Nawashib Dan Keraguan Terhadap Al-Qur’an


Sanggahan terhadap Kelompok Nawashib Masa Kini

buta telah melemah dan hari-harinya yang ganas telah berlalu. Dan bahwa kaum Muslim sekarang telah merasa betapa berat-nya akibat pertengkaran dan permusuhan di antara sesama mereka sehingga menjadikan mere­ka mangsa binatang-binatang liar, bahkan serangga-serangga yang men-jijikkan. Kami mengira bahwa mentari kebenaran telah terbit dengan munculnya percetakan-percetakan modern dan tersebarnya buku-buku karangan kaum Syi’ah, sehingga tidak ada lagi penyebar fitnahan dan kebohongan tentang mereka. Namun kaum Nawashib*) ternyata tidak mau berbuat lain kecuali membangkitkan kembali fitnah (bencana besar) yang tadinya sedang tidur nyenyak, dan mengobarkan api per­musuhan yang membakar segalanya. Semata-mata “demi memecah-belah di antara kaum Mukmin dan menunggu kedatangan orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” Dan sungguh mereka akan bersumpah, “Tiada yang kami kehendaki kecuali kebaikan.” Padahal Allah bersaksi bahwa mereka itu adalah para pendusta . . . (At-Taubah: 107).

Akhir-akhir ini, di negeri Siria telah berkumpul sekelompok orang, antek-antek kaum Umawiyin, yang kebiasaannya minum khamr dan melakukan perbuatan keji. Mereka ini menyerukan agar kaum Muslim kembali mengikuti jejak para pendahulu mereka yang durjana, demi nienghidupkan lagi sistem Umawiyah Yazidiyah yang telah terbenam jauh ke dalam kesesatan dan menyimpang jauh Jari jalan kebenaran. Mereka tak segan-segan mengangkat kepala mereka dengan keangkuhan dan melepaskan kendali pena-pena mereka untuk merekam segala kebatilan, melemparkan pelbagai tuduhan amat keji dan kebohongan menjijikkan kepada kaum Syi’ah, seraya “mengira diri mereka melaku kan perbuatan  kcbajikan; padahal mereka itu adalah kaum perusak, namun jnereka tak merasakan.. .”

Mereka   telah   membuat   perencanaan   yang jahat,  menerbitkan majaiah simpatisan kaum Umawiyin yang memuat tulisan-tulisan amat kasar  sehingga membuat  gemetarnya semua anggota badan.  Namun

beberapa penulis dari kaum muda yang Mukmin telah menyanggahnya dengari  hujah-hujah  yang jitu dan membuatnya diam tak berkutik. Seorang yang bernama Nasyasyibi bergelimang dalam kubangan kcjahatan dengan melontarkan serangan-serangan membabi-buta (terhadap kaum Syi’ah), tetapi segera berdiam diri setelah dijawab dengan jawaban yang mematikan. (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam). Demikian pula seorang bemama An-Nashuli memusatkan serangan- nya kepada Imam Ah’ a.s., maka dengan itu ia telah keluar dari agama Islam. Pikirannya kacau dan akalnya rusak, sedangkan lidahnya selalu terjulur   keluar   (dengan   ucapan-ucapannya yang  melampaui  batas). Masih ada lagi seorang bernama Al-Kiyali yang menggabungkan dirinya  dengan  barisan yang telah kehilangan akal-sehatnya, namun dengan tindakannya itu ia justru membuktikan betapa dirinya menjadi bahan tertawaan karena diragukan kelurusan pikirannya.

Apa gerangan yang mendorong orang-orang rendah budi itu menyusun barisan khayalan, dan apa pula tujuan mereka sebenarnya ketika berupaya menghidupkan kembali kefanatikan kelompok yang telah redup sejak waktu yang cukup lama?

