AL QURAN DAN AHLULBAIT, KEMAKSUMAN DAN IMAMAH


Tulisan ini di paste dari alhassanain.org dan untuk lebih jelasnya agar tak terlihat fiktif lihat daftar isi suite pada bagian akhir tulisan.

MENGAPA MAZHAB AHLULBAIT?
Berdasarkan hadits-hadits mutawatir yang kesahihhannya diakui oleh sebuah Muslim, Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada, Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah telaga yang dikenal sebaiak Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda,

“Wahai manusia, camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah SWT), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Yang lainya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali)!1

Sebagaimana terlihat dalam hadis sahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad SAW.

Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut, bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontra argumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata, “Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku; Kitabullah dan Sunnahku!”
Tiada keraguan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi ‘Quran dan Sunnah’, kami menemukan bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sananya lemah. Meski dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang Iebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan ‘Quran dan Ahlulbait’) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.

Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi ‘Quran dan Ahlulbait’ terujuk pada lebih dari 30 Sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 Sahabat juga mempersaksikannya.

Sementara versi ‘Quran dan Sunnah’ hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi ‘Quran dan Ahlulbait’ adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi’Quran dan Ahlulbait’ dalam kitabnva (al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan bahwa versi ‘Quran dan Ahlulbait’ adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.

Lebih jauh, kata ‘Sunnah’ sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas Quran dan Sunnah Nabi – telah menciptakan berbagai versi Sunnah.

Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda:

Aku tinggalkan di antara kalian dua ‘perlambang’ yang berat dan berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka , datang menjumpaiku di telaga (surga).2

Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Demikian pula kami, pengikut Ahlulbait, tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Dan inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh pepatah: “Orang Mekkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”

Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Quran-Ahlulbait dan Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata ‘Sunnah-ku’ yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dan sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:

Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, ‘Ali bersama Quran, dan Quran bersama Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di telaga (di surga).”3

Hadis di atas memberikan bukti bahwa Ali bin Abi Thalib dan Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi’Quran dan Sunnah’, maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan Quran.
Menarik untuk melihat bahwa Hakim sendiri memiliki banyak hadis tentang keharusan mengikuti Ahlulbait, dan salah satunya adalah hadis berikut ini. Hadis ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama Sunni lainnya, dan dikenal sebagai ‘Hadis Bahtera’, yang dalamnya Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Camkanlah! Ahlulbait-ku adalah seperti Bahtera Nuh. Barang siapa naik ke dalamnya selamat, dan barangsiapa berpaling darinya binasa.”4

Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa orang-orang yang mengambil mazhab Ahlulbait dan mengikuti mereka, akan diselamatkan dari hukuman neraka, sementara orang-orang yang berpaling dari mereka akan bernasib seperti orang yang mencoba menyelamatkan diri dengan memanjat gunung (tebing), dengan satu-satunya perbedaan adalah bahwa dia (anaknya Nuh yang memanjat tebing tersebut) tenggelam dalam air, sedangkan orang-orang ini tenggelam dalam api neraka. Hadis yang berikut ini juga menegaskan hal tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW telah berkata tentang Ahlulbait; “Jangan mendahului mereka, kalian bisa binasa! Jangan berpaling dari mereka, kalian bisa binasa, dan jangan mencoba mengajari mereka, sebab mereka lebih tahu dari kalian!”5

Dalam salah satu hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Ahlulbaitku adalah seperti Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil. Siapa saja yang memasukinya akan terampuni.”6

Hadis di atas berhubungan dengan Surah al-Baqarah ayat 58 dan Surah al-A’raf ayat 161, yang menjelaskan Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil, sahabat-sahabat Musa yang tidak memasuki Gerbang Pengampunan dalam ayat tersebut, tersesat di padang pasir selama empat puluh tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak memasuki Bahtera Nuh, tenggelam. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa:

Analogi ‘Bahtera Nuh’ mengisyaratkan bahwa barang siapa yang mencintai dan memuliakan Ahlulbait, dan mengambil petunjuk dari mereka akan selamat dari gelapnya kekafiran, dan barang siapa yang menentang mereka akan tenggelam di samudra keingkaran, dan akan binasa dalam ‘sahara’ kedurhakaan dan pemberontakan.7

Sudahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa Nabi ‘Muhammad SAW begitu menekankan Ahlulbait? Apakah hanya disebabkan karena mereka adalah keluarga beliau, atau karena mereka membawa ajaran-ajaran (Surunah) beliau yang benar dan mereka adalah individu-individu yang paling berpengetahuan di antara masyarakat setelah beliau tiada?

Berbagai versi dari ‘Hadis Dua Barang Berat (ats-Tsaqalain)’, yang membuktikan secara konklusif tentang perintah untuk mengikuti Quran dan Ahlulbait, adalah hadis-hadis yang tidak biasa. Hadis-hadis ini sering diulang-ulang dan dihubungkan dengan otoritas lebih dari 30 sahabat Nabi Suci melalui berbagai sumber. Nabi Suci senantiasa mengulang dan mengulang kata-kata ini (dan tidak hanya dalam satu keadaan, tetapi bahkan pada berbagai kesempatan) di depan publik, untuk menunjukkan kewajiban mengikuti dan menaati Ahlulbait. Beliau mengatakannya kepada khalayak pada saat Haji Perpisahan, pada hari Arafah, pada hari Ghadir Khum, pada saat kembali dari Tha’if, juga di Madinah di.atas mimbar, dan di atas peraduan beliau saat kamar beliau penuh sesak oleh sahabat-sahabat beliau, beliau bersabda,

Wahai saudara-saudara! Sebentar lagi aku akan berangkat dari sini, dan meskipun aku telah memberitahu kalian. Aku ulangi sekali lagi bahwa aku meninggalkan di antara kalian dua barang, yaitu Kitabullah dan keturunanku, yakni Ahlulbait-ku. (Kemudian beliau mengangkat tangan Ali dan berkata) Camkanlah! Ali ini adalah bersama Quran dan Quran adalah bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga datang kepadaku di Telaga Kautsar.8

Ibnu Hajar Haitsami menulis, “Hadis-hadis tentang berpegang teguh itu telah dicatat melalui sejumlah besar sumber dan lebih dari 20 sahabat telah dihubungkan dengannya.”

Selanjutnya dia menulis,

“Di sini (mungkin) muncul keraguan, dan keraguan itu adalah bahwa hadis-hadis itu telah datang melalui berbagai sumber, sebagian mengatakan bahwa kata-kata itu diucapkan pada saat haji Wada. Yang lainnya mengatakan kata-kata itu diucapkan di Madinah ketika beliau berbaring di peraduan beliau dan kamar beliau penuh sesak dengan para sahabat beliau. Namun yang lainnya lagi mengatakan bahwa beliau di Ghadir Khum. Atau hadis yang lain pada saat Tha’if. Tetapi tidak terdapat inkonsistensi di sini, sebab dengan memandang penting dan agungnya Quran dan Ahlulbait yang suci, dan dengan penekanan pokok masalah di depan orang-orang, Nabi Suci bisa jadi telah mengulang-ulang kata-kata ini pada semua kesempatan tersebut sehingga orang yang belum mendengar sebelumnya dapat mendengarnya kini.9

Menyimpulkan hadis di atas, Quran dan Ahlulbait adalah dua barang berharga yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kaum Muslim, dan Nabi menyatakan bahwa jika kaum Muslim mengikuti keduanya mereka tidak akan tersesat setelah beliau, dan mereka akan dihantarkan ke surga, dan bahwa siapa yang mengabaikan Ahlulbait tidak akan bertahan. Hadis di atas telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjawab ‘Sunnah’ mana yang asli dan kelompok mana yang membawa ‘Sunnah’ yang benar dari Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk tidak membiarkan kaum Muslim tersesat jalan setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, jika kita menggunakan kata ‘Sunnah’ saja, hal itu tidak memberikan jawaban spesifik atas persoalan ini, sebab setiap kelompok Muslim mengikuti Sunnah versi mereka sendiri maupun interpretasi mereka atas Quran dan Sunnah tersebut. Jadi, perintah Nabi ini jelas untuk mendorong kaum Muslim untuk mengikuti interpretasi Quran dan Sunnah Nabi yang diturunkan melalui saluran Ahlulbait yang keterbebasan mereka dari dosa, kesucian mereka dan kesalehan mereka ditegaskan oleh Quran suci (kalimat terakhir dari surah ke 33, al-Ahzab ayat 33).

Maksud tulisan ini adalah semata-mata untuk memperlihatkan bahwa pandangan Syi’ah tentang kedudukan penting Ahlulbait dan Kepemimpinan (Imamah) mereka tidaklah kabur. Dalam hal ini, kami ingin menyumbangkan pemahaman yang lebih baik di antara kaum ‘Muslim sehingga dapat membantu mengurangi permusuhan beberapa orang terhadap pengikut Ahlulbait Nabi Muhammad SAW.

Fakta bahwa kami (Syi’ah) telah mengambil akidah yang berbeda dari akidah Asy’ariyah sejauh mengenai ushuluddin, dan berbeda dari empat mazhab fikih Sunni sejauh mengenai syariah, ibadah ritual dan ketaatan, tidaklah didasarkan atas sektarianisme atau persangkaan belaka. Tetapi, penalaran teologis lah yang telah mengantarkan kami untuk mengambil akidah para Imam anggota Ahlulbait Nabi Suci, Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, kami seluruhnya secara sendiri-sendiri telah mengikatkan diri kami sendiri kepada mereka dalam hal ketaatan maupun keyakinan, dalam pengambilan pengetahuan kami dari Quran dan Sunnah Nabi, dan dalam seluruh nilai-nilai material, moral dan spiritual yang didasarkan atas hujah-hujah logis dan teologis. Kami melakukan semua itu dalam rangka menaati Nabi Suci SAW dan menundukkan diri di hadapan Sunnah beliau.

Jika saja kami tidak diyakinkan oleh bukti-bukti untuk menolak seluruh Imam selain Ahlulbait, dan untuk mencari jalan mendekati Allah SWT hanya melalui mereka, kami mungkin. telah cenderung kepada akidah mayoritas Muslim demi persatuan dan persaudaraan. Namun, penalaran yang tak terbantahkan menyuruh kepada seorang yang beriman untuk mengikuti kebenaran, tanpa memandang pertimbangan apapun selainnya.

