Filsafat-Filsafat Spiritual dan Material


Meskipun pertanyaan-pertanyaan fundamental yang dihadapi manusia telah dijawab dengan banyak cara yang berbeda-beda dan perbedaan-perbedaan dalam jawabannya telah menciptakan   beragam mazhab pemikiran dan filsafat, namun dengan memperhatikan jawaban- jawaban positif dan negatif, kita dapat membedakan dan membagi beragam filsafat itu ke dalam dua kategori umum, yaitu filsafat mate-rialistik dan spiritualistik. Islam adalah contoh tepat mazhab pemikiran spiritual,2) sementara contoh kontemporer yang paling terkenal dari mazhab materialistik adalah Marxisme. ‘

Prinsip pandangan-dunia Islam tak lain adalah tiga doktrin keiman-an yang disepakati dan telah cukup dikenal. Yaitu kepercayaan akan keesaan Tuhan (al-tawhid), kepercayaan akan kebangkitan di Hari Akhir (al-ma ‘ad), dan kepercayaan terhadap apa yang telah diwahyukan kepada para nabi-Nya (wahy, mtbuwwah). Dengan kata lain, Islam menjawab dengan jawaban positif kepada setiap pertanyaan fundamental di atas, dan berpendapat bahwa keimanan kepadanya ada­lah basis sesungguhnya dari kebahagiaan manusia. Islam memberikan pemecahan seluruh permasalahan lain dalam kehidupan dengan berdasar pada tiga doktrin dasar ini. Sesungguhnya, Islam menganggap seluruh jawaban itu sebagai cabang-cabang dari pohon yang akarnya adalah ketiga doktrin tersebut. Sebaliknya, filsafat-filsafat materialistik tak mengakui keberadaan segala sesuatu yang nonmaterial, tak memper-cayai bahwa manusia memiliki kehidupan selain kemaujudan singkat di dunia ini, dan tak mengakui kepastian yang diberikan oleh wahyu.

Meskipun doktrin-doktrin fundamental keimanan Islam telah dijelaskan dan dibuktikan pada beberapa tingkatan di sepanjang abad-abad yang telah lewat, dan tak ada keraguan atau ketakpastian sama sekali di dalamnya, ini semua tak mempengaruhi kenyataan adanya kekuatan kontemporer dari seperangkat kepercayaan yang diarahkan kepada dua jenis kajian: yang pertama bertujuan membuktikan keabsahan kepercayaan-kepercayaan tersebut, dan yang kedua bertuju­an membuktikan ketakabsahan pandangan-pandangan yang bertentang-an. Dengan kata lain, wawasan ganda adalah perlu. Dalam hal Islam, kita tidak dapat memiliki kepastian akan mantapnya keimanan pada tingkat masyarakat umum dan kesetiaan masyarakat di hadapan gelom-bang tantangan ideologi-ideologi lain, kecuali jika titik-titik ketidak-setujuan kita dengan ideologi-ideologi tersebut telah dikenali, wilayah-wilayah yang menjadi sasaran serangan dan kritik lawan telah ditunjuk-kan dengan tepat, dan pertahanan yang memadai yang berupa jawaban-jawaban yang jernih dan logis telah diberikan kepada setiap Muslim awam. Selanjutnya, sudah semestinyalah diskusi-diskusi ideologis masa kini dirumuskan sesuai dengan filsafat dan mazhab-mazhab pemikiran yang sedang berlaku saat ini, dengan sasaran mematahkan serangan-serangan ideologis mereka, seperti halnya juga buku-buku ideologis dan teologis masa lalu ditulis sesuai dengan tantangan intelektual pada masa-nya dengan tujuan menjawab keraguan-keraguan yang ada ketika itu.

