ISIS DAN SEPAK TERJANGNYA


 Mengenal kelompok ISIS dan sepak terjangnya
Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (1)

Kejahatan kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak serta serangan udara Koalisi Internasional Anti-ISIS telah menghiasi lembaran media-media dunia dalam beberapa bulan terakhir.Sejumlah negara Barat dan Arab di bawah pimpinan Amerika Serikat mengeluarkan sesumbar ingin menghancurkan militan ISIS. Di tengah kampanye udara koalisi, ISIS tetap melanjutkan serangannya ke beberapa wilayah di Suriah dan Irak. Mereka bahkan mulai melengkapi diri dengan senjata-senjata canggih dan modern serta semi berat.

Di sini muncul pertanyaan, apakah Koalisi Internasional Anti-ISIS pimpinan AS benar-benar ingin memusnahkan ISIS?Mengapa koalisi itu baru terbentuk sekarang?ApakahISIS sudah sangat besar sehingga40 negara terpanggil untuk menghancurkan mereka?Mengapa para pejabat Washington selalu menekankan bahwa penumpasan ISIS membutuhkan waktu lama?Apakah kita bisa percaya bahwa koalisi benar-benar ingin memusnahkan ISIS? Apakah kelompok teroris yang selalu berpindah-pindah tempat bisa dihancurkan melalui kampanye udara? Mengapa kelompok ISIS yang mengusung slogan-slogan Islami tidak terbilang berbahaya bagi rezim Zionis Israel?

 Rangkaian acara berseri ini akan menjawab pertanyaan tersebut dan isu-isu lain seputar sejarah kemunculan teroris ISIS, tindakan brutal dan kejahatan kelompok itu, respon negara-negara Barat terutama AS terhadap petualangan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, serta motivasi dan tujuan pembentukan Koalisi Internasional Anti-ISIS.

 Meski wilayah Timur Tengah menghadapi tantantan terorisme selama bertahun-tahun. Namun, fenomena ISIS dan kejahatan mereka dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi salah satu krisis dan tantangan utama kawasan. Sekarang hampir tidak ada negara di Timur Tengah yang terbebas dari ancaman ISIS. Padahal, jejak dan peran beberapa negara regional dan internasional dalam membentuk dan mengarahkan kegiatan kelompok-kelompok teroris dengan mudah dapat ditelusuri.

 Kelompok ISIS merupakan salah satu front yang paling kejam sekaligus paling tunduk kepada majikannya, yang pernah disaksikan dunia sampai sekarang. Kejahatan yang dilakukan ISIS biasanya terjadi dalam perang-perang yang bertujuan untuk membumihanguskan sebuah etnis atau genosida.Namun, dunia sama sekali tidak menyaksikan tindakan yang begitu kejam dan itupun atas nama Islam, sebuah agama yang melambangkan kasih sayang dan sikap lemah lembut bahkan terhadap non-Muslim.

 Sejarah mencatat bahwa akhlak mulia dan kasih sayang Rasulullah Saw memainkan peran utama dalam menyebarluaskan agama Islam. Pada dasarnya, Nabi Muhammad Saw adalah simbol dan teladan sempurna dari seorang pribadi Mukmin. Kebenaran agama Islam dan risalah kerasulan Nabi Muhammad Saw dapat dibuktikan dengan melihat sosok mulia ini. Dengan cara itu, dalam waktu singkat dan itupun dengan pertumpahan darah yang paling sedikit, sebagian besar wilayah Jazirah Arab menerima Islam dengan lapang dada.

 Lalu, apakah agama Islamdengan seorang Nabi Saw yang penuh kasih sayang bisa memiliki para pengikut yang dungu dan buas seperti ISIS, di mana praktek memenggal kepala manusia sudah menjadi rutinitas dan hiburan buat mereka. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki aroma kemanusiaan.Sayangnya, sebagian besar para pengikut nabi-nabi besar menjadikan interpretasi personal terhadap ajaran agama sebagai pengganti ajaran Ilahi setelah wafatnya para nabi. Mereka mendirikan sebuah tiang yang bengkok dalam sejarah agama langit.