Muslim mayoritas tidak akan dapat memberikan argumen apapun untuk menunjukkan mana di antara empat mazhab fikih mereka yang paling benar. Adalah tidak mungkin untuk mengikuti semuanya, dan karena itu, sebelum orang dapat mengatakan wajibnya mengikuti mereka, orang itu mesti membuktikan mazhab yang mana (dari keempat mazhab) yang harus diikuti. Kami telah mencermati argumen-argumen Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali, dengan pandangan mata seorang pencari kebenaran, dan kami telah jauh menelitinya, namun kami tidak menemukan jawaban atas permasalahan ini, kecuali bahwa mereka (empat Imam tersebut) diyakini sebagai fukaha yang besar dan jujur dan orang-orang yang adil. Tetapi, anda pasti sepenuhnya sadar bahwa kemampuan dalam syariah, kejujuran, keadilan dan kebesaran bukanlah monopoli empat orang tersebut. Lalu, mengapakah ada kewajiban untuk mengikuti mereka?

Kami tidak yakin bahwa ada orang yang meyakini bahwa empat orang Imam ini dalam hal apapun lebih baik dari Imam-Imam kami, keturunan yang suci dan murni dari Nabi Muhammad SAW, bahtera keselamatan, Gerbang Pengampunan, yang melalui mereka lah kita dapat menjaga dari perselisihan dalam masalah-masalah keagamaan, sebab mereka adalah simbol petunjuk, dan pemimpin-pemimpin menuju jalan yang lurus.

Namun sayang, setelah wafatnya Nabi Suci SAW, politik mulai memainkan perannya dalam urusan-urusan agama, dan anda tahu apa yang akhirnya terjadi di jantung Islam. Selama masa-masa penuh cobaan ini, Syi’ah terus memegang teguh Quran dan para Imam Ahlulbait yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sebagai dua barang yang paling berat (atraksi). Telah terdapat beberapa sekte ekstrem (ghulat) yang muncul di setiap saat dalam perjalanan sejarah Islam. Namun, tubuh utama Syi’ah tidak pernah menyimpang dari jalur tersebut sejak masa Ali bin Abi Thalib dan Fathimah hingga hari ini.

Syi’ah sudah ada ketika Asyari (Abu Hasan Asyari) dan empat Imam Sunni belum lahir dan belum terdengar suaranya. Hingga tiga generasi pertama sejak masa Nabi Suci SAW, Asyari dan empat Imam Sunni belumlah dikenal. Asyari lahir pada 270-320 H, Ibnu Hanbal lahir pada 164-241 H, Syafi’i lahir pada 150-204 H, Malik lahir pada 95-169 H, sedangkan Abu Hanifah lahir pada 80-150 H.

Syi’ah, di sisi lain, mengikuti jalur Ahlulbait, yang termasuk dalamnya Ali bin Abi Thalib, Fathimah binti Muhammad Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi T’halib dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang semuanya hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW dan tumbuh besar dalam keluarga beliau.

Sejauh mengenai pengetahuan Imam-Imam Ahlulbait, cukuplah dikatakan bahwa Ja’far Shadiq adalah guru dua Imam Sunni, yaitu Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Abu Hanifah mengatakan, “Kalaulah tanpa dua tahun itu, Nu’man pasti sudah celaka,” merujuk pada dua tahun dia menimba ilmu dari Ja’far Shadiq. Malik juga mengakui dengan terus terang bahwa dia tidak pernah menemukan seorangpun yang lebih terpelajar (berilmu) dalam fikih Islam dari pada Ja’far Shadiq.
Khalifah Abbasiyah, Manshur, memerintahkan Abu Hanifah untuk mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang sulit untuk Ja’far tentang hukum Islam dan menanyakannya kepada Ja’far di hadapan Manshur. Abu Hanifahpun mempersiapkan 40 pertanyaan yang sulit dan menanyakannya . kepada Ja’far di depan Manshur. Imam tidak hanya menjawab seluruh pertanyaan tersebut, tetapi bahkan mengemukakan pandangan ulama-ulama Irak dan Hijaz (pada saat itu). Dalam kesempatan tersebut, Abu Hanifah berkomentar, “Sungguh, orang yang paling berilmu di antara manusia adalah orang yang paling tahu tentang perbedaan pendapat di antara mereka.”10

Malik, Imam Sunni yang lain, berkata;

“Aku biasa datang kepada Ja’far bin Muhammad dan bersamanya untuk jangka waktu yang lama. Setiap aku mengunjungi dia, aku menemukannya sedang salat (berdoa), puasa, atau sedang membaca Quran. Setiap dia melaporkan sebuah pernyataan dari Rasulullah, dia sedang dalam keadaan berwudhu. Dia adalah seorang ahli ibadah yang terkemuka yang tidak mempedulikan dunia materi. Dia termasuk salah seorang yang takut kepada Allah.11

Syaikh Muhammad Abu Zahrah, salah seorang Ulama Sunni kontemporer, berkata;

“Ulama-ulama dari berbagai mazhab Islam tidak pernah sepakat secara bulat dalam satu masalah seperti kesepakatan mereka mengenai pengetahuan Imam Ja’far dan keutamaan beliau: Imam Sunni yang hidup pada zaman beliau adalah murid-murid beliau. Malik adalah salah seorang murid beliau dan salah seorang dari orang-orang yang hidup sezaman dengannya, misalnya Sufyan Tsauri dan lain-lain. Abu Hanifah adalah juga salah seorang murid beliau, meskipun usia keduanya hampir sama, dan dia (Abu Hanifah) menganggap Imam Ja’far sebagai orang yang paling berilmu di dunia Islam (saat itu).12

Ikatan persatuan dan persaudaraan dapat dikuatkan, dan perselisihan dapat dihentikan, jika seluruh Muslim sepakat bahwa mengikuti Ahlulbait adalah sebuah keharusan. Dalam kenyataannya, banyak ulama besar Sunni telah mengakui mazhab Syi’ah sebagai salah satu mazhab Islam yang paling kaya karena adanya penalaran mendalam dalam diri mereka bahwa ilmu-ilmu di mazhab Syi’ah diturunkan dari Ahlulbait Nabi Muhammad SAW, yang kesucian dan keunggulan pengetahuan mereka ditegaskan oleh Quran. Ulama-ulama Sunni semacam itu bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa orang-orang Sunni dapat mengikuti fikih ‘Syi’ah Dua Belas Imam’. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut, rektor Universitas Azhar.

Lebih-lebih, perselisihan yang ada di antara berbagai mazhab Sunni sendiri sama sekali tidak lebih sedikit dari pada persesuaian antara Syi’ah dan Sunni. Sejumlah besar tulisan dari ulama-ulama kedua mazhab akan membuktikan hal ini.

Karena menurut hadis ats-Tsaqalain Ahlulbait membawa beban yang sama di mata Allah SWT dengan Quran suci, maka yang pertama (Ahlulbait) akan memiliki kualitas yang sama dengan yang kedua (Quran). Sebagaimana benarnya Quran dari permulaan hingga akhir tanpa bayang-bayang keraguan sedikitpun, dan sebagaimana wajibnya bagi setiap Muslim untuk mematuhi perintah-perintahnya, demikian pula dengan Ahlulbait yang membawa petunjuk yang sempurna dan lurus, yang perintahnya mesti diikuti oleh semua orang.

Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri dari menerima kepemimpinan mereka dan mengikuti kepercayaan dan akidah mereka. Kaum Muslim terikat oleh hadis Nabi Suci tersebut untuk mengikuti mereka, dan bukan selain mereka. Sebagaimana tidak mungkin bagi setiap Muslim berpaling dari Quran suci atau mengambil sekumpulan hukum-hukum yang menyimpang darinya, demikian pula ketika Ahlulbait telah dipaparkan dengan tegas tanpa keraguan sebagai setara berat dan pentingnya dengan Quran, maka sikap yang sama harus diambil berkenaan dengan perintah-perintah mereka, dan tidak diperbolehkan menyimpang dari mereka untuk mematuhi orang-orang yang lain.

Setelah menyebutkan hadis at-Tsaqalain, Ibnu Hajar berkeyakinan bahwa; “Kata-kata ini menunjukkan bahwa Ahlulbait yang memiliki keistimewaan itu adalah orang-orang yang paling unggul di antara manusia.”13

Rasulullah telah bersabda;

“Siapa yang ingin hidup dan mati seperti aku, dan masuk surga (setelah mati) yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, yakni surga yang tak pernah habis, haruslah mengakui Ali sebagai penyokongnya setelahku, dan setelah dia (Ali) harus mengakui anak-anak Ali, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari pintu petunjuk, tidak pula mereka akan memasukkanmu ke pintu kesesatan!”4

Pada bagian lain, signifikansi kepemimpinan Ahlulbait telah ditegaskan oleh analogi menawan dari Rasulullah SAW berikut ini:

“Kedudukan Ahlulbait di antara kalian adalah seperti kepala bagi tubuh, atau mata bagi wajah, sebab wajah hanya dibimbing oleh mata.”15

Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Ahlulbait-ku adalah tempat yang aman untuk melarikan diri dari kekacauan agama.” (Mustadrak Hakim).
Hadis ini, karena itu, tidak meninggalkan sedikitpun ruangan untuk keraguan apapun. Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti Ahlulbait dan meninggalkan semua pertentangan dengan mereka.

