Syi’ah Dalam Islam


BIOGRAFIKU[1]

Aku, Muhammad Husain ath-Thabathabai, dilahirkan pada tahun 1281 Syamsiah[2] di kota Tabriz, di kalangan sebuah keluarga ulama. Pada usia lima tahun, aku harus kehilangan ibuku dan pada usia sembilan tahun, ayahku  harus meninggalkankku untuk selamanya. Karena kehidupan kami, aku dan adikku, sedikit banyak lumayan mapan, orang kepercayaan ayah untuk mengurusi seluruh kehidupan kami menyerahkan kehidupan kami kepada seorang pembantu pria dan seorang pembantu wanita. Beberapa waktu setelah ayah kami meninggal dunia, kami dikirim ke Maktab,[3] dan selang beberapa lama, kami dimasukkan ke sekolah. Dan pada akhirnya, kami belajar kepada seorang guru privat yang setiap hari datang ke rumah kami. Dengan demikian, kami belajar Bahasa Persia dan mata-mata pelajaran mukadimah (setingkat SD—pen.) selama enam tahun.

Pada masa itu, pelajaran jenjang mukadimah tidak memiliki program yang tetap. Aku  ingat, selama tahun 1290-1296 Syamsiah,[4] aku telah berhasil mempelajari Al-Qur’an sebagai mata pelajaran yang lebih banyak dibaca dibandingkan dengan mata-mata pelajaran yang lain, buku sastra “Golestân dan Bustân-e Sa‘di”, “Nishâb”, “Akhlâq-e Mosavvar”, “Anvâr-e Suhaili”, “Tarikh-e Mo‘jam”, “Masha’ât-e Amir Nezam”, dan “Irsyâd al-Hisâb”.

Pada tahun 1297 Syamsiah,[5] aku mulai menekuni jurusan ilmu agama dan satra Bahasa Arab, dan hingga tahun 1304 Syamsiah[6] aku sibuk membaca teks-teks buku kedua jurusan tersebut. Selama tujuh tahun itu, aku telah membaca buku-buku pelajaran resmi sebagai berikut:

  1. Bidang ilmu Sharaf: buku al-Amtsilah, Sarf-e Mir, dan at-Tashrîf.
  2. Bidang ilmu Nahwu: buku al-‘Awâmil, al-Anmudzaj, ash-Shamadiyah, as-Suyûthî, al-Jâmî, dan al-Mughnî.
  3. Bidang ilmu Bayân: buku al-Muthawwal.
  4. Bidang ilmu Fiqih: buku syarah al-Lum‘ah dan al-Makâsib.
  5. Bidang Ushul Fiqih: buku al-Ma‘âlim, al-Qawânîn, ar-Rasâ’il, dan al-Kifâyah.
  6. Bidang ilmu logika: al-Kubrâ, al-Hâsyiyah, dan syarah asy-Syamsiyah.
  7. Bidang ilmu filsafat: syarah al-Isyârât.
  8. Bidang ilmu Kalam: Kasyf al-Murâd.

Dengan demikian, pembacaan seluruh teks buku-buku asli (jenjang ini) telah usai selain jurusan filsafat.

Pada tahun 1304 Syamsiah, dengan tujuan untuk menyempurnakan pelajaranku, aku pergi ke Hauzah Najaf. Selama berada di kota Najaf, aku mengikuti pelajaran kuliah Ayatullah Syaikh Muhammad Husain al-Ishfahani; satu paket penuh kuliah Ushul Fiqih tingkat Bahtsul Khârij selama enam tahun dan paket kuliah Fiqih tingkat Bahtsul Khârij selama empat tahun. Begitu juga aku mengikuti kuliah Ayatullah Nai’ni; jenjang Bahtsul Khârij Fiqih selama delapan tahun dan satu paket penuh kuliah Ushul Fiqih. Di samping itu, dalam beberapa waktu aku juga menghadiri kuliah Bahtsul Khârij Fiqih Ayatullah Sayid Abul Hasan al-Ishfahani. Dan aku juga mempelajari mukadimah ilmu Rijâl dari Ayatullah Hujjat Kuhkamari.

Dalam bidang ilmu filsafat, aku sempat belajar kepada seorang filsuf kenamaan pada waktu itu. Beliau adalah Sayid Husain Badkubi. Selama enam tahun belajar kepada beliau, aku telah membaca buku-buku (filsafat dan ‘irfan), seperti al-Manzhûmah karya Sabzawari, al-Asfâr dan al-Masyâ‘ir karya Mulla Shadra, asy-Syifâ’ karya Abu Ali Sina, Atsuluchiya, at-Tamhîd karya Ibn Turkah, dan Akhlâq Ibn Maskawaeh.

Karena perhatian beliau dalam mendidikku, Sayid Badkubi—demi memperkenalkanku dengan metode berpikir argumentatif dan memperkuatku dari sisi pemikiran filosofis—menyarankan kepadaku untuk belajar matematika. Demi menaati saran beliau tersebut, akhirnya, aku belajar kepada Sayid Abul Qasim Khunsari, seorang ahli Matematika pada waktu itu, dalam bidang ilmu Matematika. Aku belajar ilmu Aritmatika Argumentatif (Hesâb-e Istidlâlî), satu paket ilmu Plane Geometri (Handaseh-ye Musttaheh), Solid Geometri (Haneseh-ye fazâ’î), dan Aljabar Argumentatif (Jabr-e Istidlâlî) dari beliau.

Pada tahun 1314 Syamsiah,[7] dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, aku harus pulang kampung dan kembali bermukim di tempat kelahiranku, Tabriz. Aku menetap di kota kelahiranku itu selama sepuluh tahun lebih. Harus kuakui bahwa periode ini adalah periode kerugian hidupku dari sisi spiritual. Hal itu lantaran aku harus bekerja keras menjamin seluruh kehidupanku melalui bertani, dan sebagai konsekuensinya, aku harus meninggalkan kebiasaanku menekuni masalah-masalah ilmiah, kecuali dalam kadar yang sangat sedikit. Selama itu, aku menjalani hidup ini dengan dibebani oleh sebuah siksa batin.

Pada tahun 1325 Syamsiah,[8] aku tidak lagi mementingkan kebahagiaan hidupku. Kutinggalkan tempat kelahiranku dan aku menetap di Hauzah Ilmiah Qom. Aku memulai kehidupanku di kota itu dan aku aktifkan kembali kegiatan-kegiatan ilmiahku. Hingga permulaan tahun 1341 Syamsiah[9] ini, aku masih menjalani kehidupanku di kota tersebut.

Setiap orang—sesuai dengan kondisinya—dalam kehidupannya pasti pernah mengalami kebahagiaan dan kepahitan dan melihat kejelekan dan keindahan. Aku juga—dengan sendirinya, khususnya karena aku telah menjalani kehidupan ini sebagai anak yatim, dalam keterasingan, jauh dari teman-teman, tidak memiliki sarana (yang memadai), dalam kemiskinan, dan kesulitan-kesulitan lainnya, telah menghadapi berbagai pasang-surut dalam kehidupan ini dan mengalami kondisi yang beraneka-ragam. Akan tetapi, aku selalu merasakan adanya “tangan tak terlihat” yang selalu menyelamatkanku dari tepi jurang yang membahayakan dan “daya tarik mesterius” yang selalu menarikku dari ribuan aral yang melintang dan membimbingku ke arah tujuan.

Di permulaan masa belajar ketika aku masih mempelajari ilmu Sharaf dan Nahwu, aku tidak memiliki keinginan yang mendalam untuk belajar. Atas dasari ini, aku selalu tidak memahami apa yang telah kubaca. Kujalani kondisi semacam ini selama empat tahun. Setelah itu, ‘inayah Allah datang menghampiriku dan ia berhasil merubahku. Aku merasakan adanya sebuah keinginan luara biasa dalam diriku untuk belajar sehingga dari sejak hari itu hingga akhir masa belajarku, aku tidak pernah merasakan lelah dan putus asa. Telah kulupakan segala keindahan dan keburukan dunia, serta pahit dan manisnya segala peristiwa kuanggap sama. Aku memutuskan segala hubungan dengan orang-orang yang bukan ahli ilmu dan dalam jatah tidur, makan, dan hal-hal lain kebutuhan hidup, aku mencukupkan diri dengan kadar seminimal mungkin. Selebihnya aku pergunakan untuk menelaah. Sangat sering terjadi, khususnya pada musim semi dan musim panas, aku melalui malam-malamku dengan menelaah hingga matahari terbit dan untuk pelajaran esok hari aku selalu menelaah mata pelajarannya pada malam harinya. Setiap ada problema mata pelajaran, aku selalu menyelesaikannya sendiri (pada malam itu juga) dan ketika aku hadir di kelas, sebelumnya aku telah memahami apa yang akan diterangkan oleh guruku. Dan aku tidak pernah membawa kesalahpahaman pelajaran di hadapan guruku.

Karya-karya yang sempat kutulis selama aku belajar di Najaf adalah sebagai berikut:

  1. Diskuisi tentang Burhân (Argumentasi).
  2. Diskuisi tentang Mughâlathah (Sophisme)
  3. Diskusi tentang Tahlîl (Analisa).
  4. Diskuisi tentang Tarkîb (Ketersusunan).
  5. Diskuisi tentang I‘tibâriyât (pemikiran yang diciptakan oleh manusia sendiri).
  6. Diskuisi tentang Kenabian dan (????).

Karya-karya yang sempat ditulis selama aku berdomisili di Tabriz:

  1. Diskuisi tentang pembuktian Dzat Allah.
  2. Diskuisi tentang asmâ dan sifat Allah.
  3. Diskuisi tentang perilaku (Af‘âl) Allah.
  4. Diskuisi tentang perantara antara Allah dan Manusia.
  5. Diskuisi tentang manusia sebelum di dunia.
  6. Diskuisi tentang manusia di dunia.
  7. Diskuisi tentang manusia setelah kehidupan dunia.
  8. Diskuisi tentang wilâyah (kepemimpinan).
  9. Diskuisi tentang Kenabian.

Dalam semua diskuisi tersebut, telah dupayakan sebuah kajian komparatif antara akal dan teks agama.

  1. Buku tentang silsilah nasab marga Thabathabai di Azerbeijan.

Karya-karya yang telah berhasil ditulis di kota suci Qom:

  1. Tafsir al-Mizan dalam 20 jilid. Di dalam buku ini, ayat-ayat Al-Qur’an telah ditafsirkan dengan menggunakan metode penafsiran ayat dengan ayat. Metode ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
  2. Ushûl-e Falsafeh (Metode Realisme). Di dalam buku yang dicetak dalam 5 jilid ini, telah diadakan penelitian tuntas tentang teori filsafat Timur dan Barat.
  3. Hâsyiyah (Annotasi) Kifâyah al-Ushûl.
  4. Hâsyiyah al-Asfâr karya Mulla Shadra yang telah dicetak dalam 9 jilid.
  5. Wahyu (Perasaan Misterius)
  6. Interview dengan Prof. Corbon, seorang Orientalis berkebangsaan Prancis pada tahun 1338 Syamsiah.[10] Seluruh hasil interview tersebut telah dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul “Syi‘ah”.
  7. Interview pada tahun 1339 dan 1340 Syamsiah[11] yang telah dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul Resâlat-e Tashayyu’ (Missi Syi‘ah).
  8. Diskuisi tentang mukjizat.
  9. Ali wa al-Falsafah al-Ilâhiyah. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia.
  10. Shi’eh dar Islam (Syi‘ah Dalam Islam).
  11. Quran dar Islam (Al-Qur’an Dalam Islam).
  12. Kumpulan makalah, tanya-jawab, dan pembahasan-pembahasan ilmiah, filosofis, dan lain sebagainya.
  13. Sunan an-Nabi. (Akhir-akhir ini, buku tersebut telah dicetak setelah diterjemahkan dan diteliti kembali oleh Muhammad Hadi Fiqhi dalam 400 halaman).

*****

Allamah Sayid Muhammad Husain ath-Thabathabai meninggal dunia pada hari Ahad, tanggal 24 Aban 1360 Syamsiah/18 Muharam 1402, pukul 9 pagi. Esok harinya, jenazah beliau dikuburkan di masjid yang berada di samping makam Sayidah Fathimah al-Ma’shumah as.

Tujuh puluh sembilan tahun usia beliau dengan karya masterpiece dan spektakulernya, Tafsir al-Mizan, telah mengukirkan namanya di dalam ingatan sejarah.

[1] Seluruh yang tercantum dalam biografi ini dinukil dari buku Cherâgh-e Tajrebeh (Pelita Pengalaman), karya Ja’far Pezhvam, hal. 348-353.

[2] Kira-kira tahun 1324 H./1903 M. Syamsiah adalah hitungan kalender Iran—pen.

[3] Maktab adalah sebuah lembaga pendidikan belajar Al-Qur’an di Iran di masa lalu—pen.

[4] Kira-kira tahun 1333-1339 H./1912-1918 M—pen.

[5] Kira-kira tahun 1340 H./1919 M—pen.

[6] Kira-kira tahun 1347 H./1926 M—pen.

[7] Kira-kira tahun 1357 H./1936 M—pen.

[8] Kira-kira tahun 1368 H./1947 M—pen.

[9] Kira-kira tahun 1384 H./1963 M—pen.

[10] Kira-kira tahun 1381 H./1960 M—pen.

[11] Kira-kira tahun 1382 dan 1383H./1961 dan 1962 M—pen.

[1] Julukan pertama yang pernah muncul pada masa Rasulullah saw. adalah “Syi‘ah”. Salmân, Abu Dzar, dan Miqdâd adalah orang-orang yang dikenal dengan julukan tersebut. Silakan rujuk Hâdhir Al-‘Âlam Al-Islamî, jilid 1, hal. 188.

[1] “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu‘arâ’ [26]: 214)

[1] Di penghujung hadis itu disebutkan bahwa Ali as. berkata, “Meskipun aku lebih kecil dari yang lain, tapi kutegaskan, ‘Aku akan menjadi wazir Anda.’ Rasulullah meletakkan tangan beliau di atas pundakku seraya bersabda, ‘Anak ini adalah saudara, washî, dan penggantiku. Oleh karena itu, kalian harus menaatinya.’” Orang-orang yang hadir tertawa terbahak-bahak seraya berkata kepada Abu Thalib, “Ia telah memerintahkanmu untuk menaati anakmu.” Silakan rujuk Târîkh Ath-Thabarî, jilid 2, hal. 321, Târîkh Abil Fidâ’, jilid 1, hal. 116, Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 3, hal. 39, dan Ghâyah Al-Marâm, hal. 320.

