Darah Imam Husain Darah Kebenaran, Darah Orang Kecil


Pada tahap awal, perdebatan di antara mazhab-mazhab pemikiran besar berkisar pada bagaimana manusia mengeksploatasi kemampuan berpikirnya: daya nalar dan kekuatan intelektualnya. Setelah tahap ini terlewati, yaitu setelah manusia memiliki metodologi berpikir, setelah manusia terlepas dari gua alegorisnya Plato dan detoksinasi candu agamanya Karl Marx, tahap perdebatan selanjutnya berpindah pada tema yang paling sosiologis, yakni bagaimana melepaskan manusia dari perbudakan ekonomi dan belenngu kemiskinan.

Dalam dunia filsafat, tahap awal diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Descartes, John Lock, Jean Paul Sartre, dan sebagainya. Tahap berikutnya diwakili oleh pemikir besar seperti J.B. Say, Smith, Malthus, Ricardo, Karl Marx, Keyness, dan sebagainya. Tahap pertama melahirkan revolusi ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Tahap kedua memunculkan gebrakan dan pergeseran cara pandang manusia di bidang ekonomi.

Di dunia Islam, tahap pertama diwakili oleh Nabi Muhammad Saww. Ketika menerima wahyu pertama “Iqra “. Sebuah kata yang, walaupun singkat, namun ibarat anak panah yang mengandung visi dan misi yang terlontar jauh ke depan. Pembebasan dimulai. Detoksinasi terhadap agama paganisme dilakukan. Peradaban madani terbentuk.
Tahap berikutnya diwakili oleh Imam ‘Ali ketika mengatakan “Seandainya kemiskinan berwujud, maka yang pertama yang akan kumusnahkan adalah sosok kemiskinan itu”. Dan tekad ini dibuktikan selama masa pemerintahannya yang— walaupun singkat— mempertontonkan kualitas keadilan yang amat mengesankan, termasuk oleh pemikir non-muslim sekalipun.

Keadilan adalah kata yang paling menyenangkan orang kecil tetapi sangat menakutkan bagi mereka yang haus kekuasaan. ‘Ali kemudian tewas di tangan suruhan orang terakhir ini.

Itu Nabi Muhammad. Itu ‘Ali. Bagaimana kalau darah kedua filosof dan pemikir besar itu dipertautkan? Itulah Imam Husain. Dengan menggunakan bahasa politik, Husain sebetulnya bisa saja selamat dari pedang Yazid. la tetap bisa hidup enak. Namanya tetap bisa harum — sebagai pewaris sah darah keturunan Rasulullah — di bawah bayangan penguasa Bani Umayyah, dengan sedikit menggunakan eufemisme dan apologetika. Toh, dari jauh dan bagi mereka yang berpenglihatan kurang awas, gray area (wilayah abu-abu) bisa kelihatan putih.

Tetapi ia tidak melakukan itu. la hendak menunjukkan kepada mereka yang berpenglihatan kurang awas sekalipun bahwa antara yang hak (rasional) dan yang batil (irasional) ada garis demarkasi yang jelas..Dan garis itu adalah darah Imam Husain sendiri. Antara yang dihisap dan yang penghisap ada wilayah yang tidak samar. Dan wilayah itu adalah Tanah Karbala.
Kesyahidan Imam Husain adalah fakta dan titah kakeknya baginda Nabi, dalam sabdanya: “Saya lahir di tengah-tengah orang miskin, mati di tengah-tengah orang miskin, dan kelak dibangkitkan di tengah-tengah orang miskin”.

Bagi Husain, ketertindasan orang kecil bukanlah bahan pengisi proposal permintaan dana belaka. Atau sekadar wacana yang diperdebatkan di tempat-tempat mewah oleh orang-orang yang hidupnya kenyang. Juga bukan permen ideologi untuk menggantikan posisi penindas.

Bagi Husain, ketertindasan adalah fakta sosiologis. Dan fakta di sini bukanlah pihak ketiga yang terletak jauh di bawah sana. Melainkan realitas di mana dia sendiri hidup dan ada di dalamnya. Sehingga baginya, melarikan diri dari sana seraya bergaul dan berkumpul di rumah orang-orang berada adalah sebentuk hipokrisi. Sebentuk eskapisme mental sambil menghibur diri dengan mengulang-ulangi ritual-ritual keagamaan.

Imam Husain sadar bahwa secara rasional setiap orang bisa berempati dan berpihak pada nasib orang-orang kecil. Tetapi jika tidak berpihak pada realitas sosial yang sesungguhnya maka rasionalitas semacam itu kehilangan bobot intelektualnya. Rasionalitas semacam itu adalah rasionalitas buku dan pusat-pusat kajian belaka. Rasionalitas yang tidak bisa memberikan perubahan apa-apa.

Rasionalitas Imam Husain adalah perkawinan antara rasionalitas Descartes dan rasionalitas Adam Smith, antara John Lock dan Keyness. Imam Husain tidak saja ingin mendetoksinasi “candu agama berpikir” manusia tetapi sekaligus menghilangkan distorsi pasar yang dapat menyebabkan bertumpuknya kekayaan di tangan segelintir kecil orang-orang yang dekat dengan penguasa.

Itulah sebabnya, dalam memperingati Syahidnya Imam Husain di hari ‘Asyura, masyarakat Indonesia menggunakan dua macam bubur: merah dan putih. Bubur putih adalah simbol kebenaran rasional sementara bubur merah adalah simbol pembebasan nyata orang-orang tertindas.

Di suatu hari pengikut Imam Husain berada di tengah-tengah tumpukan buku tapi di hari lain mereka berada di tempat-tempat kumuh seraya mengulang-ulangi pertanyaan Nabi Muhammad Saw setiap selesai Shalat Shubuh:
“Siapakah di antara kalian yang hari ini punya anggota-anggota keluarga yang sakit?”
“Siapa di antara kalian yang hari ini kematian?”
“Siapa di antara kalian yang hari ini tidak bisa makan?” []

(*Muhammad Rusli Malik)

Untitled-1

Suatu hari seseorang mendatangi Imam Husain dan berkata: Aku seorang laki-laki yang selalu berbuat dosa. Aku tak sanggup untuk tak berbuat dosa. Karena itu, nasehatilah diriku agar menjadi orang yang sadar.
Imam Husain lalu berkata:
5 (lima) perkara, yang dengannya kau boleh bermaksiat sesukamu.

Pertama, janganlah memakan dari rezeki Allah, lalu bermaksiatlah sesukamu.

Kedua, keluarlah dari kepemimpinan Allah, lalu bermaksiatlah sesukamu.

Ketiga, Carilah tempat yang Allah tidak melihat perbuatanmu, lalu maksiatlah sesukamu.

Keernpat, jika datang Malaikat Maut untuk mencabut ruhmu maka tolak dan
usirlah dari dekatmu, lalu bermaksiatlah sesukamu.

Kelima, jika Malaikat Malik datang untuk memasukkanmu ke api neraka maka jangan mau masuk neraka, lalu bermaksiatlah semaumu.
(Bihar al-Anwar,juz 78, hal. 126)

Leave a comment