ABU HANIFAH AN-NU’MAN PENEGAK KEADILAN, PEJUANG KEBEBASAN DAN PECINTAH AHLUL BAIT.


Tak pernah ada orang berselisih tentang seseorang sebagaimana mereka berselisih tentang Abu Hanifah: Sebagian sangat ekstrem dalam menilainya, sehingga beranggapan bahwa Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dan ilmu dari Rasulullah Saw. melalui mimpi atau pertemuan fisik.

Sebaliknya, yang lainnya berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama, melakukan penyimpangan akidah, kafir zindiq, dan menebarkan benih-benih kehancuran yang diambil dari cara-cara para penyembah berhala dan penyembah api.

Sebagian musuh lainnya membabi-buta, sehingga mereka menyiarkan bahwa beliau beragama Majusi dan diselinapkan di dalam Is­lam untuk membuat kerusakan di dalamnya.

Perbedaan pendapat yang ekstrem dan bertolakbelakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu di mana Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai beliu berdasarkan perjuangan, rerilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontroversial. Yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan da­lam hal itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain.

Abu Hanifah sangat menguasai hal ihwal kehidupan, pemikiran orang-orang waktu itu mapun sebelumnya, banyak tahu tentang para tokoh, keras terhadap pelaku kebatilan, sulit dipengaruhi oleh para penyeleweng, dan pedas terhadap orang-orang munafik yang terjun di bidang fiqih, ilmu, dan pendidikan.

Sungguh saat itu merupakan waktu yang sangat aneh . . . waktu yang penuh dengan ekstremitas yang saling bertentangan.

Waktu itu merupakan abad penemuan dan kekayaan pemikiran. Abad para imam yang agung, Muhammad Al-Baqir, Zaid bin Ali, Ja’far Ash-Shadiq, Malik bin Anas, dan Al-Laits bin Sa’d. Namun juga merupakan abad orang-orang lemah, orang-orang munafik, dan para penyeleweng. Abad yang diwarnai dengan kependekaran, impian, maraba-haya, kekayaan ruhani, kesemrawutan, dan melimpahnya harta benda.

Betul, bahwa umat Islam pada waktu itu merupakan abad kekua-saan. Namun dari berbagai hal umat Islam juga harus berhadapan de­ngan rintangan yang mengakibatkan kesusahan dan menyulut kerinduan rakyat terhadap keadilan, belas kasihan, kejujuran, dan kebaik­an, serta dihiasi dengan duka-cita.

Pada masa yang demikian inilah Abu Hanifah An-Nu’man dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H dari keluarga berbangsa Persia. Beliau dinamai An-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia.

Oleh karena itu orang-orang Arab yang fanatik merasa berat de­ngan munculnya seorang faqih yang bukan dari bangsa Arab asli. Seba-gian pendukung beliau berusaha untuk membuat nisbat beliau kepada bangsa Arab. Akan tetapi nisbat tersebut tidak diproklamirkan, sebab telah diketahui bahwa Islam memandang sama terhadap semua bangsa, dan bahwa Rasulullah Saw. pernah menggunakan jasa Salman Al-Farisi dan Bilal Al-Habsyi. Keduanya adalah sahabat pilihan, sehingga Ra­sulullah Saw. berkata, “Salman bagi kami adalah Ahlul Bait.” Umar bin Khaththab pernah berkata tentang Bilal: “Sayyiduna Bilal (pemimpin kami Bilal).”

Sejak kecil Abu Hanifah menyaksikan kekejian dan kekejaman Al-Hajjaj, penguasa Irak, terhadap setiap orang yang menentang penguasa Bani Umayyah, termasuk terhadap para fuqaha yang agung. Sehingga dalam dirinya tertanam rasa ketidaksetujuannya kepada para penguasa Bani Umayyah, membenci kesewenang-wenangan, dan menolak kekerasan mereka. Beliau mewarisi dari bapak dan ibunya kecintaan kepada Ahlul Bait, dan waktu itu tidak ada tokoh yang menghapuskan pemisahan antara kaum Muslim Arab dan non Arab kecuali Ahlul Bait.

Kecintaan kepada Ahlul Bait telah demikian melekat dalam hatinya sejak beliau berkenalan dengan para Imam dari Ahlul Bait dan menimba pengetahuan dari mereka. Ditambah lagi setelah beliau me­nyaksikan bentuk-bentuk penganiayaan yang dialami oleh Ahlul Bait dengan sangat getirnya, baik siang maupun malam. Pada suatu saat, Abu Hanifah berdiri menyaksikan Imam Ja’far ketika sedang berfatwa di Madinah, maka beliau berdiri sambil berkata, “Wahai putra Rasul­ullah, Allah tidak akan melihatku duduk sedangkan engkau berdiri.”

Bapak Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar, sehingga sejak beliau bekerja menyertai bapaknya. Beliau bergantian datang kepasar untuk bercakap-cakap dengan para pedagang besar sambil belajar prinsip-prinsip dan rahasia-rahasia perdagangan, sampai beliau mendapat perhatian dari salah seorang fuqaha yang kemudian menasehattnya agar bergaul dengan para ulama. Maka beliau menjawab, “‘ .saya sangat sedikit bergaul dengan mereka.” Salah seorang faqih besar berkata, “Kamu harus memiliki pandangan dalam ilmu dan harus berkumpul dengan para ulama, karena sesungguhnya aku melihatmu memiliki kecakapan dan kecerdasan.”