Namun memang demikianlah nasib orang-orang yang membalut kepalanya dengan ikatan kehinaan, mencocok hidungnya sendiri dengan tali kenistaan, berteman dengan minuman terlarang, meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu) yang jahat. Patutlah bagi mereka segala akibat buruk, diliputi rasa malu yang membuat kepala tertunduk.

ringan rasanya seandainya lawanku itu seorang ksatria dari Bani Hasyim yang berkerabat dengan Bani Abdul-Madani namun, lihatlah dengan siapa ku beroleh cobaan!

Tak kurangnya pula majaiah Al-Manar yang telah melampaui batas, menuduh dan mengumpat, mencela dan menghina, serta ikut melontarkan tuduhan-tuduhan penuh dusta kepada kaum Syi’ah. Dan barangsiapa melakukan kesalahan atau dosa kemudian dituduhkannya kepada orang tak bersalah, maka sesungguhnya ia telah melakukan kekejian dan dosa nyata. (An-Nisa: 112). Dalam Vol. XXIX, majaiah itu menujukan serangan bertubi-tubi, melebarkan luka agama serta para penganutnya, seraya mengobarkan api fitnah, berpegang pada “tanduk

sctan”, mengambil hati Khawarij abad keempat belas ini demi mencari kcuntungan duniawi. Maka cclakalah mereka yang menulis dengan iangan mereka sendiri lalu berkata, “Ini berasal dari Allah” demi mem-peroleh harga (keuntungan) yang sedikit dengannya. Celakalah mereka disebabkan apa yang mereka tulis dan celakalah mereka dengan apa yang mereka peroleh. (Al-Baqarah: 79)

Sungguh merugi orang yang berganti-ganti warna setiap harinya bagaikan bunglon, mengubah siasat sekehendak hatinya. Sehari di Hazwa, sehari di ‘Aqiq, sehari di ‘Udzaib dan sehari lagi di Khulaisha’.

Dalam juz VI, Vol. XXIX, Al-Manar secara berturut-turut telah ikut menyuarakan semboyan kaum Nawashib dengan menyebarkan pelbagai khurafat dan kepalsuan yang memecah-belah di antara kaum Muslim. Yaitu dengan memuat sebuah tulisan dari seorang Nashibi yang kosong dari segalanya kecuaii kebohongan dan umpatan. Mana gerang­an kebangkitan yang — katanya — ingin ditegakkan oleh Al-Manar, berlandaskan wahdah (kesatuan) Islamiah? Mana pula perjuangan yang * katanya — ingin dilancarkan terhadap segala bid’ah dan khurafat? Tidak mungkin! Tidak mungkin ia akan berhasil dengan cara-cara seperti itu. (Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang berbudi-rendah di antara kami). Kami berlindung kepada-Mu dari kesesatan hawa nafsu mereka serta kejahatan pikiran mereka; dari kebutaan mata mereka dan kezaliman orang-orang hina di antara mereka! Kami berlepas-tangan dari kefanatikan mereka yang menjijikkan. Dengan itu mereka telah memecah kesatuan kaum Muslim dan — tak pelak lagi — menyebabkan kegagalan serta hilangnya kekuatan Islam, sedemikian sehingga me-norehkan luka yang amat dalam pada hati dan jiwa mereka.

Seputar Keraguan terhadap Al-Quran

Kami juga menyesalkan sikap sebagian dari ikhwan yang kami hormati dan yang kami memiliki persangkaan baik terhadap mereka. Kami sungguh menyesali sikap mereka yang berburuk sangka terhadap para penganut paham Syi’ah, dengan menuduhkan julukan Rafidhi*) serta menisbahkan pelbagai kebatilan kepada mereka. Ikhwan kami ini rupa-rupanya telah terkelabui oleh sikap sebagian orang terdahulu yang telah, menjelek-jelekkan kaum Syi’ah dan memberikan julukan itu kepada mereka. Lalu ia mempercayai mereka begitu saja dan mengikuti mereka dalam setiap ucapan yang mereka ucapkan. Karena itu, kami tidak hendak menujukan kecaman — tetapi hanya penyesalan — kepada Ar-Rafi’iy**) ketika ia menulis (daiam bukunya, Tahta Rayat Al-Qur’an.halaman 161), “Bahwa kaum Rafidhi tclah mcragukan nash Al-Quran. Mereka berkata bahwa telah terjadi kekurangan dan kelebihan scrta pemalsuan dan perubahan padanya. . .”

