AhlulBait Nabi SAWW


Oleh : Abu Zahra`

Ahlulbait dalam Al-Quran

Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya. Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:

  1. Surah Al-Ahzab:33

Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”. Yang artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS 33/33).

Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).

Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).

Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlu l`bayt yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.

Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):

“Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).

“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).

“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4/59).

Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini :

Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).

Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).

Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).

Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).

Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.

  1. Surah Al-Syura:23

Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf).

Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.

Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya : “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut : “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).

  1. Surah Ali ‘Imran:61

Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.

Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sersungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.

Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.

Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”

Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam”.

Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.

Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”

Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.

Sesungguhnya Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam–hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra`–‘alayha l`salam–perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husayn—‘alayhima l`salam–adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Iamam Ali–‘alayhi l`salam–adalah dianggap diri Nabi sendiri.

Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw

Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.

Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.

Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”

Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”

Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali sebagai khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan Ahlulbait padanan Al-Quran.

Bahtera Keselamatan

Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh—‘alayhi l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.

Padanan Al-Quran

Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.

Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).

Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu

Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka.

Nabi Adam –salam atasnya–telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.

Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya.

Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema

In july 1951 a team of Russian expert search of mines in the vicinity of Mt. Jude on the border of Soviet Union and Tukey came a cross some buried dilapidated wooden planks, etc.,of unusual disposition. Amog the planks was a wooded plate about 14 inches long and ten iches wide. On the plate was engraved some words in old unknown language. In 1953 the Government of Soviet Union appointed an Investigation Commission seven specialits who concluded that these planks were part of the famous Arc of Noah and the wording engraved on the plate belong to a very old language known as Samani. These wordings were transformed into Russian and also translated into English by Professor N.F. Thomas, expert of old language from Manchester, England. There was a small figure of a palm of a hand and five fingers the wording were Mohammed, Alia, Shabber, Shabbir Fatema. “O my God, my helper I keef my hand with mercy with your holy bodies. They are all beggest and honorable. The world was established for them. Help me by their name, you can reform light.”

This plate is savely preserved in the Museum of Archeology and Research, moscow, Soviet Union.

Muhammad, Ali, Hasan, Husayn dan Fathimah

Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam–yang terkenal itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.

Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.

Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center “UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987)

Pada zaman Nabi Musa ‘alayhi l`salam, ketika Bani Isra`il diperintahkan Allah untuk mencari lembu betina dan mereka sangat rewel menerima perintah tersebut hingga akhirnya mereka merasa kesulitan dalam pencariannya sebab sapi betina itu sifat-sifatnya harus kuning langsat yang elok dipandang mata, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, tidak ada belangnya sedikit pun dan belum pernah digunakan untuk membajak tanah. Kemudian sapi tersebut mereka temukan namun harganya sangat mahal karena memang sapi betina tersebut tidak akan dijual. Akhirnya mereka kumpulkan harta untuk membayarnya. Setelah itu Bani Isra`il jatuh miskin dikarenakan hartanya habis dipakai membayar lembu betina, lantas mereka protes kepada Nabi Musa as. Kemudian Nabi Musa—‘alayhi l`salam—berkata kepada mereka : “Jahil kamu, alangkah butanya hati-hati kamu tidakkah kamu dengar doa pemuda yang punya lembu betina itu dan kekayaan yang diwarirkan Allah ta’ala kepadanya ? Tidakkah kamu dengar doa orang yang dibunuh yang digergaji yang dikaruniai usia panjang dan kebahagiaan serta kenikmatan dengan inderanya ? Mengapa kamu tidak berdoa semisal doa tawassul mereka agar Dia menutup kemiskinan kamu ?”. Kemudian mereka mengatakan (dalam doanya) : “Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung dan kepada karunia-Mu kami bersandar, maka hilangkanlah kemiskinan kami dan tutuplah kebutuhan kami dengan keagungan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn dan orang-orang yang baik dari keluarga mereka.” Kemudian tidak lama setelah mereka berdoa, Allah ta’ala mengembalikan kekayaan mereka. (Qashashu l`Anbiya` Hal 326).

Adapun arti dari doa tawassul tersebut adalah sebagai berikut : “Ya Allah, sesungguhnya kami menghadap kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari kesulitan dan kemiskinan dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn”. (Qashashu l`Anbiya`).

Sabda Nabi tentang Mereka

“Fahtimah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang membuatnya marah berarti dia telah membuatku marah.” (Shahihu l`Bukhari 2/308).

“Dia (Fathimah) adalah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang mencemaskannya berarti dia telah mencemaskan diriku, dan barangsiapa yang manyakitinya berarti dia telah menyakiti diriku”. (Shahihu l`Bukhari 3/265).

“Wahai Ali engkau adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat. Yang mencintaimu berarti mencintaiku, dan yang mencintaiku berarti mencintai Allah. Musuhmu berarti musuhku, dan musuhku adalah musuh Allah. Dan celakalah orang yang membencimu setelahku”. (Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/127).

“Barangsiapa mencintai Hasan dan Husayn berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membenci mereka maka sesungguhnya dia telah membenciku”. (HR. Ibnu Majah, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal 2/288).

Penutup

Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab 33 tidak berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw baik dilihat dari segi bahasa, asbabu l`nuzul, bayan dari Nabi saw, riwayat dari sebagian istri Nabi maupun secara faktual, karena disucikan sesuci-sucinya itu berarti tidak melakukan dosa-dosa dan kesalahan, sedangkan sebagian dari istri Nabi keadaannya tidaklah demikian.

Ahlulbait dalam Al-Ahzab 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husayn. Pada waktu ayat tersebut turun, mereka itulah Ahlulbait Nabi saw yang dihilangkan keraguannya dan disucikan (muthahharun). Ahlulbait Nabi yang disucikan masih ada sembilan orang lagi dari keturunan Imam Husayn as, mereka itu adalah : ‘Ali Zaynu l`’Abidin, Muhammad Al-Baqir. Ja’far Al-Shadiq, Musa Al-Kadzim, ‘Ali Al-Ridha, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al-Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kehadirannya) –salam atas mereka semuanya. Salman Al-Farisi—semoga Allah merahmatinya—telah mengatakan : “Saya datang kepada Nabi saw dan Husayn sedang berada pada pangkuan beliau, beliau mencium kedua matanya dan mengecup lidahnya seraya beliau mengatakan : ‘Engkau sayyid putra sayyid, engkau imam putra imam ayah para imam, engkau hujjah putra hujjah ayah para hujjah, sembilan orang lagi dari shulbimu dan yang kesembilannya adalah penegaknya (qa`imnya)’”.

Jadi Ahlulbait Nabi saw itu tiga belas (13) orang (Fathimah Al-Zahra` dan para khalifah Rasulullah yang dua belas (12). Umat Islam tidak boleh membenci mereka, sebab membenci mereka berarti membenci Nabi sedangkan membenci Nabi berarti membenci Allah ‘azza wa jalla, dan akhirnya ibadah kita kepada-Nya menjadi sia-sia.

Semoga Allah ta’ala memberi hidayah dan taufiq kepada kita dan kaum muslim yang lain hingga kita dapat menerima apa yang telah dipesankan Rasulullah : “Wahai manusia telah kutinggalkan padamu yang jika kamu berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku”.[]

  Daftar Isi     Daftar Isi

KENABIAN

Apa Tujuan Hidup Manusia ?

Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?

Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.

Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96)

Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).

Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99).

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ?  Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.

Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.

Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).

Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.

Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15).

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.

Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).

Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.

Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.

Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?

Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ?  Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ?  Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.

Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.

Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11).

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.

Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?

Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?

Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?

Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :

“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas

yang dapat diungkap mulut manusia.”

Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.

  1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.

Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

  1. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :

“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

  1. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

  1. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

  1. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :

“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.

Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis

Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :

  1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.

Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,

Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ?  Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :

“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan

Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.

Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

  Daftar Isi     Daftar Isi

KENABIAN

Apa Tujuan Hidup Manusia ?

Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?

Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.

Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96)

Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).

Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99).

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ?  Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.

Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.

Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).

Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.

Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15).

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.

Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).

Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.

Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.

Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?

Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ?  Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ?  Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.

Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.

Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11).

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.

Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?

Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?

Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?

Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :

“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas

yang dapat diungkap mulut manusia.”

Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.

  1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.

Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

  1. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :

“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

  1. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

  1. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

  1. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :

“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.

Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis

Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :

  1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.

Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,

Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ?  Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :

“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan

Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.

Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

  Daftar Isi     Daftar Isi

KENABIAN

Apa Tujuan Hidup Manusia ?

Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?

Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.

Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96)

Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).

Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99).

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ?  Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.

Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.

Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).

Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.

Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15).

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.

Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).

Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.

Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.

Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?

Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ?  Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ?  Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.

Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.

Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11).

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.

Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?

Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?

Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?

Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :

“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas

yang dapat diungkap mulut manusia.”

Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.

  1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.

Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

  1. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :

“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

  1. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

  1. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

  1. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :

“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.

Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis

Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :

  1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.

Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,

Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ?  Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :

“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan

Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.

Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

 

KENABIAN

Apa Tujuan Hidup Manusia ?

Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?

Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.

Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96)

Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).

Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).          

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99). 

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ?  Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.

Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”  

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.

Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).

Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi 

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.

Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15). 

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.

Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).

Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.

Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.

Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?

Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ?  Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ?  Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.

Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.

Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).

“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11). 

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.

Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?

Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?

Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?

Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :

“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas

yang dapat diungkap mulut manusia.”

Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.

  1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.

Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

  1. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :

“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

  1. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

  1. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

  1. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :

“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.

Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis    

Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :

  1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.

Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,

Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ?  Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :

“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan     

Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.

Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

SERANGGA PEMBAWA RAHMAT

 

BAGIAN KEDUA

  Sarang lebah merupakan sebuah medan kehidupan yang tak pernah lekang dari aktivitas, jika Anda bisa meluangkan waktu satu jam saja untuk memperhatikan kehidupan lebah dalam sarangnya, maka Anda akan menemukan dunia yang agung dengan organisasi besar, kehidupan yang teratur dan disiplin, budaya ulet,  pemerintahan yang kokoh dan bermotivasi, absensi yang luar biasa ketat, proyek yang unggul, teliti, genius, dan akhirnya Anda akan menemukan etos kerja dan aktivitas tak kenal lelah di dalam kegelapan sarang madu.  Jumlah anggota pada satu keluarga lebah mencapai hitungan 30-80 ribu, perbedaan angka ini bergantung pada lingkungan dan kondisi di mana sarangs tersebut berada.

Satu keluarga besar lebah, secara global terbagi dalam tiga tingkatan: para ratu, para pejantan dan para pekerja, masing-masing kelompok mempunyai struktur tubuh berbeda sesuai dengan jenis aktivitas yang mereka lakukan, dan dari ketiga kelompok ini, lebah pekerja-lah yang memiliki struktur tubuh paling menarik dibandingkan  lebah-lebah lainnya.

Lebah pekerja yang memiliki bentuk tubuh lebih kecil dari lebah ratu ataupun lebah pejantan ini mempunyai 5 buah mata, dua buah mata terletak di kedua sisi kepala yang masing-masing memiliki lebih dari 6 ribu lensa[1] dimana dalam satu kali melihat, perangkat penglihatan mereka mampu menghasilkan 12 ribu gambar, sementara kita hanya mampu menghasilkan 2 buah gambar, dan tiga mata lainnya terletak di tiga buah sudut antara kedua mata kombinasi[2], yaitu terletak di atas dahi.

Lebah pekerja, tidak memiliki hidung dan telinga, akan tetapi sebagai gantinya mereka memiliki antena yang dilengkapi dengan ribuan[3] indera penciuman dan pendengaran yang berukuran sangat kecil. Seluruh antena tertutupi bulu-bulu sangat halus dan merupakan alat bantu untuk menemukan arah jalan di kegelapan sangkar. Selain sebagai alat pencium dan pendengar, antena ini bisa pula berfungsi sebagai lidah, Anda akan bisa melihat ketika dua ekor lebah saling berpapasan, maka mereka akan saling mengusapkan antenna satu kepada selainnya dan dengan cara ini pulalah mereka melakukan komunikasi.

Alat komunikasi lainnya berbentuk suara dengungan yang muncul sebagai alat penyampai berita. Pada saat mereka menghadapi bahaya atau misalnya datangnya ratu lebah, jatuhnya sangkar madu, masuknya musuh, masuknya ratu asing ke dalam sangkar, mendekatnya serangga pengganggu ke sekitar sangkar atau ditemukannya jenis bunga yang lembut, maka mereka akan mengeluarkan suara dengungan untuk menyebarkan berita ini kepada selainnya. Untuk setiap jenis berita, mereka menyampaikan bunyi dengungan yang berbeda-beda.[4]

Struktur Kaki Lebah Pekerja

Yang cukup menakjubkan, pada kaki lebah pekerja tersedia semua perangkat kerja, dan semua aktivitas yang mereka lakukan terlaksana dengan baik karena tersedianya semua peralatan pada kaki mereka ini.

Pada belakang kaki terletak sejenis keranjang  terbentuk dari bulu-bulu kasar yang digunakan untuk menyimpan  serbuk bunga yang juga merupakan bagian dari bahan makanan mereka, dan hewan ini juga memiliki alat defensif bernama jarum sengat untuk  mempertahankan diri, jarum ini akan mengeluarkan racun ketika ditancapkan ke badan lawan. Karena hewan ini menyiapkan kebutuhan hidupnya dengan cara damai dan kasih sayang, maka keadaan perang dan defensif bagi mereka merupakan sebuah keadaan yang khas dan istimewa, oleh karena itu jarum sengat tidak bisa mereka gunakan lebih dari satu kali. Yaitu seiring dengan menancapnya jarum sengat pada badan lawan, tak berapa lama kemudian si lebah pun akan mati.

Sarang Madu, Sebuah Proyek Berdisiplin Ketat

        Menurut serangga kecil ini, kerja dan aktivitas merupakan sebuah perintah suci yang harus dilaksanakan. Mereka melakukan dan mengatur pekerjaan dengan disiplin ketat, tak menyia-nyiakan waktu meski sedetik, tak kenal lelah, dalam diam dan kegembiraan yang misterius, dan tak ada satu pun yang mampu menghalangi kegiatan mereka.

        Yang jelas, mereka bekerja bukan karena paksaan atau karena kebutuhan, karena bagi serangga sederhana ini, telah cukup puas dengan 2 hingga 3 buah bunga dalam sehari semalam dan dalam waktu 1 jam, dari 200 hingga 300 bunga, mereka mampu menyimpan persediaan makanan untuk beberapa minggu, akan tetapi kecintaan terhadap pekerjaan-lah yang membuat mereka tak mau meninggalkan kegiatannya, dan di bawah naungan pekerjaan inilah kadangkala para pekerja pada satu buah sangkar mampu mengumpulkan 40 hingga 50 kilogram madu. Karena pekerjaan berdisiplin seperti inilah sehingga mereka memiliki nama terharum di antara serangga-serangga lainnya. Jika terdapat salah satu anggota keluarga yang malas bekerja, maka mereka akan langsung membebaskannya dari pekerjaan dan mengucilkannya dari kelompok mereka supaya kondisi ini tidak mempengaruhi yang lain.

        Bisa jadi karena menyaksikan hal inilah sehingga Amirul Mukminin Ali As bersabda kepada para pengikutnya, “Kunuu finnas kannihlatu fiththair (Jadilah kalian di tengah manusia bagaikan lebah di antara serangga-serangga lainnya).”[5]

Aktivitas di Luar Sarang

        Jenis pekerjaan yang dilakukan para lebah pekerja begitu banyak, akan tetapi secara global bisa terbagi menjadi 2 bagian yaitu pekerjaan di luar sarang dan pekerjaan di dalam sarang. Pekerjaan di luar sarang merupakan pekerjaan yang dilakukan dengan motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap hari pada saat-saat awal terbit matahari, beberapa lebah datang ke arah sarang dan menginformasikan kepada rekan sekerjanya tentang telah berbunganya hari ini mawar atau melati dan begitu berita ini tersebar maka ribuan lebah akan terbang ke arah bunga-bunga tersebut dan hinggap di atas bunga-bunganya untuk mengambil sari bunga sebagai bahan pembuatan madu.

Mereka memanfaatkan setiap jenis bunga yang mereka sukai, Anda pasti tidak tahu, setiap lebah senantiasa hinggap pada bunga tertentu dan tidak hinggap pada bunga lainnya. Setiap jenis lebah menyukai satu jenis bunga dengan warna dan khasiat tertentu. Jika Anda perhatikan garis arah perjalanan mereka maka Anda akan melihat adanya satu garis emas yang bergerak lurus menuju ke arah tertentu, dan jika Anda memperhatikan dengan lebih seksama maka Anda akan mengetahui, bahwa dalam melakukan pekerjaannya di atas bunga, para lebah pekerja ini membagi kelompoknya secara sempurna, setiap kelompok memiliki tugas untuk bekerja di atas bunga tertentu, setiap hari mereka akan bekerja di atas bunga-bunga yang berbeda sesuai dengan tugas yang telah dibebankan padanya dan mereka akan berusaha supaya dalam waktu yang sesingkat mungkin bisa mengumpulkan madu sebanyak mungkin.

        Ketika sari bunga untuk makanan pokok telah terkumpul, para lebah pekerja akan kembali ke sarangnya, pada saat ini pasukan prajurit penjaga akan menyambut mereka dengan kehormatan penuh, lalu mereka akan saling bercakap dengan irama sangat menarik, sekarang saatnya para pengangkut barang mendapat tugas untuk membawa beban manis hasil kerja rekannya ke tempat tertentu.

Para lebah pekerja akan berusaha secepat mungkin melepaskan beban berat yang terkadang ditaruh di atas punggung dan kadang pula di betis kakinya ini, dan tanpa perduli dengan apa yang terjadi di dalam sarang, mereka akan langsung melakukan perjalanannya kembali ke medan kerja tanpa menyia-nyiakan waktu sedetik pun, sebagaimana seseorang yang datang terburu-buru untuk melakukan tugas, begitu meletakkan bawaannya di atas meja, dia akan langsung lari untuk melakukan tugas sucinya tanpa memperhatikan hiruk-pikuk yang dilakukan teman-teman sekerjanya.

        Bahan yang dihasilkan lebah pekerja di luar sarang tidaklah sama, sekelompok dari mereka akan mengumpulkan getah khusus dari pohon Ceri dan pohon Poplar (bangsa Tulip), lalu menyimpannya di keranjang khusus dan membawanya ke sarang, sebagaimana halnya kita memoles rumah dengan kapur, maka lebah-lebah ini akan memoles dan menguatkan dinding keras bagian luar sarang lebah dengan getah pohon ini, dan dengan getah ini pulalah mereka akan menguatkan sarangnya bagian dalam.

Sekelompok lain akan mengumpulkan getah manis dari bunga dan kuncup-kuncup bunga lalu menyimpannya di dalam kantong khusus bernama kantong lebah yang terletak pada tubuhnya hingga berubah menjadi madu. Selain hal tersebut, lebah juga akan mengambil serbuk warna kuning dari bunga lalu meletakkannya di dalam keranjang khusus. Serbuk warna kuning ini akan dicampurkan dengan cairan manis dan madu sebagai adonan untuk membuat sejenis kue yang sangat digemari oleh para lebah dan akan dinikmati dengan penuh selera.

Aktivitas Dalam Sarang

        Ketika para lebah pekerja pengumpul makanan berada di luar sarang untuk melakukan tugasnya, sebagian pekerja lain tinggal di dalam sarang dan setiap kelompok dari mereka melakukan tugas yang telah tertentu. Di dalam sarang terdapat 10 ribu telur, 18 ribu kepompong, 36 ribu lebah-lebah bayi, dan 56 ribu putri-putri ratu[6].

Para pekerja terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu untuk bertugas mengawasi, menjaga, menyediakan serta memberikan makanan mereka pada saat yang tepat sebagaimana seorang pembantu yang setia melayani tuannya. Kelompok lainnya bertugas untuk mengatur udara dalam sarang, mereka berkumpul di depan pintu masuk dan mengepakkan sayap secara serentak, kepakan sayap ini mencapai kecepataan 400 kali dalam satu detik dan gerakan yang memunculkan angin sejuk ini berfungsi sebagai penyejuk ruangan. Pada musim dingin mereka juga menggerakkan sayap-sayap mereka secara serentak, akan tetapi dengan gerakan tertentu yang memunculkan angin hangat, dan angin ini akan mengusir udara dingin yang ada di dalam sarang, kebalikan dengan apa yang terjadi pada musim panas. Sebagian lainnya berkumpul dalam satu ruangan berisi madu untuk melakukan penguapan supaya air yang terdapat di dalam madu menguap dan menjadi madu.

Sebagian dari lebah-lebah ini bertugas untuk menjaga keseimbangan udara yang terdapat di dalam ruangan lebah-lebah bayi.

Defensi dan Pertahanan

        Aktivitas lain yang dilakukan dalam sarang adalah aktivitas yang berkaitan dengan masalah pertahanan. Pada bagian ini mereka tidak akan pernah meremehkan peralatan-peralatan sepele yang bisa dijadikan alat untuk pertahanan. Kadangkala mereka membangun kubu pertahanan dari paraffin sehingga para serangga berbisa tak mampu melewatinya. Para petugas yang dilengkapi senjata itu bertugas di depan pintu sarang sebagai pasukan pengawas, begitu mereka melihat makhluk asing mendekati kawasan dengan gerakan mencurigakan maka dengan segenap kekuatan mereka akan menghalangi kedatangannya, dan jika jumlah lawan tidak sebanding maka mereka akan mengeluarkan suara keras sebagai tanda dimulainya perang, seluruh lebah berusaha dengan kesungguhan dan keuletan yang dimiliki untuk mengusir lawan dari kawasan mereka, baik dalam keadaan mati atau hidup.

        Misalnya, ketika serangga besar mirip kupu-kupu yang pekerjaannya mencuri madu dengan dengungannya yang tak dipahami itu hendak memasuki sarang madu, maka begitu sampai di dekat sarang, pasukan pengawas yang berada di depan pintu akan serentak masuk ke dalam sarang dan mereka tidak akan bergerak dari tempatnya hingga lawan terkalahkan.

Kebersihan

        Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah kecintaan mereka terhadap kebersihan, sehingga mereka sama sekali tidak bersedia hinggap di tempat-tempat kotor. Kebersihan menjadi hal yang teramat penting bagi mereka, sehingga jika ada salah satu anggota yang sebelumnya telah hinggap di tempat kotor hendak memasuki sarang, tidak saja pasukan pengawas akan menghalangi kedatangannya, bahkan supaya hal ini menjadi pelajaran bagi selainnya dan tidak terulang lagi, maka lebah yang telah terkontaminasi dengan kotoran ini akan dibunuh dengan kejam.[7] Dengan adanya perhatian yang serius dan ketat terhadap kebersihan inilah sehingga terdapat pula kelompok yang bertugas membersihkan ruangan-ruangan di dalam sarang dengan ketelitian yang penuh. Untuk membuktikan seberapa kecintaan para lebah terhadap kebersihan, para peneliti meletakkan seekor tikus kecil di dalam sarang madu.

Begitu tikus kecil ini berada di dalam sarang, sebagai tindakan defensif atas serangan asing, para lebah langsung membunuh tikus malang tersebut secara serentak, setelah  itu, karena keberadaan bangkai tikus akan mengotori dan menimbulkan bau busuk di dalam sarang, maka bangkai tersebut di letakkan di salah satu sudut sarang lalu menguburnya dengan parafin.

        Morris Materlink mengatakan, “Satu tahun yang lalu aku menyaksikan sendiri, di dalam salah satu dari sarang madu terdapat 3 gundukan semacam ini, setelah aku teliti ternyata para lebah pekerja yang cerdik ini telah menguburkan tiga buah siput yang dimasukkan oleh anak-anak ke dalam sarang, lalu menutupinya dengan parafin.”

Pembagian Kerja

        Di dalam sarang terdapat pula pekerjaan-pekerjaan lain seperti pembangunan, reparasi sarang, bertelur dan semacamnya, yang hal tersebut akan kami bahas selanjutnya. Yang saat ini perlu mendapat perhatian adalah bahwa di antara mereka terdapat pembagian kerja yang sangat teratur dan profesional dimana pekerjaan dan kemahiran setiap mereka berbeda dengan yang lainnya. Untuk meneliti hal ini, para peternak lebah dengan susah payah berhasil mewarnai sayap-sayap lebah yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya, setelah observasi dan penelitian serius ditemukan bahwa setiap kelompok lebah memiliki pekerjaan dan kemahiran tertentu dan mereka sama sekali tidak ikut campur dalam pekerjaan kelompok lainnya.

Pelajaran Tauhid

        Para pembaca yang budiman, pada masa kini para spesialis peneliti lebah setelah melakukan penelitian sistimatis selama lebih dari 100 tahun, baru dalam waktu 50 tahun mampu menciptakan sarang madu tiruan yang terbuat dari kaca untuk mengamati kehidupan lebah, dan akhirnya baru dalam beberapa tahun dengan bantuan kecanggihan mikroskop, mereka mampu membuka rahasia keberadaan lebah pekerja, ratu lebah dan pejantan, oleh karena itu pada masa mendatang dengan semakin tingginya kecanggihan teknologi peralatan observasi, mereka akan semakin banyak membuka tabir rahasia kehidupan lebah, lalu menginformasikannya kepada kita dan memberikan point-point berharga bagi mansia.

Akan tetapi menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita bahwa para Imam Maksum As telah mengajak dan memberikan semangat kepada kita untuk mempelajari aspek penciptaan dan metode kehidupan serangga jenis ini, supaya dengan cara ini kita mampu menegaskan dan meyakini Sang Pencipta alam semesta yang akan mengantarkan kita pada kesempurnaan makrifat dan tauhid.

Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Jika saja manusia mau berfikir dalam keagungan kodrat dan kenikmatan besar yang diberikan Tuhan, maka niscaya mereka kembali ke jalan tauhid dan takut terhadap azab Ilahi, akan tetapi hati-hati mereka diselimuti kegelapan sehingga mereka tidak dapat melihat hakikat dan keagungan penciptaan semacam ini, apakah mereka tidak menyaksikan dan mengamati kehidupan makhluk-makhluk kecil ini supaya mereka melihat bagaimana Tuhan menguatkan, membentuk, dan mengatur segala penciptaan-Nya?”[8]

        Sebenarnya, kekuatan manakah yang telah menyebabkan terwujudnya pembagian kerja yang sangat profesional dan disiplin di antara lebah-lebah pekerja ini?  Misalnya kepada sekelompok lebah diperintahkan untuk menjaga dan memelihara telur serta bayi-bayi lebah, kepada pasukan pengawal khusus ditugaskan untuk mengawasi kedatangan dan kepergian ratu, sekelompok lainnya lagi diamanatkan untuk mengatur sirkulasi udara dengan gerakan sayap yang bisa menyebabkan hawa ruangan menjadi panas atau dingin, terdapat pula para tukang bangunan dengan para arsitekturnya yang diberi wewenag untuk membangun atau merekontruksi bangunan sarang, sekelompok lainnya adalah cleaning service yang harus menjaga kebersihan jalan serta gang-gang tempat lalu lalang para lebah dan memelihara kebersihan semua penjuru sarang, kepada korps pengangkat mayat ditugaskan untuk memindahkan sampah-sampah dan bangkai, pasukan khusus siang dan malam diberi pekerjaan untuk mengawasi rumah dan sekitarnya dan setiap anggota yang keluar masuk sarang berada dalam pengawasannya, dan lebah-lebah yang menganggur akan dipisahkan dan diasingkan, jika musuh datang dan mendekati sarang mereka akan bersatu melakukan penyerangan, kepada petugas pengumpul bahan makanan-pun masing-masing telah ditugaskan untuk mengambil sari bunga dari bunga-bunga tertentu bahkan sebagian dari mereka diperintahkan untuk memanfaatkan sengatnya guna mengumpulkan asid foramic untuk menjaga keawetan madu.

Masing-masing kelompok melakukan tugas yang telah diamanatkan kepadanya dengan sepenuh hati. Kita mungkin bertanya, bagaimana bisa terwujud pekerjaan-pekerjaan yang mengagumkan dan menakjubkan dengan segala pembagiannya ini? Siapakah yang sesungguhnya memberikan perintah kepada mereka untuk melakukan pekerjaannya masing-masing? Tentu saja, kita tidak mampu membayangkan bahwa seluruh kenyataan yang mengagumkan dan menakjubkan itu bukan berasal dari satu kekuatan gaib yang merupakan Sumber Ilmu dan Kodrat. Maha Suci Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha Agung dan Maha Mulia.[]

——————————————————————————–

[1]. Zanbur Asal, Morris, Materling.

[2]. Pada ilmu Insektologi , mata yang hanya memiliki satu  lensa dinamakan mata simple, sementara yang memiliki sejumlah lensa dinamakan mata kombinasi.

[3]. Dun yâ-e Hasyârat, penyusun Ferdinand Lein.

[4]. Zanbur Asal, Morris Materlink.

[5]. Safinatul Bihâr, jilid. 2, hal 581.

[6]. Zanbur Asal, Morris Materlink.

[7]. Ihyâ al-Ulum, Imam Ghazali.

[8]. Khotbah 227,  Nahjul Balâghah.

MENJELAJAH UFUK

 

TATANAN DI ALAM LUAR  ANGKASA

Luas   alam   semesta   tidak   bisa   di ukur dengan   jarak   kilometer maupun   jarak  farsakh (satu jarak farsakh kira-kira sama dengan delapan kilometer) dan jumlah benda-benda angkasa,  melebihi jumlah sesuatu  yang bisa terhitung dengan  angka. Oleh   karenanya   manusia  menggunakan  contoh  kecepatan cahaya (yang mana didalam perdetiknya   menempuh jarak tiga ratus ribu kilometer)   dalam   menjelaskan   jarak    antara   bintang-bintang.   Kita akan lebih merasa    heran  ketika    kita    mengetahui,    bahwa    Matahari   adalah  salah satu  bintang di dalam galaksi yang di dalamnya  terdapat jutaan bintang. Galaksi, tata surya  dan jutaan bintang adalah satu dari jutaan galaksi yang ada di alam dan tidak ada seorang pun yang mengetahui jumlahnya, karena ketika  teleskop canggih dan terbaru dibuat, galaksi-galaksi pun semakin banyak terungkap.

 Jarak sebagian dari galaksi-galaksi tersebut sangat berjauhan  sehingga cahaya-cahayanya untuk sampai ke Bumi menempuh waktu jutaan tahun. Jarak antara dua galaksi seukuran jarak cahayanya yang untuk sampai ke tempat ini masing-masing  menempuh waktu dua ratus sampai tiga ratus juta tahun.

Menurut salah seorang ilmuan, penelitian tentang alam luar angkasa yang kita lakukan di zaman sekarang ini ibarat sebuah kupu-kupu kecil yang hinggap di atas sebuah daun dari pohon besar yang mempunyai ribuan ranting dan jutaan daun dan berada di antara hutan yang luas . Lalu kupu-kupu tersebut ingin   terbang dari satu daun ke daun lain yang berdampingan. Daun pertama adalah ibarat bumi, daun kedua adalah bulan, rantingnya seperti tata surya, pohonnya adalah galaksi yang meliputi tata surya, hutannya adalah alam. Pada kenyataannya para astronom ibarat para petualang  yang berkeliling di hutan. Bintang-bintanglah yang menjadi hutan tersebut. Sebagaimana setiap hutan memiliki batasan, jumlah bintang-bintang juga terbatas. Prediksi terbaru menunjukkan bahwa jumlah bintang kira-kira mencapai empat puluh miliyar.

         Manusia di hadapan ciptaan besar dan sangat luas ini, tampak begitu kecil, sehingga seyogyanya merasa malu. Untuk itu jelas bahwa satu bagian pun dari ciptaan yang tak terhitung ini, tidak akan bisa dijelaskan dalam sebuah lembaran-lembaran buku. Namun paling tidak penelitian tentang bagian dari tata surya, bisa dijadikan sebagai karya ilmiah dan sebagai gambaran tentang kemampuan dan luasnya ilmu Tuhan Sang Mahapencipta.