Rasulullah bersabda, “Mengakui ali Muhammad (keluarga Muhammad) berarti keselamatan dari Neraka, dan kecintaan kepada mereka merupakan kunci untuk melewati jembatan Sirath (al-Mustaqim), dan ketaatan kepada mereka adalah perlindungan dari kemurkaan Ilahi.”16

Abdullah bin Hantab menyatakan, “Rasulullah SAW menghadap ke kita di Juhfah seraya mengatakan, `Bukankah aku memiliki hak yang lebih besar atas dirimu dibandingkan dengan dirimu sendiri?’ Mereka semua menjawab, ‘Tentu saja.’ Lalu beliau bersabda, ‘Aku akan meminta pertanggung jawabanmu atas dua perkara, yaitu Kitabullah dan keturunanku.’17

Oleh karena itu, alasan bahwa kami mengambil akidah Ahlulbait sebagai pengecualian atas yang lainnya adalah karena Allah Sendiri yang telah memberikan preferensi kepada mereka saja. Cukuplah untuk mengutip syair Syafi’i (salah satu Imam Sunni) tentang Ahlulbait yang berbunyi sebagai berikut:
Ahlulbait Nabi,

Kecintaan kepadamu adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada manusia,
Allah telah mewahyukannya dalam al-Quran, Cukuplah di antara keagungan kedudukanmu bahwa Barang siapa yang tidak bersalam kepadamu, salatnya tidak sah. Jika kecintaan kepada Ahlulbait Nabi adalah Rafidhi (menolak), Maka biarlah seluruh manusia dan jin mempersaksikan bahwa aku adalah seorang Rafidhi.18

Dalam salat kita, dan kami yakin juga dalam salat anda, kita tentu mengucapkan ; “Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Ya, Allah, sampaikanlah shalawat-Mu pada Muhammad dan keluarganya!” (Asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad).

Ahlulbait dalam Quran dan Hadis
Menurut hadis-hadis yang paling sahih dalam koleksi kitab hadis sunni dan Syi’ah, Ahlulbait (orang-orang anggota keluarga) Nabi adalah sa1ah satu simbol Islam yang paling berharga setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak hadis dalam koleksi kitab hadis di kedua mazhab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita untuk berpegang erat kedua perkara yang berat (ats-Tsalaqalain), yakni Quran dan Ahlulbait, agar tidak tersesat setelah tiadanya beliau. Rasulullah SAW juga telah mengabarkan kepada kita bahwa kedua perkara berharga itu tidak akan berpisah dan selalu akan bersama hingga Hari Perhitungan. Hal ini mengharuskan kita bahwa dalam memahami penafsiran Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, kita mesti merujuk kepada orang-orang yang telah dilekatkan kepadanya, yakni Ahlulbait.

Mengetahui siapakah sesungguhnya Ahlulbait, karena itu, menjadi sesuatu yang sangat vital ketika orang meyakini hadis Nabi di atas maupun hadis-hadis lainnva yang dengan tegas menyatakan bahwa mengikatkan diri kepada Ahlulbait adalah satu-satunya jalan keselamatan. Hal ini dengan jelas memberikan implikasi bahwa seseorang yang mengikuti Ahlulbait yang ‘bukan sebenarnya’ akan tersesat.

Dalam menimbang secara kritis dan pentingnya masalah ini, tidak mengherankan jika terdapat perbedaan pandangan antara Syi’ah dan Sunni. Dalam kenyataannya, Sunni tidak memiliki suara yang satu dalam mencirikan Ahlulbait Nabi. Kebanyakan Sunni berpendapat bahwa Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah Fathimah Zahra binti Muhammad SAW; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Kelompok Sunni yang lain lebih jauh bahkan memasukkan semua keturunan Nabi Muhammad SAW ke dalam daftar tersebut!
Kelompok Sunni lainnya malah begitu murah hati dan menyertakan semua keturunan Abbas (Abbasiah) maupun keturunan Agil dan Ja’far (keduanya saudara Ali bin Abi Thalib) ke dalam daftar di atas. Namun, mesti dicatat bahwa terdapat ulama-ulama Sunni terkemuka yang tidak memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait Nabi Muhammad SAW. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Syi’ah.

Bagi Syi’ah, Ahlulbait Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas individu-individu berikut ini: Fathimah Zahra, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan orang Imam keturunan Husain. Dan jika dimasukkan Nabi Muhammad SAW ke dalamnya, mereka akan menjadi empat belas orang. Tentu saja, pada masa hidup Nabi Muhammad SAW hanya lima orang dari mereka yang hidup, dan sisanya belumlah lahir. Lebih jauh Syi’ah menegaskan bahwa ke-14 orang ini dilindungi Allah dari segala noda, dan karenanya layak untuk diikuti di samping Quran (simbol yang berat lainnya), dan hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan sang sempurna tentang penjelasan (tafsir) ayat-ayat Quran.

Dalam diskusi ini, kami akan menjelaskan mengapa Syi ah mengeluarkan istri-istri Nabi Muhammad SAW dari Ahlulbait, dan juga kami akan mendiskusikan secara ringkas mengapa Ahlulbait terlindungi (maksum). Kami akan mendasarkan pembuktian kami atas: Quran, hadis-hadis dari koleksi kitab-kitab hadis sahih Sunni, dan kejadian-kejadian sejarah.

Bukti dari Quran
Kitab suci Quran menyebutkan Ahlulbait dan keutamaan khusus mereka dalam ayat berikut ini yang dikenal sebagai ‘Ayat Penyucian’ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (rijs) dari kamu, wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab: 33)
Perhatikanlah bahwa kata ‘rijs’ dalam ayat di atas mendapatkan awalan al- yang membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi ‘ar-Rijs’ bermakna setiap jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam kalimat terakhir ayat di atas, Allah menegaskan ‘dan mensucikanmu sesuci-sucinya’. Kata ‘sesuci-sucinya’ merupakan makna penegasan dari masdar ‘tathhiran’. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana Allah SWT menggunakan penekanan ‘sesuci-sucinya’.
Menurut ayat di atas, Allah SWT mengungkapkan kehendaknya untuk menjaga agar Ahlulbait tetap suci dan tanpa noda/dosa, dan apa yang dikehendaki Allah SWT pasti terjadi, sebagaimana yang ditegaskan oleh Quran, Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, hanya mengatakan ‘Kun (jadilah),’ maka jadilah ia. (QS. an-Nahl : 40)

Memang benar, manusia bisa saja tidak punya dosa, sebab dia tidak dipaksa untuk melakukan dosa. Adalah pilihan manusia untuk menerima perintah Allah SWT dan mendapatkan pertolongan-Nya dalam menghindar atau untuk mengabaikan perintah Allah dan melakukan dosa. Allah adalah Penasehat, Pemberi kabar gembira dan Pemberi peringatan. yang tanpa dosa, tidak diragukan lagi, adalah tetap manusia. orang meyakini bahwa untuk menjadi manusia, orang mesti memiliki kesalahan. Pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Yang benar adalah bahwa manusia dapat berbuat dosa, tetapi dia tidak diharuskan untuk melakukannya.

Adalah merupakan Kelembutan Allah SWT bahwa Dia menarik hamba-hamba-Nya menuju Dia, tanpa memaksa mereka sama sekali. Inilah pilihan kita untuk mengejar tarikan tersebut dan menahan diri dari berbuat kesalahan, atau berpaling dan melakukan kesalahan. Bagaimanapun, Allah SWT telah menjamin untuk menunjukkan jalan lurus’ dan memberikan kehidupan yang suci kepada mereka yang mencarinya.

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang suci (thayyibah) .(QS. an-Nahl : 97)

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menunjukkan baginya jalan keluar. (QS. at-Thalaq : 2)

Bermanfaat kiranya untuk disebutkan bahwa ayat al-Ahzab 33, yang berkaitan dengan pensucian Ahlulbait, telah diletakkan di tengah-tengah ayat yang berkenaan dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW, dan inilah yang menjadi alasan utama beberapa orang Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait. Namun, kalimat yang berhubungan dengan Ahlulbait (QS. al-Ahzab : 33) berbeda dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan sesudahnya dengan perbedaan yang amat jelas. Kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya menggunakan hanya kata ganti perempuan, yang secara jelas ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, kalimat di atas menggunakan hanya kata ganti laki-laki, yang dengan jelas menunjukkan bahwa Quran mengalihkan objek individu-individu yang dirujukinya.

Orang yang akrab dengan Quran pada tingkat tertentu, mengetahui bahwa pergantian Rujukan yang tajam semacam itu bukanlah hal yang aneh, dan ini telah terjadi pada berbagai tempat dalam Quran, Wahai Yusuf Berpalinglah dari ini dan mohon ampunlah (hai istriku) atas dosamu itu, karena kamu (istriku) termasuk orang-orang yang berbuat salah! (QS.Yusuf : 29).

Dalam ayat di atas, ‘Hai istriku’ tidak disebutkan dan Rujukan kepada Yusuf tampak tetap berlanjut. Namun, pergantian Rujukan dari laki-laki kepada perempuan dengan jelas menunjukkan bahwa kalimat yang kedua ditujukan kepada istri Aziz, dan bukan kepada Nabi Yusuf as. Perhatikan bahwa kedua kalimat itu berada dalam satu ayat! Catat juga bahwa pergantian Rujukan dari istri Aziz kepada Yusuf, dan kemudian sekali lagi berganti kepada istri Aziz jalam ayat-ayat sebelum ayat 29 adalah juga dalam satu kalimat.

Dalam bahasa Arab, ketika sekelompok perempuan adalah yang dituju, maka digunakan kata ganti perempuan. Namun, jika ada satu laki-laki di antara mereka, maka digunakan kata ganti laki-laki. Jadi, kalimat Quran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Allah menunjukannya kepada sekelompok orang yang berbeda dari istri-istri Nabi Muhammad SAW, sebab menggunakan kata ganti laki-laki, dan bahwa kelompok tersebut mengandung perempuan.

Jika hanya menyandarkan pada al-Ahzab 33, kita tidak dapat disimpulkan bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk dalam Ahlulbait. Hal ini dapat dibuktikan lebih lanjut dengan hadis-hadis sahih Sunni dari koleksi Shihah as-Sittah yang menyebutkan tentang siapakan Ahlulbait, dan juga melalui pembandingan antara spesifikasi Ahlulbait yang diberikan oleh Quran dengan kelakuan dari beberapa isteri Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam Shihah as-Sittah, untuk membuktikan hal yang sebaliknya (bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk ke dalam Ahlulbait).