[1] Ummu Salamah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ali selalu bersama hak dan Al-Qur’an, serta hak dan Al-Qur’an selalu bersamanya. Hingga hari Kiamat tiba, mereka tidak akan pernah saling berpisah.” Hadis ini diriwayatkan oleh ulama Ahli Sunah dengan 15 sanad dan oleh ulama Syi‘ah dengan 11 sanad. Ummu Salamah, Ibn Abbas, Abu Bakar, ‘Aisyah, Ali as., Abu Sa‘îd Al-Khudrî, Abu Lailâ, dan Abu Ayyûb Al-Anshârî adalah para perawi hadis ini. Silakan rujuk Ghâyah Al-Marâm, karya Al-Bahrânî, hal. 539-540.

Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah selalu merahmati Ali! Ia selalu bersama dengan hak.” Silakan rujuk Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 7, hal. 36.

[1] Rasulullah saw. bersabda, “Hikmah dibagi menjadi sepuluh bagian; sembilan bagiannya adalah milik Ali dan satu bagiannya dibagikan di antara seluruh umat manusia.” Silakan rujuk Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 7, hal. 359.

[1] Ketika orang-orang kafir Mekkah mengambil keputusan untuk membunuh Nabi Muhammad saw. dan telah mengepung rumah beliau, beliau mengambil keputusan berhijrah ke Madinah dan bersabda kepada Ali as., “Apakah di malam ini engkau siap untuk tidur di atas ranjangku sehingga mereka menyangka aku masih tertidur di atas ranjangku dan aku merasa aman dari pengejaran mereka?” Dalam kondisi krisis itu, Ali as. menerima permohonan tersebut dengan dada terbuka.

[1] Silakan rujuk buku-buku referensi sejarah dan hadis.

[1] Hadis Ghadir Khum adalah salah satu hadis yang diterima secara aklamasi oleh Ahli Sunah dan Syi‘ah. Lebih dari seratus sahabat telah menukil hadis tersebut dengan sanad dan redaksi yang berbeda. Hadis ini juga telah ditulis dalam buku-buku referensi hadis Ahli Sunah dan Syi‘ah. Untuk menelaah lebih lanjut, silakan Anda rujuk Ghâyah Al-Marâm, hal. 79, Al-‘Abaqât, pembahasan tentang Ghadir Khum, dan Al-Ghadîr.

[1] Târîkh Al-Ya‘qûbî, cetakan Najaf, jilid 2, hal. 137 dan 140; Târîkh Abil Fidâ’, jilid 1, hal. 156; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 4, hal. 107; Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 437; Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 127 dan 161.

[1] Shahîh Muslim, jilid 15, hal. 176; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 4, hal. 207; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 23 dan jilid 2, hal. 437; Târîkh Abil Fidâ’, jilid 1, hal. 127 dan 181.

[1] Jabir bercerita, “Suatu hari kami berada di sisi Rasulullah saw. Tiba-tiba Ali nampak dari jauh (sedang datang mendekat). Rasulullah saw. bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Orang ini dan para pengikut (Syi‘ah)nya adalah orang-orang yang berbahagia pada Hari Kiamat.’” Ibn Abbas berkata, “Ketika ayat “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih, mereka adalah sebaik-baik makhluk” turun, Rasulullah saw. bersabda kepada Ali, ‘Maksud ayat ini adalah engkau dan para pengikut (Syi‘ah)mu. Pada Hari Kiamat, kalian rida terhadap Allah dan Dia pun rida terhadap kalian.’” Kedua hadis tersebut dan hadis-hadis yang lain disebutkan dalam Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 6, hal. 379 dan Ghâyah Al-Marâm, hal. 326.

[1] Ketika sakit, Nabi Muhammad saw mempersiapkan sebuah laskar jihad di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Beliau menegaskan supaya seluruh sahabat ikut serta dalam peperangan tersebut dan keluar dari kota Madinah. Sebagian sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar, tidak mendengarkan perintah tegas beliau itu. Hal itu menyebabkan Rasulullah saw murka. Silakan rujuk Syarah Ibn Abil Hadid, cetakan Mesir, jilid 1, hal. 53.

Menjelang wafat, Rasulullah saw bersabda, “Berilah aku pena supaya kutuliskan bagi kalian sebuah surat yang dapat membukakan jalan petunjuk bagi kalian dan (dengannya) kalian tidak akan tersesat.” Umar mencegahnya seraya berkata, “Sakitnya telah parah dan ia sedang mengigau!” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 436, Shahih Bukhari, jilid 3, Shahih Muslim, jilid 5, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 5, hal. 227, dan Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 133.

“Kondisi” Rasulullah saw ini juga pernah menimpa Khalifah Pertama ketika ia sedang menghadapi kematian dan menulis surat wasiat untuk (kekhalifahan) Umar. Bahkan, ketika sedang menulis wasiat itu, ia tidak sadarkan diri. Anehnya, Umar tidak berkomentar sedikit pun dan tidak mengatakan bahwa ia sedang mengigau, padahal ketika menulis surat wasiat itu, Khalifah Pertama itu sedang tidak sadarkan diri. Rasulullah saw adalah ma’shum dan (pada waktu meminta pena) sepenuhnya sadar. Silakan rujuk Raudhah ash-Shafâ, jilid 2, hal. 260.

[1] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 58 dan 123-135; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 102; Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 445-460.

[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 103-106; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 156 dan 166; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 307 dan 352; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 17 dan 134.

[1] ‘Amr bin Huraits pernah bertanya kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah ada orang yang menentang pembai’atan Abu Bakar?” Ia menjawab, “Tidak satu pun yang menentangnya kecuali orang-orang yang sudah murtad atau hampir murtad.” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 447.

[1] Dalam hadis Tsaqalain yang masyhur Rasulullah saw bersabda, “Kuamanatkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang sangat berharga yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan pernah tersesat: Al-Qur’an dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga Hari Kiamat tiba.” Hadis ini telah dinukil melalui seratus sanad lebih dari tiga puluh lima sahabat Rasulullah saw. Silakan rujuk silsilah sanad hadis Tsaqalain di dalam buku Ghâyah al-Marâm, hal. 211.

Rasulullah saw juga bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menginginkan ilmu, hendaknya ia masuk melalui pintunya.” Silakan rujuk al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 7, hal. 259.

[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 105-150.

[1] Rasulullah saw bersabda, “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.” Lihat Bihâr al-Anwâr, jilid 1, hal. 172.

[1] Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 7, hal. 360.

[1] Târîkh al-Ya’qubi, hal. 111, 126 dan 1219.

PASAL IV

Metode Politik Konsep Khilafah Dan Berbedanya Dengan Pandangan Syi‘ah

Syi‘ah meyakini bahwa syariat samawi agama Islam yang bahan dasarnya tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw adalah kekal hingga Hari Kiamat tiba[1] dan ia tidak akan mengalami perubahan (dan perombakan), serta negara Islam—dengan alasan apapun—tidak boleh menon-aktifkan pengaktualisasiannya. Satu-satunya tugas negara Islam adalah—sesuai dengan kemalahatan masanya—mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat melalui sebuah badan permusyawaratan. Akan tetapi, dalam hal ini, disebabkan oleh kesediaan Syi‘ah untuk berbai’at meskipun secara politis dan dari peristiwa “pena dan kertas” yang terjadi di masa-masa Rasulullah saw sakit, dapat dipahami bahwa para sutradara dan penganut konsep khilafah meyakini, Kitab Allah harus terperlihara sebagai sebuah undang-undang dasar. Akan tetapi, mereka tidak memberikan nilai sedikit pun kepada sunah dan penjelasan-penjelasan Rasulullah saw (dalam hal ini). Bahkan, mereka meyakini, pemerintahan Islam—sesuai dengan tuntutan kemaslahatan—dapat menon-aktifkan sunah dan penjelasan-penjelasan tersebut. Prinsip ini telah dikuatkan dengan hadis-hadis yang—setelah periode itu—dinukil untuk keutamaan para sahabat, seperti hadis “para sahabat adalah mujtahid, jika mereka benar dalam ijtihadnya, maka mereka akan mendapatkan pahala dan jika salah, maka mereka akan dimaafkan.” Contoh yang sangat jelas untuk itu terjadi ketika Khalid bin Walid, salah seorang komandan tentara Khalifah, bertamu ke rumah salah seorang Muslim yang terkenal bernama Malik bin Nuwairah di malam hari. Khalid menyerangnya secara tiba-tiba dan membunuhnya. Ia meletakkan kepalanya di dalam tungku api dan membakarnya. Di malam itu juga Khalid memperkosa istrinya. Setelah kejahatan-kejahatan yang sangat  memalukan ini terjadi, Khalifah—dengan alasan pemerintahan Islam masih memerlukan seorang komandan sepertinya—enggan melaksanakan hukum Islam atas Khalid bin Walid.[2]

Begitu juga, mereka telah melarang pembagian saham khumus kepada Ahlulbait as dan keturunan Rasulullah saw.[3] Penulisan hadis pun—secara mutlak—dilarang. Jika ditemukan sebuah hadis tertulis di suatu tempat atau hadis itu dirampas dari seseorang, mereka mengumpulkannya, lalu membakarnya.[4] Pelarangan penulisan hadis ini berlanjut dari masa Khulafa’ur Rasyidin hingga periode pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah (99-102 H.).[5] Pada masa Khalifah Kedua (13-25 H.), politik ini dipraktikkan secara lebih terang-terangan dan tegas, dan dengan memanfaatkan fungsi kekhalifahannya, ia telah melakukan pelarangan terhadap pengamalan beberapa syariat Islam, seperti haji Tamattu’, nikah Mut’ah, dan pengucapan “hayya ‘alâ khoiril ‘amal” di dalam azan,[6] dan mengesahkan pelaksanaan tiga kali talak (dalam satu mejelis) dan lain sebagainya.[7]

Pada masa kekhalifahan Umar juga Baitul Mal—untuk pertama kalinya—dibagikan di antara masyarakat dengan tidak rata.[8] Hal ini—pada masa-masa berikutnya—telah menimbulkan perbedaan kasta yang sangat parah dan peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat mengerikan di tengah-tengah umat Islam. Pada masa kekhalifahannya, Mu‘awiyah memerintah di negeri Syam (Syiria) dengan cara kerajaan, kekisraan, dan kekaisaran. Khalifah memberikan julukan “Kisra Arab” kepadanya, dan ia tidak pernah memprotes tindakannya itu.

Khalifah Kedua dibunuh oleh seorang budak berkebangsaan Iran pada tahun 23 H. dan sesuai dengan pendapat mayoritas “Badan Syura” yang beranggotakan enam orang yang dibentuk atas perintahnya, Khalifah Ketiga berhasil menduduki kursi kekhalifahan. Pada masa kekhalifahannya, ia telah mendudukkan seluruh familinya dari keturunan Bani Umaiyah di kursi-kursi pemerintahan. Di Hijaz, Irak, Mesir, dan seluruh kawasan pemerintahan Islam, seluruh tampuk kepemimpinan diserahkan kepada mereka.[9] Mereka telah meletakkan bangunan cara hidup tak terikat (dengan hukum Islam). Mereka secara terang-terangan telah melakukan kelaliman, kefasikan, kriminalitas, dan pelanggaran terhadap seluruh hukum-hukum Islam yang masih berlaku. Banjir pengaduan telah datang melanda Dârul Khilâfah dari setiap penjuru pemerintahan Islam. Akan tetapi, Khalifah yang telah dikuasai oleh para budak-budak Umaiyah, khususnya Marwan bin Hakam,[10] itu tidak pernah menggubris seluruh pengaduan tersebut. Bahkan, kadang-kadang ia mengeluarkan perintah untuk mempersulit dan menangkap para pengadu.[11] Akhirnya, pada tahun 35 H., masyarakat memberontak kepadanya dan setelah beberapa hari pengepungan dan baku hantam, mereka berhasil membunuhnya.

Pada masa kekhalifahannya, Khalifah Ketiga telah memperkuat daerah Syam yang dikuasai oleh salah seorang familinya dari Bani Umaiyah, yaitu Mu‘awiyah, melebihi masa-masa sebelumnya. Pada hakikatnya, kekuatan kekhalifahan Islam terfokus di Syam dan pemerintahan Madinah sebagai Dârul Khilâfah hanya dipoles dengan Islam secara lahiriah.[12]

Kekhalifahan Khalifah Pertama terbentuk dengan pemilihan “mayoritas” sahabat[13], kekhalifahan Khalifah Kedua terlaksana atas dasar wasiat Khalifah Pertama, dan kekhalifahan Khalifah Ketiga terwujud atas dasar pemilihan “Badan Syura” yang beranggotakan enam orang yang seluruh anggota dan aturan permainannya telah ditentukan dan diatur oleh Khalifah Kedua. Atas dasar ini, politik ketiga khalifah yang telah berkuasa selama dua puluh lima tahun itu dalam menjalankan pemerintahan adalah, bahwa hukum-hukum Islam dijalankan sesuai dengan ijtihad dan kemaslahatan yang telah didenotasi (tasykhîsh) oleh Khalifah. Dan politik mereka dalam pengetahuan Islam adalah, bahwa Al-Qur’an hanya dibaca tanpa boleh ditafsirkan atau dikaji terlebih dahulu dan hadis-hadis Rasulullah saw diriwayatkan tanpa tertulis di atas kertas dan periwayatannya tidak melebihi batas mulut dan telinga.