Sejak hari itulah Abu Hanifah yang masih muda itu menyerahkan dirinya untuk menuntut ilmu dan menjalin hubungan dengan para ulama, yang kemudian hubungan itu tidak terputus hingga akhir hayatnya. Berkali-kali beliau mengalami kesulitan, sebagaimana orang lain pun demikian. Di dalam lapangan baru yang menantang ini mcmang membutuhkan seluruh pengorbanan, kecerdikan, dan kepandaiannya.

pemuda hitam manis yang kurus jangkung ini berangkat dengan pakaian mewah dan wewangian yang semerbak, didorong oleh kehausannya terhadap ilnu pengetahuan. Beliau mondar-mandir ke berbagai pcsantren para ulama di Masjid Kufah. Sebagian pesantren tersebut mengajarkan pokok-pokok ilmu kalam, sebagian lainnya mengajarkan hadis Nabi, dan sebagian lagi mengajarkan fiqih. Sedangkan keba-nyakan pesantren di sana mengajarkan Al-Quran. Setelah merasa cukup di Kufah, beliau melanjutkan mencari ilmu di berbagai pesantren di basrah.

Namun, yang sangat menarik perhatiannya adalah pesantren para ulama kalam, karena dari pesantren tersebut tumbuh keberanian untuk bcrdebat sesuai dengan semangat mudanya.

Untuk beberapa lama, beliau menyertai ahli kalam, yang kemudian pindah ke pesantren yang memiliki corak lain. Beliau terbuka kesadarannya setelah tahu bahwa ulama salaf lebih mengerti tentang pokok-pokok akidah, dan mereka tidak saling berdebat dalam hal itu. Dan, menurut beliau tidak ada kebaikan dalam berdebat, kebaikan hanya di dapat dalam memperdalam pengetahuan tentang Al-Quran dan hadis.

Perlawatannya dari Basrah ke Kufah telah berakhir dan beliau kembali lagi ke daerah asalnya, Kufah. Di sana beliau secara rutin mengadakan kajian dalam bidang fiqih untuk menghadapi berbagai kasus baru yang terjadi, dan untuk mengajarkan cara-cara penggalian hukum.

Setelah ayahnya wafat, beliau mendapat peninggalan sebuah took sutera yang besar di Kufah dengan penghasilan dan keuntungan yang sangat besar. Namun, beliau kemudian berpendapat bahwa sebaiknya berserikat dengan pedagang lain agar mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu, memperdalam pengetahuan tentang agama, dan meng-gunakan pemikiran untuk menggali hukum.

Beliau membantu mengajar pada sejumlah guru di Masjid Kufah, kemudian menetap kepada salah seorang di antara mereka. Ketika salah seorang guru tersebut mengalami sakit keras, Abu Hanifah ditunjuk se-bagai guru di pesantrennya hingga guru tersebut sembuh. Namun, jiwa Abu Hanifah masih belum menyetujui untuk memimpin pesantren sen-diri ketika beliau menggantikan peran gurunya dan mendapatkan se­jumlah pertanyaan yang tidak pernah muncul sebelumnya, Abu Hani­fah menjawab seluruh pertanyaan yang terdiri dari enam puluh perta­nyaan tersebut.

Ketika gurunya sehat kembali, maka beliau menyampaikan jawab-an-jawaban yang telah dikemukakan. Gurunya menyetujui empat pu­luh jawaban dan berbeda pendapat dalam dua puluh jawaban lainnya. Setelah itu Abu Hanifah bersumpah untuk tidak berpisah dari gurunya hingga gurunya wafat.

Pada saat gurunya wafat, usia Abu Hanifah mencapai empat puluh tahun, yang kemudian menggatikannya untuk pesantren tersebut. Na­mun begitu, beliau masih tetap membantu mengajar pada ulama yang lain dalam perlawatannya ke Basrah, Makkah, dan Madinah di sela-sela pelaksanaan ibadah haji atau ketika berziarah. Beliau menyum-bangkan ilmu dan bertukar pikiran dengan mereka, sehingga timbullah rasa saling mencintai, namun kadang terjadi juga perselisihan.

Abu Hanifah membagi waktunya untuk bisnis dan ilmu. Dari kegiatan bisnisnya inilah kemudian berpengaruh besar terhadap pan-dangan di bidang fiqih. Beliau dapat meletakkan prinsip-prinsip bisnis atas landasan agama yang kuat. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah tokohnya yang paling utama di bidang bisnis. Kegiatan bisnih meru-pakan hubungan kerjasama yang terpuji, takwa, dan keuntungan rasional yang terpelihara dari kesamaran riba.

Suatu ketika datang seorang perempuan untuk membeli kain sutera dan menawar dengan harga seratus dirham. Ketika Abu Hanifah memeriksa kain tersebut, beliau berkata, “Kain itu tidak boleh dengan harga seratus.” Maka, perempuan itu pun menambahi dengan seratus lagi, begitu seterusnya hingga akhirnya perempuan itu menawar dengan harga empat ratus dirham. Beliau berkata, “Kain itu belum dapat dengan harga empat ratus.” Dengan nada kasar perempuan itu berkata, “Apakah Anda mempermainkan aku?” Maka dijawabnya, “Datangkanlah seorang laki-laki untuk menentukan harga kain ini.” Maka perempuan itu membawa seorang laki-laki untuk menentukan harganya, dan ia menentukan harga lima ratus.