Ukuran Matahari

        Matahari  yang sangat menyengat ini adalah suatu sumber energi yang penuh rahasia, dimana keajaibannya tidak terlintas dalam benak maupun pikiran manusia. Sekarang kita tunjukkan sebagian dari rahasia-rahasia keunikan cahaya penerang ini sebagai kisah  tentang  kemampuan dan ilmu Sang Pencipta.  Ukuran besar matahari adalah 1,391,000 bandingannya dengan ukuran Bumi. Jika kita mengetahui besarnya ukuran bola bumi maka ukuran besar matahari pun akan menjadi jelas bagi kita. Ukuran bola Bumi adalah seribu delapan puluh tiga miliyar dan tiga ratus dua puluh juta kilometer persegi.

    Berat Matahari

        Para ilmuan mampu menentukan berat Matahari berdasarkan dasar ilmiah, mereka mengatakan bahwa berat Matahari adalah tiga ratus tiga puluh ribu kali berat Bumi. Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa ukuran Matahari 1,391,000 bandingannya dengan ukuran bumi, namun berat matahari 330,000 kali berat bumi. Perbedaan ini disebabkan karena berat matahari  yang  berupa gas lebih ringan dari pada berat bumi.

    Suhu Panas Matahari

         Suhu panas Matahari diperkirakan mencapai sebelas ribu derajat Fahrenheit (11,000 F), tapi panas pusat Matahari adalah tujuh puluh juta derajat Fahrenheit (70,000,000 F). Dari pusat panas ini terdapat pada setiap detiknya empat juta ton energi dan setiap menitnya dua ratus empat puluh juta ton energi yang tersebar di ruang angkasa dalam bentuk sinar dan hawa panas.

Akal berdecak kagum dengan keunikan sinar dan hawa panas ini dan walaupun Matahari berjuta tahun bersinar serta mengeluarkan hawa panas, namun kekuatan cahayanya  tetap seperti semula.

         Matahari bagaikan sebuah pabrik, yang didalam setiap detiknya memproduksi empat juta ton energi dan juga memberikan sinar dan hawa panas kepada galaksinya, baik yang kecil maupun yang besar dari planet Mercuri sampai kepada planet Pluto dan jangkauan cahaya serta hawa panasnya mencapai enam ribu juta kilometer.  Bumi dari sisi jarak adalah planet ketiga dan mendapatkan sedikit energi darinya.

    Usia Matahari

Diperkirakan usia matahari sebagaimana usia sebagian planet lain, kurang lebih mencapai empat sampai lima ribu juta tahun.

    Gerak Matahari

Para ilmuan setelah melakukan berbagai penelitian, mengetahui bahwa Matahari sebagaimana Bumi berputar pada poros nya dan      setiap  putarannya kira-kira memakan waktu dua puluh lima hari. Putaran Matahari seperti putaran Bumi yang mengelilingi Matahari.      Gerak ini dinamakan sebagai gerak posisional. Matahari juga mempunyai gerak perpindahan dan sesuai dengan penelitian para ilmuan,      bahwa galaksi dan planet-planetnya bergerak ke arah kutub utara dengan kecepatan 19,5 kilometer dalam setiap detiknya.

Matahari juga memiliki gerakan ketiga, yaitu berputar mengelilingi pusat galaksi. Setiap galaksi terdiri dari jutaan bintang yang      bergerak di sekelilingnya. Kecepatan gerak bintang-bintang berbeda-beda ditinjau dari sisi jauh dekat jaraknya  dengan pusat. Matahari      adalah bagian dari kumpulan galaksi, ia sebagaimana bintang-bintang berputar di sekeliling pusat galaksi dengan kecepatan sembilan      ratus tujuh puluh dua ribu kilometer per jam dan begitu luas nya tempat perputaran Matahari sehingga hanya dilewati satu kali dalam      dua ratus dua puluh juta tahun.

    Mungkin cukup sampai di sini penjelasan tentang kebesaran dan keunikan serta manfaat Matahari dan sekarang mari kita berbicara     secara global tentang planet-planet sesuai urutan jaraknya dengan Matahari.

  1. Planet Merkurius

Merkurius adalah planet yang paling dekat dengan Matahari dan berjarak lima puluh delapan juta kilometer darinya. Karena planet-planet yang ada dalam sebuah bentuk bujur telur bergerak mengelilingi Matahari, maka jarak antara  masing-masing planet dengan Matahari berbeda dan dalam keadaan fluktuasi dimana maksimal jarak antara planet Mercurius dan Matahari tujuh puluh juta kilometer dan minimalnya adalah empat puluh enam juta kilometer dan jarak sedangnya adalah lima puluh delapan juta kilometer. Planet Mercurius ini menghadap ke arah Matahari, oleh karenanya ia dari satu sisi seperti neraka, panas dan menyengat dan dari sisi lain seperti sisi kutub, dingin dan membeku. Planet ini jarang terlihat, karena datang dan perginya berbarengan dengan terbit dan terbenamnya Matahari. Untuk itu ia jarang sekali menampakkan dirinya, tetapi meskipun demikian didalam satu waktu ia terlihat di ufuk oleh mata telanjang. Planet Mercurius ini berputar pada porosnya satu kali dan mengelilingi Matahari selama delapan puluh delapan hari. Mercurius adalah planet terdekat dari Matahari, yang bergerak  lebih cepat dalam zona yang lebih kecil dan perjalanan dalam setiap detiknya 47/5 kilometer.

  1. Planet Venus

          Planet Venus menurut istilah para astronom adalah saudara Bumi, dimana satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal. Sebab planet Venus tertutup oleh debu dan asap tebal sehingga kreterianya tidak begitu jelas. Planet Venus berada antara Bumi dan planet Merkurius, berputar mengelilingi Matahari. Kita melihat Venus berada di sebelah barat langit, setelah terbenamnya Matahari dan berada di sebelah timur langit sebelum terbitnya Matahari, dengan cahaya terangnya yang khas, karena planet ini nampak pada dua tempat, di zaman dulu orang-orang Yunani menyangka bahwa planet tersebut adalah dua bintang, sehingga mereka menamakan bintang yang satu dengan “bintang waktu malam” dan bintang lainnya dengan nama “bintang waktu pagi”. Sebutan saudara Bumi untuk planet Venus ini karena ia memiliki sisi keserupaan dengan Bumi, sebab ukuran venus 0/97 seperti Bumi, beratnya 0/82 seperti berat Bumi, kekuatan daya tariknya 0/9 seperti daya tarik Bumi. Planet Venus memutari Matahari sekali, selama 224 hari dan 15 jam serta 48 menit.

  1. Planet Bumi

Pengetahuan manusia tentang Bumi lebih banyak dari pada tentang planet-planet lain dan menurut penduduk Bumi,    Bumi adalah alam yang paling besar dan tempat dimana ia di lahirkan, tetapi menurut para astronom, Bumi sangat kecil    dibandingkan dengan planet lainnya. Bumi sebagaimana planet lainnya berputar  dengan bebas di ruang angkasa.

Jarak Bumi dengan Matahari 150 juta kilometer dan Bumi memutari Matahari selama 365 hari dan lima jam serta 48     menit dan  40 detik dengan kecepatan  29/8 kilometer dalam perdetik. Jarak maksimal Bumi dengan Matahari 152 juta     kilometer dan jarak minimalnya 147 juta kilometer. Atmosfir dengan gas yang tebalnya 800 kilometer bagaikan tameng     baja, menjaga Bumi dari gangguan 20 juta batu-batu di langit yang mana batu-batu tersebut siang dan malam menimpa     atmosfir Bumi dengan kecepatan kira-kira 50 kilometer perdetiknya.

  1. Planet Mars

Mars adalah planet yang sejak dulu telah menarik perhatian para astronom Timur maupun Barat dan telah      membangkitkan upaya-upaya untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Sebab munculnya upaya dan perhatian ini karena     kemungkinan dan syarat kehidupan di planet Mars lebih  besar dari pada kemungkinan kehidupan di planet lainnya. Oleh     karenanya hingga kini telah banyak diambil gambar-gambar planet mars dan telah dipastikan adanya kehidupan tumbuh-    tumbuhan dan lainnya di sana.  Jarak planet Mars dengan Matahari adalah 228 juta kilometer. Ia memutari Matahari sekali     selama 677 hari dengan kecepatan 24 kilometer perdetiknya. Planet Mars sangat mirip dengan Bumi. Waktu siang malam di     Mars seperti di Bumi dengan sedikit perbedaan, bahwa planet Mars berputar pada porosnya sekali selama 24 jam dan 37     menit. Di planet Mars sebagaimana di Bumi ada empat musim, tetapi masa musim di planet Mars dua kali lipat lebih lama     daripada masa musim di Bumi. Planet Mars mengambil setengah dari cahaya dan hawa panas Bumi yang diambil dari     Matahari, maka dari itu hawa di planet Mars lebih dingin dibandingkan dengan hawa di Bumi.  Maksimal hawa panas dalam     musim panas di planet Mars, tidak melebihi 27 derajat, sedangkan pada musim dinginnya mencapai 58 derajat di bawah nol.

  1. Planet Yupiter

Yupiter adalah planet terbesar di dalam galaksi, yang berbentuk lingkaran dan letaknya berada di luar kawasan planet       Mars dan berjarak 741 juta kilometer dengannya. Diameternya 148 ribu kilometer, yaitu sebelas kali lipatnya diameter      Bumi dan permukaannya lebih besar 150 kali lipat dibandingkan dengan permukaan Bumi. Yupiter mengelilingi Matahari      selama 11 tahun dan 315 hari, dengan kecepatan 13 kilometer perdetik. Ia melakukan gerak posisi tersebut selama 9 jam      dan 55 menit serta 41 detik.

  1. Planet Saturnus

Jika kita meneruskan perjalanan kita, setelah planet mars, kita akan sampai kepada planet yang bernama saturnus.       Menurut orang-orang Babilion dan Yunani saturnus adalah bintang yang terakhir, karena planet-planet yang jaraknya jauh      dari Matahari, begitu sedikit cahayanya sehingga tidak nampak oleh mata telanjang, akan tetapi setelah ditemukannya alat      teleskop, menjadi jelas bahwa saturnus bukanlah akhir bintang dari tatanan surya dan kawasan  kekuasaan Matahari, tetapi      melebihi sesuatu yang mereka bayangkan. Saturnus adalah planet yang berukuran 9 kali lipat dibandingkan Bumi. Dan      natijahnya volume planet saturnus adalah tujuh ratus kali lipat dengan volume Bumi, namun dikarenakan planet saturnus      berasal dari benda yang ringan, maka berat planet saturnus tidak melebihi seratus kali lipat      Bumi.

  1. Planet Uranus

Planet ini ditemukan pada tahun 1781 M dan menyebarkan kekuatan pancaran dari 1428 juta kilometer hingga 2873      juta kilometer. Planet ini dari sisi ukuran besarnya tidak kalah dengan Yupiter maupun Saturnus, sehingga terkadang     dengan mata telanjang ia dapat dilihat. Gerakan pindah Uranus di sekitar Matahari selama 84 tahun dan 7 hari dengan     kecepatan 6700 meter dalam perdetik dan gerak posisionalnya dilakukan selama 10 jam dan 8 menit.

  1. Planet Neptunus

Planet Neptunus ini ditemukan oleh ilmuan Prancis dan astronom observatorium Berlin. Jarak planet ini dengan Matahari      adalah 4500 juta kilometer, perjalanan kelilingnya memakan waktu selama 164 tahun dan 280 hari, yakni setiap satu      musim dari empat musim di Neptunus adalah empat puluh tahun lamanya dan dalam pergerakan posisionalnya, Neptunus      berputar pada porosnya satu kali selama 15 jam dan 40 menit.

  1. Planet Pluto

Pluto adalah planet terakhir yang ditemukan oleh seorang ilmuan Amerika pada awal tahun 1930 M. Pluto merupakan     planet yang kesembilan dari tata surya, yang jaraknya dengan Bumi 40 kali lipat lebih jauh dari pada jaraknya dengan     Matahari. Dan dengan adanya penemuan  planet Pluto, maka batasan tata surya dari empat miliyar lima ratus juta     kilometer bertambah menjadi lima miliyar sembilan ratus dua puluh juta kilometer, karena itu jarak menengah antara Pluto     dengan Matahari seukuran ini. Planet ini dalam bentuk elips memutari Matahari selama 250 tahun.

Planet Pluto tidak bisa dikatakan sebagai planet terakhir, sebab para astronom memberikan kemungkinan bahwa Pluto     adalah salah satu planet dari beberapa planet yang berada pada barisan pertama di dalam tata surya ini dan berada di     sudut langit yang remang dan gelap.

Oleh karena itu, harus dikatakan bahwa   tata surya ini mengarahkan kepada kita akan luasnya tatanan di dalam      penciptaan   benda-benda langit, yang mana dalam setiap bagian dari tatanan tersebut, merupakan bukti yang jelas akan      adanya  peran  pikiran, perenungan, ilmu didalam penciptaannnya dan akal sama sekali tidak bisa menerima, jika tatanan      yang indah dan menakjubkan ini tidak di sertai dengan campur tangan ilmu dan kemampuan dan tidak ada seorang      bijakpun yang dapat menerima bahwa perhitungan yang cermat dan di luar jangkauan akal manusia tentang tatanan yang     mengandung hikmah ini, muncul secara kebetulan. Kita semua mengetahui bahwa para astronom dengan berdasarkan     pengetahuan mereka yang luas tentang gerak posisional dan gerak perpindahan benda-benda kosmologi, semenjak     ratusan tahun yang lalu mampu memprediksikan seluruh keadaan-keadaan  bintang dan menetapkan muncul dan     hilangnya planet-planet serta  waktu gerhana Matahari dan Bulan. Apakah bisa prediksi yang sedemikian cermat dan     gerakan-gerakan yang teratur dan telah diperhitungakan ini, tidak disertai dengan pengetahuan Sang Pengatur tatanan     benda-benda langit?

Gerakan benda-benda langit ini begitu teratur dan teliti yang mana  jika nampak ketidak teraturan pada gerak satu      panet, akan menyebabkan tersingkapnya keberadaan planet lainnya. Contohnya setelah ditemukannya planet Uranus,      para astronom melakukan penghitungan tentang gerakannya dan mereka merasakan adanya penyimpangan pada      geraknya, yaitu mereka menemukan gerakan Uranus lebih lambat dari ukuran gerak yang seharusnya. Hal ini     mengakibatkan ilmuan perancis tersebut harus memberi laporan kepada badan ilmiah dan berkata:   “Menurut saya,     planet-planet lain yang belum di temukan, telah mengganggu dan membuat gerak Uranus menjadi tidak teratur”. Ilmuan ini     dengan perhitungan ilmiah telah menetapkan tempat untuk planet Uranus dan beberapa saat kemudian seorang ilmuan     Jerman menemukan planet demikian ini dengan nama Neptunus di tempat yang ditetapkan oleh ilmuan Prancis tersebut.     Planet lain yang bernama Pluto juga mempunyai kemiripan dalam penemuannya dengan Neptunus ini.

Prediksi yang teliti semacam ini, tidak lain menandakan suatu sebab bagi gerak benda-benda langit yang telah      diperhitungkan. Apakah dengan terungkapnya rahasia-rahasia yang berkuasa atas tatanan tata surya akan menjadikan      penelitian tentang benda-benda langit berakhir, ataukah manusia setelah sampai pada hasil-hasil penelitiannya malah      menyaksikan ambang alam yang lebih besar dan luas? Alam yang penuh dengan miliyaran tatanan dan bintang-bintang      yang bergemerlapan serta  penjelajah di ruang angkasa dan tata surya kita dalam berhadapan dengan itu bagaikan sebuah     mutiara  dibawah samudera luas yang tak bertepi.

        Jika manusia dengan ilmu dan sains sedikit melewati tata surya dan dia akan menjadi bingung dengan banyaknya      jumlah bintang dan galaksi yang bermiliyaran dan dia akan memahai bagian dari tatanan yang indah ini, maka dia akan      menundukkan kepala dihadapan sang pengatur tatanan dan pencipta benda-benda ini dan perkataan  orang-orang yang      tidak bijak bahwa alam ini muncul secara kebetulan, tidak lain hanya akan di anggap sebagai cerita fiktif yang kekanak-     kanakan.[]

WACANA TENTANG KEIMANAN RELIGIUS

 Iman, keyakinan, harapan, dan cinta merupakan nilai-nilai utama yang memberikan aroma semerbak bagi kehidupan manusia. Tentang substansi iman, lebih banyak berkaitan dengan ruang lingkup agama. Fungsi dan kedudukan iman telah terkonstruksi secara sempurna dalam literatur agama.

Sejak zaman dahulu, para pengkaji dan periset di bidang teologi dan filsafat melakukan observasi ihwal keimanan berdasarkan perspektif agama Islam maupun Kristen.

Dalam konteks Islam, perubahan politik dan sosial yang terjadi setelah perang Shiffin yang dimotori oleh kelompok Khawarij dan kelompok Murji’ah merupakan alasan utama atas pengkajian tentang keimanan tersebut, begitu pula motivasi-motivasi keagamaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi orang-orang Mukmin juga mempunyai peran yang signifikan dalam kelanjutan pengenalan keimanan dan lahan bagi penelitian kembali perkara-perkara dalam agama, rasionalitas, dan syuhud; atas dasar ini, begitu banyak muncul pertanyaan-pertanyaan tentang esensi iman dan hal-hal yang terkait dengannya ditujukan kepada tokoh-tokoh agama[1].

Dialog-dialog keimanan dari sisi fenomenologi, antropologi, eskatologi, dengan tema-tema tentang hakikat iman, rukun iman, hubungan iman dan pengetahuan, perbuatan, serta pengalaman mistik, hubungan akal dan iman, tingkatan keimanan, dan faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya iman.

Makna Iman

Kata iman dalam bahasa Arab berasal dari kata âmana, yu’minu, îmânan, yang berarti mempercayai dan meyakini. Dalam al-Qur`an makna iman digunakan sebagai perbuatan dari iman atau kandungan kepercayaan atau terkadang digunakan kedua-duanya.[2]

Hakikat, Rukun dan Syarat Iman dalam Perspektif Teolog dan Filosof Islam

Para teolog dan filosof Islam berbeda pendapat tentang hakikat, rukun dan syarat iman. Apakah iman adalah pengakuan secara lisan atau keyakinan hati dan perbuatan baik ataukah gabungan dari keduanya? Para teolog Syiah Imamiah meyakini bahwa iman secara mendasar adalah keyakinan hati terhadap Tuahn, Rasul dan risalah-Nya. Oleh karena itu, pengakuan lisan dan perbuatan lahiriah dan bukan merupakan rukun dan syarat iman.[3]

Syaikh Mufid berpendapat bahwa iman adalah keyakinan hati, pengakuan lisan, dan perbuatan lahiriah[4]. Khawjah Nasiruddin Thusi mengartikan iman sebagai sebuah keyakinan hati di samping pengakuan lisan[5]. Para teolog Syiah Imamiah beranggapan bahwa iman dihasilkan dari argumentasi rasional terhadap keesaan  Tuhan, keadilan Ilahi, Nubuwwah (kenabian), Imâmah (kepemimpinan Ahlulbait Nabi) dan Ma’âd (hari kebangkitan), dengan demikian mereka menerima rasionalitas  agama dan keterkaitan agama dengan akal.

Sementara kelompok Khawarij memandang semua orang yang berdosa telah keluar dari kelompok ahli iman dan setara dengan orang kafir. Untuk itu Khawarij menganggap perbuatan baik sebagai rukun iman[6]. Kelompok Asy’ari secara mendasar memiliki pandangan yang sama dengan Syi’ah Imamiah, tetapi Abul Hasan Asy`ari, sebagai pendiri mazhab ini, beranggapan bahwa iman adalah keyakinan hati, pengakuan lisan dan diikuti dengan perbuatan[7].

Bakilani juga mempunyai pendapat yang sama dengan Asy`ari[8]. Murji`ah ,berlawanan dengan pandangan Khawarij, mengatakan bahwa perbuatan setelah keimanan dan setingkat dengan makrifat, namun para pengikut paham ini berbeda pendapat tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan keimanan[9]. Abu Hanifah menafsirkan iman sebagai pengetahuan terhadap Tuhan, pembenaran hati, dan pengakuan lisan[10].  Mu’tazilah disamping iman sebagai pembenaran hati juga menekankan perbuatan lahiriah[11]. Para pendahulu Ahlusunnah dan Hasyawiyah memaknakan iman sebagai rangkaian dari pembenaran hati, pengakuan lisan, dan pelaksanaan rukun-rukunnya.

Imam Ali bin Abi Thalib As bersabda, “Iman sebagai pembanaran hati, pengakuan lisan, dan pelaksanaan rukun-rukun serta mengamalkan keseluruhannya.” Khawjah Nasiruddin Thusi, dalam kitab Tajrid al-I’tiqâd, dengan bersandarkan pada ayat: “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”[12], dan juga ayat: “Maka delapan puluh sembilan dari surat al-baqarah setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya maka laknat Allah swt lah atas orang-orang yang ingkar itu”[13], berpandangan bahwa iman adalah pembenaran hati tanpa pengakuan lisan, dan juga bersandarkan pada ayat: “Orang-orang arab badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah kepada mereka: “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk kedalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[14], menyatakan bahwa iman dengan pengakuan lisan tanpa pembenaran hati tidaklah cukup.

Para ahli fiqih pada umumnya berpendapat bahwa iman adalah urusan hati dan lisan, pembenaran hati tanpa pengakuan lisan atau sebaliknya tidaklah benar. Adapun kelompok Karamiah meyakini hakikat iman sebagai pengakuan secara lisan terhadap kebenaran pokok-pokok agama dan pembenaran hati dan prilaku baik tidak memiliki pengaruh atas keimanan[15]. Kelompok Syi’ah Isma’iliah membedakan antara iman lahiriah dengan iman batiniah, iman lahiriah adalah pengakuan secara lisan sedangkan iman batiniah (hakiki) dicapai lewat pengalaman akal atau hati.[16]

Para filosof memaknakan iman hakiki sebagai pengetahuan filosofis terhadap Sebab Pertama (baca: Tuhan atau mabdâ) dan hari kebangkitan (ma’âd), dan pengetahuan terhadap mabdâ ini mencakup sifat, perbuatan, dan bukti-bukti keberadaan-Nya, sementara pengetahuan tentang ma’âd meliputi makrifat jiwa, keadaan alam akhirat, dan kenabiaan[17]. Para teolog Islam telah membahas secara mendetail hal-hal berkenaan dengan kekafiran, kefasikan, keimanan, dan keterkaitan antara Islam dan iman.

Pandangan Para Urafa Islam

Iman menurut urafa Islam merupakan perkara ikhtiar (freewill), karena Tuhan memerintahkan hal tersebut dan menjadikan iman sebagai bukti kuat dan sempurna bagi mahluk-Nya. Terdapat beberapa ungkapan yang dapat dipahami bahwa iman merupakan hakikat hati, karena mungkin saja banyak orang yang sampai kepada tingkatan makrifat keimanan dan, dengan mukjizat Nabi, mencapai pengetahuan terhadap hakikat-hakikat agama, tetapi karena kezaliman, cinta kekuasaan, dan hasad tidak mengungkapkan secara lahiriah pembenarannya terhadap hari kiamat dan hati-hati mereka tidak sinari dengan cahaya iman.

Para arif membagi iman menjadi dua bagian yaitu, iman teoritis dan iman hakiki, iman hakiki dicapai melalui syuhud dan mukasyafah. Mereka menganggap bahwa iman dan akal seiring satu tarikat (baca: syariat), selama manusia belum bersyariat mustahil mencapai kesempurnaan iman[18]. Mereka juga membagi tauhid menjadi empat tingkatan, yang pertama adalah tauhid keimanan kemudian tauhid ilmiah, tauhid qalbi dan tauhid Ilahi. Mereka mendefinisikan tauhid keimanan sebagai pembenaran hati dan pengakuan lisan terhadap keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan kelayakan penyembahan hanya kepada-Nya yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Tauhid keimanan ini dimiliki oleh semua orang-orang Mukmin, namun pada tiga tingkatan tauhid yang lain terdapat perbedaan di antara kaum Mukmin.[19]

Kaum arif menganggap segala sesuatu yang bersumber dari Nabi tidak memerlukan pertimbangan akal dan takwil[20]. Perlu disebutkan bahwa sebagian urafa memisahkan antara amal dan iman, amal tidak termasuk rukun iman[21], dan sebagian lagi memandang kehendak, cinta, loyalitas, dan yakin bersumber dari hakikat iman[22]. Poin yang perlu diperhatikan bahwa urafa meyakini adanya tingkatan keimanan[23], dan menganggap bahwa kekafiran dan keimanan merupakan dua hal yang bisa berkumpul, tetapi mereka menafsirkan kekafiran di sini bermakna fana[24] sementara keimanan bermakna kekal setelah fana (baqa ba’d al-fana)[25].[26]

Iman dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an terkadang memaknakan iman sebagai lawan dari kemunafikan dan terkadang lawan dari kefasikan, dan sekedar pengakuan lisan tidak dikategorikan sebagai hakikat iman[27]. Tapi pendefinisian keimanan sebagai amal shaleh, tapi dengan memperhatikan kata sambung dalam al-Qur’an, petunjuk Tuhan kepada kaum mukmin, dan pelaku amal shaleh, pendefinisian ini kurang tepat[28]; karena mendefinisikan iman sebagai amal shaleh meniscayakan pengulangan tak bermakna dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dari berbagai ayat dapat disimpulkan bahwa hakikat iman merupakan perkara hati, bukan lisan dan perbuatan[29]. Iman adalah cahaya yang dengannya Tuhan memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya[30]. Hidayah Ilahi menyebabkan turunnya berkah, penghambaan, dan menciptakan rendah hati bagi manusia.[31]

Karakteristik-karakteristik iman dalam al-Qur’an, antara lain:

  1. Iman merupakan ikhtiar manusia, karena telah diperintahkan manusia untuk beriman dan menjauhi kekafiran, Tuhan mencela orang-orang kafir dan akan menyiksa mereka di akhirat[32], begitu pula Dia tidak memaksa manusia untuk beragama, beriman[33], dan kafir[34].

  1. Iman didasari oleh makrifat.[35]

  1. Iman dilandasi oleh keyakinan[36] dan tidak dilandasi oleh keraguan dan prasangka.[37]

Para teolog Syi`ah Imamiah juga menekankan bahwa makna iman sebagai pembenaran hati dan keyakinan[38]; tapi bukan hanya keyakinan pengetahuan bahkan pembenaran hati yang disertai dengan pengakuan lisan[39]. Adapun tentang apakah keyakinan dalam iman mesti keyakinan logikal ataukah keyakinan rasional ataukah keyakinan biasa? Makna lahiriah ayat-ayat al-Qur’an menunjukkan semua bentuk keyakinan dan penerimaan hati.

  1. Amal bukan rukun iman, melainkan penjelmaan iman.[40]

Dan adapun tentang manfaat-manfaat dan efek-efek iman juga banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, sebagai contoh keberuntungan[41], ketakwaan dan spritual[42], keseimbangan jiwa[43], keberkahan dunia[44], perbuatan baik[45], pengetahuan jiwa[46], kecintaan yang sangat kepada Tuhan[47], tawakal kepada-Nya[48], petunjuk hati[49], hilangnya rasa takut, bimbang, dan sedih[50], ketegaran mukmin[51], ketenangan jiwa. [52] Adapun hal-hal yang berkenaan dengan kuat dan lemahnya iman banyak diisyaratkan dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat Nabi.[53]

Dalam kitab Ushul Kâfi dijelaskan bahwa iman memiliki tujuh bagian dan tingkatan.[54] Jika kita pahami bahwa iman berupa keyakinan hati atau pengakuan lisan atau gabungan keduanya, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah keimanan dapat kita terima sebagai hal yang bisa bertambah atau berkurang ataukah dengan hanya menafsirkan iman sebagai amal shaleh kita bisa menjelaskan tingkatan-tingkatan iman? Sebagian penulis membenarkan pertanyaan kedua ini;[55] sementara mereka bisa menerima adanya tingkatan-tingkatan keyakinan hati. Walhasil semua teolog mengakui iman bisa bertambah atau berkurang.[56]

Poin lain adalah hal-hal yang berhubungan dengan iman di dalam al-Qur’an dapat berupa kebenaran dan kebatilan. Allah Swt berfirman di dalam ayat lima puluh dua surat an-kabut: “Dan orang-orang yang percaya (iman) kepada yang batil dan ingkar kepada Allah Swt, mereka itulah orang-orang yang merugi”. Para teolog Islam berpandangan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan iman adalah tauhid, keadilan, kenabian, imamah, dan hari kebangkitan.[57]

Persepsi Para Filosof dan Teolog Kristen Barat

Para filosof dan para teolog Kristen Barat juga membahas tentang keimanan religius ini. Iman menurut Thomas Aquinas adalah pembenaran seorang mukmin atas suatu realitas dengan bukti-bukti tak sempurna, dan berdasarkan pilihan dan kehendak ia meyakini realitas itu dan perkara-perkara gaib yang berkaitan dengannya. Keberadaan bukti-bukti tak sempurna ini merupakan bukti bahwa iman tidak bertolak belakang dengan aspek rasional, akan tetapi iman ini tidak melebihi derajat keyakinan dan musyahadah. [58] Poin yang menarik adalah bahwa Thomas Aquinas, dengan persepsi keimanan seperti itu, juga berupaya menetapkan eksistensi Tuhan dengan membangun lima argumen.

Martin Luther – seorang pendiri gerakan pembaharuan gereja – menafsirkan iman sebagai kepercayaan terhadap Tuhan[59] dan Schleiermacher menjelaskan iman sebagai sebuah rasa kebergantungan. [60] Orang seperti William james yang menolak dalil-dalil pembuktian atau pengingkaran eksistensi Tuhan, tidak memandang iman sebagai makrifat yang pasti; atas dasar ini, ia menafsirkan iman dalam aspek fungsional dan utilitarian[61]. Paul Tilliche memahami iman sebagai suatu kondisi kebergantungan kepada tujuan akhir dan landasan iman adalah kebergantungan itu sendiri.[62] Ia meyakini bahwa perbuatan iman adalah perbuatan suatu maujud yang terbatas yang diliputi oleh realitas tak berhingga (baca: Tuhan), sehingga pada akhirnya ia akan mencapai realitas yang tak berhingga itu.[63]

 Penafsiran-penafsiran berbeda tentang iman dari teolog barat, khususnya hubungan iman dan akal, telah menciptakan keraguan baru dalam rasionalitas keimanan. Soren Kierkegard memandang bahwa iman berlawanan dengan rasional, dan Ludwig Witgenstein juga beranggapan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, tetapi berbeda dengan Thomas Aquinas yang memandang iman dan akal memiliki hubungan timbal balik. Sebagai contoh, di barat terdapat tiga persepsi tentang keimanan kepada Tuhan:

Pertama, kaum ateis meyakini bahwa manusia yang menciptakan Tuhan dan beragama tidak bermanfaat.

Kedua, kaum yang meyakini bahwa manusia yang menciptakan Tuhan, tetapi beragama tetap mempunyai nilai dan manfaat. Don Cupit, seorang teolog kontemporer Eropa, menekankan hal ini.

Ketiga, kaum yang meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia dan kewajiban yang paling penting bagi manusia adalah beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Kaum ini adalah kelompok yang bersungguh-sungguh beragama.