Penulisan hanya terbatas pada penulisan Al-Qur’an dan penulisan hadis dilarang.[14] Setelah peperangan Yamamah berakhir pada tahun 12 H. dan sekelompok sahabat yang dikenal sebagai qârî Al-Qur’an terbunuh dalam peperangan itu, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah Pertama untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam sebuah mushaf. Dalam usulannya itu ia berpendapat, “Jika sebuah peperangan meletus dan sisa-sisa para pemikul Al-Qur’an terbunuh, niscaya Al-Qur’an akan musnah dari tengah-tengah kita. Atas dasar ini, selayaknya kita memngumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam sebuah mushaf dan menulisnya (dengan rapi).”[15] Mereka mengambil keputusan semacam ini berkenaan dengan Al-Qur’an, padahal hadis-hadis Rasulullah saw sebagai sabda (nomor dua) setelah Al-Qur’an juga menghadapi bahaya yang sama dan tidak dijamin dari (bahaya) penukilan dengan arti, pengurangan, penambahan, pemalsuan, dan kelupaan. Meskipun demikian, pemeliharaan hadis tidak mendapat perhatian yang selayaknya. Bahkan, penulisannya dilarang dan seluruh hadis yang berhasil dikumpulkan dibakar. Dalam waktu yang tidak lama, tindakan ini menyebabkan munculnya hadis-hadis yang saling kontradiktif berkenaan dengan hal-hal yang sudah pasti dalam agama Islam, seperti shalat dan tidak adanya usaha untuk pengembangan jurusan-jurusan ilmu yang lain selama itu. Seluruh pengkultusan dan pujian berkenaan dengan ilmu pengetahuan, penekanan, anjuran, dan amplifikasi (tausi‘ah) ilmu pengetahuan yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw tidak lagi berpengaruh. (Malahan), mayoritas umat Islam lebih mementingkan perluasan kawasan Islam yang mereka lakukan silih berganti dan merasa bahagia dengan pampasan perang melimpah yang mengalir ke jazirah Arab dari berbagai penjuru dunia. Ilmu Ahlubait as yang dipegang oleh Ali as dan Rasulullah saw memperkenalkannya sebagai orang yang paling mengenal ilmu pengetahuan Islam dan maksud-maksud Al-Qur’an sudah tidak mendapatkan perhatian lagi. Dalam mengumpulkan Al-Qur’an, mereka enggan mengajaknya, dan bahkan, menyebut namanya sekalipun, padahal mereka mengetahui bahwa setelah Rasulullah saw wafat, ia duduk di rumahnya dan sibuk mengumpulkan Al-Qur’an.[16]

Seluruh peristiwa di atas dan kejadian lainnya membuat para pengikut Ali as semakin teguh dalam keyakinan mereka dan menjadikan mereka semakin berhati-hati dalam menghadapi segala problema yang sedang menimpa masyarakat. Hari demi hari mereka selalu menambah (kualitas) kegiatan mereka. Ali as yang tangannya tidak mampu untuk mendidik masyarakat secara umum, juga giat mendidik para sahabat khususnya.

Selama masa dua puluh lima tahun itu, tiga orang dari empat sahabat Ali as yang selalu setia menaatinya dalam segala kondisi, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, dan Miqdad, meninggal dunia. Akan tetapi, sekelompok sahabat dan banyak Tabi’in di Hijaz, Yaman, Irak, dan daerah-daerah lainnya rela menjadi pengikut Ali. Akhirnya, setelah Khalifah Ketiga terbunuh, seluruh masyarakat dari segala penjuru membela Ali. Dengan segala cara mereka rela membai’atnya dan memilihnya menjadi khalifah.

[1] Di dalam Kitab-Nya Allah SWT berfirman, “… dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kita mulia yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya ….” (QS. Fushshilat [41]: 41-42)

Ia berfirman, “… [keputusan] hukum hanyalah hak Allah ….” (QS. Yusuf [12]: 67) Artinya, syariat hanyalah syariat Allah yang sampai kepada umat manusia melalui konsep kenabian.

Ia berfirman, “… akan tetapi, ia adalah utusan Allah dan pamungkas seluruh nabi ….” (QS. al-Ahzab [33]: 40) Dengan ayat ini, Ia telah mengumumkan penutupan periode kenabian dan syariat dengan pengutusan Rasulullah saw.

Ia berfirman, “… barangsiapa tidak [memutuskan] hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Ma’idah [5]: 44)

[2] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 110; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 158.

[3] Ad-Durr an-Matsûr, jilid 3, hal. 186; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 3, hal. 48. Hal itu padahal kewajiban (memberikan) khumus (kepada mereka) telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan tegas. Al-Qur’an berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai ghanîmah, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat [Rasul], ….” (QS. an-Anfal [8]: 41)

[4] Selama memegang tampuk kekhalifahan, Abu Bakar telah berhasil mengumpulkan lima ratus hadis. ‘Aisyah bercerita, “Pada suatu malam, aku melihat ayahku tidak tenang hingga pagi hari. Ketika pagi tiba, ia berkata kepadaku, ‘Bawalah semua hadis itu kemari.’ Lalu, ia membakar seluruh hadis itu.” Silakan rujuk Kanz al-‘Ummâl, jilid 5, hal. 237.

Khalifah Umar menulis surat (perintah) kepada seluruh penjuru negara, “Barangsiapa memiliki hadis, ia harus membakarnya.” Silakan rujuk Kanz al-‘Ummâl, jilid 5, hal. 237.

Muhammad bin Abu Bakar bercerita, “Pada zaman Umar (berkuasa), banyak sekali hadis (yang terkumpulkan). Ketika hadis-hadis itu dibawa ke hadapannya, ia memerintahkan supaya hadis-hadis itu dibakar.” Silakan rujuk Thabaqât Ibn Sa’d, jilid 5, hal. 140.

[5] Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 151.

[6] Pada peristiwa Hajjatul Wada’, Rasulullah saw—sesuai dengan ayat Al-Qur’an “fa man tamatta’a bil ‘umrah …”—telah menentukan cara khusus pelaksanaan haji (haji Tamattu’) bagi jamaah haji yang datang dari luar Makkah, dan Umar telah melarangnya pada masa kekhalifahannya. Begitu juga, nikah Mut’ah masih berlaku pada masa Rasulullah saw. Akan tetapi, Umar telah melarangnya pada masa ia menjadi khalifah dan menetapkan hukuman rajam bagi pelanggarnya. Di samping itu, pada masa Rasulullah saw, bacaan “hayya ‘alâ khoiril ‘amal” (marilah bergegas menuju amalan terbaik, yaitu shalat) masih dibaca dalam azan. Tetapi, Umar malah berpendapat, “Bacaan ini akan mencegah masyarakat untuk berjihad.” Dengan demikian, ia melarangnya untuk dibaca. Atas dasar perintah Rasulullah saw, dalam satu majelis hanya jatuh talak sekali. Akan tetapi, Umar mengizinkan tiga kali talak dalam satu majelis. Semua tindakan tersebut telah disebutkan dalam buku-buku referensi hadis, fiqih, dan teologi Ahlusunah dan Syi‘ah.

[7] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 131; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 160.

[8] Usud al-Ghâbah, jilid 4, hal. 386; al-Ishâbah, jilid 3.

[9] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 150; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 168; Târîkh ath-Thabari, jilid 3, hal. 377.

[10] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 150; Târîkh ath-Thabari, jilid 3, hal. 397.

[11] Sekelompok orang dari penduduk Mesir memberontak kepada Utsman. Ia merasakan bahaya sedang mengancam dirinya. Ia memohon bantuan kepada Ali bin Abi Thalib dan menampakkan penyesalannya. Ali as berkata kepada mereka, “Kamu semua telah bangkit untuk menegakkan kebenaran. Utsman telah bertaubat. Ia berkata, ‘Aku akan mengakhiri tindakan-tindakanku yang lalu. Dalam waktu tiga hari, aku akan mengabulkan tuntutan-tuntutanmu semua dan memberhentikan komandan-komandan pasukanku yang telah berbuat kelaliman.’” Setelah itu, Ali as menulis sebuah surat kesepakatan dengan mereka dan mereka pun rela pergi.

Di pertengahan jalan, mereka melihat pembantu dekat Utsman sedang menunggangi untanya dan bergerak menuju Mesir. Mereka curiga dan memeriksanya. Mereka menemukan sepucuk surat bersamanya yang ditujukan kepada penguasa Mesir. Isi surat adalah “Dengan nama Allah. Ketika Abdurrahman bin ‘Udais datang menghadapmu, cambuklah ia sebanyak seratus kali, gundulilah kepala dan janggutnya, dan jatuhkanlah ia ke dalam penjara untuk waktu yang sangat panjang. Dan lakukanlah seperti itu juga atas ‘Amr bin al-Hamq, Saudan bin Harran, dan ‘Urwah bin Nabba’.”

Mereka merampas surat tersebut dan kembali menemui Utsman dengan penuh amarah. Mereka berkata, “Engkau telah berkhianat kepada kami!” Utsman tidak mengakui surat tersebut. Mereka berkata, “Pembawa surat itu adalah pembantu dekatmu!” “Ia telah menulisnya tanpa sepengetahuanku”, jawabnya. “Kendaraannya adalah untamu”, kata mereka lagi. “Untaku dicuri”, jawabnya pendek. “Surat itu ditulis oleh sekretarismu”, sanggah mereka. “Ia telah menulisnya tanpa sepengetahuanku”, jawabnya pendek. Akhhirnya, mereka berkata, “Bagaimanapun juga, engkau tidak layak untuk menjadi khalifah dan engkau harus mengundurkan diri. Karena, jika tindakan itu terlaksana atas izinmu, maka engkau adalah seorang pengkhianat, dan jika tindakan penting itu terlaksana tanpa izin dan sepengetahuanmu, maka hal itu membuktikan ketidakbecusan dan ketidaklayakanmu. Bagaimanapun juga, engkau harus mengundurkan diri atau sekarang juga engkau harus memberhentikan para pegawaimu yang zalim itu.” “Jika aku harus bertindak sesuai dengan kehendakmu, maka sebenarnya kamulah yang sedang berkuasa. Di sini kedudukanku sebagai apa?”, itulah jawaban yang mereka dengar. Akhirnya mereka keluar dari ruang pertemuan itu dengan amarah yang membara. Silakan rujuk Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 150-151; Târîkh ath-Thabari, jilid 3, hal. 402-409.

[12] Târîkh ath-Thabari, jilid 3, hal. 377.

[13] [Ungkapan “mayoritas sahabat” tidak lebih hanya sekedar ungkapan kuntatif (musâmahah). Karena, pertama kali, Khalifah Pertama hanya dibai’at oleh Umar dan Abu ‘Ubaidah al-Jarrah. Setelah itu, hanya sekelompok kecil masyarakat Islam yang mengabulkan permintaan Umar (untuk membai’at Khalifah Pertama)].

[14] Shahih Bukhari, jilid 6, hal. 89; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 113.

[15] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 111; Târîkh ath-Thabari, jilid 3, hal. 129-132.

[16] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 113; Syarah Ibn Abil hadid, jilid 1, hal. 9. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setelah Abu Bakar dibai’at, ia mengutus seseorang kepada Ali untuk meminta bai’atnya. Ali menjawab, “Saya telah berjanji tidak akan keluar dari rumah kecuali untuk mengerjakan shalat hingga aku selesai mengumpulkan Al-Qur’an.” Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Ali membai’at Abu Bakar setelah enam bulan berlalu. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah selesai dikumpulkan. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah mengumpulkan Al-Qur’an, ia memuatnya di atas punggung unta dan ia membawanya di hadapan khalayak untuk menunjukkannya kepada mereka. Dan dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan bahwa perang Yamamah di mana Al-Qur’an dikumpulkan setelah perang itu usai, terjadi pada tahun kedua kekhalifahan Abu Bakar. Semua pembahasan ini dapat ditemukan di kebanyakan buku-buku sejarah dan hadis yang mengetengahkan pembahasan pengumpulan Al-Qur’an.

PASAL V

Kekhalifahan Dan Metode Pemerintahan Amirul Mukminin Ali

Periode kekhalifahan Ali as dimulai di penghujung tahun 35 H. dan berlangsung selama empat tahun dan sembilan bulan. Dalam metode kekhalifahannya, Ali as mengikuti metode pemerintahan Rasulullah saw.[1] Ia mengembalikan mayoritas perubahan yang telah dilakukan para khalifah sebelumnya ke posisinya semula dan memberhentikan seluruh pegawai negara yang tidak laik yang pada waktu itu masih memegang kekuasaan.[2] Pada hakikatnya, tindakannya adalah sebuah revolusi besar-besaran, dan—tentunya—menghadapi banyak problematika.

Pada hari pertama kekhalifahannya, dalam sebuah pidato di hadapan msyarakat, Ali as menegaskan, “Ketahuilah! Problematika yang kamu hadapi pada saat Rasulullah diutus menjadi nabi, sekarang telah kembali ke (pangkuan)mu dan telah mendominasi kehidupanmu. Kamu harus berubah secara total. Para pemilik keutamaan yang selama ini diletakkan di belakang harus maju ke depan (baca: memimpin) dan mereka yang telah berada di depan (baca: memimpin) dengan cara tidak becus harus berada di belakang. Jika kebatilan sangat banyak (baca: merajalela), hal itu bukanlah suatu hal yang baru, dan jika hak (kebenaran) amat sedikit, kadang-kadang sesuatu yang sedikit dapat maju ke depan (memimpin) dan harapan untuk maju masih ada. Hanya saja sangat jarang terjadi sesuatu yang telah berlalu dari seseorang, ia akan kembali lagi.”[3]

Ali as melanjutkan sistem pemerintahan revolusionernya. Dan sebagai konsekuensi alamiah dari sebuah revolusi, unsur-unsur penentang yang merasakan kepentingan-kepentingannya terancam akan mengadakan penentangan dari setiap penjuru pemerintahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka telah meletuskan peperangan-peperangan intern berdarah yang—kira-kira—berlanjut selama periode kekhalifahan Ali as. Menurut pendapat Syi‘ah, pihak-pihak yang menjadi faktor meletusnya peperangan-peperangan intern ini tidak memiliki tujuan lain kecuali kepentingan pribadi, dan menuntut darah Khalifah Ketiga tidak lebih hanyalah sebuah dalih untuk mengelabuhi opini masyarakat awam. Bahkan, kesalahpahaman pun bukanlah faktor pemicu peperangan-peperangan itu.[4]

Faktor penyebab perang pertama yang dikenal dengan Perang Jamal adalah realita perselisihan kasta yang muncul sejak masa kekhalifahan Khalifah Kedua ketika ia membagi-bagikan harta Baitul Mâl secara tidak rata. Setelah resmi menjadi Khalifah, Ali as membagi-bagikannya di antara masyarakat secara sama rata[5] seperti cara Rasulullah saw membagi-bagikannya. Metode pembagian harta Baitul Mal semacam ini sangat menyakitkan hati Zubair dan Thalhah. Mereka berdua ingin memberontak. Dengan dalih berziarah ke Ka’bah, dari Madinah mereka berdua pergi ke Makkah. Mereka berdua mengajak Ummul Mukminin ‘Aisyah yang pada waktu itu berada di Makkah dan hubungannya dengan Ali as agak sedikit keruh untuk bersama mereka. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka berdua telah memicu berkobarnya perang berdarah Jamal.[6] Padahal Thalhah dan Zubair berada di Madinah ketika terjadi pengepungan terhadap Khalifah Ketiga, tetapi mereka berdua enggan membelanya.[7] Setelah Khalifah terbunuh, mereka berdua adalah orang pertama yang membai’at Ali as atas nama diri mereka dan Muhajirin.[8] Begitu juga, Ummul Mukminin ‘Aisyah termasuk orang-orang yang telah mempengaruhi masyarakat untuk membunuh Khalifah Ketiga.[9] Ketika pertama kali mendengar kematian Khalifah, ia mencaci-makinya dan menampakkan kebahagiaannya. Pada dasarnya, penyebab asli pembunuhan Khalifah adalah para sahabat yang menulis surat ke seluruh penjuru pemerintahan dan mempengaruhi masyarakat untuk menentangnya.