Suatu hari beliau berangkat ke pesantren untuk pengkajian ilmu dan meninggalkan teman serikatnya di toko. Sebelumnya beliau telah memberitahu kepada temannya bahwa pada selembar kain tertentu terdapat cacat yang tidak begitu kelihatan, sehingga beliau menekankan agar temannya menunjukkan cacatnya kepada orang yang akan membelinya. Namun teman serikatnya itu menjualnya tanpa menun­jukkan cacatnya. Maka Abu Hanifah mencari orang yang membelinya itu untuk menunjukkan cacat pada kain tersebut dan mengembalikan sebagian uang pembeliannya. Namun beliau tidak mendapatkan si pembeli tersebut, sehingga beliau menyedekahkan seluruh uang pembe-lian tersebut, dan memutuskan berpisah dengan teman serikatnya.

Demikianlah sikap Abu Hanifah dalam berdagang dengan orang lain, pemahamannya terhadap teks-teks dalil, dan dalam menggali kaidah dan hukum.

Meskipun mencari keuntungan, beliau tidak pernah menimbun harta. Beliau berinfak dengan hartanya kepada kaum fakir, dari teman-teman dan murid-murid terdekatnya.

Abu Hanifah menyiapkan persediaan yang mencukupi kebutuhan nafkahnya selama satu tahun, lalu sisanya beliau bagi-bagikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Apabila beliau mengetahui seseorang dalam kesempitan, maka beliau cepat-cepat membantunya dengan meletakkan makanan di pintunya lalu memberitahukan bahwa telah ada sesuatu di pintunya, namun beliau cepat-cepat berlalu sebelum orang yang berhajat tersebut membuka pintu dan mendapat­kan makanan.

Di samping orang yang wara”(sangat hati-hati dari hal-hal yang haram) dan bertakwa, beliau adalah orang yang sangat lembut kepada orang-orang yang bersalah. Abu Hanifah mempunyai tetangga yang pada suatu malam mabuk dan mengeraskan suaranya sambil bernya-nyi, dengan kata-kata, “Mereka telah menyia-nyiakan aku, dan pemuda mana lagi yang akan mereka sia-siakan, untuk hari-hari yang menyedihkan, dan tertutupnya kesempatan.”

Suara tetangga itu mengganggu Abu Hanifah sepanjang malam, sampai di tengah-tengah malam, tiba-tiba suara orang mabuk itu berhenti. Pagi harinya Abu Hanifah menanyakan tentang tetangganya itu. Maka beliau diberitahu bahwa tetangganya itu berada dalam penjara dengan tuduhan mabuk. Kemudian beliau naik kuda menuju ke tempat penguasa waktu itu, lalu membebaskannya.

Ketika pulang bersamanya, beliau bertanya, “Wahai pemuda, apa-kah aku menyia-nyiakanmu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak. Bahkan Anda memeliharaku. Semoga Allah memelihara Anda.”

Setelah itu Abu Hanifah senantiasa memperhatikan pemuda tersebut hingga ia meninggalkan minum keras dan menjadi salah seorang yang tertarik kepada pesantren-pesantren tempat pengkajian ilmu, dan ia mempelajari fiqih hingga akhirnya menjadi salah seorang fuqaha Kufah.

Abu Hanifah mengajak jamaahnya untuk memperhatikan pe-nampilan. Misalnya, apabila shalat beliau mengenakan pakaian yang paling di banggakan dan memakai wangi-wangian, karena akan berdiri di hadapan Allah.

Suatu saat beliau melihat salah seorang teman duduk beliau me­ngenakan pakaian yang sudah usang, maka beliau menyisipkan uang seribu dirham ke tangan orang itu sambil membisikkan, “Perbaikilah sikapmu dengan uang itu.” Laki-laki itu menjawab, “Saya tidak mem-butuhkan uang itu. Saya orang kaya, adapun sikap saya ini merupakan zuhud terhadap dunia.” Abu Hanifah berkata, “Tidakkah sampai kepa-damu sebuah hadis yang menyatakan: Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada hamba-hamba-Nya.”

Semangat dari Sang Ibu

Beliau sangat rendah hati, banyak diam, bicara seperlunya, dan ti­dak berkata bila tidak ditanya. Apabila ada yang bersikap kasar dalam perdebatan, beliau sabar. Apabila ada orang perempuan datang untuk minta fatwa, maka beliau berdiri dari pesantrennya lalu memasang hijab untuk menjaga perempuan itu dari pandangan laki-laki, baru kemudian menjawab seluruh pertanyaannya. Penghargaan yang demikian besar terhadap perempuan timbul karena kecintaannya yang sangat mendalam terhadap ibunya dan keinginannya yang sangat tinggi untuk mendapatkan ridhanya. Di samping karena pemahaman-nya yang sempurna terhadap Islam, mengikuti sunnah dengan penuh kesadaran, juga karena ijtihadnya yang sangat mendetail. Ijtihadnya telah membimbing beliau untuk berfatwa bahwa Islam memperboleh-kan wanita untuk menangani seluruh pekerjaan yang umum tanpa ke-cuali, termasuk peradilan.

Keinginannya untuk mendapatkan keridhaan ibunya, menye-babkan beliau menaikkan ibunya di atas kendaraan (kuda) dan beliau berjalan bersamanya sejauh beberapa mil, untuk shalat di belakang salah seorang faqih yang mengakui bahwa Abu Hanifah lebih utama ketimbang dirinya—karena ibunya meyakini keutamaan faqih itu.

Ibunya kadang-kadang tidak menerima fatwa dari anaknya, sehingga memerintah Abu Hanifah agar membawanya ke salah seorang penasihat. Maka Abu Hanifah pun mengajak ibunya ke penasihat itu dengan hati yang penuh rela. Suatu saat penasihat itu berkata kepada ibunya, “Bagaimana mungkin saya berfatwa kepada Anda sedangkan Anda mempunyai seorang faqih dari Kufah.”