Dengan berpijak pada tiga persepsi ini, iman dapat ditafsirkan dan membandingkan hubungan iman dan akal. Menurut Don Cupit, iman merupakan perjanjian bebas dengan nilai-nilai Ilahi dan berhubungan dengan cara-cara kehidupan. Don Cupit lalai bahwa pendapatnya ini bertentangan dengan persepsi kedua yang didukungnya, karena dengan ketiadaan Tuhan bagaimana mungkin manusia membuat perjanjian dengan nilai-nilai Ilahi tersebut.[64]

Faktor-Faktor Keimanan Religius

Terdapat beberapa faktor yang mewujudkan dan menguatkan keimanan religius, antara lain:

  1. Fitrah manusia untuk beragama

Dalam sejarah agama  terbuktik bahwa keimanan religius dan kecenderungan beragama merupakan dua hal yang bersifat fitrah, mungkin inilah penyebab keabadian agama. Keinginan beragama, beribadah kepada Yang Maha Sempurna, rasa ingin mengetahui kebenaran, dan keinginan akan keindahan merupakan kecenderungan-kecenderungan alami jiwa. Hal terpenting yang berpengaruh meningkatkan keberagamaan tidak lain adalah mengingatkan manusia atas fitrahnya.  Fenomena-fenomena kehidupan dunia, seperti kenikmatan, bencana, kebaikan, keburukan, sakit, penderitaan, dan ketakberdayaan, merupakan aspek-aspek pendidikan yang sangat bernilai bagi orang-orang yang berakal. Betapa banyak orang-orang kaya menjadi miskin atau sebaliknya orang-orang miskin menjadi kaya, kemudian berubah menjadi orang-orang yang sangat beragama. Kenyataan-kenyataan lainnya, seperti penyakit, masa tua, kematian, dan lainnya merupakan peringatan bagi manusia untuk kembali merenungkan tujuan hidupnya, membangkitkan fitrahnya, dan menguatkan keimanan religius.

  1. Pengetahuan argumentatif.

Beragama dengan kesadaran rasional-filosofis dan logikal sangat berpengaruh dalam peningkatan keimanan. Tanpa diragukan bahwa  orang-orang yang memahami eksistensi Tuhan dengan argumentasi rasional-filosofis, seperti argumentasi wujub dan imkan, shiddiqin, imkan al-faqri, akan meraih kepuasan pikiran dan keyakinan logis tentang eksistensi Tuhan, dengan demikian akan meningkatkan keimanan religiusnya.

  1. Menjalankan kewajiban agama dan etika

Meskipun pelaksanaan kewajiban agama tidak disinggung dalam definisi dan esensi iman, akan tetapi ia memiliki peran yang mendasar dalam  peningkatan keimanan. Dalam berbagai ayat dijelaskan bahwa amal shaleh berperan dalam peningkatan iman[65]. Imam Ali As juga meyakini bahwa jihad di jalan Tuhan dan bersedekah dan … sangat mendorong peningkatan keimanan, beliau bersabda, “Di samping Rasul saww kita berperang dengan ikhlas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kita tidak takut kepada siapapun, bahkan kita siap memerangi orang-orang tua kita, anak-anak, saudara-saudara, paman-paman kita jika mereka menentang kebenaran. Perang ini menambah keimanan kita. “[66] “Jagalah iman kalian dengan sedekah dan jagalahlah harta kalian dengan mengeluarkan zakat serta jauhkanlah bencana dengan do’a”.[67] “Kokohnya iman dengan empat pondasi: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan jihad”.[68] “Iman merupakan jalan yang paling lurus dan cahaya yang paling terang, manusia dalam naungan iman akan menemukan jalan untuk beramal baik dan dengan amal shaleh ini akan mengantarkannya ke puncak keimanan”.[69] “Keimanan seorang hamba tidak akan sempurna kecuali dengan hati yang bersih, ikhlas, tulus, dan benar. Dan hati tidak akan bersih kecuali dengan lidah yang terjaga”.[70] “Bersabarlah dan konsistenlah dalam setiap amal, dimana kesabaran bagi keimanan seperti kepala bagi tubuh, dan badan tanpa kepala tidak berguna, begitu pula keimanan tanpa kesabaran tidak akan membuahkan hasil.”[71]

  1. Lingkungan dan budaya yang sesuai dengan agama

Orang-orang beriman seharusnya berupaya menyiapkan lingkungan dan mewujudkan budaya keagamaan yang menunjang perkembangan keimanan diri dan keluarganya. Dan semestinya menjauhi kehidupan sekuler dan rekan-rekan yang tak beriman yang bisa mempengaruhi secara negatif kesempurnaan iman.

Penghalang-Penghalang Keimanan Religius

Terdapat beberapa penghalang-penghalang keimanan yang semestinya diselesaikan oleh orang-orang yang beriman. Keraguan eksistensial, skeptisisme argumentatif, relativisme kebenaran, dan dosa merupakan kendala-kendala utama keimanan. Sebagai contoh, prilaku yang tidak etis dari seorang ulama bisa menjadi sumber keraguan orang atas kebenaran, adanya kontradiksi antara ilmu (baca: sains) dan agama, argumentasi pengingkaran Tuhan, akan memunculkan skeptisisme argumentatif (karena suatu argumentasi pengingkaran Tuhan yang kelihatannya benar akan menyebabkan seorang ragu tentang eksistensi Tuhan, keraguannya itu tidak akan sirna hingga ia mendapatkan dalil-dalil yang bisa meruntuhkan arggumentasi pengingkaran Tuhan itu), atau kejadian alam (seperti, banjir, gempa bumi, tsunami) menjerumuskan sebagian orang pada keraguan keberadaan Tuhan (karena sebagian mereka tidak bisa memahami bahwa jika Tuhan berada kenapa mesti terjadi malapetaka alam yang merugikan banyak manusia).

Orang-orang beragama harus, pertama memisahkan antara tokoh agama dan hakikat kebenaran agama, jangan sampai prilaku-prilaku yang tidak etis dari para tokoh agama tersebut kemudian menjerumuskan mereka kedalam skeptisisme. Kedua, hendaklah mereka merujuk kepada dalil-dalil kebenaran agama dan masalah-masalah seputarnya supaya mereka memahami kesalahan berpikir sebagian orang yang tidak menganut agama, dengan demikian keimanan dan keyakinannya tetap utuh.

Relativisme kebenaran juga merupakan fenomena yang  banyak menggoyangkan keimanan orang-orang beragama. Latar belakang lahirnya relativisme kebenaran ini akibat perselisihan di antara para tokoh agama, sebagaimana Protagoras di Yunani  tertarik kearah relativisme akibat perselisihannya dengan para tokoh agama. Orang-orang Postmodernisme, dengan alasan adanya perselisihan di antara para tokoh agama, menyebarluaskan paham relativisme ini, sementara mereka lalai bahwa di antara para ilmuwan dalam berbagai bidang juga terdapat perbedaan dan perselisihan pemikiran. Dengan demikian, perbedaan dan perselisihan pendapat bukan suatu alasan mendasar bahwa  kebenaran yang ada pada mereka menjadi relativ. Di antara para tokoh agama terdapat kesamaan pemikiran dan juga sisi perbedaan pandangan, oleh karena itu, relatipitas adalah hal yang wajar dalam sumua bidang keilmuan dan pemikiran, tetapi relativitas ini bukan dalil atas ketiadaan kebenaran mutlak pada setiap bidang ilmu. Jadi relativisme bukan alasan penolakan terhadap keberadaan kebenaran mutlak. Fenomena lain yang melemahkan keimanan reigius adalah perbuatan maksiat dan dosa, betapa banyak orang-orang mukmin kehilangan keimanan religiusnya karena melanggar larangan dan meningalkan kewajiban agama, akhirnya mereka terjerembab dalam perselisihan.

Perdebatan tentang Keimanan

  1. Perdebatan antara agama, iman, dan perubahannya

Sebagaimana agama memiliki nilai-nilai tetap yang mencakup keyakinan, moral, hukum, nilai-nilai tasawuf, perkara lahiriah dan batiniah, maka iman juga memiliki nilai-nilai yang beraneka ragam. Nilai-nilai yang beragam ini dari agama dan iman memiliki hukum yang berbeda-beda, sebagai contoh nilai-nilai tetap agama dan iman yang berupa keyakinan, hukum, dan akhlak, yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk tradisi-tradisi, adab-adab, politik, kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Manifestasi-manifestasi agama dan iman ini niscaya akan mengalami perubahan secara evolusional atau revolusional.

Akan tetapi nilai-nilai tetap dari agama – yang kemudian menjelma dalam bentuk-bentuk seperti di atas – tidak akan mengalami perubahan dalam koridor ruang dan waktu[72]. Akan tetapi pengalaman mistik dan spiritual cenderung mengalami perubahan dan penuh misteri.[73]

Sebagian penulis keliru menempatkan agama sebagai lawan ekstrim dari iman, hal ini karena mereka membatasi agama pada akidah dan hukum fikih sementara iman hanya berhubungan dengan pengalaman mistik dan irfan[74]. Mereka ini lupa bahwa agama dan iman memiliki keterkaitan esensial satu sama lain, agama memberikan kualitas tertentu bagi iman, tingkatan iman terwujud dari kualitas pengamalan yang berbeda terhadap hukum-hukum agama. Derajat terendah iman adalah bergantung, berserah diri, dan beramal atas ajaran, hukum, dan akhlak agama. Derajat tertinggi keimanan adalah mencapai pengalaman irfan, mistik, dan spiritual serta menjadi monoteis sejati.[75]

Dengan demikian, adanya pemisahan antara agama dan iman, syariat dan hakikat, ketaatan orang awam dan ketaatan mukmin, dan penyembahan hamba kepada “Tuan” dan penyembahan pecinta kepada “Yang dicintai”, lahir dari analisa yang keliru terhadap tingkatan-tingkatan iman yang bersumber dari kualitas apresiasi yang beragam atas ajaran agama.[76]

  1. Perdebatan antara keimanan dan kebebasan

Perdebatan ini dibahas dalam teologi tradisional maupun teologi kontemporer. Ayat dua puluh sembilan surat al-kahfi yang berbunyi: “Maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir”, ayat ini menunjukkan secara jelas kebebasan manusia dalam keimanan. Atas dasar ini, Syi’ah Imamiah dan Mu’tazilah menganggap beriman sebagai refleksi perbuatan manusia, tetapi Asy`ari menganggap beriman sebagai murni kehendak Tuhan, sementara Maturidiah memandang berman sebagai murni kehendak Tuhan, namun kualitas iman bergantung pada penilaian manusia[77]. Sebagian peneliti teologi mempunyai persepsi bahwa keimanan religius yang dibarengi dengan hukum syari’at dan akhlak tidak sesuai dengan kebebasan manusia dan menganggap bahwa keimanan yang seiring dengan kebebasan hanyalah keimanan yang dicapai lewat pengalaman religius[78].

Apabila kita pahami hakikat iman itu sebagai perubahan wujud manusia yang bersumber dari penerimaan total kebenaran, tujuan kehidupan tak lain penghambaan kepada-Nya, pelaksanaan kewajiban-kewajiban, dan pengakuan secara lisan, maka kita akan mencapai keyakinan hati dan pengetahuan yang benar, dan jika kita menafsirkan iman sebagai kebergantungan mutlak manusia kepada eksistensi Tuhan, maka iman bukan hanya bertentangan dengan kebebasan, bahkan iman adalah kebebasan itu sendiri, karena kebebasan berarti lepas dari segala syarat-syarat dan batasan-batasan, dan “menceburkan” wujud kita dalam keberadaan mutlak.

Dengan memahami pengertian “iman” dan “kebebasan”, kita dapat menyimpulkan bahwa kebebasan bisa mengantarkan manusia kepada eksistensi mutlak (baca: Tuhan) dan membuat kehendak dan perbuatan manusia mengikuti kehendak agama (tasyri’i) dan kehendak alam (takwini). Kebebasan ini, senantiasa berbarengan dengan unsur-unsur kepercayaan, harapan, cinta, rasa aman, daya tarik, keyakinan puncak.

Jika dalam agama Islam ditekankan keimanan kepada para Nabi, terkhusus Nabi terakhir Muhammad saww, iman kepada wahyu, ajaran Nabi, makrifat-makrifat, dan syari’at, karena untuk mencapai kebebasan mutlak mustahil diraih dengan lewat akal dan pengalaman manusia. Disamping itu, pencapaian pengalaman spiritual dan kesempurnaan tauhid hanya bisa diraih dengan pengamalan dan apresiasi semua ajaran agama.

Mengingat bahwa di dalam ajaran agama juga diisyaratkan tentang politik dan pemerintahan, maka keimanan religius senantiasa bersama dengan politik dan pemerintahan agama, seorang politikus harus berupaya menyesuaikan langkah-langkah dan pemikiran politiknya dengan kewajiban-kewajiban  dan makrifat agama agar tidak keluar dari jalan Mutlak Ilahi.

Iman sebagai Produk Budaya Lisan

Sebagian penulis mempersepsi bahwa subtansi iman ialah hubungan, reaksi, keterikatan, dan ketertarikan seseorang kepada pembicara (baca: Nabi); hubungan ini sedemikian sehingga mempengaruhi alam pikiran manusia[79]. Penulis ini, menafsirkan karakteristik khusus iman lewat pendekatan pengalaman religius dan wejangan langsung kepada kaum mukmin (ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan langsung dengan mukmin) serta memandang akidah pasca iman dan pengamalan agama.

Penulis ini beranggapan bahwa iman bersumber dari wahyu dan wahyu dipandang sebagai fenomena sejarah, ia berkata, “Ayat-ayat al-Qur’an merupakan produk budaya lisan dan setelah Rasulullah wafat, budaya lisan ini berganti menjadi budaya tulisan dan al-Qur’an sekarang ini merupakan produk budaya tulisan. Penulis yang menafsirkan iman sebagai pengalaman religius berkata, “Orang-orang yang memiliki pengalaman religius dan para Nabi, sebisa mungkin melewati batasan-batasan hidup manusia seperti, sejarah, masyarakat, waktu, dan bahasa; oleh karena itu kita tidak bisa menganggap satu ajaran agama sebagai ajaran agama terakhir, ajaran dan makrifat agama ini harus senantiasa dikritisi secara filosofis, meskipun argumentasi-argumentasi filosofis secara langsung tak melahirkan iman, tapi iman serta pengalaman keimanan (sebagai perkara yang muncul di luar ikhtiar manusia) lahir dari tradisi-tradisi agama dan penerimaan ajaran suci Ilahi.

Penulis ini menentang analisa-analisa rasional para teolog tentang keimanan, tetapi menerima kritikan-kritikan filosofis atas keimanan.[80]

Kesalahan-kesalahan dari penulis ini, dapat di koreksi dari sisi metodologi, epistomologi, teologi:

Pertama, pengalaman mistik orang-orang beragama yang di sejajarkan dengan pengalaman Rasulullah dan wahyu Ilahi, dipandang sebagai sumber agama. Pandangan ini sangat mengherankan, karena agama dan keimanan setiap orang tidak bersumber dari Kitab Suci dan hadis Nabi melainkan bersumber dari pengalaman-pengalaman mistik setiap manusia; disamping itu betapa banyak orang-orang beriman tidak mencapai pengalaman mistik, irfan dan syuhud, sementara tidak ada keraguan bahwa mereka beragama dan memiliki keimanan religius.

Kedua, seorang penulis makalah yang bertopik “Parwoz dar Aberhoy-e Nadosytan”, menolak keabsahan dan hujjah kalam Ilahi dan al-Qur’an serta menerima bahwa agama dan sumber-sumbernya merupakan produk sejarah manusia. Ia menganggap al-Qur’an sebagai produk budaya tulisan manusia (sebagaimana kitab Injil kaum Nasrani) setelah wafatnya Rasulullah saww. Hal ini tidak benar, karena setelah wafatnya Rasulullah saww pernah berlangsung penyatuan mushaf al-Qur’an dan bukan penyusunan al-Qur’an, yakni  al-Qur`an ditulis oleh para penulis wahyu pada zaman hidupnya Rasulullah saww, akan tetapi karena ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu belum diberikan tanda baca, maka pada sebagian ayat-ayat al-Qur’an terjadi keragaman pembacaan dan pengucapan (qiraah), hal ini kemudian berujung pada perbedaan mushaf.  Saat itu pasca wafatnya Rasulullah saww hanya qiraah seorang sahabat yang bernama ‘Ashim yang di terima. Kemukjizatan dan kandungan tertinggi al-Qur’an merupakan bukti bahwa bukan produk budaya manusia dan berada jauh di atas sejarah.

Ketiga,  Firman Tuhan dalam berbagai ayat al-Qur’an mengajak seluruh manusia kepada Islam. Ayat-ayat ini juga bersifat umum dan tidak berhubungan dengan sejarah khusus manusia. Sang penulis ini memandang sama antara ajaran Islam dan ajaran Kristen serta menghukumi Islam dengan kriteria-kriteria agama Kristen.

Keempat, kesalahan lain dari penulis makalah tersebut adalah  bahwa ia mengartikan iman sejenis pengalaman religius dan merupakan perkara di luar ikhtiar manusia, padahal iman adalah sebuah hakikat yang dicapai oleh menusia, hakikat iman tidak bisa disamakan dengan pengalaman religius dan pengalaman irfani, meskipun pada tingkatan tertentu dari iman memiliki kesamaan dengan pengalaman irfani.

Kelima, penggabungan antara iman dan skeptisisme, merupakan penyimpangan lain dari makalah ini.  Iman tidak terwujud tanpa keyakinan dan iman mustahil diperoleh dengan skeptisisme. Maka dari itu, ketiadaan kepercayaan kepada ajaran-ajaran suci agama hanya akan melahirkan ketakberimanan, dan keraguan filosofis merupakan sumber peniadaan iman.

Iman Sebagai Kepercayaan dan Penyerahan Diri

Penulis lain menganggap keimanan religius adalah kepercayaan dan penyerahan diri seseorang yang diikuti dengan tawakal, dan memandang bahwa pada setiap iman disamping mengandung akidah juga terdapat tawakal, kepercayaan, kebaikan kecintaan, khusu’, dan ketaatan. Ia – berdasarkan  ayat 2 surat Anfal, ayat 15 dan 16 surat Sajdah – munjukkan bahwa iman bisa berkurang atau bertambah dan penggabungan antara iman dan ketidakyakinan bukan hanya merupakan hal yang mungkin terjadi bahkan ketidakyakinan merupakan faktor tumbuhnya iman. Ia juga meyakini bahwa semakin berkurang keyakinan, maka potensi iman semakin bertambah banyak. Ia menganggap pengalaman religius sebagai faktor lahirnya iman, dan kritikan terhadap pengalaman religius bisa menghilangkan penghalang-penghalang untuk sampai  kepada keimanan religius. Ia beranggapan bahwa pertanyaan dan kritikan itu memang akan mengguncang keimanan orang awam, tapi tidak akan pernah memusnahkan kecenderungan beragama[81].

Perspektif di atas juga berpengaruh terhadap krisis iman, berikut ini kritikan-kritikan atas gagasan tersebut:

Pertama, Penafsiran penulis makalah “Imon wa Ummid” sejalan dengan penganut Fideisme Kristen seperti Ludwig witgenstein dan Soren kierkegaard. Orang-orang fideisme berpandangan bahwa kepercayaan dan keimanan religius tidak berkaitan dengan akal-pikiran dan memandang akal berlawanan dengan iman. Atas dasar ini, mereka berupaya menyatukan keimanan dan skeptisisme.

Kedua, sebagaimana yang lalu, tentang ketidaksesuaian iman dan skeptisisme dan ketidakharmonisan iman dengan akal-pikiran, makrifat, manfaat dalam koridor akal manusia. Skeptisisme bisa menggoyang agama dan keimanan kalangan awam dan kalangan tertentu. Hal ini sangat mengherankan, karena penulis ini mengakui bahwa kritikan dan keraguan berperan menghilangkan keimanan kalangan awam dan juga kalangan tertentu. Memang benar bahwa kritikan dan pertanyaan yang dialamatkan pada ajaran agama merupakan hal yang wajar dan diharuskan, tetapi dialog-dialog yang mengupas segala kritikan terhadap agama semestinya hanya di antara para ilmuwan dan tokoh agama yang telah menguasai epistimologi dan filsafat, bukan di gelanggang terbuka yang juga melibatkan kalangan awam, dimana menurut penulis tersebut,  yang dapat menggoncang keimanan dan keberagamaan mereka.

Ketiga, pengalaman irfan para arif lahir dari keimanan religius; bukan iman yang menyebabkan pengalaman irfan. Apabila seorang arif tidak meyakini hakikat agama dan tidak bersuluk berdasarkan ajaran agama, maka mustahil ia mencapai darajat musyahadah dan mukasyafah irfan.

Kesesuaian Iman dengan Skeptisisme

Penulis makalah “Dawidan dar Pey Âwaz-e Hakikat” ingin menetapkan:

 Pertama, iman berlawanan dengan agama. Orang beragama menganggap alam sesuai dengan keyakinannya, sementara orang beriman berkata: saya harus mengenal alam secara bertahap dan saya mesti memahami tahap demi tahap realitas eksistensi yang terus berganti ini.

Kedua, realitas keberadaan ini terus berubah, oleh karena itu kita harus menerima perubahan dan pergantian keyakinan dan agama.  Penulis makalah ini menganggap tetap dalam satu keyakinan adalah sejenis penyembahan berhala, atas dasar ini, ia memandang bahwa  keimanan religius ialah senantiasa menyelami hakikat kebenaran dan bukan “mencicipi” dan “menikmati” hakikat kebenaran.

Ketiga, pengalaman religius merupakan sesuatu yang hadir dengan sendirinya dan tidak berkaitan sama sekali dengan perbuatan.

Keempat, penggabungan antara iman dan skeptisisme adalah mungkin terjadi, yakni iman berhubungan dengan anti dogmatisme, tidak menghakimi ajaran tertentu, argumentasi, dan skpetisisme.

Kelima, iman merupakan “proses mewujud” yang hanya terjadi dalam “kekosongan” makrifat.[82]

Semua gagasan di atas, berpijak pada relatipitas epistimologi. Disamping sanggahan-sanggahan atas dua makalah sebelumnya, juga terdapat kritikan-kritikan lain, yakni penulis makalah tersebut mengambil definisi iman dan agama dari buku “Hikmat bi Qarâr” (terjemahan dari) karya Allan Watc, dimana definisi ini adalah tidak sempurna dan tidak digunakan dikalangan para teolog dan filosof Islam maupun Kristen.

Jika ia menganggap bahwa realitas eksistensi ini senantiasa berubah dan seiring dengan itu terjadi perubahan dalam agama dan keyakinan, maka iapun harus menerima adanya perubahan dalam semua pandangan dan gagasan dalam makalah-makalahnya dan tak satupun dari pemikiran-pemikirannya yang tetap termasuk pemikirannya tentang perubahan itu sendiri. Jika kita terima pandangannya bahwa “tetap dalam keyakinan sejenis penyembahan berhala”, maka tidak seharusnya ia memisahkan antara orang-orang beriman dengan para penyembah berhala, karena tak satupun manusia tanpa keyakinan, pasti ada pemikiran manusia, walaupun sangat sedikit, yang sesuai dengan realitas. Dengan demikian, penulis itu harus menganggap bahwa yang hanya beriman adalah orang-orang penganut relativisme.

Gagasan-gagasan keliru dari penulis makalah tersebut tentang keharmonisan iman dengan skeptisisme, kekosongan makrifat iman, dan kesejajaran iman dengan pengalaman religius tidak lain diadopsi dari kesalahan berpikir para filosof Barat. []

——————————————————————————–

[1] . Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jld.66, bab 30.

[2] . Dâiratul Ma’ârif Tasyayyu’, jilid. 2, bab iman.

[3] . Syaikh Mufid, Majmu’e-ye Âtsâr, jld. 5, hal. 119

[4] . Sadiduddin Mahmud Hamshi Razi, al-Muntaqiz min at-Taqlid, jld. 2, 163.

[5] . Allamah Hilli, Kasyful Murâd fi syarh Tajrid al-I’tiqâd, hal. 93.

[6] . Abdul Qahir Baghdadi, al-Gharq baina al-Gharq, hal. 42.

[7] . Abdul Qahir Baghdadi, Ushul ad-Din, hal. 250-280.

[8] . Abdur Rahman Badawi, Madzâhibul Islâmiyin, hal. 126.

[9] . Abdul Karim Syahrestani, al-Milâl wa al-Nihâl, jilid. 1, hal. 125.

[10] . Sa’aduddin Taftazani, al-Milal wa al-Nihal, jilid 5, hal. 178.

[11] . Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazilah, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal. 689-701.

[12] . Qs. an-Naml (27): 14

[13] . Qs. al-Baqarah (2): 89

[14] . Qs. al-Hujurat (49): 14

[15] . Dayiratul Ma’arif Tasyayyu’, jld. 2, bab iman.

[16] . Majalah Kiyan, Iman dar Sunnat Islami, no. 2, hal 19.

[17] . Mulla Sadra, al-Asfar, jld. 2, hal. 22.

[18] . Tajuddin Khorazmi, Syarh Fushûsh al-Hikam, bagian Nabi Luth, hal. 461.

[19] . Abdurrahman Jami, Naqd an-Nushush, hal. 77.

[20] . Ibid, hal. 134.

[21] . Ibid, hal. 175.

[22] . Sa’iduddin Farghani, Masyâriq ad-Darâri, hal. 278.

[23] . Ibid, hal. 641.

[24] . Fana adalah suatu keadaan yang dicapai pesuluk dimana ia mendapatkan dirinya berbuat tidak berdasarkan kehendak dan egonya sendiri, tetapi sesuai dengan kehendak Ilahi. Pada maqam ini, pesuluk memandang yang ada itu hanyalah wujud Tuhan.

[25] . Kekal setelah fana adalah kondisi tertinggi yang dapat dicapai para pesuluk, pesuluk di sini disamping memandang keberadaan Tuhan juga memandang keberadaan makhluk-Nya.

[26] . Ilahi Ardebili, Syarh Gulzan Raz, hal. 377.

[27] . Qs. al-Baqarah (2): 8, al-Ankabut (29): 3 dan 2

[28] . Qs. Isra’ (17): 9, al-Baqarah (2): 25 dan 62, an-Nisa’ (4): 126, Yunus (10): 9, Qashash (28):67, Taghabun (64): 9, Thaha (20) : 82, Maryam (19): 60.

[29] . Qs. Mujadalah (58): 22

[30] . Qs. asy-Syuraa (42): 52

[31] . Qs. al-Maidah (5): 83

[32] . Qs. al-Baqarah (2): 41, 86, 186

[33] . Qs. al-Baqarah (2): 256

[34] . Qs. az-Zumar (39): 55 dan 56

[35] . Qs. Rum (30): 29

[36] . Qs. at-Taubah (9): 45

[37] . Qs. Yunus (10): 36

[38] . Zainuddin ‘Amili, Haqaiqul Iman, hal. 56, 59.

[39] . Ibid, hal. 77-78.

[40] . Qs. an-Nisa’ (4): 124

[41] . Qs. ash-Shaf (61): 10-11

[42] . Qs. at-Taubah (9): 10

[43] . Qs. Yunus (10): 62-63

[44] . Qs. A’raf (7): 96

[45] . Qs. al-Kahfi (18): 11

[46] . Qs. al-Anfal (8): 29

[47] . Qs. al-Baqarah (2): 165

[48] . Qs. al-Anfal (8):2

[49] . Qs. Taghabun (64): 11

[50] . Qs. al-Jin (72): 13

[51] . Qs. Ibrahim (14):  27

[52] . Qs. al-Fath (48): 4

[53] . Qs. Ali Imran (3): 173

[54] . Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Ushul Kafi, bab iman dan kufur.

[55] . Dayiratul Ma’arif Tasyayyu’, bab Iman

[56] . Sayyid Abdullah Syubbar, Haqqul Yaqin, hal. 546.

[57] . Ibid, hal. 559.

[58] . Muhsin Jawadi, Nazariyah Iman dar ‘Arsheh Kalam wa Qur’an, hal. 25.

[59] . Ibid, hal. 28.

[60] . Ibid, hal. 30.

[61] . Jhon Hik, Falsafe-ye Din, penerjemah: Behrom Rod, hal. 125.

[62] . Paul Tilisy, Puyoy-e Iman, penerjemah: Husain Nurwarzi, hal. 16.

[63] . Ibid, hal. 32.

[64] . Astiyan David, Majalle-ye Kiyan: ‘Alaih Iman, no. 52, hal. 45.

[65] . Qs. al-Baqarah (2): 25

[66] . Nahjul Balâghah, Khutbah 56.

[67] . Nahjul Balâghah, Kalamat-e Qishar 146.

[68] . Ibaid, 31.

[69] . Nahjul Balâghah h, Khutbah 156.

[70] . Ibid, 176.

[71] . Ibid, Kalimat-e Qishar 82.

[72] . Khusro Panoh, Kalam Jadid, Guftor Nuhum.

[73] . Ibid, Guftor Dawozdah.

[74] . Majid Muhammad, Din alaih Iman, hal. 244-247.

[75] . Safiyuddin Muhammad Thoramy, Anisul ‘Arifin, hal. 567.

[76] . Allamah Thaba-thabai, al-Mizan, jld. 1, hal 72.

[77] . Majalle-ye Kiyan, Iman dar Sunnat Islamy, no. 51, hal. 19.

[78] . Allamah Thaba-thabai, al-Mizan, jld. 1, hal. 72.

[79] . Majalle-ye Kiyan, no. 52, hal 48.

[80] . Ibid.

[81] . Majalle-ye Kiyan, Iman wa Ummid, no. 52. hal. 48-53.

[82] . Majalle-ye Kiyan, Dawidan da Pey Owoz Hakikat, no. 52, hal. 48-53.

Forum Tanya-Jawab

Isu-isu Teologi Kontemporer

Apakah Daur dan Tasalul itu? Dan Mengapa Keduanya Mustahil?

——————————————————————————–

          Para krue redaksi Albalaghalmobeen.net yang budiman, para filosof Ilahi dalam mengitsbat dan membuktikan wujud Pencipta (Shane’) mengajukan segudang argumentasi dan burhan yang salah satu dari burhan tersebut adalah “tercegahnya atau mustahilnya daur (circular reasoning) dan tasalsul (infinite circle)” (imtina’-e daur wa tasalsul).  Pertanyaan yang mengemuka di balik burhan ini adalah apakah maksud dari daur dan tasalsul dan mengapa keduanya batil (invalid) dan mustahil?

Jawab:

          Daur dan tasalsul, keduanya merupakan terminologi  yang sering digunakan dalam bidang Kalam dan Filsafat. Di sini kami akan menjelaskannya dengan ringkas:

  1. Apakah daur itu? Dan mengapa mustahil adanya?

Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara. Daur terbagi menjadi dua bagian: 1. Daur sharih. 2. Daur mudhmar. Sesuatu yang hanya memiliki satu perantara menjadi sebab bagi dirinya sendiri disebut sebagai daur langsung (daur sharih), sementara yang membutuhkan banyak perantara disebut sebagai daur tak langsung atau tersembunyi (daur mudhmar).

Dengan demikian asumsi bahwa A adalah sebab bagi B dan B sebagai sebab bagi A merupakan contoh daur langsung. Sedangkan contoh dari daur tak langsung sebagai berikut, A sebab bagi B, B sebab bagi C, C sebab bagi D dan D sebab bagi A. Kemustahilan daur, dalam bentuk apapun merupakan hal yang jelas dan nyata.

