Singkat Kemandirian Rasional dalam perdebatan Mu’tazilah-kaum Asy’ari Bagi lahirnya Istilah Ahlusunna.


Pembicaraan mengenai sifat-sifat esensial bagi perbuatan. Di sini kita bertanya, apakah secara sendirian akal dapat menemukan sifat (baik dan buruk) ini? Yaitu apakah sewaktu menilai kebaikan dan keburukan sesuatu, akal tidak memerlukan petunjuk dan inampu melakukannya sendiri? Atau ia tidak mampu mengetahuinya kecuali dengan bantuan syariat (agama, wahyu)? Karena alasan itulah, maka “kebaikan dan keburukan sejati” disebut dengan “kebaikan dan keburukan rasional (‘aqliy)”. Kaum Mu’tazilah bersikeras dalam membela asumsi yang mengatakan bahwa akal mampu secara sendirian menemukan hakikat kebaikan dan keburukan pada perbuatan dan mereka memunculkan terminologi “kemandirian-kemandirian akal”. Mereka menyatakan bahwa kita mampu mengetahui dengan jelas bahwa perbuatan baik dan buruk itu pada dasarnya berbeda dan bahwasanya akal kita, tanpa harus dibantu oleh petunjuk Tuhan, mampu mengetahui hakikat yang dapat diterima tersebut. Sedangkan kaum Asy’ari, mereka menolak asumsi yang mengatakan bahwa perbuatan itu pada ya memiliki sifat yang ditetapkan kepadanya. Karenanya, mereka menafikan kedudukan perbuatan yang baik dan buruk yang esensial.  Sclanjutnya, dengan mengikuti asumsi tersebut, mereka menolak kemampuan akal untuk dapat mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan yang esensial pada suatu perbuatan. Mereka berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan merupakan persoalan persoalan yang relatif, dan khususnya tunduk kepada syarat-syarat ruang dan wiiklu, dan dari satu segi terpengaruh oleh serangkaian tradisi dan n|iu’im ajaran; dan dari segi lain mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat sendirian mengetahui kebaikan dan keburukan. Tetapi, untuk Mengetahui salah satu di antara keduanya, akal memerlukan bantuan syariat (wahyu).

Dengan demikian, kaum Asy’ari menolak kemandirian akal dalam mengetahui   kebaikan   dan  keburukan,  dan  pada gilirannya mereka menolak   pula   “kemandirian-kemandirian   rasional”   dan   menyerang keyukinan   kaum  Mu’tazilah  yang  mengatakan   bahwa  akal manusia mampu  secara sendirian — tanpa bantuan wahyu — mengetahui apa yang diwajibkan dan apa yang tidak diwajibkan, dan mereka meng-

klaim bahwa pertanyaan berikut — Apakah keadilan? Apakah kezaliman?  Apakah kebaikan? Apakah kejahatan? — sebagai pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh pembuat syariat, dan dalam persoalan ini kita harus mengikuti “Sunnah Islam” dan harus tunduk kepadanya.   Karenanya,   mereka   disebut   “Ahl AlSunnah”  atau   “Ahl  Al- Hadis.  Dengan  sebutan seperti itu, mereka telah meraih  “fondasi sosia” yang tangguh di tengah-tengah masyarakat, Perbedaan antara kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ari pada dasarnya terletak dalam soal diterima dan ditolaknya kemandirian-kemandirian rasional yang dipersepsi oleh masyarakat luas sebagai perbedaan dalam hal diterima dan ditolaknya “sunnah” atau “hadis”, atau dalam gambaran pertentangan “akal” dengan “sunnah”. Dengan begitu, fondasi sosial kaum Asy’ari menjadi kuat dan berkembang, sedangkan fondasi sosial kaum Mu’tazilah menjadi lemah dan memudar.

Sebenarnya, kaum Mu’tazilah bukan tidak peduli terhadap “sunnnah”, melainkan pemilihan yang dilakukan oleh kaum Asy’ari lorhadap istilah Ahl Al-Sunnah untuk menyebut diri mereka telah mencnggelamkan kaum Mu’tazilah — kelompok yang menentang mereka — dalam kegelapan, dan ini memberi andil bagi runtuhnya kaum Mu’tazilah di mata umat pada awal abad ketiga Hijri. Gambaran yang salah terhadap kaum Mu’tazilah tersebut tidak hanya menyebar di kalangan masyarakat umum, melainkan telah merasukpula di kalangan kaum orientalis yang menyebut kaum Mu’tazilah dengan nama “para pemikir yang menolak sunnah”, secara sadar atau tidak. Sedangkan mereka yang berwawasan luas akan mengetahui bahwa perbedaan pen-dapat antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ari bukanlah pada ter-ikat atau tidaknya mereka dengan Islam. Sebenarnya dalam melakukan amal Islami dan dalam menegakkan fondasi-fondasinya, kaum Mu’tazi­lah jauh lebih bersemangat dan memiliki pengorbanan yang lebih besar. Adalah biasa bagi suatu gerakan pemikiran, manakala ia lengkap dan bersih dari berbagai noda, mendapatkan hantaman dan tuduhan yang menyakitkan di tengah masyarakat awam dari orang-orang yang menampakkan ibadah dan ketundukan, padahal sebenarnya mereka tidak memiliki kesucian yang luhur dan keikhlasan niat.

Benar bahwa perbedaan pendapat yang terjadi antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ari itu pada dasarnya dimulai dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keadilan, yakni mengenai kebaikan dan keburukan esensial. Hanya saja, persoalan ini melebar pada persoalan persoalan yang berkaitan dengan tauhid. Kaum Mu’tazi­lah berpendapat bahwa akal berhak memasuki persoalan-persoalan tauhid, sedangkan kaum Asy’ari beranggapan bahwa mereka beribadah berdasarkan pengertian-pengertian lahiriah hadis.

Leave a comment