Apa yang membuat diskusi defensif seperti itu menjadi amat esensial pada saat ini adalah karena filsafat-filsafat materialistik diaju-kan tidak hanya dengan maksud memberikan pemecahan kepada per­tanyaan-pertanyaan teoretis fundamental. Tapi, sebagaimana akan ditunjukkan nanti (pada bagian “Filsafat Ilmiah” — penerj.) argumen-argumennya lemah dan rancu, sehingga yang dapat disimpulkan adalah bahwa ia, sesungguhnya, juga disebarluaskan untuk memenuhi kepen-tingan politis para adikuasa. Kenyataan sebenarnya masalah ini adalah bahwa para adikuasa telah menggunakan materialisme, yang didasarkan pada empirisme, sebagai cara untuk menarik massa tak terpelajar dan mendangkalkan pemahaman mereka, serta sebagai pembenaran bagi cara-cara mereka yang tak etis dan tak pantas. Sedangkan untuk menarik kelompok ter-pelajar, mereka mencomot beberapa postulat ilmu eksperimental dan menggabungkannya ke dalam materialisme. Selanjutnya, untuk memasti-kan bahwa kemungkinan postulat-postulat tersebut — yang sekali waktu dapat ditolak — tidak akan menghancurkan dasar filsafatnya, mereka berlindung di bawah “logika dialektik” yang menganggap semua kebenaran relatif dan merupakan variabel, sehingga perkembangan ilmu tidak saja tidak akan menolak keabsahan doktrin-doktrin mereka; sebaliknya, akan tampak mendukung mereka.

Dengan demikian, kami   berpendapat bahwa mempertahankan posisi pandangan-dunia Islam — menjernihkan setiap ketakjelasan yang mungkin mengarah kepada penggambaran palsu, dan membuka tabir semua yang telah menjadikan filsafat spiritual sebagai sasaran tuduhan yang tak adil dan tak jujur — bukan saja merupakan tugas intelektual dan filsafat sebenarnya dan kewajiban suci untuk membantu mem-bimbing Muslim dan memperkuat pondasi keimanan mereka, tapi itu juga tanggung jawab sosial Islam dalam mempertahankan Islam dan keberadaan wilayah-wilayah Muslim, yang menjadi sasaran serangan ideologis, politis, dan kolonialis dari blok komunis.

Harus dinyatakan di sini bahwa dengan menekankan pentingnya “wawasan ganda” dan “pertahanan dua arah”, kami tidak bermaksud mengatakan bahwa itu merupakan syarat cukup untuk menciptakan keimanan dan kecondongan pada jalan yang benar, atau bahwa satu-satunya alasan untuk kecondongan kepada ateisme atau jalan-jalan rnenyimpang lainnya   adalah   ketidaktahuan jawaban-jawaban yang tepat, logis, dan meyakinkan terhadap serangan-serangan yang telah dipaparkan   di   atas.   Maksud   kami   hanyalah untuk menunjukkan pentingnya argumen-argurhen defensif, sejalan dengan argumen-argu-men yang afirmatif, dan untuk menekankan bahwa kedua aktivitas ini adalah   beberapa syarat perlu   untuk menciptakan keimanan yang mantap, meskipun bukan merupakan syarat cukup. Ada syarat-syarat lain yang perlu bagi kemantapan keimanan, khususnya dalam hubung-annya dengan massa rakyat. Salah satunya yang terpenting adalah kesiapan spiritual dan kebebasajvdari moral buruk. Sama halnya hedon-isme dan kekacauan moral mungkin disebaBkan” oleh keyakinan mate­rialisme, keyakinan filsafat-filsafat materiah’stik mungkin juga terbentuk oleh keterikatan yang kuat kepada kenikmatan-kenikmatan jasmaniah dan kerusakan moral; karena cinta kenikmatan dan nafsu akan mem-bawa — secara tak sadar — kepada pencarian dan ketertarikan pada filsafat-filsafat yang menganjurkan dan menyetujui perilaku seperti itu, dan menghindari semua mazhab pemikiran yang mengajarkan peng-hapusan kenikmatan-kenikmatan badaniah dan pencarian tanpa akhir seperti tersebut di atas.

Maka, adalah suatu keharusan bagi pencari kebenaran untuk mem-bersihkan dirinya dari seluruh keburukan moral dan nafsu-nafsu bada­niah, dan — dengan bersandar pada hanya bimbingan nalar dan logika — membebaskan dirinya dari peniruan buta terhadap individu, kelompok atau bangsa-bangsa, hanya karena mereka memiliki kelebihan sosial, politis, atau teknis.

Leave a comment