Atau dengan kata lain, daur adalah masing-masing dari kedua fenomena kita anggap sebagai sebab bagi yang lainnya; misalnya, tatkala menilik sebuah fenomena yang bernama “A”, keberadaannya dalam sebuah lingkaran dimana sebelumnya fenomena “B” telah terwujud. Dan fenomena “A” merupakan maujud yang diwujudkannya dan demikian juga sebaliknya; artinya ketika kita menilik fenomena yang bernama “B” dan kita melihat keberadaannya berada dalam lingkaran dimana sebelumnya “A” telah teruwujud sehingga ia dapat menerima keberadaan darinya.

Hipotesa seperti ini adalah batil secara akal, lantaran keberadaan dan eksistensi keduanya, bergantung kepada keduanya dan lantaran tidak satu pun syarat dari keduanya yang tersedia, maka kesimpulan yang dapat diambil dari persyaratan semacam ini adalah keduanya masing-masing tidak terwujud.

Anggaplah, dua orang ingin mengangkat sebuah beban dan masing-masing, mengangkat sudut beban tersebut dan membawanya, mensyaratkan orang lain sebelum dirinya telah mengangkat dan membawa beban itu, dalam keadaan ini sekali-kali beban tersebut tidak pernah akan terangkat. Lantaran tidak terdapat syarat yang menentukan dari kedua orang tersebut untuk mengangkat beban itu.

Hakikat daur tidak lain adalah masing-masing keberadaan dari kedua peristiwa bergantung kepada wujud sebelumnya. Dan karena keduanya tidak memiliki wujud sebelumnya, tentu saja asumsi dan hipotesa semacam ini tidak pernah akan terwujud.

  1. Apakah tasalsul itu? Dan mengapa ia batil?

Pengertian tasalsul dalam hal ini adalah satu rangkaian yang tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti pada sebab pertama, dengan ungkapan yang sederhana, tasalsul ialah wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B) sebagai akibat dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D) dan seterusnya dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak berakhir. Berdasarkan teori kemustahilan tasalsul, bentuk rangkaian seperti itu adalah batil. Sebagian filosof beranggapan bahwa kemustahilan tasalsul merupakan hal yang jelas, gamblang dan badihi. Dan sebagian filosof yang lain membangun argumentasi rasional untuk menggugurkan tasalsul tersebut.

Dengan kata lain, tasalsul adalah rangkaian sebab dan akibat yang tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu titik dimana yang ada pada titik tersebut hanyalah sebab saja, bukan akibat. Asumsi semacam ini seperti yang telah kami jelaskan pada daur juga mustahil adanya (tercegah atau mumtani’).

Karena dalam asumsi tasalsul, peristiwa akhir merupakan akibat (ma’lul) darinya dan akibat tersebut juga merupakan akibat dari peristiwa atau fenomena sebelumnya dan demikian seterusnya.

Oleh karena itu, peristiwa pertama yang kita hadapi bergantung dan bersyarat kepada sebuah peristiwa kedua yang telah ada sebelum akibat tersebut. Dan demikian juga peristiwa atau fenomena kedua bersyarat kepada adanya peristiwa ketiga sebelumnya; demikian seterusnya, semakin kita melaju sekali-kali kita tidak pernah akan sampai kepada sebuah peristiwa dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung kepada persyaratan sebelumnya.

Akan tetapi keadaan ini berlanjut hingga mencapai titik tanpa batas, dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya berhadapan dengan satu peristiwa– secara hipotikal – yang tidak terwujud, melainkan tidak satu pun dari bagian rangkaian kumpulan keberadaan ini dapat kita saksikan. Karena tatkala kita teliti masing-masing dari peristiwa, sesuai dengan bahasa keren hari ini: Aku memiliki wujud dan keberadaan sepanjang maujud yang ada sebelumku juga memiliki wujud dan keberadaan.

Kita bertanya kepada maujud sebelumnya, ia juga berkata: “Aku menerima keberadaan dan wujud sepanjang maujud sebelumku juga memliki wujud dan keberadaan dan lantaran tidak satu pun dari peristiwa yang tidak bersyarat, di tengah-tengah rangkaian dan silsilah ini, kita tidak akan sampai kepada keberadaan dimana terwujudnya peristiwa tersebut bersyarat kepada keadaan tanpa syarat. Dan tentu saja silsilah seperti ini sekali-kali tidak akan memiliki warna keberadaan dan wujud.

Kini apabila terdapat wujud di tengah-tengah peristiwa tersebut yang berkata bahwa keberadaanku tidak bergantung kepada  maujud sebelumku, dalam keadaan seperti ini, ia akan menjadi keberadaan dan wujud mutlak dan tidak perlu kepada sebab dan dalam istilahnya ia akan menjadi wajib al-wujud. Kesimpulannya, silsilah akan terputus dan tidak akan ada tasalsul.

Dalam masalah “mengangkat beban”, apabila orang pertama, ia mensyaratkan kepada orang kedua, mitra kerjanya, dan orang kedua mensyaratkan kepada orang ketiga, mitra kerjanya dan kemitraan bersyarat ini akan berlanjut hingga tanpa batas. Dan di antara mereka tidak ditemukan mitra kerja yang tidak memberikan persyaratan, maka kemitraan ini tidak akan pernah terlaksana, karena tidak ada persyaratan kemitraan yang diikat di antara mereka.

Akan tetapi apabila tidak sesuai dengan harapan, kemitraan ini terlaksana, tentu saja kita akan temukan, dalam lingkaran ini, seorang ksatria yang tidak mensyaratkan bantuannya dan mengangkat beban tersebut dan yang lainnya dengan memperhatikan terwujudnya persyaratan, ia memulai kemitraannya dan mengangkat beban itu; dengan kata lain, apabila silsilah atau rangkaian sebab dan akibat terjadi, maka kita akan memahami bahwa silsilah ini sampai kepada sebuah titik dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung dan bersyarat kepada “jika” dan wujud itu adalah wajib al-wujud dan wujud mutlak dan apabila silsilah itu tidak berujung kepada titik seperti ini dan silsilah ini seluruhnya bersyarat, maka ia tidak akan sampai kepada satu pun dari lingkaran wujud dan keberadaan. Inilah makna dan arti dari daur dan tasalsul dan atas alasan inilah mengapa keduanya mustahil.

Akan tetapi penjelasan ilmiah ini dan pada saat yang sama adalah sederhana, dapat dijelaskan kepada orang-orang  ihwal realitas dari kedua pahaman ini dan sebab kemustahilan keduanya, sementara pembahasan tentang “daur dan tasalsul” merupakan perkara yang pelik dan rumit filsafat, melebihi dari apa yang kami jelaskan di sini.

Marhum Shadra al-Mutallihin dalam kitabnya al-Asfar dan Muhaqqiq Sabzawari dalam Syarh Manzhumah menyuguhkan beberapa argumen dan burhan atas kemustahilan tasalsul dimana ghalibnya argumen-argumen tersebut tertolak dalam pandangan kami. Di antara argumen yang ada, satu-satunya penjelasan yang paling jelas dan terang adalah penjelasan yang disampaikan oleh Allamah Thabathaba’i:

“Alam kontingen (imkan) mirip dengan makna-makna huruf di antara makna-makna tersebut pasti terdapat makna nomina (isim) yang bersandar kepadanya dan memperlihatkan dirinya dan silsilah illat (sebab) dan ma’lul (akibat) dalam bentuk tak-terbatas tanpa ujung bermuara kepada Wâjib sama dengan serangkaian makna-makna huruf tanpa batas tak akan terwujud tanpa adanya makna-makna nomina (isim).[]

 

BERSAMA MUFADDHAL

MEMBINCANG KEAJAIBAN SEMESTA [I

]

 

TENTANG MUFADDHAL 

 

Biografi Ringkas Mufaddhal bin Umar

        Nama: Mufaddhal,

Nama ayah: Umar

Julukan: Abu Muhammad atau Abu ‘Abdillah,[1]

Tempat lahir: Akhir kurun pertama atau permulaan kurun kedua Hijriyah di kota Kufah.[2]

        Mufaddhal adalah salah seorang sahabat yang terhormat dan memiliki kedudukan yang mulia di sisi Imam Shadiq As dan Imam Kazhim As[3], ia menduduki kedudukan yang agung dan tinggi serta merupakan salah satu sahabat khusus Imam alaihimussalam.[4]

        Pada masa Imam Shadiq As dan Imam Kazhim As, Mufaddhal mendapat kepercayaan untuk menjadi wakil beliau-beliau di Kufah, demikian juga dia mendapatkan tugas dari Imam Shadiq As untuk memegang harta beliau dan juga mempunyai izin untuk mengambilnya dari tangan rakyat, ia teguh dan istiqomah dalam mengamalkan amar makruf dan nahi munkar, senantiasa mendamaikan dan memperbaiki perbedaan yang terjadi di antara masyarakat.[5] Dalam kitab Ushul Kâfi terdapat sebuah hikayat nyata yang sangat menarik untuk disampaikan, akan tetapi karena keadaan tertentu sehingga membuat kami tidak mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya.[6]

Kedudukan Tinggi Mufaddhal dalam Riwayat

        Riwayat merupakan argumentasi paling mendasar yang dapat digunakan untuk membuktikan keotentikan[7] bagi keagungan sosok Mufaddhal. Dan terdapat begitu banyak riwayat yang langsung berasal dari para Imam alaihimussalam yang mengetengahkan dan menyebutkan tentang ketinggian kedudukan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sosok agung Islam ini. Karena keterbatasan ruang dan waktu, kami hanya akan menyinggung sebagian dari riwayat-riwayat tersebut, antara lain:

  1. Syaikh Mufid dengan sanad sahih dari Imam Shadiq As, menukilkan, “Wahai Mufaddhal, aku bersumpah kepada Allah, aku menyukaimu dan menyukai sahabat-sahabatmu. Wahai Mufaddhal, apabila seluruh sahabatku mengetahui apa yang engkau ketahui, maka tidak akan pernah terjadi sedikit pun perbedaan di antara dua orang Syiah.”[8]
  2. Muhammad bin Sinan[9] mengatakan, “Ketika aku tengah menghadap Imam Khadim As, aku melihat putra beliau ‘Ali bin Musa as berada di dekatnya. Imam Khadim As bersabda kepadaku, “Wahai Muhammad!” Aku menjawab, “Silahkan wahai putra Rasul”, beliau melanjutkan, “Wahai Muhammad! Mufaddhal adalah sahabat yang dekat, sedarah dan memberiku ketenangan, demikian juga engkau adalah sedarah dan memberi ketenangan bagi mereka berdua (Imam Ridha As dan Imam Jawad As).”[10]
  3. Kulainy Ra, dalam kitabnya yang sangat berharganya al-Kafi, dengan beberapa perantara menukilkan dari Ibnu Sinan dan Mufaddhal yang berkata, “Imam Shadiq As bersabda, Jika kalian menemukan pertengkaran di antara dua orang Syiah, maka damaikanlah mereka dengan hartaku.”[11]
  4. Yunus bin Ya’kub berkata, “Imam Shadiq As memerintahku supaya aku pergi ke tempat Mufaddhal dan menyampaikan ungkapan bela sungkawa atas wafatnya Ismail As Pada saat itu Imam As bersabda, “Sampaikan salamku kepada Mufdhadhal dan katakan bahwa kami telah tertimpa musibah dengan wafatnya Ismail As dan kami bersabar, dan engkau sebagaimana kami, bersabarlah dalam musibah ini. Kami menginginkan sesuatu akan tetapi Tuhan menghendaki yang lain, dan kami telah pasrah dengan perintah Tuhan Yang Kuasa.”[12]

Ayatullah Khui Ra menanggapi  hadis ini dalam kitabnya Mu’jam Rijal al-Hadis dengan mengatakan, “Riwayat ini menunjukkan kecintaan mendalam Imam Shadiq As kepada Mufaddhal bin Umar, dan riwayat ini sahih.”[13]

  1. Faidh bin Mukhtar[14] mengatakan, “Aku mengatakan kepada Imam Shadiq As, aku pertaruhkan nyawaku padamu wahai Putra Rasul, ketika berada di tengah-tengah para cendekiawan Kufah, aku senantiasa merasa ragu dan bimbang karena melihat perbedaan-perbedaan penafsiran tentang akidah dan ketuhanan di antara mereka, akan tetapi ketika berada di dekat Mufaddhal bin Umar, dia senantiasa akan memberi penjelasan kepadaku sehingga aku menjadi tenang karenanya. Imam Shadiq As bersabda, “Benar wahai Faidh. Demikianlah hakikat yang ada,”[15]
  2. Hisyam bin Ahmad berkata, “Pada suatu hari yang panas menyengat aku mendekati Imam Shadiq as yang tengah berada di kebunnya dengan keringat bercucuran di dada mulianya, aku bertanya tentang Mufaddhal bin Umar kepada beliau, dan bersabda, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, Mufaddhal bin Umar adalah laki-laki yang sangat baik dan mulia”, Imam Shadiq As mengulang-ulang perkataan ini, hingga aku perkirakan mencapai hitungan tigapuluh sekian kali.”[16]

Sebenarnya, satu hadis-pun telah cukup untuk menunjukkan keagungan dan kedudukan yang tinggi dan mulia dari sosok Islam yang jarang ditemukan ini.

Kedudukan Mufaddhal dalam Pandangan para Ulama Islam

        Para ulama ilmu rijal, biografi, fuqaha-fuqaha besar dan para muhadis-muhadis ternama, banyak yang mengisyaratkan bahwa Mufaddhal telah mencapai kedudukan yang sangat agung dan mulia. Dan di sini kami hanya akan mengutarakan sebagian kecil dari pandangan-pandangan mereka tersebut, antara lain:

  1. Syaikh Saduq Ra

Ia menyertakan hadis pada beberapa tempat dalam kitab-kitab magnum opus-nya dimana Mufaddhal berada dalam rangkaian hadis-hadis tersebut. Karena tujuan Syaikh Shaduq terutama dalam kitab Kitab man la yahdhuru al-Faqih adalah hanya membahas hadis-hadis otentik, pada sisi lain Syaikh Shaduq berkali-kali menggunakan hadis-hadis Mufaddhal, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Syaikh Saduq, Mufaddhal mempunyai kedudukan dan keotentikan yang tinggi.[17]

  1. Muhammad bin Ya’kub Kulaini

Kulaini, dalam kitab terkenalnya al-Kafi, berkali-kali  pula mencantumkan hadist-hadis dimana Mufaddhal sebagai perawinya, terutama riwayat Yunus bin Ya’kub[18], hal ini menunjukkan kejelasan argumen atas ketinggian mAgham dan kedudukan agung Mufaddhal.

  1. Syaikh Mufid Ra tentang Mufaddhal mengatakan, “Mufaddhal merupakan salah satu sahabat yang menukilkan teks keimamahan Imam Musa Kazhim As dari ayahnya Imam Shadiq As. Ia merupakan salah satu sahabat khusus dan memiliki ketinggian mAgham di sisi Imam Shadiq As dan merupakan salah seorang fukaha shaleh yang sangat dipercaya.”[19]
  2. Syaikh Thusi Ra juga menyepakati bahwa Mufaddhal bin Umar Ja’fy merupakan salah satu sahabat Imam Shadiq As dan Imam Kazhim As.[20]

Syaikh Thusi dalam kitab al-Ghaibah-nya menulis, “Dia merupakan salah satu sahabat hakiki para Imam alaihimussalam yang sangat dipercaya dan senantiasa menjadi penyampai pesan-pesan suci mereka.”[21]

Salah satu ulama besar Islam ketika menjelaskan salah satu hadis Syaikh Thusi Ra yang dinukilkan oleh Mufaddhal, mengatakan, “Perkataan Syaikh Thusi ini merupakan argumentasi yang jelas dan pasti bahwa Syaikh mempunyai kepercayaan pada Mufaddhal dan periwayatan hadis-nya tidak lemah di sisinya”[22]

  1. Ibnu Syahr Aasyub Ra mengangapnya sebagai salah satu sahabat khusus Imam Shadiq As.[23]
  2. Sayyid bin Thawus Ra, tentang kitab Mufaddhal mengatakan, “Salah satu dari adab-adab musafir (orang yang melakukan perjalanan-pent) adalah membawa kitab Tauhid Mufaddhal yang dinukilkannya dari Imam Shadiq As dan memuat tentang pengenalan hikmah, makrifat dan rahasia-rahasia terpendam dalam penciptaan alam ini.”[24]

Kepada anaknya, Sayyid juga mengatakan, “Berfikir dan lakukan kontemplasi tentang Nahjul Balaghah dengan rahasia-rahasia yang ada di dalamnya dan juga kitab Tauhid Mufaddhal bin Umar yang berisi tentang rahasia dan hikmah penciptaan Tuhan yang didiktekan oleh Imam Shadiq As.”[25]

  1. Allamah Majlisi ra dikarenakan kesepakatannya akan kemuliaan dua hadis[26], maka Allamah mengutarakan keduanya secara komplit pada jilid ketiga dari kitab magnum opus-nya Biharul Anwar, yang dilengkapi dengan penjelasan dan penafsiran pada beberapa tempat.

Pada awal pencantuman kedua hadis tersebut Allamah berkata, “Jika Tauhid Mufaddhal dan risalah Hilaliyah yang telah diriwayatkan dari Imam Shadiq as dianggap sebagai hadis-hadis yang mursal[27], maka hal ini tidak bermasalah, karena ketersambungan kedua hadis ini kepada Mufaddhal telah masyhur di kalangan ulama yang dipertegas pula oleh Sayyid bin Tawuus dan selainnya. Demikian juga, apabila menganggap Mufaddhal bin Umar dan Muhammad bin Sinan sebagai perawi yang lemah, maka hal inipun tidak bermasalah, karena kita tidak menerima kelemahan tersebut, karena dalam banyak riwayat telah dibuktikan tentang ketinggian mAgham dan kedudukan keduanya. Disamping itu adanya dua teks pemberitaan tersebut merupakan saksi atas kebenaran berita tersebut dan juga teks-teks jenis ini tidak membutuhkan kebenaran berita.”[28]

  1. Allamah Sayyid Sadruddin Amili ra[29] mengatakan, “Seseorang yang memperhatikan hadis masyhur Mufaddhal dari Imam Shadiq as dengan cermat akan menemukan bahwa Imam as tidak akan mengutarakan perkataan yang jelas, penuh makna dan kata-kata yang asing[30] ini selain kepada laki-laki yang agung, memiliki kedudukan mulia, cendekia, cerdas dan layak mengemban rahasia yang detil dan menakjubkan seperti ini.”[31]
  2. Ahli hadis agung Islam, Haji Syaikh ‘Abas Qummy ra, meskipun dalam kitab terkenal-nya Safinatul Bihar, Syaikh mencantumkan beberapa pendapat yang berbeda namun sepertinya dia tidak mengutarakan pendapatnya sendiri, akan tetapi dalam kitab Muntah Al-Âmal ketika membicarakan tentang sahabat-sahabat Imam Musa Kazhim As, Syaikh Qummy membahas tentang Mufaddhal secara panjang lebar dan ketika memuji lelaki agung ini, mengatakan, “Dari kitab Syaikh bisa diketahui bahwa ia adalah bagian dari pengikut setia para Imam alaihimussalam, orang yang paling dekat dan dipercaya oleh beliau, kitab ini juga menunjukkan atas keagungan dan kepercayaannya, ia adalah wakil Imam Shadiq as dan Imam Kazhim as, dan Kaf’ami[32] menganggapnya sebagai pelindung setia para Imam alaihimussalam.[33]

Kemudian Syaikh Qummy ra menyiratkan beberapa hadis[34] yang berisi tentang keutamaan-keutamaan Mufaddhal, dan pada penutup kitab, beliau juga mengetengahkan tentang hadis-hadis yang menolak Mufaddhal juga tentang kelemahan Mufaddhal dalam pandangan beberapa ulama, yang insyaallah akan kami utarakan pada akhir bagian.

  1. Syaikh Agha Buzurg Tehrani, dalam kitabnya menulis tentang keutamaan Mufaddhal sebagai berikut, “Kitab ini berasal dari Abu Abdillah atau Abu Muhammad, Mufaddhal bin Umar Ja’fi Kufi. Najasi dalam kitab Rijal-nya menamakan kitab Tauhid ini dengan kitab Fakkir (Berfikirlah) dan salah satu ulama menamakannya Kanzul Haqâiq wal Ma’ârif (gudang hakikat dan makrifat-makrifat). Sayyed bin Thawuus dalam kitabnya Aman al-Ikhthâr dan Kashf al-Muhajjah memerintahkan untuk membawa kitab ini dan mempelajarinya … demikian juga, dikarenakan kemuliaan dan ketinggian dua kitab ini[35], almarhum Majlisi menulis keduanya dalam Bihârul Anwâr.[36]”[37]

Pemilik kitab Mustadrak termasuk salah satu ulama yang mempertahankan kedudukan tinggi Mufaddhal dan menjawab sebagian keraguan dalam riwayat.[38]

  1. Ayatullah Khui Ra, mufassir, faqih dan salah satu tokoh rijal yang ternama, tentang sosok Mufaddhal mengatakan, “Untuk membuktikan ketinggian dan keagungan kedudukan Mufaddhal cukup dengan mengatakan bahwa Imam Shadiq As telah memberikan perhatian semacam ini dan mendiktekan kitab terkenal Tauhid Mufaddhal[39] kepadanya. Kitab ini adalah apa yang dinamakan oleh Najashi sebagai kitab Fakkir (Berfikirlah). Hal ini dengan sendirinya merupakan argumentasi yang jelas bahwa Mufaddhhal merupakan salah satu sahabat yang mendapatkan perhatian khusus dari Imam Shadiq As. Selain hal ini, Ibnu Quluwiyah dan Syaikh Mufid Ra menegaskan pula tentang sosoknya yang sangat dipercaya, dan Syaikh Mufid menganggapnya sebagai salah satu dari penulis yang terpuji.”[40]

Jawaban untuk Sebuah Keraguan

        Setelah menyajikan pandangan-pandangan di atas maka harus kami jelaskan bahwa apabila benar bahwa Mufaddhal adalah salah satu dari sahabat, penjaga, pengikut, pembawa dan penyimpan rahasia para Imam alaihimussalam, dan secara ringkas ia mempunyai kedudukan dan tingkatan yang khusus, mulia dan, tinggi, lantas kenapa masih juga ada riwayat yang menolaknya[41], dan sebagian lagi bahkan menganggapnya sebagai orang yang lemah iman, fasik dan …?

        Jawaban benar dan pasti atas pertanyaan tersebut dapat didapatkan ketika kita mengetahui situasi dan kondisi yang ada pada masa Imam Shadiq as dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh penguasa zalim Abbasiah.

        Dikarenakan tekanan-tekanan keras yang dilakukan oleh pihak kerajaan Bani Abas kepada Imam as dan sahabat-sahabatnya-lah sehingga taqiyyah[42] merupakan salah satu perbuatan yang sangat umum dilakukan oleh semua sahabat Imam pada masa itu. Kadangkala Imam As terpaksa harus menuduh sahabat terdekatnya untuk menyelamatkannya dari kematian dan inilah yang menjadi kunci rahasia hingga muncul hadis-hadis yang mencela sebagian sahabat, sementara keadilan dan kepercayaan kepada mereka tidak diragukan lagi. Mufaddhal-pun termasuk dalam kelompok sahabat ini dimana hadis-hadis yang menolaknya harus dianggap sebagai sebuah taqiyyah.

        Kepada ‘Abdullah bin Zurarah bin A’yan, Imam Shadiq As bersabda, “Sampaikan salamku kepada ayahmu dan katakan, apabila aku mengatakan sesuatu yang bertentangan denganmu ketahuilah bahwa hal itu aku lakukan untuk melindungimu. Rakyat dan para musuh senantiasa berusaha untuk mengganggu orang-orang yang dekat dan memiliki kedudukan di sisi kami. Mereka akan menyiksa dan membunuh sahabat-sahabat kami ini karena kecintaan dan kedekatan kami kepada mereka. Sebaliknya mereka akan memuji orang-orang yang kami cela dan kami ejek. Katakan kepada ayahmu, apabila secara lahiriah aku mencela dan menolaknya, hal ini karena engkau telah mengenal wilayah dan keimamahan kami dan semua mengetahui bahwa engkau senantiasa mengikuti kami, oleh karena itulah sehingga di mata rakyat engkau tercela dan tidak diterima, maka aku mencela dan menolakmu secara lahiriah karena aku ingin engkau dicintai rakyat, dengan demikian hal ini tidak akan membahayakan agamamu dan mereka tidak lagi berbuat kejahatan-kejahatan atasmu.”[43]

        Tentang hal ini Syaikh Abbas Qumy Ra mengatakan, “Akan tetapi riwayat yang memfitnah Mufaddhal tidak bisa dibandingkan dengan berita-berita yang memujinya. Syaikh kita, pada akhir kitab Mustadrak meluaskan pembahasannya dalam menjelaskan tentang keadaan Mufaddhal dan menjawab riwayat-riwayat yang mencelanya dan seseorang yang merujuk pada kitab Tauhid Mufaddhal yang disabdakan oleh Imam Shadiq As kepadanya, pasti akan mengetahui bahwa Mufaddhal adalah sahabat yang mempunyai kedudukan tinggi dan agung di sisi Imam dan mampu mengemban ilmu dan makrifat beliau.”[44]

        Setelah melakukan studi-analisa pada hadis-hadis yang mencela dan memfitnah Mufaddhal serta mengevaluasi perkataan-perkataan para ulama rijal, pengarang Mu’jam al-Rijal, pada akhir bahasan menyimpulkan demikian (penukilan isi), “Begitu banyak riwayat yang menyebutkan tentang ketinggian dan keagungan mAgham Mufaddhal dan ilmunya yang mendetail dalam bentuk hadis-hadis tersebut biasanya berasal dari Imam Maksum As. Meskipun terdapat pula beberapa hadis yang mencela dan menolaknya, akan tetapi harus dikatakan bahwa di antara hadis-hadis tersebut hanya terdapat 3 hadis yang mempunyai sanad sempurna dan hadis-hadis yang sedikit ini tidak bisa dibandingkan dengan hadis-hadis otentik yang ada. Demikian juga, hukum yang harus kita keluarkan untuk hadis-hadis ini harus sebagaimana hukum pada hadis-hadis yang tertolak (Zurarah bin A’yan) sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya[45] dan kedudukan sebenarnya tentang hadis-hadis ini kita serahkan saja pada ahlinya.”[46]

Kitab Tauhid Mufaddhal

        Setelah setetes air dari samudera keutamaan Mufaddhal selesai kita bahas, kini kami akan mengetengahkan point-point penting yang terdapat dalam kitabnya.

        Imam Shadiq as mendiktekan hadis panjang ini kepada Mufaddhal dalam 4 hari dan 4 kali pertemuan, dimana tema untuk setiap kali pertemuan dapat diringkas sebagai berikut:

Pertemuan Pertama, tentang keajaiban-keajaiban penciptaan manusia.

Pertemuan kedua, tentang keajaiban-keajaiban penciptaan binatang.

Pertemuan ketiga, tentang keajaiban-keajaiban penciptaan alam.

Pertemuan keempat, tentang kemalangan dan perubahan-perubahan.

Kemiripan Tauhid Mufaddhal dengan al-Quran

        Metodologi yang digunakan oleh al-Quran adalah mengajak manusia untuk berfikir dan bertadabbur tentang eksistensi-eksistensi dan maujud-maujud termasuk manusia sendiri. Dengan sebuah pandangan global kita akan menemukan bahwa al-Quran berkali-kali mengajak manusia untuk berfikir dan mengamati segala sesuatu yang mempunyai keterkaitan dengan manusia sepanjang hari, setiap jam dan bahkan setiap saat.

        Al-Quran memberikan semangat kepada manusia untuk mengamati binatang, langit, gunung-gunung dan bumi. Apakah manusia tidak memperhatikan semua hal tersebut? Jawabannya adalah Ya, tentu saja mereka melihat! Akan tetapi mereka tidak memahami dan tidak berkontemplasi tentangnya. Apabila manusia memandang fenomena-fenomena lahiriah ini dengan berfikir, maka mereka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang terdapat di seluruh elemen-elemen penciptaan. Imam Shadiq As yang merupakan “al-Quran berjalan dan berbicara”, mengajak manusia untuk lebih memperhatikan dan memahami keberadaan hakikat gunung, sahara, samudera, langit, bumi, hewan, manusia, burung, dan …

        Keteraturan, keseimbangan, hikmah, dan keharmonisan yang terdapat dalam seluruh benda merupakan perkara yang sangat membingungkan akal-pikiran manusia. Di alam keberadaan ini, seluruh elemen mulai dari bintang yang paling jauh hingga benda yang paling senantiasa mempunyai hikmah yang mengagumkan. Akan tetapi, karena manusia mengenal alam keberadaan ini secara bertahap, maka baginya semuanya merupakan suatu hal yang alami dan biasa-biasa saja. Manusia tidak mengenal apapun ketika lahir ke dunia[47], lama-kelamaan dia akan tumbuh berkembang kemudian mulai mengenal dirinya, akan tetapi pengenalan ini sebegitu lamban berproses sehingga tidak terasa sama sekali. Andai saja sejak awal kelahirannya, manusia mempunyai pemahaman yang tinggi dan memasuki alam keberadaan ini secara mendadak, maka keheranan dan ketakjuban akan menjadi penghalang kehidupan normal mereka.

        Para pembaca yang budiman, janganlah menyepelekan dan menganggap ringan perkataan Imam As, karena inilah jalan keselamatan, dengan berfikir dan melakukan kontemplasi dalam keteraturan dan hikmah yang menyelimuti seluruh alam ini, kita akan bisa mencapai makrifat Ilahi dan awal penciptaan.

Imam as mengajak Mufaddhal dan seluruh manusia untuk merenung secara vertikal dan horisontal, karena disitulah terdapat tanda dan jejak-jejak kekuasaan Ilahi yang bisa disaksikan. Al-Quran al Karim berfirman:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”  (Qs. Fushilat:53)

Dengan demikian, merenungi perkataan Imam Shadiq As akan membawa manusia ke arah hakikat sehingga manusia akan menemukan wujud Tuhan di seluruh realitas eksistensi. Pada akhir ayat di atas Allah berfirman:

“Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Qs. Fushilat:53)

Manusia harus terbiasa untuk senantiasa bertafakkur dan merenungi segala sesuatu. Jika manusia memiliki pandangan yang tajam, maka sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Ali As, segala sesuatu mengandung hikmah dan pelajaran.

        Maka, tidaklah tanpa tujuan apabila dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa satu jam tafakkur dan berfikir lebih baik dari tujuh puluh tahun ibadah.[48] Karena tafakkur dan berfikir akan membawa manusia ke arah makrifat Tuhan. Kadangkala manusia mengetahui sesuatu, akan tetapi dengan mengetahui saja tidaklah cukup, harus senantiasa ada perenungan dari pengetahuan yang dimiliki. Imam Shadiq As pada kitab ini juga, berkali-kali bersabda kepada Mufaddhal, “Innaka tara….” (sesungguhnya engkau akan melihat …”. Sebenarnya, jika Mufaddhal telah “mengetahui” dan lebih tinggi lagi telah “melihat”, lalu apa yang dikehendaki Imam As darinya? Imam hanya menginginkan Mufaddhal melakukan perenungan dan mengambil pelajaran, oleh karena itu, beliau senantiasa bersabda, “Wahai Mufaddhal, berfikirlah secara mendalam …, dan belajarlah dari ….”

        Kita mengetahui bahwa ketika kayu diceburkan ke air, maka dia akan tetap mengapung di atas air, dalam pandangan kita hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan tidak ada yang menakjubkan, akan tetapi Imam Shadiq as bersabda, “Berfikirlah pada masalah ini, kewajaran sebuah persoalan tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak berfikir tentangnya, karena dengan berfikir pada masalah-masalah yang secara lahiriah sederhana, akan mampu membawa manusia kepada persoalan yang sangat besar.”