Faktor penyebab meletusnya perang kedua yang dikenal dengan nama Perang Shiffin dan berlangsung selama satu setengah tahun adalah ketamakan Mu‘awiyah terhadap kedudukan kekhalifahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, ia memicu peperangan ini dan telah menumpahkan lebih dari seratus ribu darah tak bersalah. Yang jelas, dalam peperangan ini, Mu‘awiyah selalu menyerang, bukan membela diri. Hal itu lantaran penuntutan darah tidak pernah bersikap membela diri.

Syi’ar perang ini adalah “Menuntut Darah Khalifah Ketiga”. Padahal, di akhir-akhir kehidupannya, ia telah meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah untuk membasmi keributan yang sedang memanas. Mu‘awiyah dan bala tentara bantuannya berangkat dari Syam menuju ke Madinah. Ia sengaja berhenti lama di pertengahan jalan hingga para pengepung membunuh Khalifah Ketiga. Setelah itu, ia kembali ke Syam dan bangkit untuk menuntut darah Khalifah.[10]

Setelah Ali as meneguk cawan syahadah dan Mu‘awiyah berhasil merebut kekhalifahan, ia melupakan darah Khalifah Ketiga dan tidak mencari para pembunuhnya.

Setelah peperangan Shiffin usai, perang Nahrawan meletus. Dalam peperangan ini, sekelompok sahabat juga ikut serta. Atas aktuasi-aktuasi (tahrîk) Mu‘awiyah pada perang Shiffin, musuh-musuh Ali as bangkit menentangnya. Mereka mengadakan kekacauan-kekacauan di seluruh penjuru pemerintahan Islam. Di manapun mereka menemukan para pendukung Ali as, mereka membunuhnya. Sampai-sampai mereka tega merobek perut wanita-wanita hamil, mengeluarkan bayi-bayi mereka, dan menyembelihnya.[11]

Ali as pun berhasil meredakan pemberontakan ini. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa masa, ia harus meneguk cawan syahadah dari tangan salah seorang Khawarij tersebut di mihrab Masjid Kufah ketika beliau sedang mengerjakan shalat.

Keuntungan Syi‘ah dari Lima Tahun Kekhalifahan Ali

Meskipun Ali as selama empat tahun dan sembilan bulan masa kekhalifahannya tidak berhasil mengembalikan kondisi pemerintahan Islam yang telah hancur-lebur itu ke kondisi semula secara sempurna, tetapi di tiga sisi penting ia telah mencapai keberhasilan:

  1. Dengan perantara sirahnya yang adil, ia telah berhasil menunjukkan sirah Rasulullah saw yang menarik kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Di hadapan metode kehidupan Kisra dan Kaisar Mu‘awiyah, ia selalu hidup dengan pakaian orang-orang miskin dan terlantar. Ia tidak pernah mengutamakan sahabat, keluarga, dan familinya atas orang lain, dan tidak pernah lebih mementingkan orang yang kaya atas orang yang miskin dan orang yang kuat atas orang yang lemah.
  2. Dengan adanya kesulitan-kesulitan yang menyita tenaga itu, ia telah berhasil meninggalkan ilmu-ilmu Ilahiah dan pengetahuan-pengetahuan Islam yang benar sebagai kenang-kenangan di tengah-tengah umat manusia.

Para penentang Ali as berkata, “Ia adalah seorang pahlawan keberanian, bukan seorang politis. Karena, pada permulaan masa kekhalifahannya, ia dapat melakukan perdamaian dengan unsur-unsur penentang (kekhalifahannya) untuk sementara waktu dan memuaskan mereka dengan pernjanjian damai tersebut. Dengan demikian, ia dapat memperkokoh kekhalifahannya dan setelah itu, memberantas mereka.”

Akan tetapi, mereka melupakan satu poin bahwa kekhalifahan Ali as adalah sebuah gerakan revolusi dan gerakan revolusi harus terjauhkan dari segala bentuk perjanjian damai (baca: sikap lunak, mudâhanah) dan affektasi (tazhâhur). Kondisi semacam ini juga pernah terjadi pada periode Bi’tsah Rasulullah saw. Berkali-kali orang-orang kafir dan musyrikin menawarkan perdamaian kepada beliau dengan syarat beliau tidak menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka dan mereka pun tidak akan menghalang-halangi dakwah beliau. Akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut. Padahal, dalam kondisi yang serba sulit itu, beliau dapat berdamai demi memperkokoh posisinya, dan setelah itu, baru beliau memberantas mereka secara keseluruhan. Pada dasarnya, dakwah Islami tidak pernah mengizinkan untuk menghidupkan sebuah kebenaran, sebuah kebenaran yang lain terbunuh atau memberantas sebuah kebatilan dengan kebatilan yang lain. Dan sangat banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah menegaskan masalah ini.[12]

Ketika para penentang Ali as, dalam menggapai kemenangan dan mencapai tujuan mereka, telah melakukan segala jenis kejahatan, kriminalitas, dan pelecehan terhadap hukum-hukum Islam yang jelas tanpa pengecualian, serta mencuci setiap kotoran dengan dalih bahwa mereka adalah para sahabat dan mujtahid, tetapi Ali as tetap teguh memegang hukum-hukum Islam.

Dari Ali as, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, religius, dan sosial tercatat  hampir sebelas ribu hikmah pendek,[13] dan ia telah menjelaskan pengetahuan Islam[14] dalam pidato-pidatonya dengan dialek yang paling indah dan penjelasan yang paling mudah dicerna.[15] Ia telah mencetuskan ilmu Tata Bahasa Arab dan meletakkan pondasi ilmu Sastra Bahasa Arab. Ia adalah orang pertama dalam Islam yang menyelami lautan ilmu filsafat Islam.[16] Ia berbicara dengan metode argumentasi bebas dan logik. Ia telah menjelaskan pembahasan-pembahasan (filosofis) yang hingga masa itu belum mendapatkan perhatian para filsuf dunia. Dan dalam hal ini, ia begitu serius menanganinya hingga di tengah-tengah berkobarnya api peperangan sekalipun, ia tetap siap mengetengahkan pembahasan ilmiah.[17]

  1. Ia telah berhasil mendidik banyak tokoh agama dan ilmuwan Islam[18] yang sebagian dari mereka terdapat orang-orang zâhid dan ‘ârif, seperti Uwais al-Qarani, Kuamil bin Ziyad, Maitsam at-Tammar, dan Rusyaid al-Hajari. Mereka adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, teologi, tafsir, dan qirâ’ah.

[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154.

[2] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 155; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 364.

[3] Nahjul Balaghah, Pidato no. 15.

[4] Setelah Rasulullah saw wafat, sedikit sekali sahabat—karena mengikuti jejak Ali as—yang menolak untuk membai’at (Khalifah Pertama). Yang menjadi pelopor mereka adalah Salman al-Farisi, Miqdad, dan Ammar bin Yasir. Di permulaan Ali as menjadi khalifah, juga sedikit sahabat yang menentang kekhalifahannya. Di antara para penentang yang sangat getol adalah Sa’id bin ‘Ash, Walid bin ‘Uqbah, Marwan bin Hakam, ‘Amr bin ‘Ash, Busr bin Arthat, Samurah bin Jundub, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lainnya.

Menelaah biografi kedua golongan tersebut dan merenungkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dan kisah-kisah yang berhasil dicatat oleh sejarah tentang mereka dapat menjelaskan kepribadian religius dan tujuan mereka masing-masing secara gamblang.

Golongan pertama adalah para sahabat istimewa Rasulullah saw, zahid, ‘abid, orang yang rela berkorban, peneriak kebebasan Islam, dan orang-orang yang dicintai oleh beliau secara khusus. Rasulullah saw bersabda, “Allah memberitahukan kepadaku bahwa Ia mencintai empat orang dan Ia juga memerintahkanku untuk mencintai mereka.” Para sahabat bertanya tentang nama-nama mereka. Beliau bersabda tiga kali, “Ali!” Setelah itu, beliau menyebutkan nama Abu Dzar, Salman, dan Miqdad. Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.

‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Ketika Ammar ditawarkan dua perkara, pasti ia akan memilih salah satunya yang benar dan lebih memiliki petunjuk.’” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.

Rasulullah saw bersabda, “Tiada seorang pun di bumi dan di langit yang lebih jujur dari Abu Dzar.” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal.68.

Selama hidup, tidak satu pun tindakan yang bertentangan dengan syariat dinukil dari mereka. Mereka tidak pernah menumpahkan darah yang tidak bersalah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta orang lain, atau menyesatkan masyarakat.

Akan tetapi, lembaran sejarah penuh dengan tindakan menjijikkan dan kejahatan-kejahatan golongan kedua. Darah-darah tak bersalah yang telah mereka tumpahkan, harta Muslimin yang telah mereka rampas, dan tindakan-tindakan memalukan yang telah mereka lakukan tidak dapat dihitung dan semua itu tidak dapat dijustifikasi kecuali dengan justifikasi yang dilakukan oleh sebagian orang bahwa Allah telah ridha atas mereka dan mereka bebas melakukan setiap kriminalitas, serta hukum-hukum Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw hanya disyariatkan untuk orang lain.

[5] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 362; Nahjul Balaghah, Pidato no. 122; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 160; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 180.

[6] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 172; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 366.

[7] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.

[8] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 171.

[9] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.

[10] Ketika Khalifah ‘Utsman dikepung oleh para pemberontak, ia meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah via sepucuk surat. Mu‘awiyah mempersiapkan dua belas ribu bala tentara yang bersenjata lengkap dan berangkat menuju ke Madinah. Akan tetapi, ia memerintahkan supaya seluruh bala tentara berhenti di perbatasan Syam. Ia sendiri datang menghadap Khalifah dan melaporkan kesiapan bala tentaranya. ‘Utsman menyergah, “Kau sengaja memerintahkan bala tentaramu berhenti di situ hingga aku terbunuh. Kemudian, engkau akan bangkit dengan dalih menuntut darahku.” Silakan rujuk Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152, Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 25, dan Târîkh ath-Thabari, hal. 402.

[11] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 415.

[12] Silakan Anda merujuk asbâbun nuzûl ayat-ayat berikut ini:

  1. “Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata], ‘Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu ….’” (QS. Shad [38]: 6)
  2. “Dan jika Kami tidak memperkuat [hati]mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 74)
  3. “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka akan bersikap lunak [pula kepadamu].” (QS. al-Qalam [68]: 9)

[13] Al-Amidi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim. Begitu juga di bagian-bagian terpisah dalam buku-buku referensi hadis.

[14] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 431; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 181.

[15] As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fi an-Nahw, jilid 2; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6.

[16] Silakan Anda merujuk ke Nahjul Balaghah.

[17] Ketika perang Jamal sedang berkecamuk, seorang Arab datang kepada Ali as seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau berpendapat bahwa Allah adalah Maha Esa?” Orang-orang yang hadir di situ memarahinya seraya berkata, “Wahai orang Arab! Apakah engkau tidak melihat kelelahan dan ketidakkonsentrasian Ali sehingga engkau masih mau mengajukan pembahasan ilmiah?” Ali as berkata kepada mereka, “Biarkanlah ia. Karena, dalam perang melawan kaum ini, aku tidak memiliki tujuan lain kecuali kejelasan keyakinan yang benar dan pengetahuan-pengetahuan Islam.” Setelah berkata demikian, ia menjawab pertanyaan orang Arab itu dengan terinci. Silakan rujuk Bihâr al-Anwâr, jilid 2, hal. 65.

[18] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6-9.

PASAL VI

Kekhalifahan Di Tangan Mu‘awiyah Dan Sistem Kerajaan

Setelah syahadah Amirul Mukminin Ali as, berdasarkan wasiatnya dan bai’at masyarakat, Imam Hasan bin Ali as yang dalam pandangan Syi‘ah adalah imam kedua menjadi khalifah. Akan tetapi, Mu‘awiyah tidak tinggal diam. Ia mengerahkan bala tentaranya ke Irak yang pada waktu itu adalah ibu kota pemerintahan dan memerangi Hasan bin Ali as.