Apa yang dapat dipahami dari hanya Surah al-Ahzab ayat 33 adalah bahwa Allah SWT mengalihkan Rujukan pembicaraannya (yang adalah istri- isteri Nabi Muhammad SAW secara eksklusif pada permulaan ayat) kepada beberapa orang yang termasuk dalamnya perempuan, dan bisa jadi atau tidak bisa jadi termasuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Hadis Sahih
Adalah menarik untuk melihat bahwa baik Shahih Muslim dan Shahih Tirmidzi maupun yang lainnya, menegaskan pandangan Syi’ah yang telah di atas. Dalam Shahih Muslim, terdapat sebuah bab yang diberi nama ‘Bab Tentang Keutamaan Sahabat’. Dalam bab ini, terdapat satu bagian yang dinamakan ‘Bagian Tentang Keutamaan Ahlulbait Nabi. Dalamnya hanya terdapat satu hadis, dan hadis tersebut tidak ada hubungannya dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW. Hadis ini dikenal sebagai hadis tentang mantel (Hadis al-Kisa), dan berbunyi sebagai berikut:

Aisyah menceritakan, “Suatu hari Nabi Muhammad SAW keluar sore-sore dengan mengenakan mantel hitam (kain panjang), kemudian Hasan bin Ali datang dan Nabi menampungnya dalam mantel, lalu Hasan datang dan masuk ke dalam mantel, lalu Fathimah datang dan Nabi memasukkannya ke dalam mantel, lalu Ali datang dan Nabi memasukkannya juga ke dalam mantel. Kemudian Nabi berucap, ‘Sesungguhnnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci – sucinya (kalimat terakhir dari QS. al-Ahzab : 33).19]

Orang dapat melihat bahwa penyusun Shahih Muslim menegaskan bahwa : Pertama, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah termasuk Ahlulbait. Ke dua, kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir QS. al-Ahzab : 33) diturunkan bagi keutamaan orang-orang yang disebutkan di atas, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Muslim (penyusun kitab tersebut) tidak menuliskan satu pun hadis lain dalam bagian ini (bagian tentang keutamaan Ahlulbait). Jika saja penyusun Shahih Muslim meyakini bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah dalam Ahlulbait, dia tentu sudah mengutipkan hadis-hadis tentang mereka dalam bagian ini.
Adalah menarik melihat bahwa Aisyah, salah seorang istri Nabi Muhammad SAW, adalah perawi dari hadis di atas, dan dia sendiri menegaskan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang telah disebutkan di atas.

Salah satu versi lain dari ‘hadis mantel’ tertulis dalam Shahih Tirmidzi, yang diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah, putra dari Ummu Salamah (istri Nabi yang lain), yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak…(QS. al-Ahzab : 33) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam rumah Ummu Salamah. Sehubungan dengan hal itu, Nabi mengumpulkan Fathimah, Hasan, Husain, dan menutupi mereka dengan sebuah mantel (kisa), dan beliau juga menutupi Ali yang berada di belakang beliau. Kemudian Nabi berseru, “Ya, Allah! Inilah Ahlulbait-ku! Jauhkan mereka dari setiap kekotoran, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya!’ Ummu Salamah (istri Nabi) menanyakan, “Apakah aku termasuk ke dalam kelompok mereka wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Kamu tetap di tempatmu dan kamu menuju akhir yang baik.20

Terlihat bahwa Tirmidzi juga menegaskan bahwa Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain adalah Ahlulbait, dan kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33) diturunkan untuk keutamaan orang-orang tersebut, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Tampak juga dari hadis sahih di atas bahwa Nabi sendiri yang mengeluarkan isteri beliau dari Ahlulbait. Jika Ummu Salamah adalah termasuk dalam kelompok Ahlulbait, mengapa beliau SAW tidak menjawabnya secara positif? Mengapa beliau tidak memasukkannya ke dalam mantel? Mengapa Nabi Muhammad SAW menyuruh dia untuk tetap di tempatnya? Jika saja Nabi Muhammad SAW memasukkan Ummu Salamah ke dalam kelompok Alhubait, beliau tentu sudah memasukkannya ke dalam mantel dan akan segera berdo’a untuk kesuciannya.

Perlu juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengatakan, “Inilah sebagian di antara Ahlulbaitku!’ Alih-alih, beliau berkata, inilah Ahlulbaitku!” Sebab tidak ada anggota lain Ahlulbait yang hidup, pada masa Nabi Muhammad SAW. Perhatikan juga bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi yang saleh, adalah perawi dari hadis ini kepada anaknya dan memberikan pernyataan tentang siapakah Ahlulbait itu!

Dalam hadis Hakim, bunyi pertanyaan dan jawabnya dalam kalimat terakhir dari hadis ini adalah:

Umma Salamah berkata, “Ya Nabi Allah! Tidakkah aku termasuk salah seorang anggota keluargamu?” Nabi Suci menjawab, “Kamu memiliki masa depan yang baik (tetap berada dalam kebaikan), tetapi hanya inilah anggota keluargaku. Ya Rabbi, anggota keluargaku lebih berhak!”21

Dan bunyi kalimat yang dilaporkan oleh Suyuthi dan Ibnu Atsir adalah sebagai berikut. Ummu Salamah berkata kepada Nabi Suci SAW, Apakah aku termasuk juga salah seorang dari mereka?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Tidak, kamu mempunyai kedudukan khususmu sendiri dan masa depanmu adalah baik.
Thabari juga mengutip Ummu Salamah yang mengatakan bahwa dia berkata, “Ya, Nabi Allah” Tidakkah aku termasuk juga salah seorang Ahlulbaitmu? Aku bersumpah demi Yang Maha Besar bahwa Nabi Suci tidak menjaminku dengan keistimewaan apapun kecuali bersabda Kamu memiliki masa depan baik.
Inilah variasi sahih lainnya tentang Hadis Mantel yang dinisbahkan kepada Shafiyah, yang juga salah seorang istri Nabi Muhammad SAW. Ja’far bin Abi Thalib meriwayatkan:

Pada waktu Rasulullah merasa bahwa rahmat dari Allah akan turun, beliau menyuruh Shafiyah, “Panggilkan untukku! Panggilkan untukku!” Shafiyah berkata, “Panggilkan siapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Panggilkan Ahlulbaitku yaitu Ali Fathimah, Hasan dan Husain!” Maka kami kirimkan (orang) untuk (mencari) mereka dan merekapun datang kepada beliau. Kemudian Nabi Muhammad SAW membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan mengangkat tangan beliau (ke langit) dan berkata, “Ya, Allah! Inilah keluargaku (‘aalii), maka berkahilah Muhammad dan keluarga (‘aali) Muhammad” Dan Allah, pemilik Kekuatan Keagungan, mewahyukan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Alhubait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.24

Meskipun mayoritas hadis – hadist tentang masalah ini menunjukkan bahwa kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33 diturunkan di rumah Ummu Salamah sebagaimana telah dikutip di muka, hadis di atas memberikan implikasi bahwa ayat tersebut bisa jadi telah diturunkan juga di rumah Shafiyah. Berdasarkan pandangan ulama-ulama Sunni, termasuk Ibnu Hajar, adalah sangat mungkin bahwa ayat ini diturunkan lebih dari sekali.
Dalam setiap kesempatan itu, Nabi mengulang-ulang tindakan beliau tersebut di depan istri beliau yang berbeda-beda agar mereka semuanya menyadari siapakah Ahlulbait itu.

Ucapan ketiga istri Nabi Muhammad SAW (Aisyah, Ummu Salameh Shafiyah) tidak meninggalkan kepada kita sebuah ruangan pun semuanya menyakini bahwa Ahlulbait pada masa hidup Nabi. Tidak lebih dari lima orang; Nabi Muhammad SAW, Fathimah, Ali, Hasan dan Husain.

Fakta bahwa kata ganti bagian terakhir al – Ahzab ayat 33 beralih dari perempuan menjadi laki-laki telah menghantarkan mayoritas ahli Sunni untuk meyakini bahwa bagian terakhir tersebut diturunkar berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sebagaimana yang di tampakkan oleh Ibnu Hajar Haitsami:
Berdasarkan pada pendapat mayoritas ahli tafsir (Sunni), firman Allah ‘Sesungguhnya Allah berkehendak… (kalimat terakhir dari ayat 33:33) diturunkan untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, sebab penggunaan kata ganti laki-laki pada kata ‘ankum’ dan seterusnya. 25

Meskipun Syi’ah telah memberikan kehormatan yang amat besar kepada istri-istri yang sangat saleh dari istri-istri beliau SAW, misalnya Khadijah, Ummu Salamah, Ummu Aiman dan sebagainya, namun kami bahkan tidak memasukkan orang-orang yang sangat dihormati tersebut kedalam Ahlulbait sebab Nabi Muhammad SAW dengan jelas mengeluarkan dari Ahlulbait sesuai dengan hadis-hadis sahih dari Sunni maupun Syi’ah. Ahlulbait memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki seorang pun yang saleh di dunia ini setelah Nabi Muhammad SAW. Keutamaan tersebut menurut Quran adalah kemaksuman, keterbebasan dari noda dan kesucian yang sempurna.

3

ANTOLOGI ISLAM

Ahlulbait dalam Hadis
Dalam bagian sebelumnya, tiga hadis sahih tentang mantel (hadis al-Kisa) dilaporkan dalam Shaih Muslim, Shahih Tirmidza dan Mustadrak Hakim. Dalam tiga hadis ini, tiga orang istri Nabi (Aisyah, Ummu Salamah dan Shafiyah) menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW mencirikan bahwa Ahlulbait beliau adalah terbatas pada putri beliau Fathimah, Ali, dan kedua anak mereka Hasan dan Husain. Juga menurut kutipan tersebut di atas, kalimat pensucian yang ada di alam Quran Surat al-Ahzab ayat 33 diturunkan berkenaan dengan keutamaan mereka dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Kini, mari kita lihat apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah turunnya ayat tersebut.