Tak ada salahnya, apabila kami bertanya kepadanya: “Siapakah gerangan yang Anda maksudkan dengan ‘kaum Rafidhi’ dalam kalimal di atas? Apakah kaum Imamiyah yang Anda maksud, atau orang-orang selain mereka? Jika mereka itulah (kaum Imamiyah) yang Anda maksudkan, tentu Anda telah dikelabui dan dibohongi oleh sumber yang Anda kutip. Sebab, siapa saja yang telah menisbahkan kepada mereka pernyataan tentang adanya tahrif (pemalsuan dan perubahan) dalam Al-Quran, maka ia adalah seorang pendusta yang aniaya terhadap mereka. Kesucian Al-Quran Al-Hakim termasuk di antara hal-hal yang bersifat dharuri (aksiomatis, tidak boleh tidak) dalam agama Islam yang mereka anut, khususnya dalam mazhab Imamiyah yang mereka ikuti. Barangsiapa — di antara kaum Muslim — yang meragukannya, maka ia dianggap murtad dengan ijma’ kaum Imamiyah. Dan jika pernyataan keraguannya itu telah terbukti, ia akan dijatuhi hukuman mati, kemudi-an tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disembahyangi dan tidak dikubur dalam kuburan kaum Muslim.

Semua ayat Al-Quran secara umum, apalagi nash-nash-nya. secara khusus, adalah hujjah Allah yang paling tegas serta dalil (petunjuk) paling kuat bagi Ahlul-Haqq. Penilaian seperti ini, dalam mazhab Imamiyah, termasuk kesimpulan aqliyah yang amat mendasar, tiada keraguan sedikit pun tentangnya. Oleh sebab itu, kaum Imamiyah tidak dapat menerima “hadis” apa pun yang jelas-jelas berlawanan dengan Al-Quran. Mereka tidak mempedulikannya walaupun tergolong hadis yang sahih sanadnya. Hal ini dapat dilihat secara tegas dalam buku-buku mereka di bidang hadis, fiqih dan ushul.

Al-Quran Al-Hakim yang tiada tersentuh oleh kebatilan dari depan maupun belakangnya ialah seperti yang tercantum dalam mushaf yang sekarang beredar dan dimiliki oleh kaum Muslim, tidak lebih satu huruf dan tidak pula kurang satu huruf. Tidak ada pergantian atau perubahan kata dengan kata lainnya, atau huruf dengan huruf lainnya. Setiap huruf di antara huruf-hurufnya sampai kepada kita secara mutawatir pada setiap generasi, secara pasti dan qath ‘iy, terus-menerus secara ber-sinambungan, dari masa wahyu dan nubuwwah sampai masa kita seka­rang. Pada masa nubuwwah yang suci itulah Al-Quran telah terhimpun seperti yang kita kenal sekarang. Sekali setiap tahunnya, Jibril a.s. mencocokkannya bersama Rasulullah saw., dan pada tahun terakhir kehidupan Rasulullah saw., Jibril mencocokkannya sehingga dua kali. Banyak di antara para Sahabat yang mencocokkan dan membaca-nya di hadapan Nabi saw. sehingga mereka rnengkhatamkannya be-berapa kali. Hal ini termasuk pengetahuan yang dharuri dan tak diragu-kan sedikit pun oleh para ulama muhaqqiqin di kalangan Imamiyah. Kalau pun ada pendapat berbeda di kalangan hasyawiyah (orang awam yang sangat sedikit pengetahuannya) maka hal itu tidak termasuk dalam

pcnilaian, karena mereka itu memang tidak mengerti.