Dengan berbagai propaganda dan iming-iming urang yang melimpah, sedikit demi sedikit ia berhasil merusak jiwa (perang) para sahabat dan komandan tentara Hasan bin Ali as. Akhirnya, ia memaksa Hasan bin Ali—dengan dalih perdamaian—untuk menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada dirinya. Dan Hasan bin Ali pun—dengan syarat kekhalifahan harus kembali ke tangannya setelah Mu‘awiyah meninggal dunia dan para pengikut Syi‘ah tidak dianiaya—menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya.[1]

Pada tahun 40 H., Mua’wiyah berhasil menguasai tampuk kekhalifahan Islam. Langsung ia berangkat ke Irak. Dalam sebuah ceramahnya di hadapan khalayak, ia menegaskan, “Aku tidak memerangi kamu sekalian karena ingin (menegakkan) puasa dan shalat. Tetapi, aku hanya ingin berkuasa atas kamu sekalian. Dan sekarang aku telah sampai kepada tujuan itu.”[2]

Ia juga menegaskan, “Perjanjian dengan Hasan yang telah kutandatangani telah kubatalkan dan berada di bawah kakiku.”[3] Dengan ucapannya ini, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia ingin memisahkan politik dari agama dan tidak akan menjamin (pelaksanaan) undang-undang dan hukum Islam, serta selalu berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya demi menjaga kekekalan pemerintahannya. Jelas bahwa pemerintahan semacam ini adalah sistem kerajaan, bukan kekhalifahan Rasulullah saw. Atas dasar ini, sebagian orang yang pernah bertamu kepadanya, mereka mengucapkan salam kepadanya atas nama seorang raja.[4] Ia sendiri pun dalam sebagian pertemuan khususnya menegaskan bahwa pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan kerajaan,[5] meskipun di hadapan khalayak ramai ia menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw.

Akhirnya, Mu‘awiyah yang memang kekuasaannya dibangun di atas pondasi paksaan dan ingin membangun sebuah kerajaan dengan sistem warisan mangaktuaslisaikan niatnya tersebut. Ia mengangkat anaknya, Yazid yang arogan dan tidak memiliki jiwa keagamaan sedikit pun sebagai putra mahkota dan memilihnya sebagai penggantinya.[6] Dan Yazid telah menyulut api peristiwa-peristiwa yang sangat memalukan itu.

Dengan ucapannya itu, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan mengizinkan Hasan as memegang kembali kekhalifahan. Yaitu, berkenaan dengan kekhalifahan setelah dirinya, ia mempunyai pogram lain. Program tersebut adalah membunuh Hasan as dengan menggunakan racun,[7] dan dengan itu, ia ingin melapangkan jalan bagi anaknya sendiri. Dengan menginjak-injak pernjanjian damai itu, Mu‘awiyah ingin memahamkan kepada masyarakat luas bahwa ia tidak akan memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi‘ah untuk hidup aman dan tenang, dan untuk—seperti masa-masa sebelumnya—meneruskan kegiatan-kegiatan mereka. Ia pun telah merealisasikan niat buruknya itu.[8]

Ia telah mengumumkan (dengan tegas) bahwa barangsiapa menukil sebuah hadis tentang manâqib Ahlulbait as, maka jiwa, harta, dan harga dirinya tidak akan mendapatkan jaminan keselamatan[9] dan ia juga memerintahkan, barangsiapa mendapatkan sebuah hadis tentang pujian dan manâqib para sahabat dan khalifah, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang memuaskan. Akhirnya, banyak hadis yang dibuat dan dipalsukan berkenaan dengan keutamaan para sahabat.[10] Ia juga memerintahkan supaya Ali as dicaci-maki di atas mimbar-mimbar pidato di seluruh penjuru pemerintahan Islam. (Perintah ini masih terus berlaku hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah, pada tahun 99-101 H.). Ia dengan bantuan para antek dan sutradara politiknya yang sebagian mereka adalah sahabat telah membunuh para pengikut Ali as dan menamcapkan kepala sebagian dari mereka di atas tombak, lalu mengelilingkannya di kota-kota. Ia memaksa para pengikut Syi‘ah di mana pun mereka berada untuk mencaci-maki Ali, dan jika mereka enggan melakukannya, maka mereka akan dibunuh.[11]

Masa Terpahit Bagi Syi‘ah

Masa terpahit bagi Syi‘ah sepanjang sejarah perkembangannya adalah masa dua puluh tahun pemerintahan Mu‘awiyah. Mereka tidak memiliki jaminan keselamatan sama sekali, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang dikenal dan dapat ditemukan dengan mudah. Dua imam mazhab Syi‘ah, imam kedua dan ketiga, yang hidup sezaman dengan Mu‘awiyah tidak memiliki sarana dan prasarana paling minimal sekalipun untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang sangat menyakitkan itu. Imam ketiga pun yang bangkit menentang Yazid di enam bulan pertama kekhalifahannya dan syahid bersama seluruh sahabat dan putra-putranya, tidak memiliki kesempatan untuk mengadakan perombakan itu selama sepuluh tahun ia hidup pada masa kekhalifahan Mu‘awiyah.

Mayoritas pengikut mazhab Ahlusunah dalam menjustifikasi seluruh pembantaian yang tidak berdasar dan arogansi yang dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu‘awiyah dan para sutradara politiknya itu hanya berkomentar, “Mereka adalah para sahabat dan berdasarkan hadis-hadis yang dinukil dari Rasulullah saw, mereka adalah mujtahid dan memiliki alasan (ma’dzûr), serta Allah SWT telah meridhai mereka. Setiap kriminalitas dan kejahatan yang mereka lakukan akan dimaafkan.” Akan tetapi, Syi‘ah tidak menerima justifikasi semacam ini, karena:

Pertama, tidak masuk akal seorang pemimpin masyarakat, seperti Rasulullah saw, yang telah bangkit untuk menghidupkan kebenaran, keadilan, dan kebebasan, telah menarik orang lain untuk meyakini keyakinannya, telah mengorbankan seluruh wujudnya di atas jalan tujuan yang suci itu, telah merealisasikan dan mencapai seluruh tujuannya, memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya atas masyarakat dan hukum-hukumnya yang suci, dan memaafkan segala jenis pembasmian atas kebenaran, kejahatan, dan arogansi. Menurut sebuah pepatah, ia membangun sebuah rumah dengan sebuah tangan dan peralatan, lalu ia menghancurkannya dengan tangan dan peralatan itu sendiri.

Kedua, hadis-hadis yang menyucikan sahabat, membenarkan seluruh tindakannya yang tidak benar, dan memperkenalkannya sebagai orang yang terampuni dosanya dan terjaga (dari segala kesalahan) telah sampai kepada kita melalui jalur sahabat dan dinisbahkan kepada hadis-hadisnya. Para sahabat sendiri—sesuai dengan kesaksian sejarah yang pasti—tidak pernah memperlakukan sahabat yang lain sebagai orang yang terjaga (dari kesalahan) dan terampuni dosanya. Para sahabat jugalah yang melakukan pembunuhan, pencaci-makian, laknat, dan pelecehan harga diri terhadap sahabat yang lain, dan mereka tidak pernah melakukan toleransi sedikitpun dalam hal ini.

Berdasarkan penjelasan di atas—dengan kesaksian para sahabat sendiri—hadis-hadis itu tidaklah sahih, dan seandainya pun hadis-hadis itu adalah sahih, maka maksudnya adalah arti lain selain keterjagaan dan penyucian secara hukum. Seandainya pada suatu hari Allah SWT dalam firman-Nya meridhai para sahabat[12] dikarenakan khidmat yang telah mereka laksanakan dalam menjalankan perintah-Nya, hal itu adalah sebuah penghargaan atas ketaatan mereka di masa lalu, bukan berarti bahwa di masa mendatang mereka dapat melakukan segala pembangkangan sesuai dengan kehendak hati mereka.

[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 191. Begitu juga buku-buku sejarah yang lain.

[2] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 160; Târîkh ath-Thabari, jilid 4, hal. 124; Târîkh Ibn Atsir, jilid 3, hal. 203.

[3] Ibid.

[4] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 193.

[5] Ibid., hal. 202.

[6] Yazid adalah seorang pembual nafsu dan peminum khamar. Ia selalu mengenakan pakaian sutra yang menawan. Ia memiliki seekor anjing dan kera sebagai teman bermainnya. Malam-malamnya selalu ditemani oleh musik, nyanyian pembangkit nafsu, dan khamar. Nama keranya adalah Abu Qais. Ia selalu mengenakan pakaian yang indah kepadanya dan menghadirkannya di majelis perjudiannya. Kadang-kadang ia juga menunggangkannya di atas kuda dan mengirimnya untuk melakukan perlombaan. Silakan rujuk Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 196 dan Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 77.

[7] Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 5; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 183.

[8] An-Nashâ’ih al-Kâfiyah, hal. 72, menukil dari buku-buku yang menjelaskan peristiwa-peristiwa sejarah.

[9] Abul Hasan al-Mada’ini dalam buku Al-Ahdâts berkata, “Setelah pembentukan tahun “Jamaah”, Mua’wiyah menulis sepucuk surat kepada seluruh pegawainya, ‘Pundakku bebas dari orang yang menukil sebuah hadis tentang keutamaan Abu Turab dan keluarganya.’” (Muhammad bin ‘Aqil, an-Nashâ’ih al-Kâfiyah, cetakan Najaf 1386 H., hal. 87 dan 194)

[10] An-Nashâ’ih al-Kâfiyah, hal. 72-73.

[11] Ibid. hal. 58, 64, 77, dan 78.

[12] “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 100)

PASAL VII

Bani Umaiyah Berkuasa

Mu‘awiyah meninggal dunia pada tahun 61 Hijriah dan anaknya, Yazid sesuai dengan bai‘at yang yang telah diambil oleh ayahnya dari masyarakat Islam untuk dirinya waktu itu memegang tampuk pemerintahan Islam.

Berdasarkan kesaksian sejarah, Yazid tidak memiliki sedikit pun kepribadian religius. Ia adalah seorang pemuda yang—pada masa ayahnya hidup sekalipun—tidak pernah mengindahkan hukum dan undang-undang Islam. Yang terbersit di kepalanya hanyalah hidup berfoya-foya, arogansi, dan mengumbar nafsu. Pada tiga tahun pertama pemerintahannya, ia telah mewujudkan bencana dan kekejian yang—dalam sejarah kemunculan Islam dengan segala fitnah yang pernah terjadi itu—tidak ada tandingannya.

Pada tahun pertama pemerintahannya, ia telah membantai Imam Husain bin Ali as, cucu Rasulullah saw berserta seluruh putra, keluarga, dan para sahabatnya dengan cara yang paling keji. Ia mengarak keluarga Rasulullah saw beserta kepala-kepala para syuhada yang sudah terpisah dari badannya berkeliling kota.[1] Pada tahun kedua, ia telah mengadakan pembantain massal di Madinah dan memperbolehkan bala tentaranya untuk menumpahkan darah, merampas harta, dan menodai kehormatan masyarakat Islam selama tiga hari.[2] Dan pada tahun ketiga, ia telah merusak Ka‘bah yang suci dan membakarnya.[3]

Setelah Yazid, Bani Marwan (yang masih keturunan) dari Bani Umaiyah berhasil—sebagaimana telah disebutkan secara rinci dalam buku-buku sejarah—memegang tampuk pemerintahan Islam. Dinasti Marwaniyah yang memiliki penguasa sebanyak sebelas orang dan berkuasa selama tujuh puluh tahun ini telah meninggalkan masa silam yang kelam dan menjijikkan bagi Islam dan Muslimin. Selama periode ini, yang berkuasa tidak lain adalah imperialisme Arab yang diktator dengan mengenakan topeng kekhalifahan Islami.[4] Pada masa pemerintahan mereka ini, salah seorang Khalifah yang berkuasa waktu itu, yaitu Walid bin Yazid yang dikenal sebagai pengganti Rasulullah saw dan satu-satunya pelindung agama, malah—tanpa malu—mengambil keputusan untuk membangun sebuah kamar di atas Ka‘bah untuk melakukan pesta-pora di situ pada musim haji.[5]

Khalifah yang berkuasa pada waktu itu, yaitu Walid bin Yazid pernah memanah Al-Qur’an dengan seujung anak panah dan menghardiknya seraya melantunkan syair:[6]

Engkau mengancamku dengan Dzat Penguasa nan Penyiksa, inilah aku penguasa dan penyiksa itu.

Jika kau berjumpa dengan Tuhamu di hari Mahsyar, katakanlah, “Walid telah merobek-robekku.”

Selama periode ini, Syi‘ah yang memang memiliki perbedaan pendapat yang fundamental dengan mayoritas Ahlusunah dalam masalah kekhalifahan Islami dan marja‘iyah agama menjalani sebuah masa yang sangat pahit dan sulit. Akan tetapi, kelaliman serta arogansi para penguasa waktu itu dan keteraniayaan, ketakwaan, serta kesucian para imam Ahlulbait as telah membentuk mereka—hari demi hari—semakin teguh dalam memegang keyakinan mereka. Khususnya, syahadah Imam Husain as, Imam Ketiga Syi‘ah sangat memiliki peran yang positif dalam menyebarkan mazhab Syi‘ah di daerah-daerah yang berada jauh dari pusat pemerintahan Islam, seperti Irak, Yaman, dan Iran.

Bukti atas klaim di atas, pada masa imâmah Imam Kelima Syi‘ah di mana abad pertama Hijriah belum usai dan belum berlalu empat puluh tahun dari syahadah Imam Ketiga, dikarenakan kegoncangan dan kelemahan (managemen) yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan dinasti Umaiyah, para pengikut Syi‘ah datang mengelilingi Imam Kelima dari segala penjuru negara Islam waktu itu bagaikan banjir untuk mempelajari hadis dan pengetahuan-pengetahuan Islam.[7] Abad pertama Hijriah belum usai ketika beberapa pembesar pemerintahan (waktu itu) membangun kota Qom di Iran dan menjadikannya sebagai kota pusat para pengikut Syi’ah.[8] Meskipun demikian, berdasarkan perintah dari para imam mereka, mereka menjalani kehidupan ini dengan dasar taqiyah dan tidak menampakkan mazhab Syi’ah (di hadapan khalayak ramai).

Dikarenakan banyaknya tekanan, beberapa kali para keturunan Imam Ali as (‘alawî) bangkit menentang kezaliman-kezaliman pemerintah yang berkuasa. Akan tetapi, mereka selalu kalah dan mereka telah mengorbankan jiwa mereka di jalan (perjuangan) ini, dan penguasa yang tak tahu malu itu pun menginjak-injak (harga diri) mereka (tanpa sedikit ampunan). Mereka mengeluarkan jenazah Zaid—pemimpin Syi‘ah Zaidiyah—dari dalam kuburnya dan menggantungnya selama tiga tahun. Setelah itu, mereka menurunkannya (dari tiang gantungan), lalu membakarnya dan menaburkan abu bakarnya di udara.[9] Hal ini menyebabkan mayoritas (sejarawan) berkeyakinan bahwa Imam Keempat dan Kelima (Syi‘ah) juga meninggal dunia dengan racun oleh tangan Bani Umaiyah, sebagaimana Imam Kedua dan Ketiga juga meninggal oleh tangan mereka.