Kebiasaan Nabi Setelah Turunnya Ayat Pensucian
Anas bin Malik meriwayatkan, “Sejak turun ayat ‘Sesungguhnya Allah berkehendak… (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33)’ dan selama enam bulan sesudah itu, Rasulullah SAW biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata, ‘Waktunya untuk salat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk menghilangkan segala yang dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”26

Abu Hurairah meriwayatkan, “Rasulullah selama sembilan bulan di Madinah terus menerus mendatangi pintu Ali pada setiap salat subuh, meletakkan kedua tangan beliau di kedua sisi pintu dan berseru, “Ash-shalah! Ash-shalah’ Sungguh Allah akan menghindarkan segala kekotoran dari kalian, wahai Ahlulbait Muhammad, dan akan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”27

Ibnu Abbas meriwayatkan, “Kami menyaksikan Rasulullah selama sembilan bulan mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib, pada setiap waktu salat dan berkata, ‘Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi Ahlulbait! Sungguh hanyalah Allah berkehendak menghilangkan segala kejahatan dari kalian, Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.’ Beliau melakukan hal ini tujuh kali setiap hari.”28

Dalam kitab Majma az-Zawa’id dan Tafsir-nya Suyuthi, telah dikutip dari Abu Said Khudri dengan variasi kalimat sebagai berikut :
Selama tujuh puluh hari Nabi Suci SAW mendekati rumah Fathimah Zahra setiap pagi dari biasa berkata, “Kedamaian atas kalian wahai Ahlulbait! Waktu shalat telah tiba.” Dan setelah itu beliau biasa membaca, “Wahai Ahlulbait Nabi…” dan kemudian berkata, “Aku berperang dengan siapa yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan siapa yang berdamai dengan kalian!”29
Orang-orang yang bersaksi bahwa ayat pensucian (al-Ahzab : 33) berkenaan dengan keutamaan Keluarga Suci (Ahlulbait) yaitu:

Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Hakim dalam hubungannya dengan prestasi-prestasi Hasan dan Haitsami telah meriwayatkan bahwa Hasan telah berdiri di depan orang-orang setelah syahidnya ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan berkata selama pidatonya;

“Wahai orang-orang! Siapa yang mengetahui aku mengenaliku, dan siapa yang tidak mengenaliku harus mengetahui bahwa akulah Hasan bin Abi Thalib. Aku putra Nabi Suci dan Washi-nya. Akulah putra dari orang yang mengajak orang-orang menuju Allah dan memperingatkan mereka akan siksaan api neraka-Nya. Akulah putra dari ‘Suluh Yang Menerangi’ (sirajan munira). Aku adalah anggota dari keluarga yang Jibril biasa turun ke dalamnya dan naik lagi menuju langit. Aku anggota keluarga yang Allah telah mencegah segala kekotoran dari mereka dan menjadikan mereka suci.30

Telah diriwayatkan dalam Majma’ az-Zawa’id dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa;

Setelah kesyahidan ayahnya dan saat menduduki kekhalifahan, suatu hari ketika Hasan sedang menjalankan shalat, seseorang menyerangnya dan menikamkan sebilah pedang di pahanya. Dia tetap berada di tempat tidur selama beberapa bulan. Setelah sembuh, dia memberikan khutbah dan mengatakan, “Wahai orang Irak! Demi Allah, Kami adalah Amir kalian, tamu kalian dan termasuk salah seorang anggota keluarga yang Allah Yang Maha Besar telah berfirman, …Wahai Ahlulbait Nabi…! Hasan membahas masalah ini panjang lebar sehingga orang-orang yang ada di mesjid mulai menangis.31

Ummul Mukminin,Ummu Salamah
Dalam kitab Musykil al-Atsar, Tahawi telah mengutip Umrah Hamdaniah mengatakan;

“Aku pergi ke Ummu Salamah dan menyapanya. Dia bertanya, ‘Siapakah kamu?’ Aku menjawab, ‘Saya Umrah Hamdaniah.’ Umrah kemudian melanjutkan ceritanya. Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Katakanlah sesuatu tentang orang yang telah terbunuh di antara kita hari ini. Sekelompok orang menyukainya dan sekelompok yang lain bermusuhan dengannya!” (yang dia maksud adalah Ali bin Abi Thalib). Ummu Salamah berkata, ‘Apakah kamu termasuk yang menyukainya atau yang memusuhinya?’ Aku menjawab, Aku tidak menyukainya dan tidak pula memusuhinya.’ (Di sini cerita kacau, dan setelah itu) Ummu Salamah mulai bercerita tentang turunnya ayat tathhir dan pada sisi ini mengatakan, ‘Allah menurunkan ayat …Wahai Ahlulbait Nabi.. tidak ada seorangpun dalam kamar saat itu kecuali Jibril, Nabi suci, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berkata, ‘Wahai Nabi Allah! Apakah aku juga termasuk Ahlulbait?’ Beliau menjawab, ‘Allah akan memberimu pahala dan membalas jasamu.’ Aku berharap bahwa beliau akan mengatakan “Ya” dan itu akan merupakan jawaban yang sangat lebih berharga dibandingkan dengan apa pun di dunia ini.”32

Ahmad dalam Musnad-nya, Thabari dalam Tafsir-nya dan Tahawi dalam Musykil al-Atsar telah mengutip Syahru bin Hausyab sebagai mengatakan:
Ketika berita kesyahidan Husain sampai di Madinah, saya mendengar Ummu Salamah berkata, “Mereka telah membunuh Husain. Aku sendiri telah menyaksikan bahwa Nabi Suci membentangkan mantel Khabari beliau kepada mereka dan mengatakan, ‘Ya Allah! Inilah anggota keluargaku! Singkirkanlah dari mereka segala kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci!”33

Ibnu Abbas
Ahmad, Nasa’i, Muhibuddin, dan Haitsami telah melaporkan (kata-kata diambil dari Musnad Ahmad) bahwa Amru bin Maimun berkata;
“Aku bersama Ibnu Abbas ketika 9 orang datang kepadanya dan mengatakan, ‘Ibnu Abbas, keluarlah bersama kami, atau biarkanlah kami sendiri!’ Dia menjawab, ‘Aku akan keluar bersama kalian’ Pada hari-hari itu mata Ibnu Abbas baik-baik saja dan dia dapat melihat. Mereka terlibat dalam percakapan, dan saya tidak memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat Ibnu Abbas kembali kepada kita. Dia kemudian mengibaskan pakaiannya seraya berkata, ‘Celakalah mereka! Mereka berbicara tentang seorang yang menikmati sepuluh keunggulan’ (Kemudian Ibnu Abbas merinci keutamaan Ali hingga dia berkata), ‘Nabi Suci mengembangkan mantel beliau di atas Ali, Hasan dan Husain dan bersabda, “Wahai Ahlulbait Nabi! Allah berkehendak untuk menjaga kalian dari segala jenis kekotoran dan cela, dan akan mensucikan kalian sesuci-sucinya.””34

Sa’ad bin Abi Waqqash
Dalam al-Khasyaisy, Nasa’i telah mengutip Amir bin Sa’d bin Abi vaqqash yang bercerita bahwa Muawiyah telah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqash;
“Mengapa kamu menolak untuk mencaci Abu Turab?” Sa’d menjawab, “Aku tidak akan mencaci Ali karena tiga sifatnya yang aku dengar dari Nabi Suci. Jika satu saja dari ketiganya ada padaku, itu jauh lebih berharga bagiku ketimbang barang apa pun di dunia ini. Aku mendengar dari Nabi Suci ketika beliau meninggalkan Ali untuk melakukan peperangan, bersama-sama perempuan dan anak-anak sebagai wakil beliau di Madinah. Ali bertanya, ‘Akankah anda meninggalkanku bersama-sama dengan perempuan dan anak-anak di Madinah?’ Nabi Suci menjawab, ‘Tidak sukakah kamu bahwa kedudukanmu di sisiku seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa?’

Pada hari penentuan Khaibar, juga, aku mendengar Nabi Suci berkata, ‘Besok, aku akan serahkan panji-panji (tentara) kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya’. Semua orang di antara kita sangat ingin dianugerahi dan dipilih oleh pernyataan itu, dan berharap panji-panji itu akan ada di tangan kita. Sementara itu Nabi Suci berkata, ‘Bawalah Ali ke hadapanku!’ Maka Ali datang dan matanya sedang sakit. Nabi Suci kemudian menorehkan ludah beliau ke mata Ali dan memberikan panji-panji ke tangannya.

Pada kesempatan lain, ketika ayat tathhir diturunkan, Nabi Suci memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ke dekat beliau dan berkata, ‘Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku.”35

Thabari, Ibnu Katsir, Hakim dan Tahawi juga telah mengutip Sa’d bin Abi Waqqash bahwa pada saat turunnya ayat ini, Nabi Suci memanggil Ali bersama-sama dengan kedua putranya dan Fathimah dan mengerudungi mereka di bawah mantel beliau dan berkata, “Ya Allah! Inilah anggota keluargaku.”36

Abu Said Khudri
Diriwayatkan bahwa Abu Said Khudri berkata,

“Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ayat ini telah diturunkan tentang lima orang yaitu aku sendiri, Ali, Hasan, Husain dan Fathimah”.37

Watsilah bin Asqa’
Mengenai ayat 33 Surah al-Ahzab, Thabari meriwayatkan bahwa Abu Ammar mengatakan;

“Aku sedang duduk-duduk dengan Watsilah bin Asqa ketika sebuah diskusi tentang Ali terjadi, dan orang-orang memakimakinya. Ketika kejadian tersebut hampir berakhir, dia mengatakan kepadaku, ‘Tetaplah duduk hingga aku dapat bercakap-cakap denganmu tentang orang yang telah mereka maki-maki tersebut. Aku sedang bersama Nabi Suci ketika Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mendekati beliau dan Nabi Suci membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan berkata, “Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku. Hindarkanlah dari mereka setiap kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci”38

Ibnu Atsir juga telah mengutip Syaddad bin Abdillah berkata;

“Saya telah mendengar dari Watsilah bin Asqa bahwa ketika kepala Husain dibawa, salah satu orang Suriah memaki Husain dan ayahnya, maka Watsilah berdiri dan berkata, Aku bersumpah demi Allah bahwa sejak aku mendengar Nabi Suci berkata tentang mereka, “Wahai Ahlulbait Nabi! Allah bermaksud hendak mensucikanmu dari kekotoran dan cela, dan hendak mensucikanmu sesuci-sucinya,” aku selalu mencintai Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.”’39

Ali bin Husain,Zainal Abidin
Thabari, Ibnu Katsir dan Suyuthi dalam tafsir mereka menyatakan; Ali bin Husain telah berkata kepada seorang Suriah, Pernahkah kamu membaca ayat ini dalam Surah al-Ahzab, Wahai Ahlulbait Allah hendak menghilangkan segala kekotoran dari kamu dan akan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya?’ Orang Suriah tersebut berkata, ‘Apakah ayat ini berkenaan dengan kalian?’ Imam menjawab, ‘Ya, ayat itu berkenaan dengan kami”. 40

Kharazmi telah mengutip kalimat berikut ini dalam kitabnya Maqtal:

Ketika Zainal Abidin dan tawanan-tawanan lain yang berasal dari Keluarga Nabi Suci SAW dibawa ke Damaskus setelah syahidnya Husain cucu Nabi Suci, dan ditempatkan di sebuah penjara yang terletak di sebelah Mesjid Besar Damaskus, seorang lelaki tua mendekati mereka dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membunuh kalian dan membinasakan kalian dan memusnahkan laki-laki kalian SAW memberikan kekuasaan kepada amirul mukminin (Yazid) atas diri kalian.”