 Ajaran Musa, Isa, dan beberapa nabi laindirubah dan didistorsi oleh golongan masyarakat awam dan pemuja hawa nafsu. Jika penyimpangan itu tidak menggerogoti agama Tuhan, tentu saja umat manusia akan memiliki nasib yang berbeda. Agama Islam pasca wafat Rasulullah Saw juga didera penyimpangan dan penafsiran-penafsiran personal dan golongan.Pada masa kekhalifahan Imam Ali as, muncul tiga kelompok di tengah masyarakat muslim yang mendeklarasikan perang dengan beliau. Salah satu dari golongan itu adalah kelompok Khawarij. Mereka melakukan penafsiran sepihak terhadap al-Quran dan ajaran Nabi Saw. Kesalahan interpretasi membuat kelompok Khawarij menyatakan perang dengan Imam Ali as.

 Khawarij yang muncul pada masa Imam Ali as dapat dianggap sebagai ujung pangkal gerakan Takfiri modern. Akar kedua kelompok Khawarij dan Takfiri bersumber dari pemahaman yang dangkal dan sikap ekstrim mereka dalam menafsirkan ajaran agama. Orang-orang Muslim yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka akan dianggap kafir dan wajib dibunuh. Fanatisme kesukuan di tengah kelompok Khawarij dan Takfiri juga mendorong lahirnya perilaku konfrontatif terhadap bangsa-bangsa lain dan bahkan terhadap orang-orang dekat mereka.

 Dapat dikatakan bahwa teladan perilaku kelompok Khawarij dan Takfiri dikecam oleh semua mazhab-mazhab Islam.Ekstrimisme dan fanatisme di era modern juga memiliki dampak serupa seperti perilaku Khawarij di era permulaan Islam yaitu, memperlemah kekuatan kaum Muslimin.

 ISIS adalah sebuah gerakan Takfiri-Salafi, di mana ideologi mereka berakar dari pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahab. Kelompok tersebut didukung oleh beberapa negara regional di Timur Tengah dan Barat. Mereka adalah kelompok negara yang sekarang meluncurkan kampanye udara terhadap teroris ISIS di kawasan. Peran Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya dan Barat akan terlihat begitu kentara ketika kita menelusuri sejarah terbentuknya ISIS. ISIS merupakan sebuah kelompok bersenjata yang mengadopsi pemikiran-pemikiran ekstrim Takfiri. Mereka berada di barisan kelompok Salafi-Jihadi dan sedang berupaya untuk mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Irak dan Suriah.

ISIS muncul pada 15 Oktober 2006 setelah pertemuan sejumlahkelompok bersenjata di Irak. Dalam pertemuan itu, Abu Omar al-Baghdadi diangkat sebagai pemimpin ISIS. Embrio terbentuknya ISIS kembali pada pergolakan pasca invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Serangan AS telah menciptakan atmosfir yang tepat bagi terbentuknya dan aktivitas sebagian besar kelompok-kelompok bersenjata di Irak seperti, kelompok Takfiri-Jihadi yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan anasir-anasir Partai Baath, yang menentang kondisi baru di Irak.

 Kelompok tersebut gencar mengumpulkan dana dan anggota untuk berperang melawan pasukan AS dan Irak. Salah satu front utama di barisan mereka adalah Jamaat al-Tawhid wal-Jihadyang lahir pada 2004 dan dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi. Dia telah berbaiat dengan pentolan Al Qaeda, Osama bin Laden dan mendirikan organisasi Tanzim Qaidat al-Jihad fi Bilad al-Rafidayn (Al Qaeda di wilayahRafidain). Kelompok ini melancarkan aksi terorisme secara besar-besaran dan tak kenal belas kasihan seperti, peledakan bom di pasar dan tempat-tempat keramaian di Irak, perusakan masjid-masjid dan Makam Imam Hadi dan Imam Askari as.

Kelompok Zarqawi sangat agresif dalam melancarkan aksinya sehingga membuat mereka menjadi salah satu organisasi teroris terkuat di Irak. Mereka juga sukses menyebarluaskan pengaruhnya di negara-negara regional. Pada2006, Zarqawi mendirikan Syura Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Abdullah al-Rashid al-Baghdadi. Setelah tewasnya Zarqawi di tangan pasukan AS, Abu Hamza al-Muhajir ditunjuk untuk menggantikannya dan pada akhir 2006, kelompok ISIS yang dipimpin oleh Abu Omar al-Baghdadi dibentuk.

