-hirannya dan tempat menghabiskan masa mudanya itu dengan segala kenangan yang sangat berharga dan impian-impian manisnya. Abu Hanifah tinggal di Hijaz sampai runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah, baru kemudian beliau pulang ke daerah asalnya.

Meskipun demikian Bani Abbas tetap tidak membiarkan beliau. sejak para pengusaha Bani Abbas merasa tidak pernah sukses dalam menganiaya dan menyerang Bani Ali, maka mereka melakukan kolusi dengan para fuqaha yang telah menjual agama, untuk kemudian tin-dakan sewenang-wenang dan penganiayaan atas Abu Hanifah juga se­makin terang-terangan.

Abu Hanifah menolak seluruh hadiah dari Bani Abbas, sebagai-mana sikap beliau terhadap hadiah-hadiah Bani Umayyah. Abu Hani­fah menawarkan kedudukan hakim agung, namun beliau tidak mau dengan alasan kesibukannya dalam dunia ilmiah.

Abu Abbas berkata kepada Abu Hanifah bahwa sesungguhnya ilmu yang beliau kuasai telah menjadikannya tidak lagi membutuh-kannya. Maka Abu Hanifah pun menjawab, “Barangsiapa beranggapan bahwa dirinya telah tidak lagi membutuhkan ilmu, maka hendaklah ia menangisi dirinya sendiri.”

Setelah Khalifah selesai membangun Baghdad dan menempatinya dengan bangga, maka Khalifah menginginkan untuk mengangkat pe-muka fuqaha Irak sebagai hakim agung, dan Abu Hanifah merupakan pemuka fuqaha di Irak sehingga para pengikut dan murid beliau men-julukinya sebagai Al-Imam Al-A ‘zham (imam terbesar), namun beliau tetap bersiteguh menolaknya. Abu Hanifah telah menyadari apa yang akan terjadi atas dirinya.

Ibnu Abu Laila tidak dapat menahan keinginannya untuk mereka-daya beliau, sementara itu ia juga belum memaafkannya atas kritikan pedas beliau terhadap keputusan-keputusan hukumnya.

Ibnu Abu Laila mengajak pengawal Khalifah, dalam hal ini perdana menterinya, untuk menghadapi Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah mempersulit posisi Ibnu Abu Laila dan mengungkap kebohongan-kebohongannya di hadapan Khalifah sehubungan dengan pembicara-annya dengan perdana menterinya, sehingga Imam pun memperma-lukan dan menghancurkan rekayasanya.

Abu Hanifah berfatwa bahwa perdana menteri tidak sah kesak-siannya atas perkataannya kepada Khalifah, “Saya adalah hambamu.” Sehingga jika ucapannya itu benar, maka ia adalah hamba dan tidak berhak menjadi saksi, dan apabila ia dusta, maka pendusta itu tidak berhak menjadi saksi.

Salah seorang murid Abu Hanifah mewarisi pandangan ini ketika ia menjadi hakim, sehingga ia menolak kesaksian perdana menteri untuk Khalifah lainnya, karena ia pernah mencium tanah di hadapan Khalifah sambil berkata, “Saya adalah hambamu.”

Kemenangan-kemenangan Islam, semakin meluas sehingga Laut Tengah telah menjadi “danau” Islam, dan bendera Islam berkibar di wi-layah Eropa Timur, Eropa Selatan, Andalusia, serta negara-negara lain yang telah dikenal waktu itu. Meskipun kemajuan semakin berkembang, namun para pendam-ping Khalifah tetap melakukan tipudaya terhadap Abu Hanifah, karena mereka dipengaruhi oleh para fuqaha yang memiliki kedudukan dan orang-orang yang ingin mendapatkan perhatian di sisi Khalifah.

Perdana menteri melakukan suatu tipu daya terhadap Abu Hanifah dan mencari kesempatan ketika penduduk dari Maushil datang kepada Khalifah. Secara sepihak, oleh perdana menteri, telah ditetapkan atas penduduk Maushil ini bahwa apabila mereka datang kepada Khalifah, maka darah dan harta mereka halal. Khalifah mengirim seorang utusan kepada Ibnu Syubrumah dan Ibnu Abu Laila untuk menanyakan kepada mereka tentang pandangan Agama terhadap penduduk Maushil. Dan ia pun telah mempersiapkan sepasukan prajurit untuk membantai mereka. Di pihak lain, Perdana Menteri pun langsung saja memohon kepada Khalifah untuk mengundang Abu Hanifah, yang ia tahu bahwa ketakwaan, keberanian dan seluruh keunggulan Abu Hanifah akan membuatnya berani menentang pandangan khalifah. Ketiga faqih itu datang, lalu mereka ditanya tentang hukum syariat mengenai penduduk Maushil Abu Hanifah diam, sedangkan kedua faqih lainnya berfatwa bahwa penduduk Maushil itu berhak untuk dibantai.