Meskipun demikian, Abu Hanifah tetap sangat mengharapkan keridhaan ibunya, sehingga beliau tidak pernah menolak permintaan-nya. Suatu saat ketika beliau sedang berkonsentrasi, ibunya memerintah agar beliau berhenti untuk berdagang dan berpaling dari fiqih. Ibunya berkata, “Apa kebaikan ilmu, sehingga membuatmu tersia-sia seperti ini?” Beliau berkata, “Sesungguhnya mereka mengharapkan aku karena dunia sedangkan aku mengharapkan akhirat. Dan saya lebih mernilih siksa mereka daripada siksaan Allah.”

Sering sekali Abu Hanifah mendapatkan siksaan dan cercaan. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan beliau menghasut dan melindungi orang-orang bodoh, fanatik, dan orang-orang yang tidak berpendirian untuk menuduh beliau sebagai orang kafir dan sebagai pemberontak. Namun, Abu Hanifah menyambut mereka dengan se-nyuman. Salah seorang dari mereka ini sempat mencaci Abu Hanifah, namun sama sekali tidak ditanggapinya.

Ketika beliau selesai mengajar dan berdiri, tiba-tiba ada seorang yang bodoh mengikuti beliau sambil mencaci-maki. Namun, beliau tidak menoleh kepadanya. Ketika beliau sampai di rumahnya, beliau berdiri di depan pintu sambil berkata, “Ini adalah rumahku. Selesai-kanlah pembicaraanmu hingga tidak tersisa sedikit pun di hatimu atau hingga kamu kehabisan cacian. Saya akan masuk ke rumahku.”

Musuh-Musuh dalam Selimut

Lawan Abu Hanifah ada dua kelompok, yang pertama fuqaha dari lingkungan pesantren dan yang kedua adalah penguasa pada waktu itu.

Lawan-lawan beliau dari lingkungan fuqaha dipimpin oleh Ibnu Abu Laila dan diikuti oleh Syubrumah.

Lawan Abu Hanifah yang paling utama adalah para fuqaha dari lingkungan pemerintah di zaman Bani Umayyah. Ketika datang masa pemerintahan Bani Abbasiyah, Mereka ini segera berpindah kepada para penguasa yang baru, berusaha menanamkan kemunafikan kepada mereka, dengan harapan mereka dapat diangkat menjadi anggota majelis permusyawaratan. Mereka mewarnai pemikiran penguasa yang baru, sebagaimana mereka telah mewarnai pemikiran para penguasa terdahulu, dengan kesewenang-wenangan, permusuhan, penyelewengan, pemerasan, dan menghantam orang-orang yang menentang. Mereka memalsukan pendapat-pendapat para ulama di bidang fiqih; menerima hadis-hadis lemah atau palsu selama dapat digunakan se-bagai sandaran bagi partai yang sedang berkuasa, para pemeras, dan memalingkan perhatian manusia dari urusan duniawi serta urusan politik; agar manusia terpaku pada pola kehidupan kumuh dan membiarkan orang-orang yang memeras mereka, yang sewenang-wenang, dan merajalela.

Dalam kebebasannya, Abu Hanifah dapat menjaga diri sehingga beHau juga tetap menghormati para penguasa. Beliau juga dapat me-ngenakan pakaian dari bulu yang termahal pada musim hujan, me- ; makai serban panjang dengan pakaian kebanggaan, menggunakan wangi-wangian, makan makanan yang-baik-baik (bergizi), dan hiasan hidup lainnya yang dihalalkan Allah Swt.

Sebagaimana yang dilakukan oleh guru sekaligus teman beliau, Imam Ja’far Ash-Shadiq, Abu Hanifah berusaha meluruskan dan menganggap sebagai bid’ah terhadap pola hidup kumuh, berpaling dari kehidupan duniawi, dan menyerahkan seluruh urusan kepada partai yang berkuasa yang memeras, menindas, dan sewenang-wenang.

Kecenderungan Abu Hanifah kepada para Imam dari Ahlul Bait me-nimbulkan kemarahan Bani Umayyah dan juga pemuka Bani Abbsiyah.

Pada masa Bani Umayyah para pemukanya berkata, “Sesungguh-nya engkau menjadi kafir atau musyrik adalah lebih baik ketimbang menjadi simpatisan Bani Ali.”

Sementara itu, pada masa Bani Abasiyyah berbagai fitnah telah melanda keturunan Ali, namun Abu Hanifah berfatwa, “Bani Ali adalah para pemegang kebenaran.”

Pada mulanya Abu Hanifah lebih simpati kepada Bani Abbasiyah dan menyatakan dukungan terhadap mereka. Tetapi, ketika di tengah-tengah mereka terdapat para fuqaha yang mendorong kemunafikan terhadap Bani Umayyah dan mewarnai mereka dengan permusuhan, maka Abu Hanifah tidak lagi simpati, bahkan memandang buruk rezim Bani Abbas. Di samping itu Bani Abbas juga bersikap kejam terhadap keturunan jalur paman mereka, yaitu Bani AH, maka bertambah jeleklah pandangan beliau tentang Bani Abbas.

Meskipun toleransi Abu Hanifah yang begitu tinggi, namun beliau tidak mendiamkan kesalahan para fuqaha—bahkan telah menjadikan seluruh perhatiannya—unhik mendorong para penguasa menjadi mu-nafik dan mencari kesenangan semata. Sebagian fuqaha penjilat tersebut berfatwa di masjid dekat pesantren Abu Hanifah. Apabila fuqaha ter­sebut salah, maka Abu Hanifah pun menentangnya dengan mengung-kap kesalahannya dan mengumumkan yang sebenarnya kepada orang-orang.