 Salah satu misi utama ISIS di Irak adalah membentuk sebuah koalisi yang gemuk dan merangkul pasukan penentang pemerintah Baghdad. Kelompok penentang pemerintah itu terdiri dari anasir Partai Baath dan kroni-kroni Saddam Hussein serta beberapa milisi suku. Setelah menggalang kekuatan besar, ISIS memulai aksi-aksi terornya dan berusaha untuk menciptakan konflik sektarian dan perang saudara di Irak. Seiring meningkatnya ketidakpuasan publik, pemerintah Baghdad pada akhirnyamembentuk pasukan suku untuk mengurangi pengaruh teroris.

Kematian Abu Omar al-Baghdadi pada 2010 telah menurunkan kekuatan ISIS secara signifikan. Namun, pengangkatan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pemimpin ISIS telah menciptakan gelombang baru aksi terorisme di Negeri Kisah 1001 Malam itu. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (2)

ISIS adalah kelompok sempalan al-Qaeda atau cabang jaringan kelompok teroris itu di Irak. Dengan tewasnya Abu Omar al-Baghdadi pada tahun 2010, dan terpilihnya Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin kelompok ini, maka dimulailah gelombang baru operasi teror ISIS di Irak yang kemudian merembet hingga Suriah dan Lebanon. Beberapa bulan pasca dimulainya krisis di Suriah, pada akhir tahun 2011, muncul kelompok Front al-Nusra yang dipimpin oleh Abu Muhammad al-Jolani.  Kelompok ini di Suriah mendapat dukungan luas dari sejumlah negara regional termasuk Arab Saudi, Qatar dan Turki. Front al-Nusra hingga kini telah melancarkan berbagai serangan bersenjata, kejahatan brutal dan operasi teror.

Front al-Nusra dan ISIS sama dari sisi ideologi dan keduanya memiliki keyakinan distorsif Takfiri. Kedua kelompok ini juga telah berikrar setia kepada jaringan teroris al-Qaeda. Akan tetapi ketika ISIS mengirim anasirnya untuk memperluas jangkauan wilayahnya ke Suriah, dimulailah perselisihan antara ISIS dan al-Nusra. Karena keduanya menilai masing-masing pihak sebagai ancaman. Dalam hal ini, al-Qaeda yang dipimpin oleh Aiman al-Zawahiri meminta ISIS untuk keluar dari Suriah. Masalah ini menimbulkan pembelotan Abu Bakar al-Baghdadi dari al-Zawahiri. Sampai akhirnya al-Zawahiri menyerukan pembubaran ISIS guna menghentikan kelancangan al-Baghdadi.

Seiring berlalunya waktu, terkuak bahwa perselisihan antara al-Qaeda dan ISIS ternyata cukup mendalam karena al-Baghdadi termasuk di antara pihak yang menolak kepemimpinan al-Zawahiri dalam jaringan al-Qaeda setelah tewasnya Osama bin Laden pada Mei 2011. Sampai ketika komando pusat al-Qaeda pada 3 Februari 2013 menyatakan bahwa ISIS tidak terkait dengan al-Qaeda. Dengan demikian ISIS tampil sebagai sebuah kelompok teroris non-afiliasi al-Qaeda. Akan tetapi memiliki pemikiran dan kinerja yang sama, yaitu mencapai tujuan mereka dengan kekerasan.

Dibanding dengan al-Qaeda, ISIS menempuh jalan yang lebih radikal, dan meneruskan jalan Abu Musab al-Zarqawi, pemimpin pertama kelompok ini. Strategi Zarqawi adalah berupaya menciptakan perang sektarian di dalam Irak, pembantaian massal warga Syiah dan perselisihan antara Syiah dan Sunni, serta bahkan perselisihan antarsuku. Itu semua dilakukan dengan cara-cara pengecut.