Setelah keduanya berfatwa, maka Abu Hanifah berfatwa bahwa khalifah tidak berhak membantai penduduk Maushil, karena—meskipun mereka merighalalkan nyawa dan harta mereka—sesungguhnya mereka menghalalkan sesuatu yang tidak mereka miliki.

Abu Hanifah bertanya, “Apabila seorang wanita menyerahkan diri-nya tanpa akad nikah, maka apakah ia halal bagi laki-laki yang me­nerima penyerahannya itu?” Khalifah menjawab, “Tidak.” Maka Abu Hanifah pun minta agar Khalifah membatalkan penyerangan terhadap mereka, karena darah mereka haram baginya, dan agar ia mengalihkan tugas para prajurit itu untuk menjaga pelabuhan atau mengadakan penaklukan wilayah baru demi penyebaran Islam sebagai ganti dari penyerangan terhadap kaum Muslim.

Khalifah merasa kesulitan mendengar fatwa Abu Hanifah itu dan menyuruhnya agar ia pulang, sedangkan orang-orang yang berada di sekeliling Khalifah menakut-nakutinya dan menyarankan untuk menindak keras terhadapnya sehubungan dengan telah datangnya Ibnu Abu Laila, hakim agung, dan pengikutnya, Syubrumah.

Setelah sampai di rumah, Abu Hanifah berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya Ibnu Abu Laila menghalalkan suatu tindakan yang aku tidak menghalalkannya, bahkan terhadap binatang sekalipun.”

Berikumya, Ibnu Abu Laila, Syubrumah, dan sekelompok orang yang dipersiapkan untuk menghadapi Abu Hanifah—dalam kelalaian Khalifah—telah menghasut untuk memaksa Abu Hanifah agar mene­rima kedudukan-kedudukan yang ditawarkan. Apabila beliau meno-laknya berarti tidak mau melaksanakan tugas syariat dan berhak di-jatuhi hukuman serta wajib disiarkan kepada umat bahwa Abu Hanifah melepaskan diri dari pelayanan terhadap umat.

Mereka minta kepada Khalifah agar melaksanakan ini semua. Maka, Khalifah pun mengirim hadiah kepada Abu Hanifah. Sejak semula, mereka tahu bahwa Imam Abu Hanifah tidak mau menerima hadiah.

Ketika Khalifah mengirimkan harta yang banyak dan seorang hamba perempuan, maka Abu Hanifah pun menolak hadiah tersebut dengan rasa syukur.

Khalifah kemudian mengutus seseorang untuk kembali menawari Abu Hanifah menjadi hakim atau menjadi mufti bagi pemerintah, yang bertanggung jawab pada masalah peradilan yang tidak dapat ditangani oleh orang lain. Sebab Abu Hanifah sering mencela kepurusan para hakim dan mengungkap kepada umum tentang kebodohan guru mereka, Ibnu Abu Laila dan Syubrumah. Namun, Abu Hanifah tetap menolaknya.

Khalifah kemudian mengundangnya untuk menanyakan sebab

penolakannya. Maka dijawab, “Demi Allah, aku mau di diserahi dengan

kerelaan, tetapi bagaimana mungkin jika aku diserahi dengan disertai

kemarahan? Seandainya keputusan hukum ada pada Anda, lalu Anda mengancamku dengan menenggelamkan aku ke Sungai Furat atau dengan hukuman yang lebih ringan lainnya, maka niscaya aku memilih untuk ditenggelamkan. Sebab orang-orang yang berada di sekeliling

Anda adalah orang-orang yang dihormati karena kedudukan Anda.

Maka aku tidak layak untuk itu.”

Seluruh orang yang ada di sekeliling Khalifah berusaha selalu me-nyertainya. Terutama sekali perdana menteri dan dua faqih, yaitu Ibnu Abu Laila dan Syub rumah. Mereka ini menampakkan kejemuan dan kebenciannya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah. Sehingga Kha­lifah berkata kepada beliau dengan nada marah, “Kamu dusta!”