Para peneliti dari kalangan Ahlus-Sunnah pun mengetahui bahwa kedudukan Al-Quran dalam pandangan kaum Imamiyah, tidak lain kecuali seperti yang telah kami sebutkan di atas. Semua para ahli yang memiliki penilaian yang adil menegaskan hal itu secara terus-terang.

Al-Imam Al-Hindi (rahimahullah) seorang ‘alim dan peneliti ter-kemuka (dari kalangan Ahlus-Sunnah) dalam bukunya yang amat ber-harga, Izh-har Al-Haqq (bagian kedua, halaman 89) berkata, sebagai berikut: “Al-Quran Al-Karim, dalam pandangan jumhur (mayoritas) ulama Syi’ah Imamiyah Itsna-‘Asyariyah, senantiasa terpelihara dari perubahan apa pun. Siapa saja, yang menyatakan adanya kekurangan padanya, pernyataannya itu tertolak dan tak dapat diterima mereka.”

Katanya lagi: “Asy-Syaikh Ash-Shaduq Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Babawaih (Babuyah[?]), seorang yang tergolong ulama terbesar kalangan Imamiyah Itsna-‘Asyariyah, telah menulis dalam bukunya Ar-Risalah Al-I’tiqadiyah, antara lain: ‘Keyakinan (i’tiqad] kami mengenai Al-Quran ialah bahwa Al-Quran yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya ialah yang tercakup di antara dua kulit (cover}-nya (atau baina ad-daffatain). Yaitu yang ada di tangan kaum Muslim seka rang, tidak lebih dari itu. Jumlah surahnya, menurut perhitungan orang orang selain kami, sebanyak seratus empat belas surah. Adapun, menurut kami, surah Adh-Dhuha dan Alam Nasyrah adalah satu surah. Demikian pula Li-ilafi Quraisy dan Alam Tara adalah satu surah. Dan barangsiapa menisbahkan kepada kami ucapan bahwa Al-Quran lebih banyak dari itu, maka ia telah berdusta’.”

Kata Al-Imam Al-Hindi lagi: “Dalam kitab Tafsir berjudu! Mo/ma’ Al-Bayan, sebuah kitab tafsir mu’tabar di kalangan kaum Syi’ah, ter­cantum pernyataan As-Sayyid Al-Murtadha ‘Alam Al-Huda Abu Al-Qasim Ali bin Husain Al-Musawi sebagai berikut: ‘Pada masa Nabi saw., Al-Quran telah terhimpun dan tersusun seperti keadaannya sekarang.’ Pernyataannya ini berdasarkan kenyataan bahwa pada masa itu, Al-Quran telah dipelajari dan dihapal semuanya. Sedemikian sehingga ada beberapa orang dari kalangan Sahabat Nabi saw. yang ditunjuk untuk menghapalnya. Selain itu, Al-Quran dibacakan di hadapan Nabi saw. sehingga beberapa di antara Sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud dan Ubaiy bin Ka’b rnengkhatamkannya beberapa kali di hadapan beliau. Semua itu, dengan sedikit pengamatan, menunjukkan bahwa Al-Quran, pada masa itu, telah terhimpun secara tertib, tidak terpotong-potong dan tidak tercerai-berai.”

Kata Al-Imam Al-Hindi lagi: “Juga disebutkan bahwa siapa saja yang memiliki pendapat yang bertentangan dengan pernyataan di atas, baik dari kalangan Imamiyah ataupun Hasyawiyah, maka pendapat mereka itu tidak masuk hitungan. Pendapat seperti itu biasanya berasal dari as-hab al-hadits (orang-orang yang mudah mernpercayai setiap ‘hadis’ tanpa penelitian yang.diperlukanl Mereka ini mengutip berita-berita (akhbar) yang lemah yang mereka perkirakan sebagai hadis sahih.

Padahal belum dapat dipastikan kcsahihannya.”