Pada hakikatnya, ISIS sama seperti al-Qaeda berupaya merekrut pasukan sebanyak-banyaknya dari berbagai penjuru dunia. Sekarang ISIS memiliki anggota dari lima benua dunia. Di sini, kita tidak membahas motivasi para anasir ISIS untuk bergabung dengan kelompok itu. Akan tetapi poin yang perlu diperhatikan adalah peran negara-negara Barat pengklaim “anti-terorisme” dalam memberikan sarana kepada orang yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Bagaimana mungkin ribuan orang dari negara-negara Eropa dan Amerika dapat meninggalkan negara mereka untuk bergabung dengan ISIS namun lembaga intelijen mereka kecolongan?

Pasca Serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, Dinas Rahasia AS (CIA) bekerjasama dengan berbagai lembaga intelijen Eropa, menangkap puluhan dari berbagai belahan dunia bahkan dari dalam sebuah pesawat hanya karena email atau panggilan telepon mencurigakan. Mereka direlokasi ke wilayah lain untuk diinterogasi, yang kemudian muncul skandal keberadaan penjara-penjara rahasia dan penyiksaan para tahanan. Dengan kinerja seperti itu, apakah mungkin pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya di Eropa “kecolongan” atas gelombang perekrutan warganya oleh ISIS?

Salah satu kebohongan pemerintah Barat tentang pemberantasan ISIS dan kelompok teroris di Suriah dan Irak adalah identifikasi pembunuh James Foley, seorang jurnalis AS, hanya melalui suaranya. Pasca publikasi video penyembelihan kepala James Foley dan ungkapan sang penjagalnya, koran-koran Inggris menulis, bahwa pembunuh Foley adalah seorang pemuda asal London yang dilatih oleh kelompok radikal di Suriah. Nama teroris Inggris anggota ISIS itu adalah John dan menurut laporan BBC, sebuah kelompok afiliasi ISIS menculik 20 warga Barat termasuk beberapa perempuan.

Pasca publikasi rekaman video sadis itu dan juga pernyataan pembunuh Foley yang menggunakan dialek London, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, menyatakan bahwa kemungkinan pembunuh Foley adalah warga Inggris. Ketika media massa dan pemerintah Barat mampu mengidentifikasi warga Barat anggota ISIS hanya melalui suara mereka, apakah dapat diterima bila Barat tidak memonitor puluhan indikasi yang lebih mudah seperti meningkatnya volume kepergian warganya menuju Suriah dan Irak?

Politik Barat terhadap krisis di Suriah dan Irak, yang justru memperkokoh kelompok teroris. Meski Barat menyatakan tidak mendukung ISIS, akan tetapi bantuan mereka selalu sampai ke tangan kelompok teroris itu. Bantuan tersebut dikemas dalam bentuk dana, senjata, perlengkapan logistik, informasi dan pelatihan oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, Turki dan segelintir negara Barat.

Berbagai laporan baru menunjukkan bahwa meski klaim para pejabat Washington bahwa mereka tidak mengetahui aktivitas para teroris eks Baaths-Takfiri ISIS, CIA sejak dua tahun sebelumnya telah melatih para anasir itu di sebuah kamp di Yordania. Gordon Duff, pemred Veterans Today berpendapat bahwa Amerika Serikat mengetahui pergerakan para teroris Takfiri menuju Mosul. Menurutnya, Amerika Serikat mengetahui dengan baik asal-usul senjata yang digunakan kelompok ini; yang dikirim oleh pihak Arab Saudi menuju Yordania melalui Selat Aqaba. Adapun para anasir teroris yang telah dipersenjatai direlokasi oleh rezim Zionis Israel dari wilayah itu menuju Irak.

Dalam buku memoir mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, terdapat dokumen terkait dukungan AS bagi ISIS. Dalam bukunya itu, Clinton menulis, “Kami membentuk ISIS untuk memecah Timur Tengah.” Pada bagian lain buku itu ditulisnya, “Menurut rencana kami pada 5 Juli 2013, akan bersidang dengan mitra Eropa kami untuk mengakui Daulah Islam (ISIS). Saya berkunjung ke 112 negara dan menjelaskan peran AS serta  kesepakatan dengan sejumlah mitra terkait pengakuan terhadap Daulah Islam (ISIS) langsung setelah pembentukannya.”

Di lain pihak, Edward Snowden, mantan administrator sistem Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA) dalam hal ini mengatakan, “CIA, Inggris dan rezim Zionis berperan dalam pembentukan kelompok yang bernama ISIS dan membentuknya dalam sebuah operasi bersandi ‘sarang lebah’.”