Beliau mengkritik kesalahan Ibnu Abu Laila dengan kritikan yang menimbulkan kemarahannya. Pernah beliau mengkritik keputusan hukumnya dengan keras, sehingga semakin memuncaklah kemarahan Ibnu Abu Laila. Kasusnya, suatu ketika ada seorang perempuan gila yang menegur seorang laki-laki, “Hai anak zina.” Atas tindakannya itu Ibnu Abu Laila menegakkan had (hukuman yang telah ditentukan syara’) terhadap wanita tersebut di masjid. Ibnu Abu Laila mencam-buknya dalam keadaan berdiri dengan dua kali had, yang satu atas tu-duhannya terhadap laki-laki itu dan keduanya atas tuduhannya ter­hadap ibunya.

Kasus ini terdengar oleh Abu Hanifah, sehingga beliau berkata, “Ibnu Abu Laila melakukan kesalahan dalam beberapa hal: (1) Mene­gakkan had di masjid, padahal had tidak boleh ditegakkan di masjid. (2) Menegakkan had terhadapnya sambil berdiri, padahal had atas perempuan itu harusnya dilakukan sambil duduk. (3) Menegakkan had dua kali, untuk bapaknya sekali dan untuk ibunya sekali, padahal se-andainya seseorang menuduh zina terhadap sekelompok orang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman kecuali sekali. Jadi dua had tidak dapat disatukan. (4) Orang yang gila tidak dapat dikenai had. (5) Menjatuhi hukuman untuk kedua orang tua laki-laki itu, padahal mereka gaib dan tidak berada di tempat dan mengajukan dakwaannya.”

Ibnu Abu Laila melapor kepada Khalifah untuk mengadukan Abu Hanifah dengan tuduhan bahwa ia telah menghinanya dan rnenyam-paikan kepada orang-orang dengan informasi yang menggambarkan bahwa Ibnu Abu Laila adalah orang yang bodoh. Sikap Abu Hanifah ini juga berarti menghina Khalif ah, karena Ibnu Abu Laila adalah peng-ganti Khalifah daiarn peradilan dan pelaksanaan hukurn di tengah-tengah masyarakat.

Khalifah akhirnya mengeluarkan instruksi yang melarang Abu Hanifah mengomentari keputusan para hakim, di samping itu juga la-rangan untuk berfatwa. Namun, ketika Khalifah membutuhkan fatwa dalam suatu perkara, dan tidak mendapatkan fatwa dari para fuqaha istana, maka ia kemudian kembali minta fatwa kepada Abu Hanifah. Namun Abu Hanifah tidak mau memberi fatwa sehubungan dengan perkara tersebut, jika Khalifah tidak mengizinkan untuk berfatwa kepada masyarakat umum. Maka, akhirnya Khalifah pun mengizinkan untuk berfatwa kembali, dan juga mengkritik keputusan-keputusan hukum pemeritah.

Pada suatu ketika, Khalifah Al-Manshur menghendaki untuk me-nulis suatu aturan hukum yang baku, namun para fuqaha istana tidak dapat memenuhi permintaan ini. Sehingga Khalifah kemudian datang kepada Abu Hanifah, dan dengan segera Abu Hanifah memenuhi per­mintaan tersebut. Para fuqaha istana segera saja mencela keselingkuhan Khalifah dengan apa yang diperbuatnya, karena kedengkian pada diri mereka. Namun Khalifah membantah mereka dan menegaskan bahwa Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih, meskipun Khalifah sen-diri membenci posisi dan pandangan-pandangan beliau.

Ketika terjadi perselisihan antara Khalifah Al-Manshur dengan istrinya karena ia ingin beristri lagi, maka Khalifah menginginkan untuk mencari fatwa dari seorang faqih. Istrinya menolak mencari fatwa kepada hakim agung Ibnu Abu Laila atau pengikutnya, Syubrumah, maupun kepada salah seorang faqih kaki-tangan Al-Manshur. Istrinya meminta Abu Hanifah sebagai pemberi keputusan.

Ketika Abu Hanifah datang, maka Khalifah menyatakan kehen-daknya dan bahwa beristri lagi adalah haknya, sebab Allah menghalal-kan laki-laki beristri empat orang dan bersenang-senang dengan ham-ba sahaya perempuan miliknya yang dikehendaki.

Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya Allah menghalalkan hal itu hanya untuk orang yang dapat berbuat adil, sedangkan orang yang tidak dapat berlaku adil, hanya halal beristri satu orang. Allah Swt. berfirman, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu orang saja (QS Al-Nisa’: 3). Maka sebaiknya kita beradab dengan adab yang ditetapkan Allah dan mengambil pelajaran dari petunjuk-Nya.”

Khalifah merasa keberatan dengan fatwa tersebut, namun ia menerimanya.

Abu Hanifah lalu pulang ke rumahnya, dan istri Khalifah menyertakan kepulangannya dengan seorang pelayan laki-laki yang membawa harta banyak: beberapa bungkus pakaian yang mahai dan langka, se­orang hamba perempuan yang cantik, dan seekor keledai mesir yang lincah. Semuanya sebagai hadiah bagi Abu Hanifah.

Abu Hanifah berkata kepada pelayan laki-laki itu, “Sampaikan sa-lamku kepada istri Khalifah. Katakanlah bahwa aku membelanya ber-dasarkan agamaku dan aku memberi keputusan tersebut karena Allah, aku tidak bermaksud untuk mendapat pengakuan dari seseorang dan tidak untuk mendapatkan harta benda duniawi. Karena itu kembali-kanlah hamba wanita yang cantik ini, pakaian-pakaian, harta benda, dan keledai mesir ini, seluruhnya.”