        Kita telah berkali-kali menyaksikan jatuhnya buah apel dari pohon, sebuah hal yang wajar, akan tetapi kenapa hanya Newton saja yang mempersoalkan jatuhnya buah apel ke atas bumi dan mengutarakan begitu banyak pertanyaan, sehingga kemudian menemukan sebuah hukum ilmiah yang begitu besar dan sangat terkenal (yaitu daya tarik bumi)?” Hal ini karena persoalan yang sederhana itu tidak menyebabkan berhentinya proses berfikir. Kita harus senantiasa berfikir dan merenungi seluruh elemen yang ada di alam ini.

        Kebanyakan manusia akan menggumamkan keagungan Pencipta ketika menyaksikan realitas-realitas menakjubkan semacam gugusan bintang, langit, pesawat, perjalanan manusia ke planet lain, pecahnya atom dan persoalan-persoalan luar biasa lainnya, padahal keagungan dan kepengaturan Tuhan berada dimana saja, dan inilah yang diajarkan oleh Imam Shadiq As kepada Mufaddhal dalam kitab yang sangat berharga ini.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” (Qs. Fushilat:53)

Mukjizat Perkataan Imam Shadiq As

        Mukjizat merupakan sebuah perbuatan yang orang lain tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Biasanya ketika seseorang diminta untuk menyebutkan mukjizat yang dimiliki oleh para Imam alaihimussalam, dengan cepat mereka akan berfikir ke arah menghidupkan orang mati, mengubah arah perjalanan matahari, menjinakkan binatang liar, memberi syafaat pada orang sakit yang tak bisa disembuhkan dan lain-lain. Padahal Nahjul Balâghah dan Sahifah Sajjâdiyah adalah mukjizat, demikian juga kitab Tauhid Mufaddhal pun adalah sebuah mukjizat yang mengandung perkataan-perkataan hikmah, makrifat tertinggi atau prediksi masa depan.

Imam Shadiq As mempunyai pengetahuan sempurna dalam filsafat dan rahasia penciptaan, dan beliau menyampaikan pelajaran ini dalam bentuk filsafat Ilahi, Teologi, ilmu Kedokteran, ilmu Kimia, ilmu Anatomi, ilmu Pertanian (Agrikultur), Perkebunan (Hortikultur). Dan dengan satu kalimat dapat dikatakan bahwa Imam as merupakan “Sosok yang mengetahui semua rahasia alam dan memahami seluruh fenomena-fenomena yang terletak di antara langit dan bumi”[49]. Dan inilah mukjizat itu. Sebenarnya, adakah mukjizat yang lebih tinggi dari ini?

        Tak bisa dipungkiri, jika aspek kemukjizatan yang terdapat pada seluruh mukjizat lainnya tidak banyak membutuhkan pemikiran dan pemahaman, maka dalam kitab ini yang ada adalah sebaliknya, di antaranya:

  1. Ketika Imam as membicarakan tentang keajaiban penciptaan ikan, beliau bersabda, “Ikan mengambil air dari mulut dan mengeluarkannya dari kedua telinganya sehingga hewan-hewan lainnya bisa mengambil manfaat darinya.”

Perkataan ini menjelaskan tentang kebutuhan ikan terhadap oksigen, hal ini baru ditemukan beberapa kurun setelahnya.

  1. Ketika membicarakan tentang bintang dan gerakannya, Imam As mengungkapkan adanya dua gerakan untuk setiap bintang, yang kemudian hal ini beliau umpamakan dengan dua gerakan yang dilakukan oleh semut di atas batu penghalus tepung, dimana batu bergerak ke arah kiri dan semut bergerak ke arah kanan. Dalam keadaan seperti ini, batu penghalus tepung akan bergerak ke arah kiri dan semut, meskipun dia bergerak bersama batu, diapun akan melakukan gerakannya sendiri yang berlawanan dengan gerakan batu.

Dari perkataan dan perumpamaan yang disampaikan oleh Imam As, kita bisa menyimpulkan adanya “gerakan tetap” dan “gerakan perpindahan” serta “tujuan gerakan bintang”. Tentunya pada bagian ini Imam as banyak membahas bagian-bagian lain secara mendetail dan jika saja para cendekiawan dari setiap disiplin keilmuan berkumpul untuk melakukan pembahasan bersama, tanpa ragu lagi mereka akan menemukan puluhan bahkan ratusan hukum-hukum alam yang selama ini belum ditemukan. Akan tetapi dengan menyepelekan perkataan para Imam Maksum alaihimussalam manusia telah menganiaya diri mereka sendiri.

  1. Dalam pembahasan mengenai udara, Imam as menyebutkan bahwa udara merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya gelombang suara. Pada era kita telah terbukti bahwa pada tempat yang hampa udara sama sekali tidak akan terjadi gerakan gelombang suara, demikian juga adanya komposisi dan kematerian udara,  bisa difahami dari perkataan Imam as, padahal pada masa itu masyarakat sama sekali belum mengenal dan mengetahui tentang komposisi udara serta kemateriannya.
  2. Gerakan dan bentuk bulat-nya bumi bisa difahami dari salah satu ibarat yang dikemukakan oleh Imam As, beliau bersabda, matahari telah diciptakan sedemikian sehingga terbit dari arah timur dan teranglah segala sesuatu yang berhadap-hadapan dengannya dari arah barat.

        Dasar pembahasan kita terutama pada kalimat “teranglah segala sesuatu yang berhadap-hadapan dengannya dari arah barat”, tentang kenapa Imam As tidak bersabda “matahari menerangi segala sesuatu”, hal ini dikarenakan beliau ingin menunjukkan bahwa cahaya matahari sampai ke seluruh permukaan bumi karena adanya perputaran bumi.

Pada tempat lain, ketika mengutarakan tentang terbenamnya matahari, diantaranya bersabda, “Dan terbenam sehingga menyinari pada tempat dimana pada awal subuh tidak tersinari”. Sebuah ibarat yang sangat menakjubkan. Dengan memperhatian secara lebih seksama, Anda akan menemukan bahwa dalam kalimat ini terkandung adanya pemahaman tentang kebulatan bumi dan gerakannya.

        Pada tempat yang lain bersabda, “Dan matahari menyinari bumi sehingga setiap bagian bumi mengambil bagian dari cahayanya.”  Kalimat ini pun menjelaskan tentang kebulatan bumi dan gerakannya, karena dalam ungkapan Imam As kata “qesth” (pembayaran) yang kami terjemahkan dengan “nasîb” (bagian), dan “qesth” menjelaskan tentang keharmonian nisbi yang hanya benar ketika bentuk bumi adalah bulat.

Walhasil, keseluruhan kitab dipenuhi oleh keajaiban-keajaiban dan rahasia-rahasia segala sesuatu; dan yang harus kita lakukan hanyalah berfikir dan bertafakkur tentangnya untuk meyakini adanya Pencipta Yang Maha Agung dan Tinggi.

Menghapus Sebuah Keraguan

        Bisa jadi seseorang menyangka bahwa salah satu ungkapan  yang barus saja selesai ia baca, adalah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu dan inovasi saat ini. Mereka yang memiliki pendapat seperti ini harus memperhatikan beberapa point berikut:

  1. Pengetahuan manusia sangatlah sedikit dan terbatas, Allah berfirman:

“… Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Qs. al-Israa: 85)

Oleh karena itu, manusia tidak seharusnya menyepelekan cahaya dan pengetahuan Ilahi dari setiap perkataan Imam Maksum as, karena pengetahuan kita hanyalah sedikit dan kita belum mampu mencapai posisi yang sangat agung, dengan ibarat lain tolok ukur ilmu sebenarnya adalah ilmu yang dimiliki oleh Imam As, bukannya ilmu yang kita miliki. Apabila kita tidak menyetujui point ini maka harus diketahui bahwa kita belum sampai pada rahasia dan hakikat pengetahuan Imam As.

  1. Pada masa-masa sebelumnya, banyak sekali perkataan-perkataan Imam Shadiq As yang kelihatan aneh dan asing, akan tetapi dengan adanya penemuan-penemuan baru, hakikat-hakikat yang sebelumnya diutarakan oleh Imam As saat ini telah menjadi jelas. Bisa jadi pula, saat ini hakikat tersebut belum mampu terungkap secara menyeluruh, akan tetapi generasi mendatang dengan adanya inovasi dan pengetahuan yang semakin berkembang, akan mampu menggali lebih dalam hakikat-hakikat yang semula tersembunyi menjadi nampak dengan jelas.
  2. Apabila muncul keraguan terhadap ungkapan-ungkapan Imam As maka solusinya adalah bertanya kepada para ulama dan cendekiawan Islam, karena kadangkala kata yang terdapat dalam ungkapan Imam As harus diinterpretasikan terlebih dahulu untuk menemukan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bisa jadi pada tahapan awal kata tersebut tidak memiliki makna khas, akan tetapi ketika maknanya diintepretasikan dan dikaitkan dengan kondisi zaman pada saat itu, mungkin saja kita akan menemukan pengetahuan yang luar biasa.

Pada tempat lain Imam As mengungkapkan tentang keajaiban dinginnya temperatur bumi. Bisa jadi ketika memandang ibarat ini seseorang langsung menyepelekan perkataan Imam As ini dan mengatakan bahwa isi bumi begitu panas dan membakar, lantas bagaimana bisa dikatakan temperaturnya dingin? Orang ini lengah dan tidak memperhatikan perkataan Imam As secara mendalam, Imam As  menggunakan konteks-konteks untuk mengatakan bahwa kulit bumi-lah yang mempunyai temperatur dingin. Apakah bukan suatu hal yang menakjubkan jika dikatakan bahwa bumi yang pada bagian luar dan dalamnya dipenuhi dengan api membakar, akan tetapi manusia mampu mengambil manfaat dari permukaannya yang dingin?

Pada bagian yang lain lagi, Imam As bersabda, “Raihlah hikmah, apabila bumi tidak tenang dan tidak konstan, apa yang akan terjadi ….?”

Perlu diketahui bahwa kata konstan mempunyai dua makna, pertama adalah ketetapan ketika berhadapan dengan getaran dan gerakan-gerakan tak beraturan lainnya, dan kedua bertolak belakang dengan gerak secara mutlak. Imam As dalam bagian ini menjelaskan bahwa apabila bumi senantiasa bergetar dan tidak konstan maka …, jadi konstan dan ketenangan tidak kontradiktif dengan getaran dan gerakan bagian dalam bumi.

Dimana saja kita tidak mampu memahami ibarat yang dikatakan oleh Imam As, kita harus melakukan hal semacam itu dalam memahami konteks dan makna kalimat supaya memahami hakikatnya, dan jikapun kita tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya, maka seharusnya kita menyadari bahwa pengetahuan yang kita miliki yang sangalah sedikit dan terbatas, bukan menisbahkan kekurangan itu kepada para Imam Maksum alaihissalam sebagai pemilik ilmu mutlak.

Tafsir dan Terjemahan Tauhid Mufaddhal

        Pada beberapa abad yang lalu para ulama dan cendekiawan Islam belum ada yang terjun langsung untuk melakukan penerjemahan sekaligus pentafsiran terhadap kitab yang sangat berharga ini. Akan tetapi, pada masa kini beberapa dari mereka telah berhasil menerjemahkannya atau menafsirkannya dan beberapa lainnya hanya memberikan catatan kaki. Di bawah ini kami akan menyebutkan beberapa tafsir dan terjemahan yang ada:

  1. Tafsir Maula Baqir bin Maula Ismail Kajuri Tehrani, dalam kitabnya yang berjudul Zabdah al-Mâtsar, Muhammad saudara lelaki Maula Baqir mengatakan, “Penafsiran yang sangat berharga ini telah dikemas dalam 30 pertemuan yang bertema Wahai Mufaddhal! Dan memiliki lebih dari 20 ribu bait.[50]
  2. Tafsir Persia oleh Maula Fadhil Fajruddin Ma wara an-Nahra.[51]
  3. Ketika menulis riwayat panjang ini pada buku Biharul Anwar-nya, almarhum Majlisi ra menafsirkan sebagian besar dari kalimat-kalimat yang ada.[52]
  4. Ogho Kazhim Mudaffar-pun berusaha untuk meneliti kitab ini dan terbilang sukses dengan adanya penambahan berupa mukadimah dan catatan kaki yang sangat berharga.[53]
  5. Ismail bin Husain Tabrizi, dengan nama samaran Taib dan terkenal dengan “Penyampai Masalah”. Menyusun seluruh Kitab Tauhid Mufaddhal dalam bentuk 2 ribu bait syair.[54]
  6. Terjemahan Allamah Muhammad Baqir Majlisi, pemilik Bihârul Anwâr. Terjemahan ini selain penuh manfaat, diterjemahkan oleh penerjemah tersohor, pada berbagai bagian juga mengetengahkan point-point berharga dalam tema “Penerjemah mengatakan,…”, bahkan pada tempat-tempat lain, Allamah juga menambahkan pembahasan yang bersumber dari beliau sendiri yang digabung dengan perkataan Imam As, dengan ibarat lain, terjemahan Allamah Majlisi bisa dikatakan sebagai tafsiran ringkas yang berbaur dengan teks aslinya dimana untuk mengenal kembali antara tafsiran dan teksnya, hanya mungkin dilakukan dengan membandingkan dengan aslinya.[55]
  7. Terjemahan Maula Muhammad Shaleh bin Muhammad Baqir Gazwini Rughni.[56]
  8. Terjemahan Syaikh Fahruddin Turkestani Ma Wara Al Nahra.[57]
  9. Terjemahan Ogho Zainal ‘Abidin Kazhimi Khalkhali. Terjemahan ini bergabung dengan terjemahan dari penerjemah lainnya (Akhlak di sisi Imam Shadiq As) yang dicetak dalam satu jilid.[58]

Ketika kami mencoba membandingkan halaman-halaman pertama, pertengahan dan akhir kitab terjemahan ini dengan terjemahan Allamah Majlisi ra konklusi yang kami dapatkan tidak terlalu menggembirakan, karena pada keduanya hampir tidak ada perbedaan yang mencolok, dengan ibarat lain, terjemahan ini identik dengan terjemahan milik Marhum Majlisi dengan perbedaan yang sangat sedikit.

  1. Terjemahan Ogho ‘Ali Asghar Faqihi, kitab kecil ini bukan merupakan terjemahan lengkap dari kitab Tauhid Mufaddhal, melainkan penerjemah berusaha menghilangkan beberapa tema dari kitab Tauhid dan menambahkan beberapa pandangan dan kalimat-kalimat yang sederhana dan ringan sehingga menjadi sebuah buku yang sesuai untuk para pelajar.

Refleksi pemikiran yang Hadir di Hadapan Anda

        “Keajaiban-keajaiban Penciptaan, dari lisan mulia Imam Shadiq as”, merupakan judul yang kami pilih sebagai terjemahan dari Tauhid Mufaddhal. Pada kesempatan kali ini, ada baiknya jika kami mengetengahkan beberapa point berikut:

  1. Kami berusaha untuk tidak menyisipkan keinginan pribadi ke dalam teks dan juga tidak meletakkan kalimat atau penjelasan pribadi ke dalamnya.
  2. Selain tetap berusaha menjaga keaslian dan keteraturan teks hadis, dan dalam penggunaan bahasa kami juga berusaha untuk tidak menyalahi aturan-aturan penulisan dan semaksimal mungkin tetap menjaga kesederhanaan dan keringanan bahasa.
  3. Karena kitab ini merupakan sebuah hadis yang sangat panjang dan untuk tidak menemukan kesulitan dalam memahami kedalaman maknanya maka kami berusaha memilih tama untuk setiap pokok bahasan dengan bahasa yang sesuai dan mudah dimengerti oleh para pembaca.
  4. Mufaddhal bin Umar Ja’fi merupakan perawi hadis yang panjang ini tidak begitu dikenal di masyarakat, dan hal ini dikarenakan adanya ikhtilaf di kalangan para ulama mengenai sosoknya, misalnya para ilmuwan besar seperti Najashi dan Ibnu Ghadhairi menganggapnya sebagai perawi yang lemah, berdasarkan hal inilah kami menganggap penting untuk mengetengahkan beragam pandangan yang ada, pada mukadimah kitab, supaya ketinggian dan keagungan maqam sahabat Imam Shadiq dan Imam Kazhim alaihimussalam ini menjadi jelas bagi semuanya dan tidak ada keraguan lagi tentangnya.
  5. Pada tahapan persiapan penerjemahan, kami banyak memanfaatkan teks Arab Biharul Anwar dan terjemahan almarhum Majlisi berkaitan dengan isinya, demikian juga pada penyusunan daftar isi serta bab, kami banyak belajar dari Ohgo Mudhaffar.

Epilog

        Tak diragukan lagi bahwa manusia tidak jarang melakukan kesalahan ketika melakukan suatu pekerjaan, terutama dalam pekerjaan yang kita tidak mempunyai pengalaman atasnya, berdasarkan hal ini maka pertama: apabila penerjemah dan penulis melakukan kesalahan dalam alih bahasa dan menafsirkannya, maka dengan segenap kerendahan hati memohon maaf kepada yang mulia Imam Shadiq As. Kedua: kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca yang budiman supaya kami mengetahui kesalahan yang ada dan kemudian bisa diperbaiki pada kesempatan lain, demikian juga hal ini akan dapat menambah mutu dan kualitas pada kesempatan mendatang.[]

________________________________________

[1].  Al-Dharii’atu ilaa Tasaanifu Al-Syiah, jilid. 4, hal. 482.

[2].  Tauhid Mufadhdhal dengan mukadimah dan tafsir dari Kazhim Mudaffar, hal. 4.

[3].  Rijal, Syaikh Tusy dalam Sahabat-sahabat Imam Shadiq As, hal. 314 dan Sahabat-sahabat Imam Kazhim As, hal 360.

[4].   Al-Irsyad fi Makrifat Hujajullah ‘ala al-‘Ibad, hal. 208.

[5]. Ushul Kafi, jilid. 2, hal. 209.

[6]. Ushul Kafi, jilid. 2, kitab al-iman wa al-kufr, bab Ishlah, hal. 209.

[7]. Kami tidak mengikuti keotentikan kitab  sebagaimana keotentikan Syaikh, karena menurut Almarhum Majlisi yang akan kami singgung pada pembahasan sesi selanjutnya, matan kitab menunjukkan dengan baik bahwa perkataan tersebut merupakan perkataan Imam dan bahkan kelemahan perawi dan …. tidak akan membahayakan keberadaan riwayat, terutama karena hadis ini tidak ada kaitannya dengan ahkam, dan akal lebih banyak memiliki peran di dalamnya.

[8]. Al-Ihtishahs, hal. 216, hadis Mufadhdhal dan penciptaan arwah para Syiah dari para Imam As.

[9]. Muhammad bin Sinan terdapat dalam sanad riwayat Mufadhdhal dan riwayat ini merupakan argumentasi keotentikan dan kedudukannya di sisi Imam Kazhim As.

[10]. ‘Uyun Al-Ahbar Al-Ridha as, jilid. 1, bab 4, hadis 29.

[11]. Ushul Kafi, jilid. 2, hal. 209.

[12]. Ushul Kafi, jilid. 2, Kitab al-iman wa al-kufr, bab ash-Shabr, hadis 16.

[13]. Mu’jam Rijal Al-Hadis, jilid. 18, hal 302.

[14]. Merupakan salah satu dari sahabat yang dipercaya dan mempunyai manzilat yang tinggi di sisi Imam Shadiq as. Lihat Muntaha Al-Amaal, jilid. 2, Sahabat-sahabat Imam Shadiq as, hal. 320.

[15]. Mu’jam Rijal Al-Hadis, jilid. 18, hal. 404 dengan nukilan dari Rijal Al-Kasyi.

[16]. Rijal Al-Kasyi, biografi Mufadhal bin Umar Ja’fi.

[17]. Kitab man La Yahdharuh Al-Faqiih, jilid. 1, hal. 3.

[18]. Ushul Kafi, jilid. 2, Kitab al-iman wa al-kufr, bab ash-Shabr, hadis 16.

[19]. Al Irsyad fi Al-Ma’rifat Hujajullah ‘ala Al-‘Ibaad, hal. 208.

[20]. Rijal Syaikh Thusy, Sahabat-sahabat Imam Shadiq as dan Imam Kazhim as, dengan urutan halaman: 314 dan 360.

[21]. Al Ghaibah, hal. 210

[22]. Mu’jam Rijal Al-Hadis, jilid. 18, hal 294.

[23]. Al-Manaqib, jilid. 4, bab Keimamahan Imam Shadiq as.

[24]. Al-Iman min Akhtar Al-asfar wa Al-azman, hal 87, demikian juga lihat: Safinatul Bihar, jilid. 2, hal 372.

[25]. Kashf Al-Muhajjah li Tsamarati Al-hujjah, hal. 50.

[26]. Maksudnya adalah Hadis Tauhid Mufadhdhal dan Ahli Hadis Ahlijiyah (Hilaliyah).

[27].   Hadist Mursal adalah hadist yang tidak bersambung, berlawanan dengan hadist memiliki sanad dimana muhadis menisbatkan sebuah hadist kepada Imam Maksum as dengan menyebutkan seluruh sanadnya. Untuk penjelasan lebih luas, rujuk: Subhani, Ja’far, Ushul al-Hadis wa Ahkamuh, hal. 95.

[28]. Biharul Anwar, jilid. 3, hal. 55, 56. Argumentasi akhir dari Marhum Majisi adalah: Hadis harus memiliki sanad sahih yang merupakan penjelas bagi hukum ibadah ataukah non-ibadah, akan tetapi hadis jelas semacam ini dimana akal mempertegas keterjaminannya,tidak ada urgensinya memerlukan sanad sahih.

[29]. Untuk mengenal ulama besar ini lebih jauh lagi, rujuklah: Muntaha al-âmal, jilid. 2, hal 410.

[30]. Tauhid Mufadhdhal terbagi dalam dua bagian: satu bagian  adalah apa yang berada di alam materi ini yang tersusun dalam empat kali pertemuan, dan yang di kalangan ulama masyhur dengan nama Tauhid Mufadhdhal, sedangkan satu bagian lagi adalah apa yang disebut dengan Makrifat-makrifat Malakuti dan Alam Metafisik yang dijanjikan oleh Sadhiqul Wa’d as kepada Mufadhal. Bagian ini menduduki posisi yang lebih penting dan lebih menakjubkan dari Tauhid Mufadhdhal. Almarhum Syaikh Ogho Buzurg Tehrani mengatakan, seseorang bernama Sayyid Mirza Abul Qasim Dhahabi, telah berhasil menemukan keduanya lalu mengumpulkan keseluruhannya dalam kitab bernama Tabashir al-Hikmah. Rujuk: Al Dhariyah ila Tashanifi Al-Syiah, jilid. 4, hal 488.

[31].  A’yan Al-Syiah, jilid. 10, hal. 132-133 dan Safinatul Bihar, jilid. 2, hal. 372.

[32]. Marhum Kaf’ami mengatakan: Sepertinya maksud dari bab Imam adalah bab rahasia dan pengetahuan-pengetahuannya”, rujuk: Al-Misbah, hal. 277, demikian juga almarhum Nuri dalam Mustadrak Al Wasail, jilid. 3, hal. 570 dan Abu ‘Ali dalam Rijal bab Sahabat pada hal. 319, A’yan al-Syiah, jilid. 4, hal. 544, keseluruhannya menukilkan perkataan tersebut.

[33]. Muntaha al-Âmal, jilid. 2, bab kesembilan, pasal ketujuh, hal. 442-443.

[34]. Hadis-hadis ini telah kami utarakan dalam bagian Mufadhdhal dalam pandangan riwayat.

[35]. Tauhid Mufadhdhal dan Tauhid Hilaliyah.

[36]. Biharul Anwar, jilid. 3, hal. 57 dan 152.

[37]. Al Dhari’atu ilaa Tashanifu Al-Syiah, jilid. 4, hal. 482 dan 483.

[38].  Perkataan almarhum Haji Syaikh Abasi Qumi akan kami ketengahkan pada halaman berikutnya.

[39]. Harus diketahui bahwa perhatian Imam Shadiq As kepada Mufadhdhal lebih tinggi dari hal ini, karena pada akhir pertemuan keempat dari kitab ini, Imam as kepada Mufadhdhal menjanjikan bahwa pada pertemuan berikutnya beliau akan mengutarakan tentang makrifat-makrifat dan hakikat malakuti. Tanpa ragu lagi Imam adalah Sadiqul-Wa’d dan harus ada kelanjutan dari kitab tersebut. Tentu saja perkataan almarhum Aqa Buzurg Tehrani tentang telah ditemukannya kitab tersebut pun telah kami utarakan. Wal hasil janji dan amalan ini dengan sendirinya merupakan penjelas kedudukan Mufadhdhal di sisi Imam Shadiq As.

[40]. Lihat: Mu’jam Rijal al-Hadis, jilid. 18, hal. 303 dan 304.

[41]. Ibid, hal. 303 dan 304.

[42] . Taqiyah adalah salah perbuatan yang dilakukan untuk menyembunyikan sebuah keyakinan dan akidah tertentu, hal ini biasa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa sendiri atau menyelamatkan jiwa orang lain dan melindungi harta benda.

[43]. Wasail al-Syiah, jilid. 3, hal. 584 dan Rijal al-Kasyi, hal. 91.

[44]. Muntaha al-Amal, jilid. 2, hal. 443 dan 444.

[45]. Lihat juga Mu’jam Rijal al-Hadis, jilid. 7. hal. 245.

[46]. Mu’jam Rijal al-Hadis, jilid 18, hal. 303.

[47].  Imam Shadiq As dalam perkataannya mengutarakan begitu banyak hikmah berkaitan dengan persoalan ini.

[48]. Tentang Tafakkur dan pengaturan, merujuklah al-Muhajjat al-Baidha, jilid. 8, Kitab al-tafakkur, hal. 192 dan selanjutnya.

[49]. Muhammad Husaini Al-Mudhaffar, Hayat al-Imam Shadiq As, hal. 248.

[50]. Al-Dhariatu ilaa Tashanifis asy-Syiah, jilid. 4, hal. 482.

[51]. Ibid, J. 4, hal. 382.

[52]. Biharul Anwar, jilid. 3, hal. 57 dan 152.

[53]. Tauhid al-Mufadhdhal, Maktabah Al Dawary, jilid. 3, dengan mukadimah dan catatan kaki Ogho Kazhim Mudaffar.

[54]. Al-Dhari’at ilaa Tsanif asy-Syiah, jilid. 4, hal. 288.

[55]. Penulis tidak memiliki tulisan asli dari teks ini dan kesimpulan yang diambil adalah berdasarkan beberapa teks cetakan yang penuh dengan kesalahan. Bisa jadi Allamah Majlisi dalam tulisan aslinya telah memisahkan antara perkataan dan penjelasan beliau dari matan aslinya.

[56]. Al-Dhari’ah ilaa Tasanif asy-Syiah, jilid. 4, bagian terjemahan-terjemahan.

[57]. Ibid.

[58]. Kitab ini telah dicetak oleh Penerbit.Hujr pada tahun 1361 H. Syamsi

 

MEMBINCANG KEAJAIBAN SEMESTA [IV]

       Pada hari ketiga di pagi hari, aku [kembali] datang ke hadapan tuanku [Imam Ja’far Shadiq As], setelah beliau mengizinkan aku masuk dan duduk [di dalam rumah], beliaupun bersabda:

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memilih kami [sebagai pemimpin umat] dan tidak memilih selain kami, dengan ilmu-Nya Dia telah memuliakan kami dan dengan kemurahan hati-Nya Dia telah menolong dan membantu kami. Barang siapa yang [mengingkari] dan berpaling dari kami, maka ia akan terjerumus kedalam api neraka, dan barang siapa yang berlindung dibawah naungan kami, maka ia akan memasuki surga.

Wahai Mufaddhal aku telah jelaskan kepadamu akan hikmah penciptaan manusia dengan segala keserasian yang terkandung di dalamnya dan juga berbagai karakter yang sarat dengan hikmah yang dapat dipetik darinya. Demikian pula akupun telah menjelaskan kepadamu tentang penciptaan berbagai hewan.

Sekarang aku akan menerangkan kepadamu tentang [penciptaan] langit, matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet, malam, siang, cuaca panas, dingin, angin, keempat unsur asli yaitu tanah, air, udara dan api, dan juga tentang hujan, cadas-cadas, gunung, bumi, batu, pohon kurma serta pepohonan lainnya beserta segala hikmah dan bukti [akan kebesaran Allah Swt] yang terkandung didalamnya.

Rahasia yang Terkandung pada Warna Langit

Lihatlah hikmat dan manfaat yang terkandung dalam warna langit! Sesungguhnya warna ini merupakan warna yang amat selaras yang dapat menguatkan penglihatan, sehingga jika seseorang mengalami cidera di matanya, maka para dokter akan menyarankannya agar selalu memandang dan menfokuskan penglihatannya ke warna hijau yang agak kehitam-hitaman, dan sebagian dari dokter ahli pun mewasiatkan kepada seseorang yang penglihatannya lemah agar ia senantiasa memandang ke arah bejana berwarna hijau yang dipenuhi dengan air.

Renungkanlah bagaimana Allah Swt telah menciptakan langit dengan warna sedemikian, sehingga seseorang akan tertarik untuk memandangnya dan dengan selalu memandangnya tidak akan mengakibatkan penglihatannya menjadi lemah! Dengan demikian hasil serta kesimpulan yang telah dicapai oleh para ilmuan melalui berbagai penelitian dan eksperimen, ternyata telah terkandung dalam penciptaan yang agung ini, agar orang-orang yang bijak dapat memetik ibrah darinya dan orang-orang atheis (mulhid) dapat merenungkan [realitas ini]. Semoga Allah membinasakan mereka! “Kemanakah mereka akan melarikan diri.” (Qs. at-Taubah [9]: 30)

Terbit dan Terbenamnya Matahari

Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah terbit dan terbenamnya matahari yang mengakibatkan terjadinya pergantian siang dan malam! Jika matahari tidak terbit, maka tatanan dunia ini akan kacau, dan manusia pun tidak akan mampu menjalani kehidupannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Alam yang selalu diselimuti dengan kegelapan akan berdampak buruk bagi manusia. Tanpa adanya cahaya (matahari), manusia akan kehilangan manfaat dari cahayanya serta kehidupannya pun akan terasa sangat menyulitkan. Manfaat dari terbitnya matahari amatlah jelas, sehingga tidak perlu untuk dijelaskan lebih mendalam lagi. Tetapi, (sekarang) perhatikanlah terbenamnya matahari! Apabila matahari tidak terbenam, maka manusia tidak dapat tenang dan beristirahat, padahal jiwa dan raganya sangat memerlukan istirahat, yang (dengannya) dapat memberikan kekuatan kepada lambung guna mencerna makanan hingga dapat tersalurkan ke seluruh anggota tubuh. Selain itu, ketamakan seseorang pun dapat mendorongnya untuk selalu terus beraktifitas serta memaksa tubuhnya untuk senantiasa bekerja. Sungguh betapa banyak manusia -lantaran ketamakannya dalam mencari dan mengumpulkan harta-, ia tidak akan berhenti bekerja dan beristirahat, kecuali jika malam telah tiba dan kegelapan telah menyelimutinya.