Ali bin Husain berkata, “Hai orang tua! Pernahkah kamu membaca Quran yang suci?” Orang itu menjawab, “Ya!” Kemudian Imam berkata, “Pernahkah kamu membaca ayat Katakanlah Hai Muhammad! Aku tidak meminta upah apa pun kepada kalian atas misiku kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurbaa)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya pernah membacanya!”

Imam berkata, “Pernahkah kamu membaca ayat Maka berikanlah apa yang pantas bagi keluarga terdekat, fakir miskin dan para pejalan dan ayat Ketahuilah bahwa apa saja (pendapatan) yang kamu peroleh maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, keluarga terdekat dan fakir miskin, jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami dalam al-Quran?” Orang tua itu menjawab, “Ya, saya pernah membacanya!”
Imam berkata, “Aku bersumpah demi Allah bahwa kata `keluarga terdekat’ merujuk kepada kami, dan ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kami. (Imam menambahkan), “Dan pernahkah juga kamu membaca ayat ini dalam Quran dimana Allah berfirman, Wahai Ahlulbait… (33:33)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya telah membacanya!” Imam berkata, “Apa yang dimaksud dengan Ahlulbait Nabi? Kamilah yang telah dihubungkan oleh Allah secara khusus dengan ayat tathhir!”

Orang tua itu berlanya, “Saya bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu keluarga yang sama?” Imam menjawab, “Aku bersumpah demi kakekku Nabi Allah bahwa kamilah orang yang sama!” Orang tua itu tertegun dan menunjukkan penyesalan atas apa yang telah dia katakan. Kemudian dia mengangkat kepalanya menuju langit dan berkata, “Ya Allah, aku mohon ampun atas apa yang telah aku katakan, dan meninggalkan permusuhan dengan keluarga ini dan membenci musuh-musuh keturunan Muhammad!”41

Peristiwa Mubahalah
Peristiwa berikut ini dihubungkan dengan kejadian Mubahalah, yang berarti kutukan, atau memohon kutukan/laknat Allah ditimpakan kepada pendusta, yang terjadi pada tahun ke 9-10 Hijriah. Dalam tahun itu sebuah delegasi yang terdiri atas 14 pendeta Kristen datang dari Najran untuk menemui Nabi Muhammad SAW.

Ketika mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, mereka menanyakan pendapat beliau tentang Yesus. Rasulullah SAW berkata, “Kalian bisa beristirahat hari ini dan kalian akan mendapatkan jawabannya setelah itu.” Pada keesokan harinya, 3 ayat Quran (Ali lmran : 59-61) tentang Yesus di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika orang-orang Kristen itu tidak menerima kata-kata Allah, Nabi Muhammad SAW lalu membacakan kalimat terakhir dari ayat-ayat tersebut;

“Maka siapa yang membantahmu tentang masalah ini sesudah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah, “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian! Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita mohon agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta!”
(QS. Ali Imran: 61).

Dalam kejadian ini, Nabi Muhammad SAW menantang orang-orang Kristen. Pada hari berikutnya pendeta-pendeta Kristen tersebut keluar dari salah satu sisi tanah lapang. Juga pada sisi yang lain, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumah beliau dengan menggendong Husain di lengan beliau dan Hasan berjalan bersama beliau dengan tangannya dipegang oleh beliau. Di belakang beliau adalah Fathimah Zahra, dan di belakang lagi adalah Ali. Ketika orang-orang Kristen itu melihat lima jiwa yang suci tersebut, dan betapa kukuhnya pendirian Nabi Muhammad SAW untuk membawa orang-orang terdekat beliau dalam menanggung resiko mubahalah itu, mereka merasa takjub SAW mengundurkan diri dari mubahalah yang telah disepakati tersebut dan tunduk kepada sebuah perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW.

Suyuthi, seorang ulama besar Sunni, menulis;

“Dalam ayat di atas (3:61), menurut apa yang dikatakan oleh Jabir bin Abdillah Anshari, kata ‘anak-anak’ merujuk kepada Hasan dan Husain, kata ‘perempuan-perempuan’ merujuk kepada Fathimah, dan kata ‘diri-diri kami’ merujuk kepada Nabi dan Ali, Ali dianggap sebagai ‘diri’ Nabi.42

Konsekuensinya, sebagaimana adalah melanggar hukum untuk berusaha :mengungguli Nabi Muhammad SAW, demikian pula adalah melanggar hukum untuk menggantikan Ali (yang menurut kata-kata Allah adalah’diri’ Nabi). Siapapun yang menganggap telah menggantikan Ali berarti telah menggantikan Nabi. Ini merupakan satu lagi ayat Quran yang membuktikan kebenaran hak Imam Ali sebagai penerus langsung Nabi Muhammad SAW.

Muslim dan Tirmidzi memberikan konfirmasi atas peristiwa tersebut di atas, dan mencatat hadis berikut ini dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash,

“….dan ketika Ali Imran ayat 61 diturunkan, Nabi Muhammad SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian Nabi berkata, ‘Ya Allah! Inilah anggota keluargaku (Ahlii).”43

Titik simpul di sini adalah bahwa Rasulullah SAW tidak membawa serta seorang pun dari istri-istri beliau ke lapangan tempat mubahalah berlangsung, dan menurut hadis di atas, beliau menggunakan kata Ahl (famili) hanya bagi orang-orang tersebut di atas (yakni Ali, Fathimah, Hasan danHusain).
Perhatikan bahwa dalam Ali Imran ayat 61 ini Allah SWT menggunakan bentuk jamak ‘perempuan-perempuan’ dengan perkataan ‘Marilah kita memanggil perempuan-perempuan kami’, tetapi Nabi Muhammad SAW hanya membawa seorang perempuan, yakni Fathimah. Seandainya ada lebih dari satu orang dalam Ahlulbait, maka Nabi Muhammad SAW tentu sudah diminta oleh ayat ini untuk membawa serta mereka. Tetapi, karena tidak ada perempuan lain dalam Ahlulbait, maka beliau hanya membawa Fathimah.

Lagi pula, Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa itu menyebutkan secara eksplisit siapa Ahlulbait, dan membacakan namanya satu persatu. Muslim, Tirmidzi, Hakim dan ulama-ulama Sunni lainnya telah mencatat hal itu dan menegaskan kesahihannya. Tidak ada disebut satu pun istri beliau dalam laporan-laporan tersebut.

Beberapa ulama Sunni telah meriwayatkan bahwa pada hari perundingan untuk menunjuk pemegang kekuasaan setelah wafatnya Umar, Ali berdebat dengan anggota-anggota syura dan mengingatkan mereka akan haknya atas kekhalifahan, dan salah satu argumentasinya adalah Peristiwa Mubahalah.
Pada hari perundingan, Ali berdebat dengan anggota-anggota komite dengan mengatakan,

“Aku meminta kesaksian kalian atas nama Allah, adakah seorang pun di antara kalian yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah dibandingkan aku? Adakah laki-laki lain yang Nabi menganggapnya ‘jiwa beliau (sendiri), dan bahwa beliau menganggap anak-anaknya adalah ‘anak-anak beliau (sendiri), dan perempuannya adalah ‘perempuan beliau’?” Mereka menjawat` “Tidak, demi Allah!”44

Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, Allah yang memiliki Keagungan dan Kekuasaan telah meletakkan keturunan tiap Nabi dari tulang sulbi mereka, dan Dia Yang Maha tinggi telah meletakkan keturunanku di tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”45

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan orang-orang yang lain berasal dari pohon yang berbeda.”46

Dalam kitab tafsir Sunni yang lain, diriwayatkan dari Abdullah bin t mar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Jika saja ada jiwa-jiwa lain di seluruh bumi yang lebih baik dari Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, Allah tentu sudah memerintahkanku untuk membawa serta mereka bersama-samaku pada Mubahalah. Tetapi, karena mereka adalah yang paling utama di antara seluruh manusia dalam hal keutamaan (martabat) dan kehormatan, Allah telah membatasi pilihan-Nya kepada mereka saja yang ikut serta dalam Mubahalah.47

Peristiwa Mubahalah antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang kristen ini memberikan signifikansi dalam berbagai aspek, di antaranya:

1). Bukti ini menjadi sebuah pelajaran bagi seluruh orang Kristen yang ada di Semenanjung Arabia yang tidak berani lagi bermusuhan dengan Nabi Muhammad SAW,

2). Undangan untuk mubahalah (maknanya secara harfiah adalah saling mengutuk) diatur langsung oleh Allah SWT dan dalam rangka memenuhi perintah-Nya lah Nabi Muhammad SAW bersama sama Ahlulbait beliau datang ke lapangan tempat mubahalah. Ini menunjukkan bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan keNabian dan Islam ditetapkan langsung oleh Kehendak Allah,

3). Tanpa mengizinkan adanya pengaruh luar apapun dari orang kebanyakan (ummah). Masalah kepenggantian (ke-washi-an) Ali setelah Nabi Muhammad SAW harus dipandang serupa,

4) Tidak diragukan lagi bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain pasti mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,

5) Meskipun masih kanak-kanak, Hasan dan Husain tetap bertindak sebagai ‘dua rekan’ Nabi Muhammad SAW yang aktif dalam mubahalah. Ini menunjukkan bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran jiwa – jiwa maksum tersebut;

6) Bahwa tindakan pengutamaan oleh Nabi tersebut jelas meninggikan status mereka (Ahlulbait) di atas orang-orang selain mereka,

7) Hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan peristiwa ini jangan jelas menunjukkan siapakah Ahlulbait itu,

8) Ali telah disebutkan sebagai ‘diri’ Nabi Muhammad SAW sesuai dengan wahyu Allah, dan Ali secara de facto memang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain sehubungan dengan kekhalifahan.