Katanya lagi: “Telah berkata lagi As-Sayyid AI-Murtadha, bahwa pengetahuan tentang kesahihan Al-Quran seperti halnya pengetahuan tentang kota-kota, peristiwa-peristiwa besar yang masyhur dan syair-syair bangsa. Arab yang tercatat. Bahkan perhatian yang ditujukan ter-hadap Al-Quran jauh lebih besar, di samping lebih kuatnya alasan yang mendorong untuk itu, jauh lebih besar dan kuat daripada yang ber-kaitan dengan hal-hal selain Al-Quran yang telah kami sebutkan. Sebab-nya ialah, Al-Quran merupakan mukjizat kenabian serta sumber ilmu-ilmu syariat dan hukum-hukum agama. Ulama kaum Muslim telah men-capai puncak dalam hal menghapalnya, memeliharanya dan mem-pelajarinya, sedemikian sehingga mereka mengetahui segala suatu tentangnya; i’rab-nya, qira-at-nya, huruf-huruf serta ayat-ayatnya. Karena itu, betapa mungkin ia mengalami perubahan atau pengurangan sedangkan perhatian kepadanya begitu besar dan pemeliharaan ter-hadapnya begitu setia dan teliti?!”

Kata Al-Imam Al-Hindi lagi: “Al-Mulla Shadiq menulis dalam Syarh Al-Kulainiy bahwa Al-Quran akan tetap keadaannya seperti sekarang pada saat munculnya kembali Al-Imam yang Keduabelas.”

Katanya selanjutnya: “Maka dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa menurut pandangan yang telah di-tahkik-kzn oleh ulama kelom-pok Al-Imamiyah Al-Itsna ‘Asyariyah, Al-Quran yang telah diturunkan Allah kepada Nabi-Nya ialah ‘ma baina ad-daffatain’ (yang tercakup dalam mushaf) yaitu yang beredar di kalangan kaum Muslim sekarang; tak lebih dari itu. la (Al-Quran) telah terhimpun dan tersusun sejak masa Rasulullah saw. Ribuan orang di kalangan para Sahabat meng­hapalnya dan menukilnya. Beberapa dari mereka, seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubaiy bin Ka’b, dan lainnya mengkhatamkannya beberapa kali di hadapan Rasulullah saw. Dan kelak ketika munculnya kembali Al-Imam yang Keduabelas, Al-Quran tetap dikenal dengan susunan dan urutan seperti yang sekarang juga.”

Katanya lagi: “Adapun beberapa gelintir orang yang menyatakan telah terjadinya perubahan, maka ucapan mereka itu tertolak dan tidak masuk hitungan di kalangan mereka (yakni kaum Imamiyah).”

Katany* lagi’: “Adanya sebagian berita yang lemah yang diriwayat-kan dalam mazhab mereka, tidak mempengaruhi sedikit pun apa yang telah diketahui dan dipastikan keabsahannya.”

Katanya kgi: “Kesimpulan seperti itu memang benar, sebab berita orang per orang yang mendatangkan suatu pengetahuan harus ditolak apabila tidak ada petunjuk (dalil) qath’iy yang sesuai dengannya. Se­demikian itWilah pernyataan Ibn Al-Muthahhar Al-Hilliy dalam bukunya, Mabadi AlWushul ila ‘Ilm Al-Ushul. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr: 9).”

Kata Al-Imam Al-Hindi lagi: “Disebutkan dalam kitab Tafsir, Ash-Shirath Al-Mustaqim, yang merupakan tafsir mu’tabar di kalangan

ulama Syi’ah, bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut di atas ialah: ‘Kami (Allah) benar-benar memeliharanya dari segala pemalsuan, perubahan, tambahan dan kekurangan’.”