Demikian juga (dengan terbenamnya matahari), terik panas matahari tidak akan selalu menyengat bumi, sehingga seluruh makhluk hidup (yang ada di bumi) termasuk segala tumbuhan dan hewan-hewan, tidak akan punah lantaran sengatan terik matahari. Oleh karenanya Allah Swt dengan sangat bijaksana, (telah mengatur peredaran matahari sehingga) ia akan terbit pada saat tertentu dan akan terbenam pada saat tertentu pula, mirip seperti sebuah lampu yang terkadang dinyalahkan oleh penghuni rumah takala ia ingin mengerjakan sesuatu, dan terkadang (lampu itu) dimatikan di saat ia ingin tidur dan beristirahat. (dari sini jelaslah bahwa) Perputaran siang dan malam yang tiba secara silih berganti, ialah demi kemaslahatan dan kelestarian alam semesta ini.

Rahasia Empat Musim dalam Setahun

Sekarang lihatlah bagaimana ketinggian dan tergelincirnya matahari sehingga dapat menyebabkan datangnya empat musim dalam setiap tahun! Renungkanlah manfaat dan rahasia yang terkandung di dalamnya!

Pada musim dingin tumbuhan dan pepohonan akan menelurkan sel-sel buah yang bakal menghasilkan buah-buahan, angin pun akan selalu berhembus kencang yang akan menyebabkan berkumpulnya awan dan turunnya hujan, (dan dengannya) tubuh manusia dan hewan pun akan menjadi kuat.

Pada musim semi, sel-sel yang ada pada tumbuhan –yang telah dihasilkan pada musim dingin- akan bergerak dan bereaksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya (ranting dan dedaunan) pada tumbuhan, serta merekahnya bunga-bunga pada pepohonan. Hewan-hewan pun akan sibuk mencari pasangan.

Pada musim panas udara akan menjadi panas dan buah-buahan akan matang, bahan-bahan yang tersisa di tubuh akan mencair, permukaan bumi akan mengering hingga siap untuk dibangun sesuatu diatasnya

Pada musim gugur, udara akan menjadi bersih, segala penyakit akan terangkat, tubuh akan menjadi sehat, malam akan menjadi panjang sehingga ada kesempatan untuk mengerjakan sesuatu, cuaca pun akan menjadi segar. Selain itu masih banyak lagi hikmat dan manfaat lainnya yang jika aku menyebutkannya [satu-persatu], maka pembicaraan ini akan menjadi panjang.

Pergerakan Matahari Sebagai Sarana untuk Mengetahui Waktu dan Musim

Sekarang perhatikanlah pergerakan matahari di antara dua belas bintang[1] yang mengakibatkan pergantian tahun, dan juga segala hikmat yang terkandung didalamnya! Pergerakan matahari ini merupakan faktor terjadinya musim-musim (misim dingin, panas, semi dan gugur). Dengan pergerakan matahari ini, makanan pokok dan buah-buahan dapat menjadi matang [hingga dapat dikonsumsi], dan setelah sampai batas akhir dari pertumbuhannya (mengering), iapun akan kembali tumbuh dan membesar seperti sediakala. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa masa dalam setahun ialah bergesernya matahari dari satu titik ke titik semula? Dengan adanya perputaran bulan dan tahun inilah – yang terjadi sejak diciptakannya alam semesta ini hingga saat ini- zaman atau masa tertentu dapat diketahui, dan dengannya manusia dapat mengetahui kadar umur dan masa yang telah yang telah dilaluinya, ia dapat mengetahui kapan ia menerima atau membayar piutangnya, kapan ia menyewa dan melakukan transaksi, serta [perhitungan waktu] ia pun dapat mengatur segala urusan lainnya. Dengan pergeseran matahari perputaran masa satu tahun akan sempurna dan perhitungan waktu dapat dilakukan dengan tepat dan benar.

Perhatikanlah bagaimana matahari telah menyinari bumi ini secara sempurna! Jika matahari hanya terbit atau hanya berada di salah satu belahan bumi ini, maka cahayanya tidak akan sampai ke permukaan bumi lainnya, karena gunung-gunung dan dataran-dataran tinggi akan menghalangi cahayanya [untuk sampai ke berbagai belahan bumi lainnya].

Oleh karena itu, ia telah ditakdirkan untuk terbit dari bagian timur di pagi hari yang sinarnya akan tampak terbentang kebagian barat, kemudian secara berangsur-angsur ia akan terus bergerak, hingga pada akhirnya ia pun akan terbenam di bagian barat, dengan demikian tidak ada satu belahan bumi pun yang terhalang dari sinarnya, serta kebutuhannya akan cahaya matahari pun dapat terpenuhi. Seandainya pergeseran matahari, tahun dan bulan sedikit saja menyimpang dan matahari tidak dapat menghempaskan sinarnya, bagaimana mungkin manusia akan dapat bertahan hidup?

Tidakkah engkau melihat! Bagaimana manusia telah diberkati dengan pengaturan [alam] yang sangat mengagumkan ini. Walaupun tidak memiliki ikhtiar, tanpa mengalami kerusakan [planet-planet] terus berputar dan tidak

bergeser dari orbitnya guna kemaslahatan dan kelanggengan alam semesta.

Bulan adalah Sarana untuk Mengetahui Bulan-bulan Qamariah

Perhatikanlah peredaran bulan yang merupakan petunjuk yang cermat untuk manusia mengetahui bulan-bulan Qamariah (Muharam, Safar, Rabiul Awwal, Rabiuts Tsani, Jumadil Awwal, Jumadits Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah, red). Akan tetapi hitungan tahun tidak dapat dilakukan berdasarkan peredarannya, karena peredaran bulan bukanlah faktor terjadinya musim-musim dan tumbuhnya pepohonan serta buah-buahan. Maka dari itu, bulan-bulan dan tahun-tahun Qamariah memiliki perbedaan dengan bulan-bulan dan tahun-tahun Masehi, yang mana salah satu bulan Qamariah terkadang tiba di saat musim dingin dan terkadang juga tiba di musim panas.

Sebagian dari Manfaat Cahaya Bulan

Perhatikanlah sinar bulan yang menerangi malam hari serta manfaat yang terkandung di dalamnya! Walaupun suasana yang gelap dibutuhkan oleh manusia dan hewan agar mereka dapat beristirahat, dan juga tumbuhan agar ia dapat mengasumsi udara yang sejuk, akan tetapi kegelapan yang pekat pun tidaklah maslahat bagi mereka. Karena hal ini dapat menghalangi mereka untuk melakukan pekerjaan tertentu di malam hari, padahal betapa banyak orang yang terpaksa harus menyelesaikan pekerjaannya di malam hari, baik lantaran mereka tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menyelesaikannya di siang hari, atau lantaran hawa panas yang menyengat. Maka di malam harilah mereka akan mengerjakan pekerjaannya seperti; membajak tanah, memerah susu, menebang pepohonan dsb. Dengan demikian sinar bulan dapat membantu manusia untuk menjalani aktifiasnya di saat ia membutuhkannya.

Selain itu [cahaya bulan pun] dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang sedang dalam perjalanan.

Bulan hanya akan bersinar pada malam-malam tertentu dan sinarnya pun tidak sekuat sinar matahari, sehingga ia tidak akan menyebabkan manusia untuk terus bekerja keras seperti takala di siang hari dengan tanpa menyisakan waktu untuk beristirahat yang mana ini dapat membinasakannya.

Sungguh karakter yang terdapat pada bulan, yang mana terkadang ia bersinar secara sempurna dan terkadang hanya sebagian darinya [yang bersinar] dan kadang mengalami gerhana, semua ini merupakan bukti akan kekuasaan Allah Swt yang telah menciptakannya dengan karakter yang demikian guna kemaslahatan alam semesta, sehingga orang-orang yang bijak dapat memetik ibrah dan hikmat darinya.

Perbedaan Sistem Pergerakan yang Ada pada Bintang-bintang

Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah bintang-bintang dan juga perbedaan jalur lintas mereka! Sebagian dari bintang–bintang tersebut tidak akan keluar dari garis orbitnya dan hanya berputar bersamaan dengan beberapa bintang lainnya, dan sebagian lagi bergerak secara bebas melayang di luar angkasa serta bergerak menuju arah yang berbeda [dengan bintang lainnya].

          Masing-masing dari bintang memiliki dua putaran dan gerakan yang berbeda, pertama; perputarannya menelusuri garis orbitnya yang bergerak menuju ke arah barat, dan kedua; perputaran pada porosnya sendiri yang bergerak ke arah timur. Mirip seperti seekor semut yang berada di atas batu gilingan yang sedang diputar, dimana pada kondisi ini batu gilingan berputar ke arah kanan dan seekor semut bergerak ke arah kiri. Di saat itu semut tersebut memiliki dua gerakan yang berbeda, pertama; adalah gerakan dirinya yang bergerak ke arah depan, dan kedua; gerakan yang diakibatkan lantaran putaran batu gilingan yang memaksanya untuk bergerak ke arah yang berlawanan (ke belakang).

          Tanyakanlah kepada orang-orang yang ingkar! Apakah pergerakan dan perputaran bintang-bintang yang penuh dengan keteraturan dan keseimbangan, terjadi secara kebetulan? Apakah keberadaannya hanya sia-sia belaka, tidak memiliki tujuan serta tidak ada yang menciptakannya? Apabila benar demikian, lantas mengapa seluruh bintang-bintang tidak tetap pada posisinya [dan tidak bergerak]? Apa faktor yang menyebabkan sebagian bintang-bintang hanya berputar pada garis orbitnya, dan sebagian yang lain bergerak secara bebas?. Kesia-siaan yang berarti [tidak memiliki perasaan dan keberaturan serta keseimbangan], bagaimana mungkin dapat melahirkan dua sistem gerakan yang sangat cermat serta penuh dengan perhitungan? Ini semua menandakan bahwa dua sistem pergerakan dan perputaran yang ada, dilahirkan dari rancangan yang cermat, bijak dan penuh dengan perhitungan yang matang, dan tidak seperti apa yang dikatakan orang-orang yang mungkir, bahwa semua ini ada dengan sendirinya tanpa memiliki tujuan tertentu.

          Jika seseorang bertanya; mengapa sebagian bintang-bintang bergerak secara [teratur dan] bersamaan, namun sebagian lainnya berpindah dari satu titik ke titik lain dengan secara bebas? Kami katakan; jika seluruh bintang-bintang bergerak pada jalur yang sama, maka pergeseran bintang serta perpindahannya dari satu titik ke titik lain, tidak dapat lagi dijadikan sebagai petunjuk, karena dengan perantara peredaran bintang-bintang, sesuatu yang terjadi didunia ini dapat diungkap [dan diketahui]. Demikian pula, jika seluruh bintang-bintang senantiasa bergeser dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka mereka tidak akan memiliki ciri khas dan posisi tertentu untuk dapat diindentifikasi, karena sesuatu yang selalu bergerak hanya dapat dikenali jika di antaranya terdapat sesuatu yang tetap. Sebagaimana layaknya seseorang yang sedang menempuh perjalanan [yang pindah dari satu daerah ke daerah lain], lantaran daerah-daerah itulah arah perjalannya dapat diketahui. Maka dari itu, jika bintang-bintang hanya memiliki satu sistem pergerakan, maka keserasian, keberaturan dan segala manfaat dari perputarannya akan sirna, seandainya hal ini terjadi, barulah seseorang dapat mengatakan bahwa pergerakan bintang-bintang terjadi hanya secara kebetulan, tidak beraturan, sia-sia serta tidak memiliki tujuan.

          Singkatnya, perbedaan sistem bergerakan bintang-bintang dan juga manfaat serta maslahat yang terkandung didalamnya, merupakan bukti yang jelas bahwa bintang-bintang tersebut [telah diatur] dengan penuh kebijakan dan perhitungan.

Sebagian Manfaat dari Keberadaan Bintang

          Perhatikanlah sebagian bintang-bintang yang hanya akan tampak pada masa tertentu dan sembunyi di masa tertentu pula, seperti; bintang Tsurayya (Kartika), bintang Gemini dan bintang Canopus! Sesungguhnya jika seluruh bintang-bintang tersebut tampak pada saat yang bersamaan, maka tidak satupun darinya yang dapat dijadikan sebagai sarana petunjuk arah, sehingga tidak ada lagi manfaat dari tampak dan tersembunyinya bintang taurus dan bintang gemini yang biasa dimanfaatkan oleh orang-orang untuk menjalani sebagian aktifitasnya.

          Oleh karena itu, bintang-bintang tersebut tidak akan muncul atau sembunyi secara bersamaan, namun masing-masing darinya akan muncul dan bersembunyi [secara bergantian], sehingga orang-orang dapat memanfaatkan keberadaan masing-masing dari bintang tersebut. Bintang kartika beserta sejumlah bintang bagiannya, tidak akan tampak dan sembunyi pada saat-saat tertentu, kecuali ada maslahat tertentu. Demikian pula dengan galaksi Ursa mayor yang selalu tampak [di langit] lantaran ada maslahat tertentu, dimana sekumpulan bintang-bintang ini dapat dijadikan sebagai alat petunjuk arah bagi orang-orang -baik yang sedang berada di lautan atau yang di darat- disaat mereka tidak dapat mengetahui arah perjalanannya. Sekumpulan bintang-bintang ini tidak pernah sembunyi, sehingga pada malam hari orang-orang akan dapat melihatnya dan menjadikannya sebagai alat petunjuk arah jalan mereka kapan saja mereka kehendaki dan kemana saja mereka akan pergi. Dengan demikian kedua perkara ini [mucul dan sembunyinya bintang-bintang] mengandung maslahat tertentu. Selain itu, keberadaan bintang-bintang tersebut pun memiliki beragam manfaat lainnya, dimana dengan perantaranya, dapat diketahui kapan saat yang cocok untuk melakukan sebagian pekerjaan, seperti; membajak tanah, bercocok tanam, melakukan perjalanan -baik melalui laut atau darat-, dan juga kejadian-kejadian yang akan terjadi pun dapat diperkirakan, seperti; turunnya hujan, [arah hembusan] angin, cuaca panas dan cuaca dingin.

          Dalam perjalanan malam hari, orang-orang biasa memanfaatkan sinar bintang untuk menghindar dari daerah-daerah yang berbahaya atau gelombang ombak yang besar. Sungguh dengan berterbangannya bintang-bintang dilangit -yang mana posisinya terkadang berada depan dan terkadang dibelakang, pada satu saat muncul dan disaat yang lainya bersembunyi-, banyak hikmah dan maslahat yang terkandung didalamnya.

          Bintang-gemintang ini bergerak dengan kecepatan yang amat tinggi jauh dari apa yang dibayangkan. Seandainya matahari, bulan dan bintang-gemintang berada dekat dengan kita sehingga kita dapat mengetahui betapa cepat gerakan yang dimilikinya, apakah kecepatan gerakannya dan kekuatan cahayanya yang menyambar bagaikan kilatan petir, tidak akan merusak penglihatan seseorang dan mengakibatkannya menjadi buta? Jika sekelompok orang berkumpul didalam sebuah kubah (ruangan tertutup) yang sekelilingnya dipenuhi dengan lampu-lampu yang memiliki sinar yang kuat, ketika seluruh lampu-lampu ini dinyalahkan secara bersamaan, maka sinar lampu-lampu ini akan menyilaukan pandangannya sehingga merekapun akan menundukkan wajahnya.

          Perhatikanlah bagaimana jalur perputaran dan pergerakan planet-planet tersebut telah ditakdirkan berada di tempat yang sangat jauh, sehingga tidak akan membahayakan penglihatan seseorang atau menyebabkannya menjadi buta. Planet-planet ini bergerak dan berputar dengan sangat cepat sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan. Bintang-bintang pun memiliki sepercik cahaya yang dapat sampai ke kita, sehingga jika di satu malam bulan tidak tampak, kitapun masih bisa melihat [sesuatu disekitar kita] dan juga kita dapat melakukan sesuatu jika diperlukan atau pada saat-saat darurat. Terkadang pada kondisi tertentu, seseorang terpaksa harus menelusuri kegelapan malam, seandainya disaat itu tidak ada sedikit pun cahaya yang menerangi jalannya, bagaimana mungkin ia dapat beranjak dari tempatnya [dan menempuh perjalanannya].

          Lihatlah keagungan dan kebesaran yang terkandung dalam keberaturan ini, dimana Allah Swt telah menjadikan malam pada masa tertentu karena kebutuhan makhluk-Nya, namun di tengah kegelapan yang pekat, Dia juga menciptakan sepercik cahaya demi kemaslahatan dan kepentingan yang telah disebutkan di atas.

Matahari, Bulan, Planet-planet dan Bintang-bintang Merupakan Argumen akan Keberadaan Sang Pencipta

          Perhatikanlah tata surya ini! Dengan matahari, bulan, planet-planet dan bintang-gemintangnya! Bagaimana planet-planet tersebut senantiasa berputar di jagat raya, yang mana keberaturan yang amat cermat ini telah menciptakan pergantian malam dan siang serta tibanya empat musim [dalam setahun], sehingga bumi beserta segala penghuninya -berupa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan- dapat memperoleh manfaat dari keberadaan mereka sebagaimana yang telah aku jelaskan.

          Apakah belum jelas bagi orang-orang yang berakal sehat, bahwa pengaturan yang amat cermat dan penuh perhitungan ini, adalah hasil ciptaan sang Pencipta yang Mahakuasa dan bijaksana?

          Jika seseorang berkata; bahwa perputaran serta pergerakan [planet-planet tersebut] terjadi begitu saja secara kebetulan. Kita katakan; mengapa Anda tidak mengatakan demikian pada sebuah kincir angin yang dirancang sedemikian rupa sehingga ia akan terus berputar [memompa air] untuk mengairi kebun-kebun yang penuh dengan pepohonan dan tumbuhan?

          Seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa alat ini ada dan muncul secara kebetulan, maka apakah tanggapan masyarakat dan apa yang akan mereka katakan jika mereka mendengar ucapan ini? Bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa kincir air -yang dibuat dengan sederhana dan hanya untuk maslahat sebidang tanah- tidak akan muncul tanpa ada yang membuatnya. Akan tetapi perputaran [planet-planet] yang sangat agung yang telah dirancang dengan cermat -yang jauh di atas kemampuan manusia- demi maslahat seluruh belahan bumi beserta segala isinya, dengan segala [manfaat] yang dimilikinya, Anda katakan bahwa semua ini terjadi tanpa ada yang menciptakannya dan yang mengaturnya? Jika perputaran [planet-planet ini] dapat mengalami kerusakan seperti yang biasa terjadi pada alat-alat yang digunakan manusia untuk mengerjakan sesuatu, apakah manusia memiliki keahlian atau kemampuan untuk memperbaikinya?

Kadar Siang dan Malam Hari

          Wahai Mufaddhal! Renungkanlah kadar waktu siang dan malam! Bagaimana ia telah dibatasi dengan kadar waktu tertentu demi kemaslahatan para makhluk yang ada. [biasanya] Panjang waktu malam dan siang hari tidak melebihi dari lima belas jam. Pernahkah kau bayangkan apa yang akan terjadi jika masa siang hari memanjang sampai seratus atau dua ratus jam? Apakah kondisi seperti ini tidak akan membinasakan seluruh makhluk hidup baik manusia, hewan atau tumbuhan? Jika siang hari memiliki waktu yang sangat panjang seperti ini, maka hewan tidak akan berhenti berkeliaran untuk mencari makanannya, dan manusia pun tidak akan bekerja dan beraktifitas, dimana hal ini dapat membinasakan mereka. Selain itu tumbuh-tumbuhan lantaran sinar matahari yang senantiasa menerpanya, mereka akan mengering serta terbakar dan binasa.

          Demikian pula seandainya malam hari memiliki batas waktu yang sangat panjang, maka kondisi seperti ini akan menghalangi manusia dan hewan-hewan untuk berupaya guna memenuhi kehidupannya, sehingga mereka akan mati kelaparan. Pohon-pohon pun tidak akan mendapatkan cahaya matahari, sehingga ia akan menjadi busuk dan rusak, sebagaimana yang engkau temukan pada kondisi tumbuhan yang diletakkan pada tempat yang hampa dari sinar matahari.

Manfaat Cuaca Panas dan Dingin

          Perhatikanlah cuaca panas dan dingin, bagaimana keduanya [datang silih berganti] menyelimuti bumi ini! Dua cuaca ini -dengan naik turun derajatnya- merupakan faktor munculnya empat musim dalam satu tahun, [yang mana semua ini terjadi] demi kemaslahatan bagi manusia dan seluruh makhluk lainnya.

          Cuaca dingin dan panas bagaikan alat penyamak tubuh yang berguna untuk menguatkan serta mengokohkan badan. Seandainya cuaca dingin dan panas tidak ada, maka tidak ada akan ada lagi yang dapat menyegarkan dan memanaskan tubuh, dan tubuh pun akan mengalami kerusakan dan akan binasa.

          Perhatikanlah, bagaimana keduanya datang silih berganti secara berangsur-angsur! Pada masa tertentu derajatnya akan menurun sedikit demi sedikit, dan pada waktu yang lain derajatnya akan naik dengan pelahan-lahan, sehingga [pada akhirnya] naik dan turunnya temperatur cuaca akan sampai pada batas akhirnya. Seandainya dua cuaca ini datang secara tiba-tiba, maka hal akan berdampak buruk bagi tubuh dan akan menyebabkannya menjadi sakit. Seperti halnya jika salah satu dari kalian keluar dari satu ruangan yang sangat panas dan langsung memasuki ruangan yang sangat dingin, jelas tindakan ini dapat berdampak buruk baginya dan dapat mengakibatkan dirinya sakit.

          Oleh karena itu, Allah Swt telah mengatur kedua cuaca ini –agar datang silih berganti secara gradual- menjaga keselamatan dan kesehatan para makhluk-Nya. Jika realitas ini terjadi tanpa pengturan dan rancangan, lantas mengapa cuaca [panas dan dingin] tidak datang secara tiba-tiba, akan tetapi keduanya datang silih berganti secara berangsur-angsur sehingga dapat menjamin keselamatan seluruh makhluk?

          Jika seseorang mengatakan; bahwa pergantian cuaca yang terjadi secara berangsur-angsur ini, lantaran pergerakan matahari yang juga terjadi secara gradual, serta jaraknya yang terkadang mendekat dan menjauh dari bumi. Kita tanyakan kembali kepadanya; apakah yang menyebabkan berangsur-angsurnya gerakan matahari serta mendekat dan menjauhnya dari bumi? Jika dikatakan bahwa berangsur-angsurnya pergeseran matahari dikarenakan jauhnya jarak antara ufuk timur dan ufuk barat, kita tanyakan kembali; apakah faktor yang mengakibatkan hal ini terjadi [jauhnya jarak antara ufuk barat dan timur]? Apapun jawaban yang diberikan, pertanyaan ini akan selalu dapat dilontarkan “Mengapa dapat terjadi demikian?”

           Hingga pada akhirnya kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa alam semesta ini dapat bergerak dengan penuh dengan keberaturan dan mengandung tujuaan tertentu.

          Apabila tidak ada cuaca panas, maka buah-buahan yang keras dan pahit tidak akan dapat matang dan memiliki rasa yang lezat. Jika tidak ada cuaca dingin, maka tanaman tidak akan membuahkan hasil, biji-bijian tidak akan tumbuh lebat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok manusia dan segala benih-benih pohonan yang ditaburkan di tanah pun tidak akan dapat tumbuh.

          Tidakkah engkau melihat, bahwa cuaca ingin dan panas dengan segala manfaat dan faedah yang terkandung didalamnya, namun ia dapat menyebabkan tubuh seseorang menjadi lemah dan sakit? Sungguh di dalamnya terdapat ibrah dan hikmah bagi orang-orang yang berfikir! Fenomena ini merupakan bukti bahwa ia (cuaca dingin dan panas) dilahirkan dari pengaturan Zat yang Mahabijaksana, demi kemaslahatan alam dan segala yang ada di dalamnya.

Sebagian Manfaat Angin

          Wahai Mufaddhal! Aku akan mengabarkan kepadamu tentang angin beserta karakter yang dimilikinya. Tidakkah kau melihat, seandainya angin tidak berhembus, maka akan banyak musibah yang akan terjadi. Seluruh makhluk hidup [yang ada di bumi] akan terancam oleh kematian, orang-orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang-orang yang sakit akan mengalami kematian, buah-buahan akan rusak dan tumbuh-tumbuhan akan membusuk, wabah penyakit akan menyebar, makanan-makan pokok pun akan rusak.

          Oleh karena itu, hembusan angin merupakan hasil ciptaan Zat yang masa bijaksana yang diciptakan demi kemaslahatan para makhluk-Nya.

Antara Udara dan Suara

          Aku akan mengabarkan kepadamu akan manfaat lain dari udara (angin). Sesungguhnya suara yang dihasilkan dari getaran atau bergesekan sesuatu ini, akan diantarkan oleh udara hingga dapat sampai ke telinga seseorang. Manusia senantiasa berbicara sepanjang siang hari dan di sebagian malam untuk memenuhi segala kebutuhannya. Seandainya suara yang keluar dari mulut mereka ini menetap diudara seperti layaknya tulisan yang tetap diatas kertas, maka dunia (udara) ini akan dipenuhi dengan suara-suara tersebut, dan hal ini jelas akan merugikan dan berdampak buruk untuk manusia. Selain itu mereka pun harus selalu mengganti dan memperbaharui suara-suara mereka melebihi kertas-kertas yang mereka ganti [ketika mereka menulis], karena lafadh-lafadh yang dihasilkan dari ucapan seseorang lebih banyak dari pada lafadh-lafadh yang dihasilkan dari tulisannya. Oleh karenanya, Pencipta yang amat bijaksana dan angung telah menciptakan udara ini bagaikan kertas yang lembut yang dapat menjadi sarana pengantar gelombang suara, sehingga segala kebutuhan seluruh makhluk-Nya dapat terpenuhi. Dan dengan sendirinya suara-suara ini akan lenyap dan udara pun akan kembali menjadi jernih, hal ini akan terus berlanjut tanpa henti.

          Petiklah hikmah dan ibrah (pelajaran) yang terkandung pada udara serta manfaatnya! Sesungguhnya ia adalah sumber kehidupan bagi tubuh [manusia] dengan benafas dan menghirup udara, tubuh akan dapat bertahan hidup.

          Udara dapat mengantarkan gelombang suara dari jarak yang jauh, iapun dapat membawa bau yang semerbak dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidakkah kau perhatikan bahwa aroma sesuatu dapat tercium dari arah datangnya angin, demikian pula halnya dengan suara.

          Tidakkah engkau ketahui bahwa udara yang panas dan dingin telah diciptakan untuk kemaslahatan alam semesta, dan angin yang berhembus pun merupakan bagian dari udara. Hembusan angin selain dapat menyegarkan tubuh, ia pun dapat mengantarkan awan dari satu tempat ke tempat lainnya sehingga awan-awan dapat berkumpul padat yang akan menimbulkan hujan yang bermanfaat bagi seluruh kehidupan. Di saat turunnya hujan hembusan angin akan menyebarkan awan-awan, menerpa pepohonan, menggerakkan perahu-perahu, melindungi makanan [agar tidak rusak], mendinginkan air, memadamkan api dan mengeringkan segala sesuatu yang lembab. Singkatnya ia merupakan sumber kehidupan segala yang ada di permukaan bumi. Seandainya angin tidak berhembus maka tanaman, manusia dan hewa-hewan akan mati dan segala sesuata akan rusak dan binasa.

Bentuk Bumi

          Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah bagaimana Allah Swt telah menciptakan empat unsur asli ini (tanah, air, udara dan api) agar segala yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya dapat terpenuhi. Salah satu dari [nikmat] itu ialah, permukaan bumi yang sangat luas ini. Jika permukaan bumi tidak luas seperti ini, bagaimana ia dapat menampung tempat tinggal seluruh manusia serta perkebunan dan persawahannya, juga tempat-tempat gembalaan, hutan-hutan yang dipenuhi dengan pepohonan, gurun sahara yang terbentang luas, tambang-tambang bumi yang berharga dan penuh dengan manfaat?

          Mungkin orang-orang yang tidak mengetahui akan manfaat dari sahar-sahara yang kering dan tanah-tanah yang tandus yang membahayakan, akan bertanya-tanya “apakah manfaat dari semua ini?”. Ketahuilah: bahwa itu semua merupakan tempat tinggal hewan-hewan buas dan lahan tempat mereka mencari makanan.

Selain itu, seandainya didaerah tertentu terjadi konflik sehingga memaksa penduduknya untuk meninggalkan daerah tersebut, maka mereka dapat mengungsi dan pergi menuju gurun dan sahar tersebut. Berapa banyak gurun-gurun dan lahan tandus yang telah berubah menjadi istana-istana dan surga-surga lantaran berpindah dan menetapnya orang-orang di kawasan tersebut? Seandainya bumi ini tidak luas, maka lingkup kehidupan manusia akan terasa sangat sempit, dan jika terjadi konflik tertentu yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah air mereka, maka mereka tidak akan menemukan tempat yang layak [sebagai tempat pengungsian mereka].

          Demikian pula perhatikanlah bentuk penciptaan bumi ini! Bumi telah diciptakan dengan kondisi yang tenang seakan-akan ia hanya tetap dan sama sekali tidak bergerak, sehingga layak untuk menjadi tempat tinggal dan menetapnya sesuatu. Manusia pun dapat memenuhi segala kebutuhannya, dapat duduk dengan tenang, dapat tidur dengan nyenyak dan melakukan segala aktifitasnya dengan leluasa.

          Jika bumi tidak tenang dan senantiasa bergetar, maka manusia tidak akan dapat mendirikan bangunan, memahat kayu dan mengerjakan seluruh industri lainnya, bahkan mereka pun tidak akan dapat hidup dengan mudah di muka bumi ini. Lihatlah kondisi manusia ketika terjadi gempa bumi! Walaupun ia hanya terjadi beberapa saat saja, namun orang-orang akan segera berlarian meninggalkan rumah dan tempat tinggal mereka.

          Jika seseorang berkata; Mengapa gempa bumi harus terjadi? Kita jawab: bahwa terjadinya gempa bumi serta musibah lainnya, merupakan peringatan bagi manusia agar mereka tidak lupa dan merasa takut, sehingga mereka menjauhi segala perbuatan maksiat. Demikian juga halnya segala musibah dan bencana yang menimpa jiwa dan harta mereka, yang mana [dibalik semua ini] terkandung maslahat, rahmat dan pengampunan untuk diri mereka.

          Apabila yang tertimpa [musibah] adalah orang-orang yang saleh, maka bagi mereka akan digantikan dengan pahala serta nikmat di akhirat yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di dunia. Terkadang bencana (azab) diturunkan di dunia ini guna maslahat seluruh atau sekelompok dari manusia.

          Selain itu, bumi telah diciptakan oleh Allah SWT dengan memiliki tabiat yang dingin dan kering. Demikian halnya dengan batu. Yang menjadi perbedaan antara batu dan tanah ialah batu [memiliki tabiat] lebih kering dari pada tanah. Pernahkan engkau bayangkan seandainya seluruh permukaan bumi ini keras seperti batu, apakah pepohonan yang merupakan sumber makanan bagi manusia dan hewan-hewan, akan dapat tumbuh di permukaannya? Apakah dengan kondisi seperti ini, tanah dapat dibajak atau didirikan bangunan diatasnya? Tidakkah kau melihat bahwa tanah tidak kering dan keras seperti batu, akan tetapi ia telah diciptakan dengan kondisi seperti ini -yang lembut dan lunak- agar ia dapat di oleh untuk menjadi sumber kehidupan.