Kejahatan-kejahatan Bani Umaiyah—pada waktu itu—sangat kentara dan tanpa tedeng aling-aling sehingga mayoritas Ahlusunah—padahal mereka meyakini bahwa para sahabat secara umum wajib untuk ditaati—terpaksa harus mengklasifikasi para khalifah ke dalam dua klasifikasi: Khulafâ’ur Râsyidîn yang berjumlah empat orang setelah Rasulullah saw wafat (Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, dan Ali) dan para khalifah yang bukan Râsyidîn yang (periode mereka) dimulai dari masa kekhalifahan Mu‘awiyah.

Pada masa kekuasaannya, dikarenakan kelaliman dan arogansi (yang melebihi batas), para penguasa Bani Umaiyah telah menciptakan kebencian kolektif di kalangan masyarakat luas sehingga setelah kekalahan mereka pasti dan khalifah terakhir dinasti Bani Umaiyah terbunuh, dua anaknya dan sebagian keluarga kekhalifahan melarikan diri dari Dârul Khilâfah. Ke mana pun mereka berlindung, masyarakat enggan memberikan perlindungan kepada mereka. Pada akhirnya, setelah mengalami keterlantaran panjang di padang-padang sahara Noubeh, Habasyah, dan Bejaveh dan sebagian besar dari mereka mati karena kehausan dan kelaparan, mereka berhasil memasuki Yaman bagian selatan. Mereka memperoleh seluruh ongkos perjalanan dari mengemis kepada masyarakat dan memasuki kota Makkah dengan mengenakan pakaian para buruh kasar pengangkut barang. Di sana mereka menyembunyikan identitas dirinya dari masyarakat luas.[10]

Syi‘ah pada Abad Kedua Hijriah

Di penghujung sepertiga pertama abad kedua Hijriah, sebagai imbas dari revolusi dan peperangan-peperangan berdarah yang meletus akibat kelaliman dan kejahatan-kejahatan Bani Umaiyah yang masih berlangsung di seluruh penjuru kekhalifahan Islam, muncul sebuah ajakan atas nama Ahlulbait as dari daerah Khurasan, Iran (untuk menuntut balas terhadap mereka). Pelopor ajakan itu adalah Abu Muslim al-Marwazi, seorang komandan berkebangsaan Iran. Ia bangkit menentang kekhalifahan Bani Umaiyah dan mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga akhirnya ia berhasil menggulingkan kekuasaan Bani Umaiyah.[11] Kebangkitan dan revolusi ini meskipun bersumber dari propaganda (untuk memunculkan) Syi‘ah dan—sedikit banyak—mengatasnamakan penuntutan darah para syahid Ahlulbait as, serta bahkan mereka telah mengambil bai‘at dari masyarakat umum secara ambigu (tanpa penjelasan lebih detail) untuk (menerima kepemimpinan) “seseorang yang terpuji” (ar-Ridhâ) dari Ahlulbait as, tetapi kebangkitan itu tidak bergerak di bawah perintah langsung atau dukungan para imam Syi‘ah as. Buktinya, ketika Abu Muslim menawarkan bai‘at kepada Imam Keenam Syi‘ah di Madinah untuk menjadi khalifah, ia menolak mentah-mentah seraya berkata, “Kamu bukanlah orangku dan masa ini bukanlah masaku.”[12]

Pada akhirnya Bani Abasiyah berhasil merampas kursi kekhalifahan dengan menggunakan nama Ahlulbait as.[13] Pada mulanya, mereka memperlakukan masyarakat dan para keturunan Ali as dengan baik dan ramah. Bahkan dengan dalil membalas dendam atas nama para syahid dari keturunan Ali as, mereka membunuh seluruh keturunan Bani Umaiyah dan membongkar kuburan para khalifah mereka, lalu membakar segala yang mereka temukan.[14] Akan tetapi, tidak lama setelah itu, mereka juga menggunakan metode kelaliman yang pernah dilakukan oleh Bani Umaiyah; mereka tidak pernah bertoleransi dalam mempraktikkan kelaliman dan arogansi.

Abu Hanifah—seorang tokoh salah satu empat mazhab Ahlusunah—pernah masuk penjara Khalifah Manshur[15] dan mengalami siksaan. Ahmad bin Hanbal—juga seorang tokoh salah satu dari empat mazhab Ahlusunah—pernah menerima hukuman cambuk.[16] Dan Imam Keenam Syi‘ah Imamiah—setelah menerima siksaan—meninggal dunia dengan diracun.[17] Mereka memenggal kepala para keturunan Ali as secara kolektif, mengubur mereka hidup-hidup, atau menghimpit mereka di antara dua tembok atau di bawah bangunan pemerintahan.

Pada masa Harun—salah seorang khalifah Bani Abasiyah, imperialisme Islam mencapai puncak kekuatan dan perluasannya. Kadang-kadang Khalifah memandang matahari dan mengajaknya berbicara seraya berkata, “Sinarilah tempat yang kau sukai. Engkau tidak akan pernah menyinari tempat yang keluar dari kerajaanku.” Bala tentaranya telah berhasil menguasai seluruh penjuru dunia. Di tepi jembatan Baghdad yang terletak beberapa langkah dari istana Khalifah, tanpa sepengetahuannya, mereka pernah meletakkan petugas untuk menarik ongkos dari setiap orang yang ingin menyeberangi jembatan itu. Sampai-sampai Khalifah sendiri pernah dicegah ketika ingin menyeberangi jembatan tersebut dan mereka meminta ongkos penyeberangan.[18]

Salah seorang penyanyi—dengan melantunkan dua bait syair pembangkit birahi—berhasil membangkitkan birahi Amin, salah seorang khalifah Bani Abasiyah. Amin spontan menghadiahkan tiga juta Dirham perak kepadanya. Karena sangat bahagia, penyanyi itu melemparkan dirinya di kaki Khalifah seraya berkata, “Hai Amirul Mukminin, apakah Anda menghadiahkan seluruh uang ini kepadaku?” “Hal itu tidak penting. Kami mendapatkan semua uang ini dari satu pojok yang misterius dari negara ini”, jawabnya pendek.[19]

Kekayaan melimpah yang setiap tahun mengalir ke Dârul Khilâfah dari seluruh penjuru negara Islam sebagai Baitul Mâl hanya digunakan untuk pelampiasan birahi para khalifah dan pembasmian kebenaran. Jumlah sahaya-sahaya cantik bak peri, wanita dan pria tampan di istana para khalifah Bani Abasiyah mencapai ribuan orang.

Kondisi Syi‘ah setelah runtuhnya kerajaan Bani Umaiyah dan berkuasanya dinasti Bani Abasiyah[20] tidak berubah sedikit pun; hanyalah para musuh zalim yang berubah nama.

[1] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 2, hal. 216; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 190; Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 64, dan buku-buku sejarah lainnya.

[2] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 2, hal. 243; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 192; Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 78.

[3] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 2, hal. 224; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 192; Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 81.

[4] [Jumlah seluruh khalifah Bani Umaiyah dan Bani Marwan adalah empat belas orang dan mereka berkuasa selama sembilan puluh satu tahun dari tahun 41-132 Hijriah. Nama-nama mereka sesuai dengan tahun masa pemerintahannya adalah sebagai berikut:

  1. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan (41 Hijriah).
  2. Yazid Pertama (60 Hijriah).
  3. Mu‘awiyah Kedua (64 Hijriah).
  4. Marwan bin Hakam (64 Hijriah).
  5. Abdul Malik bin Marwan (65 Hijriah).
  6. Walid Pertama (86 Hijriah).
  7. Sulaiman (96 Hijriah).
  8. Umar bin Abdul Aziz (99 Hijriah).
  9. Yazid Kedua (101 Hijriah).
  10. Hisyam (105 Hijriah).
  11. Walid Kedua (125 Hijriah).
  12. Yazid Ketiga (126 Hijriah).
  13. Ibrahim (126 Hijriah).
  14. Marwan Kedua yang dijuluki dengan al-Himâr (127-132 Hijriah)].

[5] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 73.

[6] Al-Kâmil fî at-Târîkh, karya Ibn Atsir, jilid 5, hal. 290; Tatimmah al-Muntahâ, hal. 129.

[7] Silakan rujuk pembahasan Imâmah dalam buku ini.

[8] Mu‘jam al-Buldân, kosa kata “Qom”.

[9] Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 217-219; Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 66.

[10] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 84.

[11] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 79; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 208; buku-buku sejarah yang lain.

[12] Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 268; Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 86.

[13] Ibid.

[14] Ibid., hal. 270; ibid.

[15] Târîkh Abil Fida’, jilid 2, hal. 6.

[16] Târîkh al-Ya‘qubi, jilid 3, hal. 198; Târîkh Abil Fida’, jilid 2, hal. 33.

[17] Bihâr al-Anwâr, jilid 12, bab tentang biografi Imam ash-Shadiq as.

[18] Kisah Jembatan Baghdad.

[19] Al-Aghânî, karya Abul Faraj, kisah Amin.

[20] [Jumlah para penguasa dinasti Bani Abasiyah adalah tiga puluh delapan orang dan mereka berkuasa selama lima ratus dua puluh empat tahun dari tahun 132 hingga 656 Hijriah. Nama-nama mereka sesuai dengan masa berkuasanya adalah sebagai berikut:

  1. Saffâh (132 H.).
  2. Manshûr (136 H.).
  3. Mahdi (158 H.).
  4. Hadi (169 H.).
  5. Harun (170 H.).
  6. Amin (193 H.).
  7. Ma’mun (198 H.).
  8. Ibrahim bin Mahdi (201-203 H.).
  9. Mu‘tashim (218 H.).
  10. Wâtsiq (227 H.).
  11. Mutawakkil (232 H.).
  12. Muntashir (247 H.).
  13. Musta‘în (248 H.)
  14. Mu‘taz (252 H.).
  15. Muhtadî (255 H.).
  16. Mu‘tamid (256 H.).
  17. Mu‘tadhid (279 H.).
  18. Muktafî (289 H.).
  19. Muqtadir (295 H.).
  20. Qâhir (320 H.).
  21. Râdhî (322 H.).
  22. Muttaqî (329 H.).
  23. Mustakfî (333 H.).
  24. Muthî‘ (334 H.).
  25. Thâ’i‘ (363 H.).
  26. Qâdir (381 H.).
  27. Qâ’im (422 H.).
  28. Muqtadî (467 H.).
  29. Mustazhhir (487 H.).
  30. Mustarsyid (512 H.).
  31. Râsyid (529 H.).
  32. Muqtafî (530 H.).
  33. Mustanjid (555 H.).
  34. Mustadhî’ (556 H.).
  35. Nâshir (575 H.).
  36. Zhâhir (622 H.).
  37. Mustanshir (623 H.).
  38. Musta‘shim (640-656 H.).

Untuk penjelasan lebih rinci, silakan rujuk buku Selseleh-hâ-ye Islami (Silsilah Kerajaan Islam), karya Cliford Edmond Bosorth, terjemahan Fridun Badrei, terbitan Yayasan Telaah dan Penelitian Budaya, tahun 1371 Syamsiah (1413 H./1992 M.).

PASAL VIII

Syi‘ah Pada Abad Ketiga Hijriah

Di permulaan abad ketiga, Syi‘ah mulai bisa menarik napas lega. Hal itu disebabkan oleh hal-hal berikut:

Pertama, buku-buku filsafat dan ilmiah dari bahasa Yunani, Suryani, dan lain sebagainya banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan banyak masyarakat umum yang gemar untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan rasional dan argumentatif. Lebih dari itu, Ma’mun—seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah yang bermazhab Mu‘tazilah—sangat gemar terhadap argumentasi rasional dalam memahami mazhab. Dengan demikian, ia memberikan kebebasan penuh kepada setiap dialog argumentatif-rasional tentang agama dan mazhab. Para ulama dan teolog Syi‘ah menggunakan kebebasan ini (sebaik-baiknya) dan mereka tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk mengadakan kegiatan ilmiah dan menyebarkan mazhab Ahlulbait as.[1]

Kedua, sesuai dengan perhitungan catur politiknya, Ma’mun mengangkat Imam Kedelapan Syi‘ah untuk mejadi putra mahkota. Sebagai akibatnya, para keturunan Ali as dan pengikut Ahlulbait as—minimal—terjaga dari gangguan para penguasa pemerintahan dan—sedikit banyak—memiliki kebebasan.

Akan tetapi, tidak lama berselang, pedang tajam kembali menebas Syi‘ah dan cara lama para khalifah diaktifkan kembali. Khususnya, pada masa pemerintahan Mutawakkil al-‘Abasi (232-247 H.) yang memiliki permusuhan khusus terhadap Ali as dan atas perintahnya, makam suci Imam Ketiga Syi‘ah Imamiah di Karbala diratakan dengan tanah.[2]

Syi‘ah Pada Abad Keempat Hijriah

Pada abad keempat Hijriah, muncul beberapa faktor yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan memperkuat mazhab Syi‘ah. Di antaranya adalah lemahnya pondasi kerajaan dinasti Bani Abasiyah dan berkuasanya raja-raja dari dinasti keluarga Bûyeh.

Para raja dinasti keluarga Bûyeh yang bermazhab Syi‘ah itu memiliki pengaruh besar di dalam pusat kekhalifahan, Baghdad dan dalam diri Khalifah sendiri.[3] Kekuatan yang cukup mumpuni ini memberikan kesempatan kepada Syi‘ah untuk unjuk diri di hadapan para penentangnya yang selama ini selalu menghambat kekhalifahannya dan untuk menampakkan jati diri mazhabnya dengan leluasa.