Abu Hanifah tidak hanya terpaku kepada dalil-dalil tekstual, me-lainkan mencari petunjuk dan berusaha menerapkan hukum-hukum-nya dengan melihat kasus dan kondisi dari suatu peristiwa hukum.

Beliau sering bertukar pikiran secara spontanitas dengan para fuqa-ha dan menyelesaikan setiap masalah dengan tuntas. Di samping itu, beliau juga sering membuat hipotesis, mengadakan penelitian lapangan maupun kepustakaan, sangat cerdik dalam meraih tujuan dan menye-lamatkan diri dari kesempitan, serta selalu memenuhi kebutuhan lawan bicara dalam berdialog.

Meskipun demikian beliau berkata, “Boleh jadi apa yang saya kata-kan tidak semuanya benar atau bahkan bisa semuanya salah.”

Pada suatu hari, ketika berada dalam pesantrennya, beliau diejek beberapa orang Khawarij yang dipimpin oleh seorang faqih. Orang-orang Khawarij tersebut biasanya membunuh orang-orang yang ber-selisih dengan mereka. Mereka membunuh orang yang membenarkan sikap Ali bin Abu Thalib dengan menyetujui tahkim (sidang penentuan), sedangkan Abu Hanifah mendukung sikap Ali menyetujui tahkim. Pemimpin Khawarij itu meminta agar Abu Hanifah memilih antara bertobat atau dibunuh. Maka Abu Hanifah meminta agar mereka ber­tukar pikiran dengannya, lalu mereka menyanggupi. Abu Hanifah ber-tanya, “Bagaimana bila kita berbeda?” Pemimpin Khawarij itu menjawab, “Kita menunjuk seseorang untuk memberi keputusan di antara kita.” Abu Hanifah tersenyum sambil berkata, “Dengan demikian Anda juga memperbolehkan tahkim.” Maka pemimpin Khawarij itu pergi dan meninggalkan Abu Hanifah dengan selamat. Kecerdasan dan Keberanian

Bering sekali Abu Hanifah dapat keluar dari posisi yang sulit berkat kecepatan tindakan spontanitasnya, ketajaman siasatnya, dan kekuatan argumentasinya. Meskipun demikian, beliau tidak dapat lepas dari an-caman lawan-lawannya yang mencari rezeki di istana para penguasa.

Kekerasan sikap Abu Hanifah, penghormatan, kecenderungan para penguasa terhadap beliau ketimbang terhadap para fuqaha yang men­cari rezeki dari para penguasa membakar amarah dan menggerakkan kedengkian para fuqaha. Mereka membakar amarah para penguasa untuk menjatuhkan Abu Hanifah dan berusaha menutupi segala keuta-maannya. Abu Hanifah sangat berani dalam membela kebenaran. Karena itu mereka merasa rendah jika membandingkan keberanian dan ketakwaannya.

Sikap Abu Hanifah dalam mendukung Ahlul Bait telah menambah kemarahan para penguasa. Di samping itu pendapat-pendapatnya yang kontroversial juga menambah kemarahan para penguasa. Beliau mengajarkan penggunaan akal apabila tidak ada dalil tekstual dalam Al-Quran dan sunnah. Dalam menggali hukum, beliau berusaha meng-kategorikan antara masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dengan masalah-masalah yang hukumnya sudah jelas dengan batasan dan tujuan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat dan singkron dengan adat dan kebiasaan setempat: Apabila adat dan kebiasaan ter-sebut tidak bertentangan dengan ruh syariat atau dalil-dalil tekstualnya.

Adapun sikap Abu Hanifah dalam mendukung Ahlul Bait, adalah dengan menyatakan bahwa Bani Ali lebih berhak atas kekuasaan ketimbang Bani Abbas. Secara terang-terangan beliau memihak kepada Bani Ali, sama sekali tidak menyembunyikan kecenderungannya itu, dan menyiarkannya tanpa rasa takut. Sikap tersebut bukanlah hal yang baru bagi Abu Hanifah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, beliau mendukung pemberontakan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain. Beliau menyebut keberangkatan Zaid dengan sebutan jihad di jalan Allah. Beliau menyerupakan pemberontakan tersebut dengan Perang Badar dan berusaha untuk berangkat bersama Imam Zaid. Sayang, mendapat halangan karena mengurus jamaahnya. Abu Hanifah tidak mendapatkan kesempatan kecuali berjihad dengan hartanya, beliau mengirimkan kekayaan yang dimiliki kepada Imam Zaid untuk kebutuhan makan dan menguatkan pasukan Imam Zaid. Ketika Bani Abbas berkuasa, beliau pada mulanya mendukung. Te-tapi melihat kekejaman Bani Abbas terhadap orang-orang yang menen-tang mereka, memperkosa kemerdekaan berpikir, menganiaya Bani Ali, dan mengkhianati keadilan—yang atas dasar itu mereka dibaiat—maka beliau menyatakan ketidaksenangannya terhadap Bani Abbas di be-berapa pesantren.

Sedemikian kejamnya, Al-Manshur sampai pernah mengumpulkan para pemuka Bani Ali untuk dipenjara dan dirampas harta dan tanah mereka. Setelah peristiwa ini Bani Ali mengadakan pemberontakan dengan dipimpin Muhammad An-Nafs Az-Zakiyah dan saudaranya Ibrahim bin Abdillah. Al-Manshur mengirimkan pasukan yang besar untuk menghabisi Bani Ali.