Abu Hanifah berkata dengan tenang, “Anda telah menghukumi diri Anda sendiri. Bagaimana mungkin Anda akan menyerahkan amanat kepada hakim yang dusta.”

Setelah itu Khalifah bertanya kepada Abu Hanifah tentang sebab penolakan beliau terhadap hadiah-hadiahnya. Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya hadiah-hadiah itu berasal dari baytul mal (kas negara) milik orang-orang Muslim dan tidak ada yang berhak terhadap harta baytul mal kecuali orang-orang yang berperang, orang-orang fakir, atau orang-orang yang bekerja di pemerintahan sebagai upah, sedangkan saya tidak termasuk salah satu dari mereka.”

Khalifah pun akhimya memerintahkan agar beliau dipenjara dan dipukuli dengan cambuk sampai akhirnya beliau menerima jabatan sebagai hakim di Baghdad.

Begitulah kisah orang tua yang sudah berusia tujuh puluh tahun, yang juga dibebani dengan berbagai konflik, isu, kesusahan, dan bersusah payah mengembangkan fiqih, ilmu, dan keteladanan. Itulah Abu Hanifah yang dipukuli. Dipukuli dengan cambuk di lorong pen-jara yang gelap.

Para utusan Khalifah telah menawarkan hadiah-hadiah, jabatan dalam peradilan, dan mufti, namun beliau menolak. Maka baliau pun kembali dimasukkan ke penjara dengan siksaan baru. Mereka berulang-ulang menawarkan, dan beliau berulang-ulang menolak seraya berdoa, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari kejahatan mereka dengan kekuasaan-Mu.”

Di dalam penjara, Abu Hanifah ditawari jabatan, kedudukan, dan harta, namun beliau juga tetap menolak. Maka beliau pun diberi siksaan yang lebih berat lagi.

Kesehatan Abu Hanifah semakin menurun dan mendekati kema-tian. Orang-orang yang menyiksa khawatir, jika Abu Hanifah keluar dari penjara lalu menceritakan kepada khalayak tentang apa yang beliau alami dalam penjara, sehingga orang-orang memberontak. Me­reka menetapkan untuk bebas dari semua tekanan itu, maka diracun-lah Abu Hanifah.

Mereka mengeluarkan Abu Hanifah dalam keadaan pingsan, dan tidak dapat menceritakan apa pun kepada manusia.

Ketika Abu Hanifah sadar bahwa saat itu merupakan detik-detik terakhir kehidupan beliau, maka beliau berwasiat agar dirnakamkan di tanah Khaibah yang tidak dirampas oleh Khalifah atau salah seorang aparatnya.

Begitulah kisah akhir dari orang yang pandangan-pandangannya berani. Dalam beberapa tahun terakhir dari kehidupannya beliau dikenal dengan sebutan Al-lmam Al-A ‘zham (Imam yang Terbesar).

Jenazah Abu Hanifah diantarkan oleh lima puluh ribu penduduk Irak, dan Khalifah terpaksa ikut menshalati Imam yang telah ditetapkan buat selamanya, di satu sudut dunia yang tenteram dan tidak tersentuh oleh perampasan dan pemerkosaan. Khalifah menyesalkan mereka, “Siapakah yang dapat memahami kesalahanku terhadap Abu Hanifah, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal?”

Demikianlah seorang tokoh pemikir yang berani telah menjadi syahid dalam memperjuangkan kemerdekaan berpendapat. Gugur dalam suatu penyiksaan yang tidak dikenal oleh seorang fuqaha pun sampai setelah terjadinya fitnah atas Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ahlus Sunnah, pada masa yang penuh dengan permusuhan. Begitulah kondisi zaman yang dikuasai oleh tipudaya, racun, dan cambuk para algojo. Sebagai konsekuensi atas kemenangan militer dan dipenjara-kannya akal manusia, dan masa di mana para penyeleweng meng-hancurkan para tokoh kemerdekaan dan para pemikir yang berani.

Menara-menara yang tinggi masa itu tetap bersinar, tanpa me-ngetahui apa yang terjadi dengan lingkungannya. Demi kemajuan ma­nusia secara berantai, generasi demi generasi, Abu Hanifah adalah merupakan anugerah abadi dari sinar pengetahuan, kekuatan, dan keberanian menyampaikan pernyataan yang benar, anti kompromi, dan mendahulukan keutamaan.*

Leave a comment