Nah, demikianlah yang dinyatakan oleh Al-Imam Al-Hindi sesuai dengan aslinya. Kami mencukupkan diri dengan kutipannya dari ucap-an-ucapan para tokoh Syi’ah Imamiyah yang tercantum dalam kitab-kitab mereka yang mu’tabar (dikenal dan diakui). Hal ini mengingat bahwa untuk mengutip semua pernyataan para penulis lainnya (dari kalangan Ahlus-Sunnah) mengenai masalah ini, pasti akan menyalahi tujuan kami untuk menulis secara singkat saja dalam buku ini, agar tidak membosankan.

Memang seharusnyalah bagi siapa saja yang hendak mengutip pandangan-pandangan yang berasal dari pelbagai kelompok ataupun bangsa, untuk mengikuti cara Al-Imam Al-Hindi tersebut, yaitu dengan mengandalkan kitab-kitab yang mu ‘tabar di kalangan kelompok atau bangsa itu. Dan janganlah sekali-kali mengandalkan ucapan-ucapan para lawan dan musuh mereka yang sudah tentu hendak membuat provokasi dan intimidasi.

Kami sangat menghargai buku yang bermutu, Tahta Rayat Al-Qur’an, dan penulisnya, al-mushthafa ash-shadiq (yang terpilih dan yang tulus).*) Kami meyakini beliau adalah seorang yang luas pengetahuan-nya dan mulia akhlaknya. Sungguh kami sangat ingin seandainya buku bermutu tersebut yang dikarang untuk seluruh kaum Muslim, tidak mengandung hal-hal yang dapat menyinggung perasaan kaum Syi’ah. Sedangkan mereka itu adalah salah satu tiang agama dan separuh kaum Muslim. Di antara mereka terdapat para raja, amir, ulama, sastrawan, penulis, politisi, pemikir, pedagang, pejuang Islam, genius serta orang-orang yang tinggi semangatnya, mulia akhlaknya dan murah tangannya. Mereka itu tersebar di mana-mana di pelbagai negeri. Maka tidaklah bijaksana menganggap remeh orang-orang seperti itu, sedangkan mereka itu tergolong para pemegang kekuasaan, kekuatan dan kekayaan. Dan mereka itu telah banyak menyumbangkan harta-bendanya demi kemajuan agama, dan banyak pula di antara mereka yang telah mengor-bankan jiwa-raganya demi membela kaum Muslim secara keseluruhan.

Sungguh tidak selayaknya beliau mengandalkan omongan orang-orang yang hanya ingin menimbulkan sensasi, hasutan dan fitnahan, untuk kemudian dikutip dalam buku karangannya itu. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman:

Wahai orang-orang beriman, apabila datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. . . (Al-Hujurat: 6).*

*)    Lihat catatan kaki sebelum ini dari penerjemah. Di sini, oleh Al-Musawi, dilukiskan tentang sifat pengarang buku tersebut yang sesuai dengan naznanya: Mushthafa Shadiq Ar-RafiHy — penerj.

1)        Bab ini adalah bab tambahan yang kami tulis untuk cetakan II buku ini, demi menyang-gah kaum Nawashib yang tak henti-hentinya melontarkan kebohongan demi kebohong­an. Dan kaiau pun setelah ini mereka masih terus mengulangi perbuatannya, kami sen-diri merasa telah melaksanakan kewajiban terhadap Allah SWT.

*)        Nawashib adalah kata jamak dari Nashibi yang berarti orang yang membenci Ahlul-Bayt dan memaklumkan pennusuhan terhadap mereka — Penerj.

*)       Rafidhi ialah julukan penghinaan bagi orang yang membenci bahkan melaknat Abu Bakar dan Umar r.a. Namun adakalanya digunakan untuk menyebut kaum Syi’ah secara keseluruhan — Penerj.

**)     Nama lengkapnya: Mushthafa Shadiq Ar-Rafi’iy, seorang penulis dan sastrawan besar yang hidup di Mesir beberapa dasawarsa yang lalu — penerj.

Syarafuddin Al-Musawi

 Mengapa Syi’ah Rafidha Syiah adalah Rafidhah?

Istilah Rafidha-Syi’ah

Leave a comment