Abu Hanifah berterus-terang menyatakan dukungannya terhadap pemberontakan itu. Sementara itu, para simpatisan Bani Ali menangis setelah Al-Manshur menang dalam menumpas, menghukum pemim-pinnya, dan membantai penduduk Madinah Al-Munawwarah yang mendukung pemberontakan tersebut. Abdullah bin Al-Hasan, guru Abu Hanifah, orang-tua Muhammad An-Nafs Az-Zakiyah, dan Ibra­him, disiksa di penjara Al-Manshur hingga wafat.

Ketika Abdulah bin Hasan wafat, Abu Hanifah menyatakan bah-wa Abdullah bin Hasan adalah orang yang paling utama pada waktu itu dan meninggal di penjara sebagai syahid. Abu Hanifah menangis meratapi kematiannya.

Adapun pendapat Abu Hanifah yang menyulut kemarahan para penguasa dan para pembantu mereka adalah pendapat yang beliau gali berdasarkan kias. Sebagian fuqaha menuduh bahwa Abu Hanifah rnengutamakan kias daripada hadis.

Tuduhan ini sebenamya tidak benar. Abu Hanifah melihat keja-hatan yang membahayakan, maka dengan pengetahuan agamanya, beliau ingin selamat darinya, dan sekaligus menyelamatkan orang lain: Ketika terjadi konflik antara para politikus dan para aktivis sosial, maka muncul dan berkembanglah pemalsuan hadis sebagai pengabdian dan untuk memperkuat pihak masing-masing. Sehubungan dengan itu, Abu Hanifah bersikap terhadap hadis sebagaimana sikap guru dan teman beliau, Imam Ja’far Ash-Shadiq, yakni meneliti para rawi hadis dan kejujuran mereka, serta meneliti kandungan matannya. Setelah itu beliau menolak hadis-hadis yang diragukan kejujuran dan ketakwaan para rawinya, yang matannya menyalahi teks Al-Quran, sunnah yang masyhur, atau salah satu tujuan syariat yang jelas. Abu Hanifah menghimpun hadis-hadis yang dapat beliau jumpai pada waktu itu hingga berhasil menghimpun sebanyak puluhan ribu hadis. Dalam jumlah ter­sebut, menurut pengamatan beliau, tidak ada yang sahih kecuali sekitar tujuh belas hadis.

Beliau berpendapat bahwa kias yang benar dapat inewujudkan tujuan syariah dan menjadikan hukum-hukumnya lebih benar. Peng-gunaan kias lebih baik daripada berpegang kepada hadis yang tidak sahih. Kias memiliki kriteria, yakni untuk mewujudkan kemaslahatan yang merupakan tujuan syariah.

Kesulitan yang di hadapi Abu Hanifah, rasa tanggung jawabnya, dan ketakwaannya merupakan faktor yang menyebabkan ketatnya dalam menerima hadis, lebih-lebih bila diragukan kesahihannya dari berbagai seginya. Dengan demikian Abu Hanifah harus menempuh jalan lain untuk mendapatkan hukum baru dengan mengkiaskan kepada hukum-hukum yang telah baku dalam Al-Quran, sunnah yang sahih, atau pendapat para sahabat pemula yang termasuk ahli fatwa, seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Mas-‘ud. Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang beliau unggulkan untuk difatwakan hasil ijtihadnya sebagai ganti dari penyandaran hadis yang tidak beliau yakini kesahihannya kepada Rasulullah Saw.

Pada masa Abu Hanifah hidup, banyak kasus-kasus hukum yang rumit, kondisi ini terjadi disebabkan semakin luasnya pemerintahan, rumitnya permasalahan, dan munculnya banyak kegiatan bisnis dan kemasyarakatan. Beliau menghadapi semua ini dengan ijtihad untuk menggali hukum-hukum yang memiliki keterkaitan nilai.

Beliau tidak melakukan bid’ah dengan kiasnya, sebagaimana yang dituduhkan. Abu Hanifah tidak menyia-nyiakan sunnah sebagaimana tipu daya yang digambarkan oleh Ibnu Abu Laila dan pengikutnya, Syubrumah. Metode Abu Hanifah adalah “mengkiaskan suatu masalah kepada masalah lain untuk mengembalikannya kepada dasar-dasar dalam Al-Quran dan sunnah serta kesepakatan para imam, kemudian berijtihad.” Beliau telah menyimpulkan metodenya dalam menggali kaidah hukum tersebut dalam wasiatnya kepada salah seorang muridnya yang menangani peradilan. Beliau berkata, “Apabila kamu mendapatkan kesulitan dalam suatu perkara, maka pergilah kepada Al-Quran, sunnah, dan ijma.” Kemudian, apabila kamu mendapatkannya dengan jelas, maka amalkanlah itu, dan apabila kamu tidak men­dapatkannya dengan jelas, maka kembalikanlah masalah itu kepada masalah-masalah serupa dengan memperhatikan dalil-dalilnya. Lalu, amalkanlah masalah yang paling dekat dan paling serupa dari dalil-dalil tersebut.

Ijtihadnya itu telah membimbingnya kepada pendapat-pendapat yang merdeka, misalnya, mendakwahkan kesamaan antara laki-laki dan perempuan pada saat di mana wanita mulai berubah posisinya dari status sebagai “harta benda pemilikan”.

Abu Hanifah berfatwa bahwa wanita yang telah dewasa dapat rne-ngawinkan dirinya sendiri. Wanita tersebut adalah orang yang merdeka dalam menentukan suaminya.

Beliau juga berfatwa bahwa tidak boleh menghapus hak terhadap seseorang, karena dalam penghapusan hak itu terdapat penyia-nyiaan terhadap kemanusiaan dan pemerkosaan kehendak.