Apakah Hanya Sekedar Hubungan Darah?
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Setiap hubungan kerabatan akan berakhir pada hari pembalasan, kecuali hubungan kekerabatan denganku. Dan garis keturunan dari setiap orang adalah dari ayahnya, kecuali keturunan Fathimah, sebab akulah ayah mereka dan titik garis keturunan mereka!”48

Hadis di atas membuktikan bahwa nilai hubungan darah dalam Islam adalah kecil dan akan segera lebur ketika hari pembalasan terjadi. Namun, apa yang membuat hubungan dengan Nabi dan Ahlulbait beliau berbeda dengan yang lainnya adalah kualifikasi dan kesucian mhani yang mereka miliki, di samping gen mereka yang murni dari Nabi Muhammad SAW (yang juga diperlukan).

Berguna untuk disebutkan bahwa Fathimah adalah satu-satunya anak Rasulullah SAW yang bertahan hidup dan memberikan keturunan bagi beliau. Anak-anak beliau yang lain meninggal pada usia dini tanpa dapat meninggalkan sebuah permasalahan pun di belakang mereka. Orang-orang kafir Hijaz biasa merendahkan Nabi Muhammad SAW dengan katakata bahwa beliau tidak memiliki seorangpun anak laki-laki yang dapat melanjutkan keturunan beliau, karena kejadian itu. Allah menutunkan Surat Al – kautsar,

Sesungguhnya Kami telah memberimu Keberlimpahan

4

l-kautsar (yakni keturunan suci yang terus berlanjut). Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkorbanlah! Sesungguhnya orang yang menghinamulah yang terputus (tanpa keturunan)
(QS. al-Kautsar : 1-3).

Apakah Ahlulbait Hasil Hubungan Perkawinan?
Terhadap pertanyaan’ Apakah istri-istri Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam golongan Ahlulbait?” Muslim dalam Shahih-nya mencatat;
“Ibnu Hayyan meriwayatkan, ‘Kami pergi ke Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya, “Kamu telah menemukan kebaikan (sebab kamu memiliki kemuliaan) karena dapat hidup di kalangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW dan melaksanakan shalat bersama-sama dengan beliau,” (dan bunyi hadis selanjutnya sama dengan 3 hadis sebelumnya), tetapi Nabi Muhammad SAW berkata, “Camkanlah! Aku meninggalkan bersama kalian dua barang/perkara yang berat, salah satunya adalah Kitabullah…”, (dan dalam hadis ini kami temukan kata-kata) ‘Kami berkata, “Siapakah Ahlulbait beliau tersebut (yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW)? Apakah mereka adalah istri-istri beliau?” Atas pertanyaan tersebut Zaid berkata, “Tidak, demi Allah! Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu. Dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah”.49

Dalam bab yang sama, Muslim juga melaporkan bahwa Zaid bin Arqam berkata;

“Aku telah menua dan telah melupakanbeberapa hal yang telah aku ingat dalam hubungannya dengan Rasulullah SAW. Jadi, terimalah apa saja yang aku riwayatkan padamu, dan terhadap apa yang tidak aku riwayatkan! Janganlah memaksaku untuk melakukannya!”Zaid kemudian berkata, ” suatu hari Rasulullah brediri dan berkuthbah di sebuah telaga yang terkenal sebagai Kham yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikan. Zaid kemudian berkata, “Suatu hari Rasulullah berdiri dan )erkhutbah di sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikannya, dan berkhutbah dan mendesak kita seraya mengatakan, Kini sampai ke tujuan kita, wahai manusia! Aku adalah seorang manusia. Aku hampir menerima kedatangan utusan Tuhanku dan aku harus menjawab panggilan itu. Tetapi aku meninggalkan bersama kalian Jua barang yang berat. Salah satunya adalah Kitabullah…, yang ke dua adalah anggota rumah tanggaku (Ahlulbait). Demi Allah, aku mengingatkan kalian (akan tugas kalian) terhadap Ahlulbaitku!, (beliau mengucapkannya tiga kali)”

Dia (Husain bin Sabra) bertanya kepada Zaid, “Siapakah anggota Ahlulbait beliau? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlulbait?” Zaid menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlulbait, tetapi ‘ahlul’ di sini adalah orang-orang yang dilarang menerima zakat.”
Dia (Husain bin Sabra) bertanya kembali, “Siapakah mereka?” Dia kemudian menjawab, Ali dan keturunannya, Aqil dan keturunannya, dan keturunan Ja’far dan keturunan Abbas.”50

Terlihat bahwa paragraf ketiga dari hadis di atas bukan kata-kata Muhammad SAW. Itu hanyalah pendapat Zaid bin Arqam. Berlawanan dan hadis sebelumnya, di sini Zaid menyatakan, bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk di antara Ahlulbait beliau tetapi Ahlulbait di sini adalah orang-orang yang… ) … Ali dan keturunannya, … dan keturunan Abbas.

Pertanyaannya adalah: Haruskah kita mengikuti perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan dengan rinci siapakah Ahlulbait beliau, atau kita mesti menerima pendapat salah seorang sahabat yang dalam kasus ini, bertentangan dengan pendapat Nabi Muhammad SAW ?

Di samping itu, sejarah telah mengatakan kepada kita bahwa terdapat banyak tiran di antara Abbasiah (keturunan Abbas). Dapatkah kita menaati mereka dan mencintai mereka ? Padahal Allah SWT berfirman dalam Quran dan janganlah kami taati orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka (QS. al – Insan : 24). Apakah para tiran dari kalangan Abbasiah adalah termasuk Alhubait yang diletakkan oleh Rasulullah berdampingan dengan Quran sebagai
salah satu dari dua barang berharga yang beliau tinggalkan untuk umat beliau agar mereka menaatinya setelah beliau?

Hal ini menunjukkan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang khusus dan tidak termasuk dalamnya seluruh kerabat-kerabat Nabi Muhammad SAW. Secara kebahasaan, kata ‘ahlulbait’ sama sekali tidak mengandung makna kerabat. Kata ini secara kebahasaan berarti orang yang muncul dari darah beliau sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Zaid bin Arqam yang pertama. Jadi, bahkan istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait.

Pembaca yang meyakini kesahihan seluruh hadis yang ada dalam Shahih Muslim dapat menemukan adanya kontradiksi dalam hadis-hadis tentang hubungan antara istri-istri Nabi dengan Ahlulbait. Dalam sebuah Hadis, Zaid berkata bahwa istri-istri Nabi termasuk ke dalam Ahlulbait. sedangkan pada tiga hadis yang terpisah, orang ini (Zaid) bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait. Apa yang dapat disimpulkan?

1. Haruskah kita mengesampingkan penjelasan Nabi Muhammad SAW dan berpegang teguh pada pendapat seorang sahabat?

2. Jika ya, maka kita harus menerima perkataan seorang sahabat yang menceritakan dua pendapat yang saling bertentangan, sementara dia berkata di hadis yang kedua bahwa dia telah menua dan dia tidak bisa ingat banyak-banyak?

3. Haruskah kita menerima riwayat yang saling bertentangan tersebut sebagai shahih kedua-duanya?

4. Jika ya, maka haruskah kita menerima seseorang yang bersumpah demi Allah, atau seseorang yang tidak bersumpah demi Allah?

Ketika Nabi dengan jelas mengeluarkan istri-istri beliau dari Ahlulbait dan ketikar istri-istri beliau seperti Aisyah, Ummu Salamah dan Shayifah juga menegaskan kenyataan ini (lihat bagian pertama) dan ketika Zaid bin Arqam bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Alhubait, maka tidak ada pilihan kecuali menerima kenyataan bahwa istri-istri Rasulullah SAW adalah tidak termasuk ke dalam Alhubait.

Kini fokuskanlah pandangan ke kalimat terakhir dari hadis Zaid yang pertama!
Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu; dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah.

Ini adalah penalaran yang tepat. Hubungan perkawinan antara seorang pria dan perempuan tidak pernah dianggap sebagai permanen. hubungan itu hanyalah hubungan yang kondisional dan dapat putus sesaat-saat, sebab seorang istri dapat diceraikan. Kenyataan menunjukkan bahwa dua istri Nabi yaitu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar Khattab pernah diancam untuk diceraikan dari Nabi oleh Quran, disebabkan oleh sebuah berita rahasia yang mereka ceritakan kepada orang tua mereka.

Sudah umum diketahui bahwa ayat-ayat berikut ini adalah diturunkan enam tentang Aisyah dan Hafsah;
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan sebuah peristiwa secara rahasia kepada salah seorang istrinya (yakni Hafsah) dan dia (Hafsah) kemudian membeberkan pembicaraan itu (kepada A’isyah) dan Allah memberitahukan hal itu kepadanya (Muhammad),lalu dia (Muhammad) memberitahukan sebagian dan merahasiakan sebagian. Tatkala dia (Muhammad) memberitahukan yang sebagian itu (pembicarann antara Hafsalt dan A’isyah), maka dia (Hafsah) bertanya,”Siapakah yang telah memberitahukan hal itu kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal telah memberitahukannya kepadaku.” (QS. at-Tahrim : 3)

Jika kalian berdua (yakni Hafsah dan A’isyah) bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong (untuk mematuhi perintah Rasul), dan jika kalian berdua bantu membantu dalam menentang Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah perlindungannya dan begitu pula Jibril dan orang – orang yang saleh di antara kaum mukmin dan selain itu malaikat juga adalah penolongnya.. (QS. al-Tahrim : 4) Jika dia menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian, yang patuh, beriman, taat, yang bertaubat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. at-Tahrim : 5)