Manfaat dari Air dan Faktor Melimpahnya

          Salah satu dari rancangan Allah Swt dalam penciptaan bumi ini, ialah pemukaan bumi bagian utara biasanya memiliki dataran yang lebih tinggi dibanding dengan bagian selatan. Mengapa Allah Swt telah menciptakan bumi dengan rancangan seperti ini? Tidak lain adalah, supaya air dapat mengalir di atas pemukaan bumi serta dapat menyiraminya dan ia pun dapat mengalir dan tumpah ke lautan.

          Sebagaimana sebuah atap [rumah], yang mana salah satu bagiannya dibuat agak tinggi dan sisi lainnya agak lebih rendah, supaya air dapat mengalir dan tidak tergenang di atasnya. Demikian pula bagian utara pemukan bumi telah diciptakan lebih tinggi dari bagian selatan lantaran faktor yang serupa. Seandainya tidak dirancang seperti demikian, maka air akan menetap dan tergenang di sebagian permukaan bumi, yang akan mengakibatkan orang-orang tidak akan dapat memperoleh manfaat darinya, dan jalan-jalan pun akan terputus.

          Demikian pula seandainya air tidak memiliki kapasitas yang berlimpah, serta tidak selalu terus mengalir dari mata air sehingga tidak dapat memenuhi sungai-sungai dan parit-parit, maka ia tidak akan dapat menjamin seluruh kebutuhan manusia, seperti; minum, memberi minum hewan peliharaan, mengairi sawah-sawah dan ladang. Dan juga untuk kehidupan hewan-hewan buas, burung-burung, binatang-binatang liar serta ikan-ikan pun tidak akan memiliki tempat untuk hidup, dan berbagai manfaat lainnya yang engkau ketahui akan tetapi engkau lengah akan kebesaran dan keagungannya.

          Seperti yang telah aku jelaskan, bahwa air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Oleh karenanya ia pun memiliki rasa yang tawar dan segar yang dapat menyegarkan dahaga orang yang meneguknya.

          Dengan air, tubuh kita serta berbagai barang lainnya dapat dibersihkan dari segala kotoran, tanah dapat disirami dan diolah hingga layak untuk dijadikan tempat gembalaan atau lahan bekerja, api yang melahap rumah, harta serta membahayakan jiwa seseorang dapat dipadamkan, orang yang sedang lelah dengan mandi atau berendam di air dapat kembali menjadi segar, serta masih banyak lagi manfaat lainnya yang dapat engkau ketahui takala engkau membutuhkannya.

          Apabila engkau ragu akan manfaat air laut yang sangat banyak dan berlimpah, dan engkau mengatakan; apakah manfaat yang terkandung di dalamnya? Ketahuilah! Bahwa ia merupakan tempat tinggal ikan-ikan serta hewan-hewan laut lainnya yang tak terhitung jumlahnya, dan di dalamnya juga terdapat mutiara-mutiara, batu-batu Yaqut (Ruby), Ambar (jenis minyak wangi yang diambil dari ikan) dan berbagai macam kekayaan alam lainnya yang dapat dikeluarkan dari lautan. Selain itu, ditepi-tepi laut dapat ditumbuhi dengan pepohonan Gaharu (Cendana) -yang memiliki aroma yang semerbak yang dapat dibuat minyak wangi- dan [pepohonan lainnya] yang berguna untuk membuat obat.

          Lautan pun merupakan kendaraan bagi para pedagang yangmana dengan menempuh jalur laut, mereka dapat memindahkan barang-barang dagangannya dari satu daerah yang sangat jauh. Dengan mengarungi lautan, mereka dapat membawa barang-barang dari negeri Cina ke Irak demikian [sebaliknya] dari negeri Irak ke Cina.

          Tidak diragukan lagi, seandainya air laut tidak dapat dijadikan sebagai sarana untuk membawa barang-barang dan semua barang harus dibawa dengan cara dipikul, maka barang-barang tersebut tidak akan dapat dipindahkan dari tempatnya dan akan tetap berada di tangan pemiliknya. Karena biaya pengangkatan dan pemindahan barang-barang tersebut akan melibihi harganya, sehingga tidak ada seorang pun yang ingin memindahkannya [ke daerah yang jauh], dan hal ini akan berdampak:

  1. Akan banyak barang-barang yang berharga dan bermanfaat yang tidak dapat tersalurkan ke tangang orang-orang yang memerlukannya.

  1. Akan banyak orang-orang yang akan kehilangan mata pencahariannya yang dihasilkan dari perdagangan dan pengiriman barang-barang.

Manfaat udara yang Memenuhi Bumi ini

          Demikian juga halnya dengan udara, seandainya ia tidak padat dan tidak memenuhi [ruang-ruang bumi ini] maka manusia pun akan merasa sesak tercekik asap dan uap, [serta tanpa adanya udara] uap yang ada pun tidak dapat berubah menjadi awan atau kabut. Penjelasan lebih lanjut tentang udara telah diterangkan sebelumnya.

Api dan Manfaatnya

          Seandainya api memiliki karakter yang sama seperti angin dan air yang dapat menyebar [ke seluruh penjuru bumi], maka dunia ini dan seisinya pun akan terbakar. Namun dikarenakan ia mengandung banyak manfaat dimana pada saat tertentu manusia sangat membutuhkannya, maka ia telah diciptakan secara tersimpan dalam jisim-jisim (objek-objek) tertentu, sehingga ia dapat diperoleh takala diperlukan. Api memiliki karakter dapat menyambar dan menyala pada lampu minyak dan kayu bakar sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan, dan juga [ia tidak diciptakan] dengan karekter seperti air dan udara sehingga ia terhalang untuk melahap dan membakar segala sesuatu. Namun ia [diciptakan] dengan kondisi dan kapasitas tertentu, sehingga selain ia dapat memenuhi berbagai kebutuhan manusia, iapun tidak akan mendatangkan kerugian bagi mereka.

          Selain itu, api pun memiliki karakter lainnya, dimana hanya manusialah yang dapat menggunakan dan memanfaatkannya, karena memang hanya manusialah yang memerlukannya, yang mana tanpa keberadaan api kehidupan sehari hari manusia akan terasa sangat sulit. Adapun [kehidupan] hewan-hewan tidak memerlukan keberadaan api, dan juga tidak membutuhkan manfaat darinya. Oleh karenanya, berdasarkan takdir Ilahi ini [dimana Dia telah menciptakan manusia selalu membutuhkan api dalam kehidupan sehari-harinya], maka manusia pun telah dibekali dengan tangan-tangan serta jari-jari yang layak untuk membuat dan menyalahkan api, yang mana fasilitas ini tidak diberikan kepada hewan-hewan. Namun sebagai gantinya hewan-hewan telah dibekali dengan kekuatan yang lebih (kekebalan tubuh) sehingga mereka tidak akan mengalami kesulitan seperti yang manusia alami takala api tidak ada.

          Sekarang aku akan mengabarkan kepadamu akan peranan dan fungsi api, yang tampak seperti suatu yang sepele namun pada kenyataannya ia sangatlah berharga. Sesuatu yang sepele ini tidak lain adalah lampu-lampu yang digunakan orang-orang, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan mereka di malam hari. Seandainya tidak ada api, maka –di malam hari- orang-orang akan merasakan seperi hidup di dalam kuburan yang gelap gulita. Pada kondisi seperti ini, siapakah yang dapat membaca juga menulis? Dan siapakah yang dapat merenung pada malam hari? Dan jika di malam hari ada seseorang yang menderita sakit parah yang membutuhkan obat dan pengobatan, apakah yang dapat dilakukan untuknya? Demikian juga, dalam mamatangkan makanan, menghangatkan badan, mengeringkan sesuatu, mengolah sesuatu dan lain sebagainya, tidak diragukan lagi api memiliki peranan yang sangat besar dan sangat jelas sehingga tidak perlu lagi untuk dijelaskan.

Turunnya Hujan pada Masa-masa Tertentu dan Manfaat dari Perubahan Cuaca

          Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah hujan yang turun dan berhenti pada saat tertentu demi kemaslahatan dunia ini! Seandainya hujan turun tanpa henti atau sebaliknya [hujan tidak pernah turun], maka hal ini akan mengakibatkan kerusakan dan kerugian. Apakah engkau tidak melihat jika hujan turun terus-menerus, maka tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran akan mengalami kerusakan, tubuh hewan-hewan akan menjadi lemah, udara akan menjadi dingin, berbagai macam penyakit akan menjangkit dan mewabah, jalan-jalan serta jembatan-jembatan akan menjadi rusak.

          Begitu juga jika cuaca selalu terang [tidak pernah turun hujan], maka tanah akan menjadi kering, tumbuh-tunbuhan akan terbakar dan mata-mata air akan tersumbat, jelas keadaan seperti ini akan merugikan menusia. Selain itu, udara yang kering pun akan banyak menimbulkan berbagai macam penyakit.

          Lain halnya jika kedua cuaca ini datang silih berganti, maka temperatur udara pun akan selaras [tidak akan terlalu dingin atau terlalu panas], karena masing-masing cuaca ini akan mencegah dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh salah satu darinya, sehingga segala sesuatunya akan berjalan dengan baik dan normal.

          Apabila ada seseorang yang berkata; Mengapa kedua cuaca ini tidak dirancang sedemikian rupa sehingga tidak dapat menimbulkan kerugian? Jawabnya ialah; supaya [di dunia ini] manusia dapat mengalami sakit dan kesulitan, yang dapat menjauhkannya dari perbuatan maksiat. Sebagaimana orang yang sedang sakit membutuhkan obat yang pahit guna kesembuhannya, demikian pula halnya dengan seseorang yang semena-mena dan lalai, ia pun perlu merasakan kesulitan dan rasa sakit [yang dapat mengingatkannya], sehingga ia tidak akan terjerumus dalam kejahatannya dan dapat kembali ke jalan yang benar.

          Jika ada seorang raja yang membagikan emas dengan jumlah besar kepada rakyatnya, bukankah rakyatnya akan mengagungkan dan mengelu-elukannya? Padahal [apa yang dibagikannya itu] tidak ada nilainya dibanding turunnya hujan yang telah menyirami seluruh permukaan bumi, yang mana lantaran hujan inilah biji-bijian dapat tumbuh [hingga menjadi makanan pokok]. Sungguh ia lebih berharga dari seluruh emas dan perak yang ada di bumi ini.

          Apakah engkau tidak melihat bahwa sebutir air hujan merupakan nikmat yang besar dan sangat berharga, akan tetapi orang-orang lalai akan nikmat tersebut. Terkadang [turunnya hujan] telah menghalangi seseorang untuk memenuhi hajatnya, lantaran kebodohannya akan nikmat yang besar, ia merasa kecewa dan menganggap bahwa hajatnya lebih penting dibanding manfaat turunnya hujan, padahal turunnya hujan membawa maslahat dan kebaikan untuk dirinya, tidakannya ini lantaran kebodohannya akan peranan serta manfaat yang terkandung didalamnya.

Manfaat Turunnya Hujan dan Hikmah yang Terkandung di dalamnya

          Lihatlah manfaat turunnya hujan! Sesungguhnya ia telah ditakdirkan agar turun ke permukaan bumi dari tempat yang tinggi, sehingga ia dapat menyirami dataran-dataran yang tinggi. Seandainya ia memancar dari sebagian permukaan bumi, maka ia tidak akan dapat menyirami dataran yang tinggi, dan ladang perkebunan pun akan menjadi sedikit, tidakkah engkau melihat bahwa ladang yang diairi dengan air sungai [atau parit] lebih sedikit dibanding dengan ladang yang diairi dengan air hujan?

          Dengan turunnya hujan, tanah akan menjadi subur sehingga dataran bumi yang luas dan kawasan di kaki-kaki gunung dapat diolah dan dibajak sehingga akan menghasilkan panen dan produksi yang melimpah. Dan dengan adanya hujan, manusia –di negeri manapun ia berada- tidak perlu lagi menanggung beban pemindahan air dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak akan ada lagi perselisihan dan pertengkaran yang terjadi di antara mereka lantaran masalah air, dan orang-orang yang mampu dan kuat pun tidak akan memonopolinya dan tidak memberikannya kepada orang-orang yang lemah.

          Selain itu, takala air hujan telah ditakdirkan untuk turun ke bumi ini secara berangsur-angsur, maka ia akan mengguyur bumi ini setetes demi tetes sehingga ia dapat merembas ke dalam tanah serta membahasahinya. Seandainya air hujan turun ke bumi ini dengan cara tumpah sekaligus [seperti layaknya airbah], maka selain ia tidak akan dapat merembes ke dalam tanah, ia pun dapat merusak ladang-ladang yang diterpanya. Oleh karenanya ia akan turun sebutir demi sebutir sehingga dapat menyuburkan tanah dan ladang-ladang yang disiraminya serta menumbuhkan benih-benih yang ada di dalamnya.

          Turunnya hujan mengandung manfaat lainnya seperti; melembabkan tubuh, membersihkan dan menjernihkan udara sehingga penyakit yang tersebar di udara yang kotor dapat terbasmi, ia pun dapat membasmi ulat yang menyerang tumbuh-tumbuhan serta pepohonan, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.

          Jika seseorang berkata; bukankah pada musim-musim tertentu, derasnya hujan yang turun dapat menimbulkan berbagai kerugian? Apakah turunnya hujan es tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan dan ladang-ladang? Dan juga uap yang diakibatkan darinya yang tersebar di udara, tidak akan menimbulkan penyakit pada tubuh dan menyebabkan kerusakan pada tumbuh-tumbuhan? Kita katakan: Ya! Memang terkadang hujan turun dengan sangat lebat dan berlebihan, dan itu pun untuk kemaslahatan manusia sediri, dimana dengan [bencana yang ditimbulkan oleh]nya dapat mencegah manusia untuk melakukan berbagai maksiat dan terus-menerus mengerjakannya. Pada kondisi seperti ini, kemaslahatan urusan agama dan akherat lebih diutamakan dibanding kerugian yang mungkin menimpa harta kekayaannya.

Manfaat Keberadaan Gunung

          Wahai Mufaddhal! Lihatlah gunung-gunung yang terdiri dari bebatuan dan tanah! Orang-orang yang lalai mengatakan; bahwa gunung-gunung yang ada adalah sesuatu yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya. Padahal [pada kenyataannya] gunung-gunung tersebut banyak memiliki manfaat.

          Di puncak-puncak gunung [biasanya] dipenuhi oleh salju, sehingga orang-orang yang membutuhkannya dapat memperoleh manfaat darinya. Yang mana salju tersebut akan mencair dan mata-mata air pun akan memancarkan air yang berlimpah, sehingga air dapat berkumpul dan mengalir ke sungai-sungai serta parit-parit dan dikawasan pergunungan pun dapat ditumbuhi dengan pohon-pohon serta tumbuh-tumbuhan obat yang mana tumbuhan tersebut tidak dapat tumbuh di dataran rendah.

          Gunung-gunung juga merupakan gua-gua dan tempat persembunyian hewan-hewan buas yang berbahaya. Dengan adanya gunung-gunung, orang-orang dapat membuat benteng-benteng yang tinggi dan kokoh untuk menghalau musuh-musuh mereka.

          Bebatuan yang ada di gunung-gunungpun dapat digunakan untuk mendirikan bangunan-bangunan atau dijadikan sebagai batu gilingan. Demikian pula [di dasar-dasar gunung] banyak menyimpan kekayaan alam.

          Dan masih banyak lagi manfaat-manfaat yang dimiliki gunung-gunung yang mana hanya Sang Penciptanyalah yang mengetahui seluruhnya.

Tambang-tambang Bumi dan Kebutuhan Manusia

          Wahai Mufaddhal! Lihatlah tambang-tambang yang mengandung berbagai kekayaan bumi! Seperti; Kapur, Besi, Arsenic, Batubara, Batu Celak, Mercuri (air raksa), Tembaga, Timah, Perak, Emas, batu Zabarjad, batu Yaqut (Ruby), batu Zamrud (Emerald), serta beragam batu berharga lainnya. Demikian pula segala sesuatu yang dihasilkan dari dalam perut bumi, seperti; Aspal, Sulfat (belerang), minyak dan berbagai kekayaan alam lainnya, yang mana orang-orang senantiasa menggunakannya untuk memenuhi segala kebutuhannya.

          Apakah belum jelas bagi orang-orang yang berakal sehat dan dapat berfikir, bahwa segala kekayaan ini telah disimpan di dalam perut bumi untuk perbekalan manusia, sehingga takala mereka membutuhkannya, mereka dapat mengeluarkannya serta memanfaatkannya.

          Selain itu, kebanyakan orang-orang –dengan ketamakan dan keserakahan yang dimilikinya- mereka tidak memiliki keahlian yang memadai untuk mengeluarkan dan mengolah kekayaan alam tersebut. Karena jika [masing-masing] dari mereka memiliki kemampuan untuk mengolahnya, maka tidak diragukan lagi mereka akan terus mengeluarkan dan mengolahnya, sehingga perak dan emas akan menjadi banyak dan nilainya pun akan jatuh serta tidak lagi berharga di mata masyarakat.           Akibatnya emas dan perak tidak dapat lagi dijadikan sarana untuk berjual beli atau melakukan transaksi lainnya.

          Tidak akan ada lagi orang-orang yang akan datang kepada seorang raja dengan membawa emas dan perak untuk membayar pajak, dan juga tidak akan ada lagi orang yang akan mengumpulkannya untuk dibagikan kepada orang-orang yang lemah dan membutuhkan.

          Meskipun demikian, manusia telah dibekali dengan keahlian untuk membuat kuningan dari tembaga, dan membuat kaca dari pasir, perak dari timah dan emas dari perak, yang mana perkara ini tidak akan mendatangkan kerugian bagi mereka [walaupun hasil produksi ini banyak ditemukan].

          Perhatikanlah! Bagaimana manusia telah diberikan kemampuan untuk mencapai kehendaknya yang tidak berdampak buruk untuk mereka, namun mereka tidak dibekali keahlian untuk menggapai kehendaknya yang dapat merugikan diri mereka sendiri.

          Barang siapa yang menelusuri masuk ke tambang-tambang, maka ia akan sampai ke satu lembah yang besar yang dipenuhi air yang mengalir dengan sangat deras -dimana ia tidak akan mengetahui kedalamannya dan juga tidak mampu untuk menyebranginya-, dibalik lebah itulah terdapat gunung dari perak.

          Sekarang renungkanlah hikmat yang terkandung pada realitas ini! Sesungguhnya Allah Swt menghendaki agar hamba-hamba-Nya menyaksikan kekuasaan-Nya dan kekayaan-Nya yang luas, sehingga mereka mengetahui sendainya Dia menginginkan untuk memberikan gunung perak kepada manusia, Ia-pun mampu untuk melakukannya. Namun hal itu tidaklah maslahat bagi manusia, karena jika hal ini terjadi, maka nilai kekayaan-kekayaan alam akan jatuh dimata masyarakat, dan tidak akan membawa keuntungan buat mereka.

          Realitas ini dapat kita temukan; terkadang orang-orang membuat suatu barang yang bagus dan berharga. Barang tersebut akan tetap memiliki nilai yang tinggi jika jumlahnya sedikit dan sulit ditemukan, namun ketika jumlahnya telah menjadi banyak dan orang-orang pun banyak yang memilikinya, maka nilai barang tersebutpun akan jatuh dan harganya akan menurun. Singkatnya rendah dan tinggi harga sesuatu disebabkan julahnya yang sedikit.

Sebagian Manfaat dari Pepohonan

          Wahai Mufaddhal! Lihatlah pohon-pohon ini, beserta segala manfaatnya yang dapat menutupi kebutuhan manusia! Buah-buah yang dihasilkannya selain dapat dimakan, ia pun dapat dimanfaatkan sebagai makanan hewan peliharaan. Kayu-kayunya selain dapat digunakan sebagai bahan bakar, ia pun bermanfaat untuk bahan membuat beragam produksi. Selain itu, dedaunan, ranting-ranting, pongkolnya juga berguna untuk kebutuhan lainnya.

          Tidakkah engkau melihat seandainya buah-buahan yang biasa kita konsumsi, telah tersedia dan berada di atas tanah serta tidak tumbuh di antara ranting-ranting pohon, maka betapa banyak kerugian yang akan kita tanggung? Pada kondisi seperti ini walaupun kebutuhan kita akan buah-buahan telah terjamin, namun kita akan kehilangan berbagai mafaat dari kayu-kayu, kayu bakar, jerami dan semua yang tadi aku sebutkan, yang mana semua ini sangatlah penting dan berharga.

          Demikian pula tumbuhan dan pepohonan merupakan pemandangan yang sangat indah, dimana keindahannya tidak dapat dibandingkan dengan pesona alam lainnya.

Rahasia Berlimpahnya Biji-bijian

          Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah biji-bijian yang selalu tumbuh dengan lebat! Satu butir biji dapat menghasilkan kurang lebih seratus butir bijian, dimana semestinya satu butir biji hanya dapat menghasilkan satu butir biji pula. Apakah faktor yang menyebabkannya dapat tumbuh lebat seperti ini? Tidak lain kecuali agar bahan-bahan pokok serta biji-bijian dapat tersedia dengan berlimpah, penghasillan dan mata pencaharian para petanipun dapat terjamin sampai masa panen berikutnya. Tidakkah engkau melihat jika seorang raja ingin memakmurkan negerinya, maka solusinya ialah, selain ia harus memberikan benih-benih yang bagus kepada rakyatnya untuk ditanam di ladang-ladang mereka, iapun harus menjamin kebutuhan hidup mereka hingga masa panen.

          Perhatikanlah bagaimana perkara yang bijak ini dapat engkau temukan pada penciptaan Allah Swt, diman berkat kesuburan yang dianugrahkannya, benih-benih dapat menghasilkan biji-bijian yang berlimpah. Sehingga, selain ia dapat menjamin kehidupan para penanamnya, iapun dapat menyediakan benih-benih yang dapat digunakan untuk bercocok tanam kembali.

          Demikian pula halnya dengan pepohonan lainya, yang dapat menghasilkan buah-buah dengan kapasitas yang berlimpah, dimana satu pongkol pohon dapat tumbuh ranting-ranting dan daun-daun serta buah-buahan yang melimpah. Mengapa demikian? Tidak lain kecuali agar orang-orang dapat memotong [kayunya] guna dimanfaatkan untuk kebutuhannya. Penebangan pohon-pohon tidak akan mengakibatkan kepunahan pohon tersebut, karena akar pohon akan tetap hidup dan tumbuh di dalam tanah. Seandainya akar pohon hanya menetap pada posisinya [di dalam tanah] dan tidak dapat tumbuh, maka orang-orang tidak akan dapat memotongnya untuk menutupi segala kebutuhannya. Juga jika hama tertentu menyerangnya, maka ia akan punah tanpa meninggalkan tunas.

Bentuk Biji-bijian

          Perhatikanlah bentuk biji-bijian, sepeti; biji adas (lentil-ing), kacang hijau, kacang buncis dan bijian lainnya! Biji-bijian tersebut tersimpan di dalam kulitnya yang dapat melindunginya dari kerusakan, sampai biji-bijian tersebut tumbuh dan menguat. Kulit biji-bijian bagaikan selaput pelindung janin. Biji gandum dan yang sejenisnya akan tumbuh didalam satu bungkusan yang kuat sementara di bagian atasnya terdapat tangkai-tangkai yang berfungsi untuk mencegah burung-burung untuk terus memakannya, sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi para penanamnya.

          Jika seseorang berkata; apakah burung-burung tidak memakan gandum dan biji-bijian? Kita katakan: Ya! Mereka telah ditakdirkan demikian. Seekor burung juga merupakan makhluk Allah Swt, oleh karenanya Allah telah membekalinya dengan makanan yang tersedia di muka bumi ini. Adapun biji-bijian dijaga dengan demikian, supaya burung-burung tidak sekaligus memakannya yang akan membahayakan diri mereka sendiri. Sesungguhnya seekor burung jika ia mendapatkan sebutir biji yang sama sekali tidak memiliki pelindung, maka ia akan segera menegrap dan memakannya, dan ini akan mendorongnya untuk makan melebihi kapasitasnya yang dapat mengakibatkan kematiannya. Selain itu para petanipun tidak akan mendapatkan hasil panen tanamannya. Oleh karenanya biji-biji tersebut diselimuti dengan kulit yang akan menjaganya dan melindunginya, sehingga burung-burung akan memakannya sesuai dengan kebutuhannya. sebagian besar dari hasil panen yang ada pun dapat dinikmati oleh manusia, karena manusialah yang lebih layak untuk mendapatkannya, lantaran merekalah yang telah berjerih payah dalam menanam dan menyiraminya, dan juga mereka lebih membutuhkan biji-biji gandum tersebut dari pada burung-burung.

Pepohonan dan Tumbuh-tumbuhan

          Perhatikanlah penciptaan pohon-pohonan dan tumbuh-tumbuhan! Sebagaimana layaknya hewan-hewan, merekapun senantiasa membutuhkan makanan, namun di sisi lain, pohon-pohon tidak seperti hewan yang memiliki mulut yang biasa digunakan untuk mengambil makanannya. Oleh karenanya akar pohon akan menancap ke dalam tanah agar dapat menyerap makanan dan menyalurkannya ke ranting-ranting, daun-daun serta buah-buahnya. Dengan demikian, tanah bagaikan seorang ibu yang senantiasa merawat pohon, dan akar-akar bagaikan mulut-mulutnya yang menyuap makanan dari dalam tanah. Fenomena ini mirip seperti induk hewan yang sedang menyusui anak-anaknya.

          Tidakkah engkau perhatikan bahwa tiang-tiang kemah diikat dari segala arah sehingga ia dapat tegak berdiri serta tidak miring atau terjatuh. Demikian halnya dengan pepohonan, seluruh urat-urat dan akar-akarnya akan menancap dan masuk kedalam tanah dengan ke segala arah, sehingga ia dapat berdiri dengan tegak dan kokoh. Seandainya pepohanan tidak memiliki akar, maka bagaimana pohon Kurma yang tinggi dan pohon-pohon yang besar lainnya dapat bertahan dari terpaan angin topan?

          Lihatlah kebijakan yang terdapat dalam penciptaan Allah SWT, yang jauh lebih dahulu dari keahlian manusia dalam membuat sesuatu, yang mana mereka telah terinspirasi darinya [penciptaan Allah] untuk membuat dan mengokohkan kemah-kemah. Rancangan seperti ini telah terdapat pada penciptaan pohon-pohon jauh sebelum mereka [merancang sebuah kemah], karena penciptaan tumbuh-tumbuhan jauh lebih dahulu sebelum pembuatan kemah-kemah. Apakah engkau tidak melihat bahwa tiang-tiang dan penyanggah kemah terbuat dari kayu pepohonan. Dengan demikian industri [yang dihasilkan manusia] telah terilhami dari penciptaan yang ada.

Penciptaan Dedaunan serta Kriteria yang Dimilikinya

          Wahai Mufaddhal! Sekarang perhatikanlah bentuk penciptaan daun-daunnan! Sebagaimana yang engkau lihat bahwa seluruh permukaan daun dipenuhi dengan serat-serat yang menyerupai urat-urat, sebagian dari urat-urat tersebut ada yang berukuran agak besar yang menjulur secara vertikal dan horizontal, dan sebagian lagi ada yang berkuran kecil dan halus yang tampak seperti dijahit dengan teliti di antara urat yang asli (yang berukuran agak besar).

          Seandainya manusia dengan tangan yang dimilikinya melakukan pekerjaan ini, maka dalam jangka waktu satu tahun pun, ia tidak akan mampu membuat walaupun satu lembar daun. Dan ketika mengerjakannya, ia akan memerlukan alat-alat, berbagai gerakan, daya upaya dan bercakap. Sementara di musim semi, dengan jangka waktu beberapa hari saja permukaan bumi, lautan, gunung-gunung dan gurun-gurun akan ditumbuhi dan dipenuhi dengan dedaunan. Yang mana proses ini terjadi semata-mata berdasarkan kehendak Allah Swt tanpa sedikit pun ucapan, kerja keras dan gerakan.

          Layak untuk engkau kehatui apa manfaat dari urat-urat daun yang sangat kecil dan haus tersebut! Urat-urat yang memenuhi dedaunan ini merupakan sarana untuk mengantar air dan zat makanan, mirip seperti urat-urat yang tersebar di seluruh tubuh yang dapat mengantarkan makanan ke seluruh bagian tubuh. Urat-urat inti daun yang berukuran agak besar [selain yang telah disebutkan] ia pun memiliki fungsi lainnya. Dimana dengan kekokohan yang dimilikinya, urat-urat tersebut dapat menjaga daun sehingga tidak lemah dan tidak mudah sobek. Sehingga engkau dapat melihat lembaran daun mirip seperti lembaran sesuatu yang dibuat dari kain yang sisi-sisinya dijepit dengan kayu agar menjadi kuat dan tidak bergetar. Singkatnya segala produksi [yang di hasilkan manusia] manggambarkan akan penciptaan Allah Swt, walaupun hasil produksi yang ada tidak akan menyerupai penciptaan secara sempurna.

Rahasia Biji Buah-buahan

          Perhatikanlah biji buah dan manfaat yang terkandung di dalamnya! Biji berada persis di bagian dalam buah sehingga ia dapat mengantikan possisi pohonnya jika terjadi sesuatu yang dapat menghalangi pertumbuhan [buah]. Posisi biji buah seperti sesuatu yang berharga dan penting, yang mana [sebagian darinya] diletakkan di tempat lain, sehingga jika terjadi sesuatu yang menimpanya, maka sebagian lainnya masih tersisa dan terjaga di tempat yang lain.

          Selain itu biji yang kuat dan keras dapat melindungi buah yang lembut. Seandainya tidak demikian, maka buah akan pecah dan mudah terkontaminasi serta akan cepat mengalami kerusakan. Sebagian dari biji buah dapat dimakan dan sebagian darinya dapat diolah menjadi minyak yang dapat digunakan untuk berbagai maslahat tertentu. [sekarang] Telah jelas bagi engkau akan manfaat dari biji buah.

          Sekarang perhatikanlah! Mengapa biji-biji dapat menghasilkan buah kurma dan buah anggur? Sebagai ganti dari buah Kurma dan Anggur yang lezat rasanya, mengapa biji tersebut tidak menghasilkan buah yang pahit, seperti Lotus, atau Sycamore? Tidak lain adalah untuk kemaslahatan dan kenikmatan manusia.

Pohon-pohon akan Kembali Tumbuh Setelah Mengalami Kematian

          Lihatlah keajaiban yang terdapat pada penciptaan pepohonan! Engkau melihat bahwa dalam setiap tahun, pohon-pohon akan mengalami kematian, akan tetapi secara alami sejumlah kalori masih terkandung pada kayu-kayunya yang akan menghasilkan benih-benih buah. Kemudian [benih-benih buah itu] akan menyebar ke seluruh bagian pohon, sehingga pepohonan dapat menyediakan untukmu berbagai macam buah-buahan yang lezat rasanya, sebagaimana layaknya seseorang yang menjamumu dengan berbagai makanan dan masakan yang enak rasanya. Engkau melihat ranting-ranting pohon bagaikan tangan-tangan yang menyodorkan buah-buahan segar kepadamu. Pongkol pohon, seakan-akan duduk dihadapanmu seraya memberikan hadian kepadamu. Siapakah yang telah mewujudkan sesuatu yang agung dan penuh dengan keberaturan ini? Tidak lain kecuali Sang Pencipta yang maha bijaksana. Mengapa [Ia menciptakannya] dengan demikian? Tidak lain kecuali agar manusia dapat memperoleh kenikmatan dan manfaat dari buah-buahan ini.

          Sungguh mengherankan! Manusia bukannya mensyukuri segala nikmat ini, namun mereka malah mengingkari Sang Pemberi nikmat.