Abu Hanifah berfatwa tentang tidak bolehnya pembekuan terhadap harta orang yang berhutang meskipun hutangnya sampai menghabis-kan kekayaannya, karena hal itu bertentangan dengan kemerdekaannya.

Setiap urusan kehidupan yang berhadapan dengan kemerdekaan manusia, dalam berbagai aspeknya, Imam Abu Hanifah berfatwa un-tuk menghargai dan memelihara kemerdekaan. Karena menyia-nyia-kan kemerdekaan manusia merupakan suatu penganiayaan yang tidak ada bandingannya.

Imam Abu Hanifah berfatwa mengenai segala hal yang dapat mem-permudah pelaksanaan agama dan kehidupan bagi manusia. Sehu-bungan dengan itu, beliau berfatwa bahwa keraguan tidak dapat rnengalahkan keyakinan. Beliau memberi contoh dengan orang yang telah berwudhu lalu ragu akan hadas yang dapat merusak wudhunya, maka orang tersebut masih tetap pada wudhunya dan keraguannya tidak menyia-nyiakan keyakinannya.

Abu Hanifah berfatwa bahwa tidak dibenarkan seseorang melarang pemilik harta mengelola hartanya sendiri. Tidak dibenarkan seseorang menghukumi seorang Muslim sebagi kafir, selama ia masih beriman kepada Allah dan rasul-Nya, meskipun ia pernah melakukan berbagai maksiat. Barangsiapa mengkafirkan orang Muslim, maka ia berdosa.

Beliau berfatwa bahwa bacaan (Al-Fatihah) imam mencukupi bagi bacaan orang-orang yang shalat di belakangnya, sehingga shalat me-reka sah tanpa membaca (Al-Fatihah) lagi.

Pendapat beliau ini mengundang reaksi orang banyak, sehingga mereka datang kepada Abu Hanifah untuk berbincang-bincang sekitar pendapatnya itu. Beliau berkata, “Saya tidak mungkin berdialog dengan Anda semuanya, melainkan diwakili oleh orang yang paling alim di antaramu.” Maka majulah salah seorang sebagai juru bicara yang mewakili mereka. Abu Hanifah bertanya kepada mereka, apakah jika beliau telah bertukar pikiran dengan orang yang mereka pilih berarti mewakili dari seluruh orang yang hadir. Mereka sepakat untuk itu. Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, “Demikian pula halnya, jika kita telah memilih imam. Maka bacaannya adalah bacaan kita, dan ia adalah pengganti kita.” Mereka lalu pulang dengan puas.

Abu Hanifah juga menyatakan keharusan memberi maaf terhadap orang yang bersalah apabila tidak ada tanda-tanda penghinaan secara pasti dan tidak bercampur keraguan atau dugaan. Hal ini berdasarkan tindakan Rasulullah Saw. yang memerintahkan untuk sedapat mungkin menghindari hukuman. Sedangkan hukuman dapat dihindarkan karena adanya syubhat (adanya suatu faktor yang menunjukkan kebolehan di saru sisi, namun di sisi lain ada faktor yang menunjukkan ketidakbolehan yang lebih kuat – pen). Oleh karenanya, apabila sese-orang yang berdosa itu memiliki jalan keluar, maka ia harus dibebaskan. Imam yang bersalah dalam hal memberi maaf lebih baik daripada ia bersalah dalam memberikan hukuman.

Beliau memerintahkan kepada manusia untuk menanyakan ber-bagai bidang ilmu setiap kali ada kesulitan dengan cara bertanya yang baik. Beliau berkata, “Bertanya yang baik adalah separuh dari ilmu.”

Dalam berijtihad, Abu Hanifah senantiasa tahu diri, sebab orang yang mengandalkan diri sendiri akan merasa takabur dengan menyom-bongkan ilmunya meskipun ia sangat rendah hatinya.

Abu Hanifah pernah ditanya, “Bagaimana jika Anda telah berpen-dapat dengan suatu pendapat, lalu tampak jelas ada hadis yang me-nyalahi pendapat Anda?” Dijawab, “Tinggalkanlah pendapatku kare­na hadis Rasulullah Saw. Dan semua hadis yang sahih dari Rasulullah Saw. harus diletakkan di atas segalanya.” Pertanyaan berikutnya, “Bagaimanakah apabila pendapat seorang sahabat menyalahi pendapat-mu?” Beliau menjawab, “Tinggalkan pendapatku karena pendapat se­orang sahabat.” Pertanyaan selanjutnya lagi, “Bagaimana jika pendapat seorang tabi’in menyalahi pendapat Anda?” Beliau menjawab, “Apabila seorang tabi’in itu laki-laki, maka saya adalah laki-laki.”

Diriwayatkan bahwa suatu ketika beliau berangkat ke Madinah Al-Munawwarah, lalu berdebat dengan Imam Malik tentang suatu perkara yang diperselisihkan, dalam perdebatan itu hadir pula Imam Al-Laits bin Sa’d, seorang imam dari Mesir yang hidup pad zaman Ja’far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, dan Malik bin Anas. Salah seorang fuqaha kontemporer berkata bahwa Imam Al-Laits adalah orang yang paling faqih, namun orang-orang Mesir menyia-nyiakannya, sehingga mereka iklak memelihara fiqihnya. Perdebatan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik itu berjalan cukup lama, sampai-sampai Imam Malik berke-lingat. Dan ketika Abu Hanifah pulang, Imam Malik berkata kepada Imam Al-Laits, “Sesungguhnya beliau adalah seorang faqih, wahai Imam Mesir!”

Bersambung ..

Leave a comment