Penjelasan Shahih Bukhari atas Surah at-Tahrim Ayat 5
Pada jilid 6 kitab Shahh Bukhari edisi Arab-Inggris, di bab yang berjudul Boleh jadi, jika dia menceeraikan kalian, Tuhannya akan …” (at-Tahrim : 5), dapat ditemukan hadis-hadis sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, “Istri-istri Nabi karena kecemburuan mereka, saling membantu untuk melawan Nabi, sehingga aku berkata kepada mereka, ‘Boleh jadi, jika dia menceraikan kalian, Allah akan memberinya istri-istri pengganti yang lebih baik dari kalian!’ Maka demikianlah ayat ini (QS. 66:5) diturunkan.” (Shahih Bukhari, hadis 6.438, jilid 6 hadis ke 438) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Saya bermaksud bertanya kepada Umar, maka saya katakan, ‘Siapakah dua orang perempuan yang mencoba saling membantu dalam menentang Rasululllah?’ Saya hampir tidak melanjutkan perkataan saya ketika dia berkata, ‘Mereka adalah Aisyah dan Hafsah.”‘ (Shahih Bukhari, hadis 6.436)

Jika Allah sampai mengancam kedua istri Nabi itu dengan perceraian, disebabkan mereka saling membantu dalam menentang Nabi, lalu bagaimana bisa kita menyatakan bahwa mereka adalah suci dan bebas dosa (maksum)? Lagipula, hadis berikut ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan Aisyah dan Hafsah selama sebulan penuh sebagai hukuman atas terbongkarnya berita rahasia tersebut; Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,

“Saya ingin sekali bertanya kepada Umar bin Khattab tentang dua perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka Allah berfirman, Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong …(66:4), hingga Umar melaksanakan Haji, dan saya juga melaksanakan Haji bersamanya…Lalu saya berkata kepadanya, ‘Wahai amirul mukminin! Siapakah dua orang perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka.
Allah berfirman: “Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong … (66:4)” Dia berkata, `Saya heran dengan pertanyaanmu itu hai Ibnu Abbas! Mereka adalah Aisyah dan Hafsah.’

Umar kemudian menceritakan sebuah hadis dan berkata, ‘…Aku berteriak kepada istriku dan dia menjawabnya dengan pedas, dan aku tidak suka kalau dia membantahku. Dia berkata kepadaku, “Mengapa engkau begitu terkejut dengan bantahanku? Demi Allah, istri-istri Nabi membantah beliau dan beberapa di antara mereka meninggalkan beliau (tidak berbicara dengan beliau) selama seharian penuh hingga malam tiba.”‘

Pembicaraan itu demikian menakutkanku, dan aku berkata kepadanya, `Siapapun yang melakukan hal itu akan binasa!’ Kemudian aku melangkah setelah merapikan pakaian, dan masuk ke (rumah) Hafsah dan berkata kepadanya, ‘Adakah di antara kalian yang membuat Nabi marah hingga malam?’ Dia menjawab, ‘Ya, ada.’ Aku lalu berkata, ‘Kalian orang yang binasa! Tidakkah kalian takut bahwa Allah akan marah karena marahnya Rasulullah dan karena itu kalian akan binasa? Maka janganlah meminta yang lebih banyak dari Nabi dan jangan membantah beliau dan jangan memutuskan pembicaraan dengan beliau! Mintalah kepadaku apapun yang kamu butuhkan dan jangan berusaha meniru tetanggamu (yaitu Aisyah) dalam kelakuannya, karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai oleh Nabi!’

Umar menambahkan, ‘Pada saat itu sebuah pembicaraan beredar dikalangan kita bahwa (kabilah) Ghassan sedang mempersiapkan kuda-kuda mereka untuk menyerang kita. Sahabat-sahabatku orang Anshar, pada saat tiba hari giliran mereka, pergi (ke kota) dan kembali kepada kita pada malam harinya dan mengetuk pintu rumahku dengan kasar dan menanyakan kalau-kalau aku ada di dalamnya. Aku menjadi terkejut dan keluar menemui dia. Dia berkata, “Hari ini telah terjadi peristiwa besar.” Aku bertanya, “Apakah itu? Sudah datangkah (kabilah) Ghassan?” Dia berkata, “Bukan, tetapi (peristiwa itu) lebih besar dan lebih mengejutkan; Rasulullah telah menceraikan istri – istri beliau !”

Umar menambahkan, ‘Nabi telah menjauhi istri-istri beliau dan aku berkata, “Hafsah adalah seorang pecundang yang binasa.” Aku sudah menduga bahwa peristiwa yang sangat mungkin ini (penceraian) akan terjadi pada waktu dekat-dekat ini. Maka aku lalu membenahi pakaianku dan melaksanakan salat Subuh bersama Nabi dan Nabi kemudian masuk ke ruangan atas dan tetap di sana mengasingkan diri. Aku masuk ke (kamar) Hafsah dan melihat dia menangis. Aku bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis? Bukankah aku telah memperingatkanmu tentang hal itu? Sudahkah Nabi menceraikan kalian semuanya?” Dia berkata, “Aku tidak tahu. Itu beliau di sana sendirian di ruangan atas.”

Aku berkata (kepada Rasulullah SAW) dengan nada mengobrol, ‘Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah? Kami, orang-orang Quraisy biasa berkuasa atas perempuan-perempuan kami, namun ketika kami tiba di Madinah kami menemukan bahwa laki-laki di sini dikuasai oleh perempuan-perempuan mereka.’ Nabi tersenyum dan lalu aku berkata kepada beliau, “Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah?”
Aku kemudian masuk ke kamar Hafsah dan berkata kepadanya, “Jangan berusaha meniru temanmu itu (Aisyah), karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai Nabi.” …Dan kemudian Nabi menjauhi istri-istri beliau selama 29 hari disebabkan oleh cerita rahasia yang telah dibukakan oleh Hafsah kepada Aisyah. Karena kemarahan beliau, Nabi telah berkata, “Aku tidak akan masuk ke (kamar) mereka selama satu bulan.” Beberapa orang di antara istri beliau mengakibatkan beliau berkata seperti itu, sehingga beliau meninggalkan mereka selama satu bulan.”‘ (QS. 66:4; Shahih Bukhari, hadis 7.119)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Selama setahun penuh aku telah berhasrat untuk bertanya kepada Umar bin Khattab tentang penjelasan sebuah ayat (dalam Surah at-Tahrim)…Umar menyisi untuk menjawab ‘panggilan alam’ ke dekat pohon Arak. Aku menunggu hingga dia selesai dan kemudian aku menyusul dia dan bertanya, ‘Wahai amirul mukminin! Siapakah dua perempuan Nabi yang saling membantu menetang beliau ?’ Dia berkata, ‘ Mereka adalah Hafsah dan Aisyah.’

Kemudian Umar menambahkan, ‘Suatu saat, ketika aku sedang berpikir tentang suatu masalah, istriku berkata, “Aku sarankan agar engkau melakukan ini dan itu.” Aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah kau dapatkan untuk mengerjakan hal itu? Mengapa engkau menonjok hidungmu dalam suatu masalah yang aku ingin melihatnya selesai?” Dia kemudian berkata, “Betapa anehnya engkau ini, hai Ibnu Khattab! Engkau tidak ingin berdebat dengan cara (yang digunakan) putrimu mendebat Rasulullah begitu hebat sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh!”‘

Umar kemudian melaporkan bahwa dia seketika mengenakan pakaian luarnya dan pergi ke tempat Hafsah dan berkata kepadanya, ‘Wahai putriku! Apakah engkau mendebat Rasulullah sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh?’ Hafsah berkata, ‘Demi Allah, kami berdebat dengan beliau.’ Umar berkata, ‘Aku peringatkan engkau akan hukuman Allah dan kemarahan Rasulullah Wahai putriku! Janganlah engkau tertipu oleh orang yang membanggakan kecantikannya karena cinta Rasulullah kepadanya (yakni Aisyah).’

Umar menambahkan, ‘(Suatu hari) Temanku orang Anshar dengan tak disangka-sangka mengetuk pintuku dan berkata, “Buka! Buka!’ Aku bertanya, “Apakah Raja Ghassan telah datang?” Dia berkata, “Tidak, tetapi sesuatu yang lebih buruk. Rasulullah telah mengasingkan diri beliau dari istri-istri beliau.” Aku berkata, “Biarlah hidung Aisyah dan Hafsah tertempel pada debu (yaitu binasa)!””‘ (Shahih Bukhari, hadis 6.435).

Dalam hadis di atas, Hafsah bersumpah demi Allah bahwa dia berbantahan dengan Rasulullah SAW dan membuat beliau menjauhinya selama sehari penuh! Inikah isyarat kesucian dan kesalehan? Menurut Quran Surah al-Ahzab 33, kesucian yang sempurna dan keterbatasan penuh dari dosa adalah ciri khas Ahlulbait. Ayat-ayat Quran di atas dan hadis-hadis dalam Shahih Bukhari tersebut memberikan bukti bahwa beberapa istri Nabi tidaklah suci dan saleh, sebab kalau tidak tentu Allah tidak akan mengancam mereka dalam Quran dengan penceraian..

Inilah alasan utama pengambilan hadis Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim, dalam mana dia bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait sebab mereka dapat diancam dengan penceraian dan dapat digantikan oleh perempuan-perempuan lain yang lebih baik dari mereka (QS. at-Tahrim : 5).

Hadis yang mengherankan lainnya dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Abdullah, “Nabi berdiri dan berkhutbah, dan menunjuk ke rumah Aisyah, dan berkata, ‘Di sinilah fifiah (akan muncul), ‘(diucapkan tiga kali), ..dan dari sinilah salah satu sisi kepala setan akan muncul.”‘ (Shahih Bukhari, hadis 4.336).

Hadis ini memberikan satu isyarat lagi bahwa istri-istri Nabi tidaklah termasuk ke dalam Ahlulbait.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membacakan ayat, “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan segala kekotoran dari kalian wahai Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya,” dan kemudian Rasulullah bersabda, “Karena itu, aku dan Ahlulbaitku adalah bersih dari dosa.”51
Dalam hadis di atas, tampak bahwa Nabi sendiri yang menyimpulkan dengan kata-kata karena itu, bahwa beliau dan Ahlulbait beliau adalah bebas dari dosa (maksum).

Dalam tafsirnya tentang ayat tathhir (QS. al-Ahzab : 33), Ibnu Jarir Thabari mengutip Qatadah,

“Hanya inilah, tidak ada lainnya, bahwa Allah berkehendak untuk menghilangkan segala keburukan dan ketidakpantasan dari anggota keluarga Muhammad dan membersihkan mereka dari setiap kontaminasi dan dosa.”’52