Penciptaan Buah Delima yang Mengagumkan

          Petiklah hikmah yang terkandung dalam buah delima yang mengekspresikan akan rancangan yang cermat. Engkau dapat melihat sisi-sisi buah delima diselimti dengan gumpalan lemak, dan biji-bijinya tersusun dengan rapih seakan-akan ada tangan yang menyusunnya. Engkaupun dapat melihat biji-biji tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yang mana di setiap bagiannya dselimuti dengan selaput yang sangat lembut yang dibentuk dengan sangat cermat, juga seluruh permukaannyapun diselimuti dengan kulit yang kuat.

Merupakan suatu rancangan yang teliti dan cermat, bahwa buah delima tidak hanya berisi biji-biji semata [namun mengandung lemat dan selaput]. Seandainya didalam buah delima hanya terdapat biji-bijinya saja, maka jalur makanan menuju biji-bijinyapun akan tertutup. Oleh karenanya diantara biji-biji terdapat segumpalan lemak, yang mana biji-biji tersebut akan menyambung kepadanya dan menyerap zat makanan darinya. Tidakkah engkau melihat bahwa biji-biji Delima tumbuh diselimuti gumpalan lemak tersebut, kemudian mereka pun diselimuti dengan selaput yang dapat menyanggahnya, sehingga kokoh dan tidak dapat bergeser. Selain itu, permukaan buah Delima diselimuti dengan kulit yang kokoh dan kuat yang dapat melindungi biji-bijinya agar tidak mengalami kerusakan.

          Semua ini hanya sedikit contoh dari sekian banyak keajaiban yang dimiliki oleh buah Delima. Barang siapa yang ingin mempelajari masalah ini lebih dalam lagi, maka ia akan mendapatkan [keagungan] yang lebih dari ini. Namun apa yang telah aku utarakan kepadamu telah cukup sebagi bukti dan pelajaran.

Tanaman Merambat yang Lemah dan Buahnya yang Besar

          Wahai Mufaddhal! Perhatikanlah tanaman merambat dengan beragam hikmat yang dikandungnya! Jenis pohon ini memiliki buah-buah yang bebannya berat, seperti; buah Labu, Melon, Ketimun dan buah Semangka. Sesungguhnya takala jenis tanaman ini ditakdirkan untuk menghasilkan buah-buah ini, maka ia pun telah diciptakan untuk tumbuh dengan cara merambat di atas tanah. Seandainya pohon ini tumbuh dengan cara berdiri tegak sebagai mana pohon-pohon yang lain, maka ia tidak akan dapat menanggung beban buah-buahan yang berat ini, dan tangkainya akan patah serta rusak sebelum buah-buahnya masak dan sempurna.

          Lihatlah bagaimana tangkai tanaman ini merambat di atas tanah sehingga ia dapat meletakkan beban berat buah-buahnya tersebut diatas tanah. Juga engkau dapat melihat, satu pohon Labu atau Semangka, dengan merambat di atas tanah, ia dapat menghasilkan buah yang banyak yang tumbuh disekelilingnya, seakan-akan pohon tersebut adalah seekor induk kucing yang sedang dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang menyusu darinya.

Masa Panen Buah-buahan Akan Tiba Saat Orang-orang Membutuhkannya

          Perhatikanlah bagaimana berbagai pepohonan akan menghasilkan buah-buahnya disaat orang-orang membutuhkannya! Sebagai contoh; sebagian buah-buahan akan matang [dan dapat dipetik] di saat musim panas yang membakar, sehingga orang-orang akan berantusias untuk memakannya. Seandainya buah-buahan [yang biasa masak pada] musim dingin akan matang pada musim panas, maka orang-orang akan enggan memakannya lantaran buah-buahan ini akan berdampak buruk untuk tubuh mereka.

          Tidakkah kau perhatikan, terkadang buah Ketimun masak pada musim dingin, maka tidak akan ada yang ingin memakannya kecuali orang yang tidak peduli dengan apa yang dimakannya, apakah ia dapat menguntungkannya atau merugikannya.

Manfaat-manfaat yang Terkandung dalam Pohon Kurma

          Wahai Mufaddhal, perhatikanlah pohan kurma! Takala ia memiliki jenis betina yang membutuhkan reproduksi, ia pun telah dibekali dengan jenis jantan, sehingga walaupun tanpa pecangkokkan, proses reproduksinya dapat terealisasi. Pohon Kurma jantan layaknya seekor hewan yang jantan yang mengawini hewan betina agar dapat hamil sementara ia sediri tidak bisa hamil.

          Perhatikanlah pongkol pohon Kurma, bagaimana ia telah diciptakan! Engkau melihatnya dipenuhi dengan benang-benang dan serat-serat, seakan-akan ia adalah hasil jaitan sesorang. Yang mana hal ini telah menjadikan pongkol Kurma kuat dan kokoh, sehingga ia tidak mudah patah atau terbelah saat memikul pelepah-pelepahnya yang berat, dan juga ia tidak akan tumbang ketika diterpa oleh angin yang berhembus kencang. Pohon kurma sedemikian kokoh dan kuat sehingga ia dapat digunakan untuk membuat atap, jembatan dan lain sebagainya.

          Demikian pula halnya dengan kayu pohon Kurma, yang mana ia pun dipenuhi dengan serat-serat dan benang-benang yang saling mengikat. Kekokohan yang dimilikinya ini, tidak lain ialah agar dapat digunakan sebagai sarana untuk membuat sesuatu. Perhatikanlah! Seandainya ia tidak kokoh dan keras seperti batu, maka ia tidak akan dapat digunakan untuk membuat atap-atap, jendela-jendela, kursi-kursi, lemari-lemari dan lainnya.

          Salah satu keistemewaan yang dimiliki oleh kayu ialah, ia akan terapung di atas air dan tidak akan tenggelam. Semua orang telah mengetahui akan ciri khas kayu ini, akan tetapi mereka lalai akan besarnya hikmat yang terkandung di dalamnya. Seandainya kayu tidak memiliki karakter seperti ini, bagaimana kapal laut dan perahu-perahu lainnya dapat membawa beban yang beratnya seperti gunung? Bagaimana orang-orang dapat membawa barang-barang [dagangan] dari satu segeri ke negeri yang lain dengan mudah? Seandainya kayu tidak [memiliki karakter] seperti ini, maka orang-orang akan mengalami kesulitan untuk membawa barang-barang dagangan mereka, sehingga barang-barang tersebut akan menumpuk di satu negeri sementara di negeri lain barang-barang itu sama sekali tidak dapat di temukan.

Khasiat Tumbuh-tumbuhan Obat

          Perhatikanlah tumbuh-tumbuhan obat, yang mana masing-masing dari mereka memiliki khasiat untuk digunakan sebagai obat tertentu! Sebagian dari tumbuh-tumbuhan tersebut memiliki khasiat [dimana ramuannya] dapat menjalar ke persendian-persendian tubuh dan menghilangkan sel-sel tubuh yang berlebihan, seperti pohon Andewi. Sebagian yang lain berkhasiat dapat menguras cairan tubuh [yang berlebihan] seperti tumbuhan Aftiman. Sebagiannya lagi berkhasiat untuk mencegah angin [masuk ke tubuh] dan menyembuhkan berbagai macam tumor, seperti tumbuhan Sakbina (jenis tumbuhan yang biasa tumbuh di kawasan Persia). Demikian pula dengan dengan berbagai jenis tumbuhan obat lainnya.

          Siapakah yang telah meberikan khasiat tertentu kepada tumbuhan-tumbuhan ini? Tidak lain kecuali Dzat yang telah menciptakannya untuk maslahat tertentu. Siapakah yang telah menjadikan orang-orang mampu menyingkap [khasiat-khasiat yang dimiliki] tumbuh-tumbuhan ini? Tidak lain kecuali Dia-lah yang telah meberikan khasiat tertentu kepada tumbuhan tersebut. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa semua ini dapat terjadi secara kebetulan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang?

          Pada hakikatnya manusia telah dibekali dengan kecerdasan, akal pikiran dan kemampuan untuk melakukan penelitian, sehingga mereka dapat menyingkap khasiat-khasiat tersebut [yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan obat].

          Akan tetapi bagaimana dengan hewan-hewan yang mana merekapun dapat mengetahui khasiat yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan obat tersebut? Sebagian dari binatang buas dengan tumbuhan obatlah mereka mengobati luka-luka yang dideritanya. Sebagian burung akan meminum air laut untuk menyembuhkan penyakit tertentu yang dideritanya dan setelah itu penyakitnyapun akan sembuh. Dan masih masih banyak lagi kasus seperti ini.

          Mungkin engkau akan meragukan [manfaat dari] tumbuh-tumbuhan yang terdapat di gurun-gurun dan sahara-sahar, yang mana tidak ada seorang pun yang tinggal di sana, dan engkau mengira bahwa tumbuhan tersebut adalah suatu yang berlebihan dan tidak ada manfaatnya. Namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Tumbuh-tumbuhan tersebut merupakan makanan untuk bianatang-binatang buas, dan biji-bijiannya sebagai santapan untuk burung-burung, kayu-kayunya yang kering dapat digunakan oleh manusia untuk kayu bakar, serta banyak dari tumbuhan tersebut yang dapat digunakan untuk menyembuhkan [berbagai penyakit] .

          Selain itu sebagian tumbuh-tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk menyamak kulit dan sebagiannya lagi dapat digunakan sebagai [zat pewarna] yang dapat mewarnai sesuatu, serta masih banyak lagi manfaat lainnya.

          Engkau ketahui bahwa pohon Papirus adalah termasuk jenis pepohonan yang sangat kecil. Akan tetapi pohon ini -dan yang sejenisnya- mengandung beragam manfaat. Dari pohon Papirus ini, dapat dibuat kertas-kertas yang diperlukan oleh para raja dan para pedagang, [darinyapun] dapat dibuat tikar yang biasa digunakan kebanyakan orang, kulitnya dapat dimanfaatkan untuk membungkus bejana-bejana air suapaya tidak mudah pecah, serta masih banyak lagi manfaat lainnya.

          Segala sesuatu, baik yang kecil maupun yang besar, yang berharga atau yang hina, mesti mengandung manfaat dan maslahat tertentu, maka petiklah ibrat darinya! Paling hinanya sesuatu adalah kotoran manusia dan hewan, yang mana keduanya adalah suatu yang kotor dan najis. Namun [meskipun demikian] keduanya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang dapat menyuburkan tumbuhan -yang mana fungsi ini tidak dimiliki oleh selainnya-, bahkan tidak ada tumbuhan yang dapat tumbuh dengan subur kecuali yang jika diberi pupuk dengan kotoran hewan atau manusia yang manusia sendiri merasa jijik dan enggan mendekatinya.

          Ketahuilah bahwa harga dan nilai sesuatu tidak tergantung pada kedudukannya [secara lahir], akan tetapi tinggi dan rindahnya nilai sesuatu amatlah relatif. Mungkin suatu tertentu tidak ada harganya jika dijual dipasar-pasar, namun dibidang ilmu dan penelitian, ia dapat memiliki harga yang sangat tinggi.

          Maka dari itu, janganlah kau merendahkan sesuatu, lantaran nilainya yang tampak rendah! Seandainya para pakar kimia dapat mengungkap manfaat serta khasiat yang terkandung pada kotoran manusia, maka mereka akan membelinya dengan harga yang mahal dan tinggi.

          Mufaddhal! berkata waktu Dzuhur pun telah tiba, dan tuanku [Imam Shadiq As] segera berdiri untuk menunaikan shalat seraya bersabda: sampai ketemu besok pagi Insya Allah Ta’ala. Lantas aku pun beranjak dari hadapan beliau dengan hati yang senang atas apa yang telah diajarkan dan dianugrahkan kepadaku, seraya bersyukur kepada Allah Swt atas inayah (perhatian) yang telah diberikan-Nya kepadaku, dan malam itu pun aku lewati dengan perasaan yang bahagia.[]

[1] Bintang Leo, Taurus, Capricornus, Gemini, Aries, Pisces, Aquarius, Cancer,

Virgo, Scorpio, Sagitarius dan Libra.

AhlulBait Nabi SAWW

Oleh : Abu Zahra`

Ahlulbait dalam Al-Quran

Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya. Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:

1. Surah Al-Ahzab:33

Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”. Yang artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS 33/33).

Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).

Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).

Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlu l`bayt yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.

Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):

“Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).

“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).

“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4/59).

Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini :

Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).

Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).

Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).

Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).

Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.

2. Surah Al-Syura:23

Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf).

Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.

Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya : “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut : “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).

3. Surah Ali ‘Imran:61

Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.

Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sersungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.

Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.

Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”

Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam”.

Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.

Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”

Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.

Sesungguhnya Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam–hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra`–‘alayha l`salam–perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husayn—‘alayhima l`salam–adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Iamam Ali–‘alayhi l`salam–adalah dianggap diri Nabi sendiri.

Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw

Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.

Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.

Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”

Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”

Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali sebagai khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan Ahlulbait padanan Al-Quran.

Bahtera Keselamatan

Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh—‘alayhi l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.

Padanan Al-Quran

Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.

Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).

Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu

Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka.

Nabi Adam –salam atasnya–telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.

Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya.

Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema

In july 1951 a team of Russian expert search of mines in the vicinity of Mt. Jude on the border of Soviet Union and Tukey came a cross some buried dilapidated wooden planks, etc.,of unusual disposition. Amog the planks was a wooded plate about 14 inches long and ten iches wide. On the plate was engraved some words in old unknown language. In 1953 the Government of Soviet Union appointed an Investigation Commission seven specialits who concluded that these planks were part of the famous Arc of Noah and the wording engraved on the plate belong to a very old language known as Samani. These wordings were transformed into Russian and also translated into English by Professor N.F. Thomas, expert of old language from Manchester, England. There was a small figure of a palm of a hand and five fingers the wording were Mohammed, Alia, Shabber, Shabbir Fatema. “O my God, my helper I keef my hand with mercy with your holy bodies. They are all beggest and honorable. The world was established for them. Help me by their name, you can reform light.”

This plate is savely preserved in the Museum of Archeology and Research, moscow, Soviet Union.

Muhammad, Ali, Hasan, Husayn dan Fathimah

Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam–yang terkenal itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.

Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.

Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center “UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987)

Pada zaman Nabi Musa ‘alayhi l`salam, ketika Bani Isra`il diperintahkan Allah untuk mencari lembu betina dan mereka sangat rewel menerima perintah tersebut hingga akhirnya mereka merasa kesulitan dalam pencariannya sebab sapi betina itu sifat-sifatnya harus kuning langsat yang elok dipandang mata, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, tidak ada belangnya sedikit pun dan belum pernah digunakan untuk membajak tanah. Kemudian sapi tersebut mereka temukan namun harganya sangat mahal karena memang sapi betina tersebut tidak akan dijual. Akhirnya mereka kumpulkan harta untuk membayarnya. Setelah itu Bani Isra`il jatuh miskin dikarenakan hartanya habis dipakai membayar lembu betina, lantas mereka protes kepada Nabi Musa as. Kemudian Nabi Musa—‘alayhi l`salam—berkata kepada mereka : “Jahil kamu, alangkah butanya hati-hati kamu tidakkah kamu dengar doa pemuda yang punya lembu betina itu dan kekayaan yang diwarirkan Allah ta’ala kepadanya ? Tidakkah kamu dengar doa orang yang dibunuh yang digergaji yang dikaruniai usia panjang dan kebahagiaan serta kenikmatan dengan inderanya ? Mengapa kamu tidak berdoa semisal doa tawassul mereka agar Dia menutup kemiskinan kamu ?”. Kemudian mereka mengatakan (dalam doanya) : “Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung dan kepada karunia-Mu kami bersandar, maka hilangkanlah kemiskinan kami dan tutuplah kebutuhan kami dengan keagungan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn dan orang-orang yang baik dari keluarga mereka.” Kemudian tidak lama setelah mereka berdoa, Allah ta’ala mengembalikan kekayaan mereka. (Qashashu l`Anbiya` Hal 326).

Adapun arti dari doa tawassul tersebut adalah sebagai berikut : “Ya Allah, sesungguhnya kami menghadap kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari kesulitan dan kemiskinan dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn”. (Qashashu l`Anbiya`).

Sabda Nabi tentang Mereka

“Fahtimah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang membuatnya marah berarti dia telah membuatku marah.” (Shahihu l`Bukhari 2/308).

“Dia (Fathimah) adalah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang mencemaskannya berarti dia telah mencemaskan diriku, dan barangsiapa yang manyakitinya berarti dia telah menyakiti diriku”. (Shahihu l`Bukhari 3/265).

“Wahai Ali engkau adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat. Yang mencintaimu berarti mencintaiku, dan yang mencintaiku berarti mencintai Allah. Musuhmu berarti musuhku, dan musuhku adalah musuh Allah. Dan celakalah orang yang membencimu setelahku”. (Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/127).

“Barangsiapa mencintai Hasan dan Husayn berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membenci mereka maka sesungguhnya dia telah membenciku”. (HR. Ibnu Majah, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal 2/288).

Penutup

Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab 33 tidak berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw baik dilihat dari segi bahasa, asbabu l`nuzul, bayan dari Nabi saw, riwayat dari sebagian istri Nabi maupun secara faktual, karena disucikan sesuci-sucinya itu berarti tidak melakukan dosa-dosa dan kesalahan, sedangkan sebagian dari istri Nabi keadaannya tidaklah demikian.

Ahlulbait dalam Al-Ahzab 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husayn. Pada waktu ayat tersebut turun, mereka itulah Ahlulbait Nabi saw yang dihilangkan keraguannya dan disucikan (muthahharun). Ahlulbait Nabi yang disucikan masih ada sembilan orang lagi dari keturunan Imam Husayn as, mereka itu adalah : ‘Ali Zaynu l`’Abidin, Muhammad Al-Baqir. Ja’far Al-Shadiq, Musa Al-Kadzim, ‘Ali Al-Ridha, Muhammad Al-Jawad, ‘Ali Al-Hadi, Hasan Al-‘Askari dan Muhammad Al-Mahdi (Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kehadirannya) –salam atas mereka semuanya. Salman Al-Farisi—semoga Allah merahmatinya—telah mengatakan : “Saya datang kepada Nabi saw dan Husayn sedang berada pada pangkuan beliau, beliau mencium kedua matanya dan mengecup lidahnya seraya beliau mengatakan : ‘Engkau sayyid putra sayyid, engkau imam putra imam ayah para imam, engkau hujjah putra hujjah ayah para hujjah, sembilan orang lagi dari shulbimu dan yang kesembilannya adalah penegaknya (qa`imnya)’”.

Jadi Ahlulbait Nabi saw itu tiga belas (13) orang (Fathimah Al-Zahra` dan para khalifah Rasulullah yang dua belas (12). Umat Islam tidak boleh membenci mereka, sebab membenci mereka berarti membenci Nabi sedangkan membenci Nabi berarti membenci Allah ‘azza wa jalla, dan akhirnya ibadah kita kepada-Nya menjadi sia-sia.

Semoga Allah ta’ala memberi hidayah dan taufiq kepada kita dan kaum muslim yang lain hingga kita dapat menerima apa yang telah dipesankan Rasulullah : “Wahai manusia telah kutinggalkan padamu yang jika kamu berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku”.[]

Al Quran dan Konsep Ketuhanan

Sebelum menyebutkan ayat-ayat yang berkenaan dengan ketuhanan, kami terlebih dahulu ingin menjelaskan bahwa Al Quran tidak pernah melarang umat manusia menggunakan akalnya. Bahkan, menganjurkan mereka untuk menggunakan akalnya.

Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh, Kami turunkan Al Quran dengan (berbahasa) Arab, agar kalian berpikir.” (QS. Yusuf  2). Banyak ayat-ayat senada lainnya yang diakhiri dengan kalimat “afala ta’qilun, afala ta’lamun, atau afala yafqahun.”

Selain itu, Al Quran menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang, dengan ungkapan, “Mereka memiliki akal, tetapi mereka tidak memahami (berpikir). Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat dan mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang, bahkan lebih rendah dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-Araf : 179).

Al Quran sendiri mengujikan kebenaran dirinya kepada akal, “Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an. Sekiranya ia bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa : 82).

Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang telah meyakini wujud Allah, namun mereka masih ragu apakah Al Quran itu kalamullah atau bukan. Karena itulah Allah berfirman, “Sekiranya Al Quran bukan dari Allah, maka pasti mereka menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya.”

Akan tetapi, karena tidak ditemukan perselisihan di dalamnya, berarti Al Quran itu benar-benar dari Allah. Argumentasi yang dipakai Al Quran semacam ini, dalam istilah para ahli mantiq (logika), dînamakan Qiyas Istitsna’i.

Jadi, akal dijadikan sebagai alat yang digunakan untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan sebatas ruang lingkup dirinya sendirinya.

Dengan demikian, benarkah Al Quran melarang penggunaan akal ? Bagaimana pulakah Al Quran berbicara tentang ketuhanan ?

Perlu diketahui, bahwa Al Quran dijadikan sebagai dalil atas wujud Allah setelah terbuktikan keberadaan-Nya melalui akal. Oleh karena itu, kalangan Syi’ah Imamiah menjadikan Al Quran sebagai penguat dan pendukung dalil-dalil aqli (Lihat Buletin Risalatuna, edisi nomor 3).

Terdapat beberapa metode pendekatan yang dipakai Al Quran dalam membahas tentang wujud Allah Ta’ala, antara lain sebagai berikut :

Fitrah

Pada beberapa ayat Al-Qur’an, masalah Tauhid atau ketuhanan dianggap sebagai masalah fitrah, sehingga tidak perlu lagi dicari dalilnya, karena ia merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Betapa seringnya Al Quran berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan ini dari kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Ta’ala.

Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai fitrah ketuhanan :

  1. Surat Rum ayat 30 :

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagai fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah.”

Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Dîn merupakan fitrah manusia dan bagian dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah.

Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang mujtahid dan filosof kontemporer, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan, bahwa ada dua penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini,

Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti Tauhid dan Hari Akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan dengan kecenderungan manusia.

Kedua, tunduk kepada Allah Ta’ala mempunyai akar dalam diri manusia. Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai kesempurnaan yang mutlak.

Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri adalah ketergantungan, cinta dan menyembah kepada Yang Sempurna. Namun, menyembah kepada Yang Sempurna tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian, penafsiran kedua kembali kepada yang pertama. (Ma’arif Al-Qur’an, juz 1 halaman 31-32).

Allamah Thaba’thabai memberikan penjelasan mengapa Dîn itu merupakan fitrah. Dalam kitab Tafsir Al-Mizan, beliau berkata, “(Lantaran) Dîn tidak lain kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia bahagia dalam hidupnya. Tidak ada tuhan yang ingin dicapai manusia, melainkan kebahagiaan.”

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan untuk sampai kepada tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah berikut,

“Tuhan kami yang menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 50)

Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat bimbingan agar sampai kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah yang akan mengantarkan dirinya kepada tujuan hidupnya. (Tafsir Al-Mizan, juz 21 halaman 178-179).

  1. Surat Al-Araf ayat 172 :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak-anak Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari mereka atas diri mereka sendiri, Bukankah Aku ini Tuhan kalian ? Seraya mereka menjawab, Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (Hal ini Kami lakukan), agar di hari kiamat nanti kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya kami lengah atas ini (wujud Allah).”

Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Ta’ala dan mereka menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia.

Oleh karena itu, manusia betapapun dia besar, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.

Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain, merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Ta’ala semata. Itulah yang dînamakan fitrah bertuhan (fitrah ilahiyah). (Lihat kitab Tafsir Al-Mizan, juz 9 halaman 306-323).

Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah, maka ia tidak punya alasan untuk mengingkari dan lengah atas wujud Allah Ta’ala.

Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya hudhuri-syuhudi (ilmu hudhuri) dan bukan hushuli. (Lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 1 halaman 33)

  1. Surat Yasin, ayat 60-61:

’’Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus.”

Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia dan dijadikan sebagai bukti bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah (Kitab Fitrat, halaman 245).

  1. Surat Al-Ankabut ayat 65 :

“Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelematkan ke daratan, mereka kembali berbuat syirik.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana fitrah bertuhan itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan.

Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah tumbuh karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta. (Tafsir Namumeh, juz 16, halaman 340-341).

Oleh karena itu para ahli ma’rifat dan hikmah meyakini bahwa dalam suatu musibah terdapat hikmah yang besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali.

Ayat-ayat Afaqi

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, Al Quran juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya, bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah Al-Hilli dalam Kitab Bab Hadi al-‘Asyr halaman 7 menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena alam yang membutuhkan sebab, seperti diisyaratkan dalam ayat Al Quran berikut ini:

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (Haq).” (QS. Fushilat: 53).

Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan untuk mengajak kaumnya berpikir merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.

Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as tersebut dalam Al Quran surat Al-An’am ayat 75 sampai 79.

Ayat-ayat Al Quran yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikannya dalam dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran:190).

Atau ayat lain yang berbunyi, ‘’Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Yunus: 6). Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat semacam ini, bacalah pula surat An-Nahl ayat 3 sampai 17.

Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah ta’ala. Karena secara akal tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semua itu akan mengalami perubahan atau hadits. (Lihat pembahasan Burhan Huduts).

Demikian pula yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan serta benda-benda langit lainnya yang teratur, tanam-tanaman di dalam bumi yang disirami air yang tumbuh besar lalu mengeluarkan ranting-ranting yang dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan memberikan berbagai buah-buahan dengan seribu rasa. Subhanallah.

Begitulah semuanya berlangsung dengan sangat teratur. Tiada lain semua hal itu menunjukkan wujud Allah Ta’ala semata. (Lihat pembahasan Burhan an-Nidham).

Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah berikut ini, “Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. Lalu dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (QS. An-Nahl: 68-69).

Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain untuk menghisap cairan yang  terkandung di dalamnya, lalu darinya dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

Di bagian pertama makalah ini anda telah baca Ayat-ayat tentang ketuhanan, di samping ayat fitrah dan afaqi terdapat pula beberapa ayat Qur’an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (burhan aqli).

Dalam hal ini kami akan mencoba mengupas beberapa ayat tentangnya, antara lain :

  1. Surat Al-Anbiya ayat 22

“Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.”

Dalam terminologi ilmu mantiq (logika Aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan Qiyas Istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali. Ia mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali itu keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit.

Sehubungan dengan ayat tersebut, jika Tuhan itu berbilang teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut oleh para mutakalimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu.

Yang menentukan benar tidaknya qiyas istitsna’i ini, adalah sejauh mana  konsekuensi  logis (mulazamah aqliyyah) atau keterkaitan antara muqaddam dan tali. Jika konsekuensi logis dan keterkaitan itu dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu benar. Sebaliknya, jika keduanya tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu tidak benar.

  1. Surat Al-Mukminun ayat 91                 

“Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping-Nya. (Karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian lainnya.”

Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka.

Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan.

          Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya ? Jika dapat, maka yang kalah bukan Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan karena Tuhan adalah Maha Kuasa.

  1. Surat Al-Isra ayat 42  

“Katakanlah, seandainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik Arsy.”

Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan dua ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i.

Allamah Thabathaba’i dalam mengomentari ayat di atas berkata, “Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa Tuhan di samping Allah Ta’ala, sebagaimana yang mereka yakini dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu. (Tafsir Al-Mizan, jilid 13 halaman 106-107).

Dalam ayat tersebut disinggung kata-kata Arsy sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya sebagai bukti kebesaran mereka.

  1. Surat Al-Qashash ayat 71-72

“Katakanlah, Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian ? Maka apakah kalian tidak mendengar ?”

“Katakanlah, Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat ? Tidakkah kalian perhatikan ?” 

Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuasa.

  1. Surat Al-Baqarah ayat 258

“Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat ? Maka terdiamlah orang kafir.”

Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan Raja Namrud yang mengaku sebagai Tuhan. Beliau ingin mematahkan argumen Namrud, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.

Sudah tentu permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Raja Namrud, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam.

Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang Nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik.

Sehubungan hal di atas, Allah Ta’ala sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan beliau dengan orang-orang musyrik, misalnya dalam surat Al-Anbiya ayat 62 sampai ayat 65.

  1. Surat Al-Maidah ayat 17 

“Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah Al-Masih putera Maryam. Katakanlah, Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan Al-Masih putera Maryam dan ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini ?”

Penuhanan Nabi Isa as. sudah berlangsung ada sejak zaman diturunkannya Al-Qur’an, bahkan jauh sebelumnya.

Dengan ayat di atas Allah ingin menyatakan, bahwa Isa Al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa Al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.

  1. Surat Al-An’am ayat 101

“(Tuhan) Pencipta langit dan bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia tidak beristri ? Dia telah menciptakan sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

  1. Surat Fathir ayat 15

“Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” 

Kata faqir berarti sesuatu atau seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir, artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Shadra, seorang filosof muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqr wujudi. Pengertian benar-benar faqir diambil dari huruf alif lam ta’rif pada kata al-fuqara (lihat teks arabnya yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr).

Sedangkan kata al-Ghani berarti yang tidak membutuhkan apapun. Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa. Ketidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.

  1. Surat Al-Hadid ayat 3    

“Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Termasuk keMaha Sempurnaan Allah, adalah Dia yang paling pertama dan terdahulu sehingga tiada yang lebih dahulu dari-Nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang paling akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya.

Demikian pula Dia yang paling tampak dan jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi. Itu semua ada pada-Nya, karena Dialah illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).

  1. Surat Asy-Syura ayat 11 

“Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.”

Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah Ta’ala. Tiada satupun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh dan berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.

Mengapa Kita Beragama?

“Dasar pertama agama (dîn) adalah mengenal-Nya”.

Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan bukti).

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).

Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu membicarakan tentang dîn itu sendiri.

Apa itu Dîn?

Dîn berasal dari bahasa Arab dan dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa(etimologi), dîn diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“  Demikian pula dalam sebuah hadis, dîn diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).” Sedangkan menurut terminologi Teologi, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Berdasarkan hal di atas, dîn mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (akidah), (2) hukum (syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan menjalankan dîn, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-dîn dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia.

Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah dan hari akhirat.

Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya, karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.

Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal budi (‘aql ‘amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak – “la dîna liman la akhlaqa lahu.” Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada syariat.

Dari ketiga dimensi dîn tersebut, keyakinan (akidah) menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim, kristiani, yahudi atau lainnya.

Mengapa kita beragama?

Marilah kita kembali pada pertanyaan semula, “mengapa kita beragama ?”

Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.

Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa, 28).  “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.

Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari Allah, bukan hasil usahanya).

Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Al Quran ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).

Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).

Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Dîn adalah bagian dari fitrah manusia.

Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).

Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.

Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama

Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:

1. Agama muncul karena kebodohan manusia.

Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.

Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.

Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.

2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)

Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi, takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama).

3. Agama adalah produk penguasa

Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.

Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah

Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman.

Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat.

Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis sosialisme menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah.

Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri.  Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri. []

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.

Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.

Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.

Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.

Apakah benar demikian ?

Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.

Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.

Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.

Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Dîn terdiri atas tiga macam, yaitu akidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1. Akidah

Akidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.

Pada dasarnya, inti dari akidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman,“Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).

Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.

Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.

Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?

Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al Quran maupun Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.

Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari akidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddîn, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).

Bagaimana kita berakidah atau bagaimana cara kita mempelajari akidah ?

Ayatullah Muhammad Rey Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang berakidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang berakidah atas dasar taqlid dan lainnya berakidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.

Berakidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah akidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al Quran sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al Quran mengatakan, “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).

Selain itu, Al Quran juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al Quran menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.

Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)

Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah akidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat

Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).

Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.

Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).

Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS. Lukman : 25).  Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.

Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’

Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al Quran dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al Quran dan Hadis tidaklah mudah.

Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.

Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al Quran dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.

Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al Quran dan Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah akidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak

Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.

Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah berakidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.