Para sejarawan menegaskan bahwa pada abad ini, seluruh penduduk jazirah Arabia atau mayoritas mereka telah menjadi pengikut mazhab Syi‘ah, kecuali (mereka yang hidup di) kota-kota besar. Meskipun demikian, penduduk sebagian kota-kota besar, seperti kota Hajar, Oman, dan Sha‘dah telah memeluk mazhab Syi‘ah. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlusunah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi‘ah selalu terjadi kompetisi mazhab, dan jumlah penduduk yang bermazhab Syi‘ah (di kota tersebut) layak untuk diperhitungkan. Di kota Tharablus, Nablus, Thabariyah, Halab, dan Harat banyak ditemukan pengikut mazhab Syi‘ah. Dan di kota Ahvaz dan tepian pantai Teluk Persia pun mazhab Syi‘ah telah tersebar dengan pesat.[4]

Di permulaan abad ini juga Nashir Athrusy—setelah bertahun-tahun melakukan tablig di daerah Iran bagian utara—berhasil menguasai Thabaristan dan ia mendirikan sebuah kerajaan di sana yang bisa bertahan hingga beberapa generasi. Sebelum Athrusy, Hasan bin Zaid al-‘Alawi juga pernah berkuasa di daerah Thabaristan tersebut.[5]

Pada abad ini juga dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi‘ah Isma‘iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan sebuah kerajaan yang bertahan cukup lama (296-527 H.)[6]

Sangat sering terjadi percekcokan, baku-hantam, dan penyerangan-penyerangan antara Syi‘ah dan Ahlusunah di kota-kota besar, seperti Baghdad, Bashrah, dan Nisyabur, dan di sebagian percekcokan dan baku-hantam itu Syi‘ah berhasil keluar sebagai pemenang.

Syi‘ah Pada Abad Kesembilan Hijriah

Dari abad kelima hingga penghujung abad kesembilan Hijriah, Syi‘ah terus mengalami perkembangan sebagaimana yang pernah terjadi pada abad keempat Hijriah. Banyak raja bermazhab Syi‘ah yang muncul dan selalu menyebarkan mazhab yang satu ini.

Di penghujung abad kelima Hijriah, dakwah Syi‘ah Isma‘iliyah menghujamkan akarnya di benteng-benteng Alamût. Mazhab ini hidup di jantung negara Iran dengan penuh kebebasan dan keleluasaan selama hampir satu setengah abad.[7] Para sayid yang bermarga al-Mar‘asyî di Mazandaran berhasil memerintah selama bertahun-tahun.[8]

Syah Khudâ Bandeh—salah seorang raja Mongol—adalah seorang pemeluk mazhab Syi‘ah. Para keturunannya dari dinasti kerajaan Mongol pernah berkuasa di Iran selama bertahun-tahun dan menyebarkan mazhab Syi‘ah. Tidak ketinggalan juga para raja dari dinasti Aq Quyunlu dan Qarah Quyunlu yang pernah berkuasa di Tabriz[9] dan daerah kekuasaan mereka menyebar hingga ke daerah Fars dan Kerman. Begitu juga dinasti Fatimiyah yang pernah berkuasa di Mesir selama bertahun-tahun.

Bagaimanapun, kekuatan mazhab sebuah golongan tergantung pada para raja yang berkuasa. Setelah dinasti Fatimiyah tergulingkan dan para raja dinasti keluarga Ayub berkuasa, lembaran sejarah berbalik dan Syi‘ah di daerah Mesir dan Syâmât kembali kehilangan kebebasan untuk mempraktikkan mazhabnya, serta tidak sedikit leher para pengikut Syi‘ah yang harus terpenggal.[10] Di antaranya adalah Syahid Awal, Muhammad bin Muhammad al-Makkî, salah seorang pelopor fiqih Syi‘ah yang jenius. Ia dibunuh pada tahun 786 Hijriah di Damaskus karena tuduhan memeluk mazhab Syi‘ah.[11] Begitu juga Syaikh al-Isyrâq, Syihabuddin Sahruwardi yang dibunuh di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.[12]

Secara keseluruhan, selama lima abad tersebut, mazhab Syi‘ah mengalami peningkatan dari sisi kuantitas, dan dari sisi kekuatan dan kebebasan untuk mengamalkan ajaran-ajaran mazhab, ia mengikuti kesepakatan dan penentangan para raja yang berkuasa pada waktu itu. Dan selama periode tersebut mazhab Syi‘ah tidak pernah dinobatkan sebagai sebuah mazhab resmi di negara Islam mana pun yang pernah muncul kala itu.

Syi‘ah Pada Abad Kesepuluh dan Kesebelas Hijriah

Pada tahun 906 Hijriah, seorang pemuda berusia tiga belas tahun yang berasal dari keturunan Syaikh Shafî Ardebîlî (wafat 735 H.)—seorang syaikh tharîqah di dalam mazhab Syi‘ah—bangkit melakukan perjuangan di daerah Ardebil bersama tiga ratus orang pengikut setia nenek moyangnya demi mendirikan sebuah negara Syi‘ah yang independen dan kokoh. Ia taklukkan seluruh negara-negara tetangganya dan meruntuhkan sistem kerajaan dinasti Ashkani dan dinasti Suluki (Mulûk ath-Thawâ’ifî) yang berkuasa kala itu. Setelah melakukan peperangan berdarah dengan raja-raja tetangga, khususnya dengan para raja dari dinasti keluarga Utsman yang memegang kendali imperialisme Utsmaniyah, ia berhasil menyatukan Iran yang telah terpecah-belah menjadi sebuah negara yang bersatu dan memproklamasikan mazhab Syi‘ah sebagai mazhab resmi negara.[13] Setelah Syah Isma‘il Shafawî meninggal dunia, para raja dari dinasti Shafawiyah memerintah hingga pertengahan abad kedua belas Hijriah dan mereka, satu per satu, memperkuat dan memperkokoh keresmian mazhab Syi‘ah Imamiyah. Sehingga pada waktu mereka berada di atas puncak kekuasaan (pada masa Syah Abbas Yang Agung), mereka berhasil memperluas daerah kekuasaan negara dan menambah jumlah penduduk sebanyak dua kali lipat jumlah penduduk Iran sekarang (tahun 1384 H.).[14] Mazhab Syi‘ah—selama dua setengah abad ini—di seluruh negara Islam tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya dan para pengikutnya tetap bertambah secara normal.

Syi‘ah Pada Abad Kedua Belas hingga Keempat Belas Hijriah

Selama tiga abad terakhir ini, perkembangan mazhab Syi‘ah tetap berjalan secara normal sebagaimana abad-abad sebelumnya. Sekarang, di penghujung abad keempat belas ini, Syi‘ah adalah sebuah mazhab resmi di Iran. Di Yaman dan Irak, para pengikut mazhab Syi‘ah membentuk komunitas penduduk terbesar. Di seluruh negara dunia yang berpenduduk muslim, sedikit-banyak akan ditemukan para pengikut mazhab Syi‘ah. Secara keseluruhan, terdapat sekitar seratus juta pengikut mazhab Syi‘ah yang hidup di berbagai negara di dunia ini.[15]

[1] Silakan rujuk buku-buku sejarah.

[2] Târîkh Abil Fida’ dan buku-buku sejarah lainnya.

[3] Silakan rujuk buku-buku sejarah.

[4] Al-Hadhârah al-Islamiyah, jilid 1, hal. 97.

[5] Murûj adz-Dzahab, jilid 4, hal. 373; al-Milal wa an-Nihal, jilid 1, hal. 254.

[6] Târîkh Abil Fida’, jilid 2, hal. 63 dan jilid 3, hal. 50.

[7] Silakan rujuk buku-buku sejarah, seperti al-Kâmil, ash-Shafâ, dan Habîb as-Sair.

[8] Târîkh Abil Fida’, jilid 3; al-Kâmil fî at-Târîkh.

[9] Habîb as-Sair.

[10] Habîb as-Sair; Târîkh Abil Fida’.

[11] Raudhât al-Jannât dan Riyâdh al-‘Ulamâ’, menukil dari kitab Raihânah al-Adab, jilid 2, hal. 365.

[12] Raudhât al-Jannât; al-Majâlis; Wafayât al-A‘yân.

[13] Raudhah ash-Shafâ; Habîb as-Sair.

[14] Ibid.

[15] Data statistik ini berhubungan dengan masa lima puluh tahun yang lalu. Jumlah komunitas Syi‘ah di seluruh dunia sekarang lebih dari tiga ratus juta orang.

PASAL IX

Aliran-Aliran Syi‘ah

Realitas Kebercabangan

Setiap mazhab memiliki serentetan ajaran yang membentuk pondasi utama mazhab tersebut dan juga memiliki serentetan ajaran lain yang menempati kedudukan nomor dua. Perbedaan yang terjadi di antara para pengikut sebuah mazhab dalam menjelaskan dan menyusun ajaran-ajaran utamanya dengan masih menjaga poin-poin penyatu (yang dimilikinya) akan menimbulkan realitas kebercabangan (insyi‘âb).

Kebercabangan dalam seluruh mazhab, khususnya dalam empat agama samawi; Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Islam, bahkan di dalam cabang-cabangnya pasti ada. Mazhab Syi‘ah pada masa tiga imam pertama Ahlulbait as, yaitu Amirul Mukminin Ali, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali as, tidak pernah mengalami kebercabangan. Akan tetapi, setelah Imam Ketiga syahid, mayoritas pengikut mazhab Syi‘ah meyakini Imam Ali bin Husain as sebagai imam dan minoritas mereka—yang akhirnya dikenal dengan nama “Kaisâniyah”—mengakui putra ketiga Imam Ali as, Muhammad bin Hanafiyah adalah imam. Mereka berkeyakinan bahwa Muhammad bin Hanafiyah adalah imam keempat dan Imam Mahdi yang telah dijanjikan yang sekarang sedang gaib di gunung Radhwâ dan akan muncul kembali pada suatu hari kelak.

Setelah Imam as-Sajjâd as, mayoritas Syi‘ah meyakini putranya, Muhammad al-Bâqir as sebagai imam dan minoritas mereka lebih condong kepada Zaid asy-Syahîd, putra Imam as-Sajjâd yang lain. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Zaidiyah.

Setelah Imam Muhammad al-Bâqir as meninggal dunia, para pengikutnya meyakini putranya, Ja‘far ash-Shâdiq as sebagai imam. Setelah ia meninggal dunia, mayoritas mereka meyakini putranya, Imam Musa al-Kâzhim as sebagai imam ketujuh dan sekelompok dari mereka menganggap Isma‘il, putra tertua Imam Keenam yang telah meninggal dunia pada masa ayahnya masih hidup sebagai imam. Mereka berpisah dari mayoritas Syi‘ah, dan akhirnya dikenal dengan golongan “Ismâ‘îliyah”. Sebagian yang lain meyakini putranya yang lain, Abdullah al-Afthah sebagai imam, dan akhirnya mereka dikenal dengan golongan “Fathahiyah”. Kelompok keempat menjadikan putranya yang lain, Muhammad sebagai imam dan kelompok kelima berhenti sampai di imâmah Imam Ja‘far ash-Shâdiq as, serta menganggapnya sebagai imam terakhir Syi‘ah.

Setelah Imam Musa al-Kâzhim as syahid, mayoritas Syi‘ah meyakini putranya, Imam ar-Ridhâ as sebagai imam kedelapan (Syi‘ah) dan sebagian yang lain berhenti sampai di imâmah Imam Ketujuh (tawaqquf). Kelompok terakhir ini dikenal dengan sebutan “Wâqifiyah”.

Setelah masa Imam Kedelapan hingga Imam Kedua Belas—yang menurut kalangan mayoritas Syi‘ah adalah Imam Mahdi yang telah dijanjikan—tidak terjadi kebercabangan yang layak diperhatikan. Seandainya pun terjadi beberapa peristiwa yang nampak sebagai sebuah kebercabangan, hal itu tidak bertahan sampai beberapa hari dan lebur dengan sendirinya. Seperti, Ja‘far, putra Imam Kesepuluh yang mengklaim dirinya sebagai imam setelah saudaranya, Imam Kesebelas meninggal dunia dan ada sekelompok orang yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi, setelah beberapa hari berlalu, para pengikutnya berpencar-pencar dan Ja‘far pun tidak menindaklanjuti klaimnya itu. Begitu juga perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama Syi‘ah dalam masalah-masalah ilmiah teologi dan fiqih. Semua perbedaan pendapat itu tidak layak dinamakan sebagai sebuah kebercabangan mazhab.

Semua aliran cabang yang telah disebutkan di atas dan menjadi tandingan para pengikut mayoritas mazhab Syi‘ah dalam waktu yang singkat telah musnah ditelan masa, kecuali dua aliran cabang: Zaidiyah dan Ismâ‘îliyah. Hingga sekarang sekelompok dari mereka masih menjalani aktifitas kehidupan di berbagai negara, seperti Yaman, India, Lebanon, dan negara-negara lainnya. Atas dasar ini, kami hanya akan menjelaskan dua aliran cabang tersebut, beserta Syi‘ah Imamiah yang memiliki pengikut mayoritas.

Syi‘ah Zaidiyah

Zaidiyah adalah para pengikut Zaid asy-Syahîd, putra Imam as-Sajjâd as. Pada tahun 121 H., Zaid bangkit menentang Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah dan sekelompok orang berbai‘at kepadanya. Ia terbunuh dalam sebuah peperangan yang terjadi di Kufah antara dia dan bala tentara Khalifah.

Setelah ia terbunuh, putranya, Yahya bin Zaid—yang bangkit melawan Walid bin Yazid, seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah dan terbunuh—menggantikan kedudukannya. Setelah dia, Muhammad bin Abdullah bin Ibrahim bin Abdullah—yang memberontak melawan Manshur al-Dawâniqî, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh—dipilih sebagai imam (mazhab Zaidiyah).

Setelah itu, selama beberapa masa, sistem mazhab Zaidiyah tidak berjalan secara teratur. Hal ini berlanjut hingga muncul Nashir Athrusy—salah seorang keturunan saudara Zaid—di Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh penguasa kala itu, ia melarikan diri dari situ menuju daerah Mazandaran yang penduduknya hingga saat itu belum memeluk Islam. Setelah melakukan tablig selama tiga belas tahun, ia berhasil mengajak penduduk yang sangat banyak untuk memeluk agama Islam dan menjadikan mereka pengikut mazhab Zaidiyah.[1] Setelah itu, dengan bantuan mereka, ia berhasil menaklukkan Thabaristan dan selanjutnya ia menjadi imam di daerah tersebut. Setelah dia, para keturunannya menjadi imam di daerah itu.

Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fatimah az-Zahra’ as, alim, zahid, pemberani, dan dermawan yang bangkit memberontak untuk menegakkan kebenaran dapat menjadi imam.

Pada mulanya, mazhab Zaidiyah—seperti Zaid sendiri[2]—memasukkan dua Khalifah pertama (Abu Bakar dan Umar) ke dalam deretan para imam mereka. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, segolongan dari para pengikut mereka membuang nama kedua Khalifah tersebut dari daftar nama para imam mereka dan memulai imam pertama dari Imam Ali as.

Menurut sebagian pendapat, mazhab Zaidiyah—dalam bidang ushûluddîn—memilih aliran pemikiran Mu‘tazilah dan—dalam bidang furû‘uddîn—mengamalkan fiqih Abu Hanifah, salah seorang pemimpin empat mazhab Ahlusunah. Di antara mereka terdapat juga perbedaan pendapat kecil tentang beberapa permasalahan.[3]

Syi‘ah Ismâ‘îliyah dan Aliran-aliran Cabangnya

  1. Bâthiniyah

Imam Keenam Syi‘ah memiliki seorang putra yang bernama Isma‘il[4] dan ia adalah putranya yang tertua. Pada masa sang ayah masih hidup, ia telah meninggal dunia dan sang ayah bersaksi atas kematiannya. Lebih dari itu, ia juga meminta penguasa Madinah untuk menjadi saksi atas hal itu.

Dalam pada itu, sekelompok orang berkeyakinan bahwa Isma‘il belum meninggal dunia. Ia hanya gaib dan akan muncul kembali. Ia-lah Imam Mahdi yang telah dijanjikan itu. Adapun kesaksian Imam Keenam tentang kematiannya, hal itu adalah sejenis pembaptisan yang dilakukan olehnya karena khawatir atas (kekejaman) Manshur, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abasiyah. Sebagian kelompok meyakini bahwa kedudukan imâmah adalah hak Isma‘il dan dengan kematiannya, kedudukan itu berpindah kepada anaknya, Muhammad. Dan sebagian kelompok lagi berkeyakinan bahwa Isma‘il—meskipun telah meninggal dunia pada masa ayahnya hidup—adalah imam dan kedudukan imâmah setelahnya dipegang oleh anaknya, Muhammad bin Isma‘il dan keturunannya.

Ismâ‘îliyah—secara umum—memiliki sebuah filsafat yang hampir sama dengan yang diyakini oleh para penyembah bintang dan telah bercampur-aduk dengan ajaran ‘irfan India. Berkenaan dengan pengetahuan dan hukum Islam, mereka meyakini bahwa setiap yang lahir pasti memiliki batin dan setiap ayat (tanzîl) pasti memiliki takwil (ta’wîl). Ismâ‘îliyah berkeyakinan bahwa bumi ini tidak akan pernah vakum dari hujjah Ilahi, dan hujjah ini ada dua macam: yang berbicara (nâthiq) dan yang diam (shâmit). Hujjah yang nâthiq adalah Rasulullah dan hujjah yang shâmit adalah imam yang (bertindak) sebagai washî Rasulullah. ‘Alâ kulli hâl, seorang hujjah adalah manifestasi dari rubûbiyah Ilahi.

Pondasi hujjah selalu berputar pada angka tujuh; seorang nabi diutus dan memiliki kedudukan kenabian (syariat) dan wilâyah. Setelah dia, tujuh orang washî (akan diangkat) yang memiliki kedudukan kewashîan (wishâyah), dan seluruhnya hanya memiliki satu kedudukan tersebut, kecuali washî ketujuh yang juga memiliki kedudukan kenabian. Dengan demikian, washî ketujuh ini memiliki tiga kedudukan (sekaligus), yaitu kenabian, kewashîan, dan wilâyah. Setelah dia, akan diangkat tujuh orang washî di mana washî yang ketujuh memiliki ketiga kedudukan tersebut, dan demikianlah selanjutnya.

Menurut mereka, Nabi Adan as diutus dengan mengemban kenabian dan wilâyah. Ia memiliki tujuh orang washî dan washînya yang  ketujuh adalah Nabi Nuh as yang memiliki kedudukan kenabian, kewashîan, dan wilâyah. Nabi Ibrahim adalah washî ketujuh Nabi Nuh as, Nabi Musa as adalah washî ketujuh Nabi Ibrahim, Nabi Isa as adalah washî ketujuh Nabi Musa, Nabi Muhammad saw adalah washî ketujuh Nabi Isa, dan Muhammad bin Isma‘il adalah washî ketujuh Nabi Muhammad saw. Perincian ketujuh washî tersebut adalah Muhammad, Ali, Husain, Ali bin Husain (Imam as-Sajjâd), Muhammad al-Bâqir, Ja‘far ash-Shâdiq, Isma‘il, dan Muhammad bin Isma‘il. (Mereka tidak menganggap Imam Kedua, Hasan bin Ali as sebagai imam). Setelah Muhammad bin Isma‘il, telah diangkat tujuh orang dari keturunannya yang nama-nama mereka masih misterius (hingga sekarang) dan setelah mereka adalah tujuh orang pertama dari para raja dinasti Fatimiyah di Mesir di mana yang pertama adalah ‘Ubaidullah Mahdi, pendiri dinasti Fatimiyah.

Ismâ‘îliyah meyakini, selain hujjah Allah itu, di atas bumi ini juga terdapat dua belas orang naqîb di mana mereka adalah sahabat setia dan pilihan sang hujjah. Akan tetapi, sebagian dari aliran cabang Ismâ‘îliyah, yaitu Derûziyah, menentukan enam orang naqîb itu harus berasal dari para imam dan enam orang lainnya berasal dari orang lain.

Pada tahun 278 H. (beberapa tahun sebelum kemunculan ‘Ubaidullah Mahdi di Afrika), seorang tak dikenal yang berasal daerah Khuzestan (Iran) muncul di pinggiran kota Kufah dan ia—hingga akhir—tidak pernah memberitahukan nama dan jati dirinya. Pada siang hari ia selalu berpuasa, pada malam hari ia selalu mengisi waktunya dengan ibadah, ia senantiasa memenuhi kebutuhan hidupnya melalui jerih payahnya sendiri, dan mengajak masyarakat luas untuk mengikuti mazhab Ismâ‘îliyah. Pada akhirnya ia dapat menarik hati banyak masyarakat kepada dirinya. Setelah memilih dua belas orang naqîb di antara para pengikutnya, ia sendiri keluar dari Kufah dan pergi ke Syam. Setelah itu, tidak ada berita lagi tentang dirinya.

Setelah orang tak dikenal itu lenyap, Hamdan—yang lebih dikenal dengan nama Qarmath[5]—menggantikan kedudukannya di Irak dan menyebarkan ajaran mazhab Bâthiniyah. Para sejarawan berpendapat bahwa ia telah menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu, menghapuskan kewajiban mandi janabah, dan menghalalkan minuman keras. Bersamaan dengan itu, para tokoh Bâthiniyah yang lain juga melakukan tablig dan dakwah, dan mereka berhasil memperoleh sekelompok pengikut.

Mereka tidak pernah menganggap mulia setiap jiwa dan harta orang yang tidak mengikuti mazhab Bâthiniyah. Atas dasar ini, di beberapa kota di Irak, Bahrain, Yaman, dan Syâmât, mereka melakukan aksi teror, menumpahkan darah masyarakat, dan menguras harta mereka. Sering kali mereka merampok kafilah haji, membunuh puluhan ribu jamaah haji, dan merampas bekal-bekal mereka.

Pada tahun 311 H., Abu Thahir al-Qarmathî—salah seorang pemimpin mazhab Bâthiniyah—berhasil menaklukkan Bashrah dan ia melakukan pembunuhan dan perampokan harta masyarakat tanpa ampun. Pada tahun 317 H., pada saat musim haji, ia pergi ke Makkah bersama sekelompok pengikut Bâthiniyah yang tak terhitung jumlahnya. Setelah berhasil mengalahkan pertahanan bala tentara penguasa kala itu, ia memasuki kota Makkah dan membunuh masyarakat Makkah dan jamaah haji yang baru datang itu secara masal. Bahkan, ia telah mengalirkan selokan darah di dalam Masjidil Haram dan Ka‘bah. Ia (mencabik-cabik kain penutup Ka‘bah dan) membagi-bagikannya di antara para pengikutnya, mencabut pintu Ka‘bah, mencabut Hajarul Aswad dari tempatnya, dan memindahkannya ke Yaman. Hajarul Aswad ini berada di Yaman selama dua puluh dua tahun.

Karena tindakan-tindakan itu, seluruh muslimin membebaskan diri dari Bâthiniyah dan menilai mereka telah keluar dari Islam. Bahkan ‘Ubaidillah Mahdi, salah seorang raja dinasti Fatimiyah sendiri—yang telah muncul di Afrika dan memperkenalkan dirinya sebagai Imam Mahdi dan imam mazhab Ismâ‘îliyah—membebaskan dirinya dari aliran Qarâmithah.

Menurut pendapat para sejarawan, karakteristik utama mazhab Bâthiniyah adalah, bahwa mereka menakwilkan lahiriah hukum dan undang-undang Islam dengan kedudukan-kedudukan batiniyah-‘irfaniyah dan lahiriah syariat tersebut hanya dikhususkan untuk orang-orang yang ediot dan belum mencapai kesempurnaan spiritual.

[1] [Pertama, Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Husain as yang lebih dikenal dengan Nashir Athrusy atau Nashir Yang Agung dan kakek Sayid Murtadhâ dan Sayid Radhî dari pihak ibu adalah generasi ketiga atau keempat dari silsilah keturunan Ali as yang berkuasa di Thabaristan (250-320 H.), bukan pendiri (founder)nya. Founder dinasti bermazhab Syi‘ah ini adalah Hasan bin Zaid bin Muhammad bin Isma‘il bin Zaid bin Hasan bin Hasan al-Mujtabâ as yang lebih dikenal dengan julukan Dâ‘î Kabîr (Mubalig Yang Agung).

Kedua, berdasarkan kesaksian para ulama hadis dan sejarawan Islam, Nashir Athrusy adalah seseorang yang bermazhab Syi‘ah Itsnâ ‘Asyariyah, berkeyakinan benar, dan penebar keadilan, bukan bermazhab Zaidiyah.

Silakan rujuk ‘Allâmah Amini, Syuhadâ’ al-Fadhîlah, hal. 1-6, terbitan Dâr asy-Syahâb, Qom dan Ibn Atsir, al-Kâmil fî at-Târîkh, jilid 7, hal. 130-132, cetakan Beirut. Penjelasan ini kami peroleh dari sahabat mulia, Nabiyullah Ibrahim Zadeh].

[2] [Berdasarkan kesaksian ahli hadis, sejarawan, dan ulama Syi‘ah dan Ahlusunah, Zaid bin Ali bin Husain as tidak pernah mengambil bai‘at (dari masyarakat) untuk dirinya, tidak pernah mengklaim dirinya sebagai imam, dan tidak mengakui dirinya sebagai pemimpin sebuah mazhab khusus. Bahkan ia adalah pengikut setia dan sahabat khusus tiga imam (Syi‘ah), yaitu Imam Zainul ‘Âbidîn, Imam Muhammad al-Bâqir, dan Imam Ja‘far ash-Shâdiq as. Ia bangkit mengadakan perlawanan untuk membela mazhab Syi‘ah dan membalas darah kakeknya, Imam Husain as yang telah terkucur. Akhirnya, ia pun syahid. Ia adalah seorang yang penuh dengan ketakwaan dan memiliki keramat yang sangat banyak.

‘Allâmah al-Majlisi di dalam Mir’âh al-‘Uqûl-nya berkata, “Mayoritas hadis memberikan kesaksian bahwa Zaid tidak pernah mengklaim dirinya sebagai imam dan kebangkitannya hanya untuk menebus darah Imam Husain, amar makruf, dan nahi munkar. Tekadnya adalah, bahwa jika ia menang, imâmah itu akan diserahkan kepada Imam al-Bâqir dan Imam ash-Shâdiq as.”

Sayid Muhammad Amin al-‘Âmilî dalam A‘yân asy-Syi‘ah berkata, “Zaid adalah seorang yang alim, ‘abid, dan bertakwa. Ia tidak pernah menyerah kepada segala paksaan dan menyandang segala karakteristik kesempurnaan. Seluruh ulama Islam sepakat mengakui keutamaannya, sebagaimana mayoritas hadis sepakat atas keagungannya. Dan jika kadang-kadang terdapat beberapa hadis yang bertentangan dengan seluruh hadis tersebut, maka beberapa gelintir hadis ini tidak memiliki kelayakan untuk melawan (ta‘ârudh) seluruh hadis yang mengindikasikan keagungannya itu.”

Silakan rujuk Ayatullah Sayid Abul Qasim al-Khu’i, Mu‘jam Rijâl al-Hadîts, jilid 7, hal. 345-356, cetakan Beirut; Ibn Atsir, al-Kâmil, jilid 4, hal. 246; al-Mas‘ûdî Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 206; ‘Allâmah Muhammad Taqi al-Mudarrisî, Imâmân-e Syi ‘ah va Jombesh-ha-ye Maktabî, terjemahan Hamid Ridha Azjir, hal. 107-116, terbitan Astân-e Quds-e Rezavî; dan Reza Ustadi, Muqaddameh-î bar Melal va Nehal, hal. 168-175].

[3] Pembahasan ini disimpulkan dari buku al-Milal wa an-Nihal dan al-Kâmil, karya Ibn Atsir.

[4] Seluruh pembahasan ini disadur dari al-Kâmil, karya Ibn Atsir, Raudhah ash-Shafâ, Habîb as-Sair, Abil Fida’, dan al-Milal wa an-Nihal, karya Syahrestani. Sementara itu sebagian rinciannya disadur dari buku Târîkh Aqakhâniyeh.

[5] [Qarmath adalah orang yang bermata merah. Sebagian ahli berpendapat bahwa artinya adalah orang yang tajam (pandangan) matanya. Sementara itu, sebagian ahli yang lain juga berpendapat bahwa artinya adalah penipu].