Berdasarkan dokumen yang terbocorkan, Snowden berpendapat bahwa kelompok ISIS dibentuk untuk mendukung rezim Zionis Israel dan tujuan dari operasi sarang lebah adalah pembentukan sebuah kelompok dengan slogan-slogan islami yang akan merekrut para anasir radikal dari berbagai belahan dunia. Dan berlandaskan pada pemikiran Takfiri, senjata mereka diarahkan kepada negara-negara penentang eksistensi Israel. (IRIB Indonesia)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (3)

Wahabisme, keyakinan yang berkuasa di Arab Saudi memainkan peran poros dalam pengokohan kelompok-kelompok Takfiri di dunia Islam dalam tiga dekade terakhir. Kelompok ini memiliki pemikiran tertutup dan terbelakang serta mengedepankan cara-cara kekerasan. Peran Wahabi dalam pengokohan lembaga-lembaga atau basis pemikiran Takfiri di berbagai negara Islam khususnya negara kategori miskin secara ekonomi dan budaya, sangat kuat dan mengakar.

Afghanistan, Pakistan, Yaman dan sejumlah negara miskin Afrika, menjadi target tepat untuk pemerintah Saudi untuk menyebarluaskan pemikiran fanatis dan Takfiri Wahabisme. Tidak ketinggalan pula aktivitas para mubaligh Wahabi di negara-negara Islam dengan perekonomian moderat seperti Turki dan di masyarakat minoritas Muslim di negara non-islami. Mereka memanfaatkan secara maksimal rendahnya informasi masyarakat Muslim tentang hakikat dan budaya Islam murni untuk menyebarkan pemikiran Takfirisme.

Wahabisme berkuasa di jazirah Arab atas dukungan Inggris dan melangkah berporos pada kepentingan dan politik Inggris kemudian Amerika Serikat di kawasan. Orang-orang Wahabi dengan slogan menghidupkan sunnah rasulullah dan kembali pada nilai-nilai salaf yang saleh, mengemukakan berbagai masalah yang sesungguhnya bertentangan dengan risalah pembangun manusia yang dibawa Nabi Muhammad Saw dan juga al-Quran.

Mereka menolak pengikut mazhab Islam lainnya serta mengkafirkannya karena dinilai telah keluar dari lingkup Islam. Akan tetapi perlu diketahui pula bahwa para mufti Arab Saudi bungkam terhadap pendudukan bumi Palestina dan kehadiran pasukan penjajah Barat khususnya Amerika Serikat di Arab dan negara-negara Islam.

Pada hakikatnya, Takfirisme merupakan senjata bagi rezim al-Saud untuk memperkokoh posisinya di kawasan yang terguncang hebat pasca kemenangan Revolusi Islam Iran. Selama Saddam Hossein dengan politik penjajahannya berkuasa di Irak, rezim al-Saud cukup berharap pengaruh Revolusi Islam di kawasan dapat terbendung. Pada saat yang sama, Arab Saudi memupuk tunas dan kader-kader Takfiri yang pada puncaknya adalah al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan serta sejumlah kelompok Takfiri di Pakistan. Madrasah-madrasah Wahabi di Peshawar Pakistan, mencetak anasir-anasir Taliban dan al-Qaeda. Dan mengingat para teroris al-Qaeda telah dikirim ke berbagai belahan dunia khususnya negara Islam, maka lingkup pengaruh rezim al-Saud di kawasan semakin meluas.

Perlu ditekankan bahwa politik rezim al-Saud ini dapat bergulir dengan dukungan penuh Amerika Serikat, Inggris dan lembaga-lembaga keamanan Pakistan. Amerika Serikat sangat menekankan hubungannya dengan Arab Saudi sehingga pasca Serangan 11 September, meski 19 pembajak pesawat tersebut adalah warga Arab Saudi, Washington langsung mengirim sebuah pesawat charter untuk melarikan sejumlah pangeran Saudi ke AS. Dengan demikian, Gedung Putih berharap hubungannya dengan Riyadh tidak terpengaruh oleh insiden tersebut.

Serangan AS ke Irak pada tahun 2003 dan tumbangnya rezim Saddam, membuat rezim al-Saud khawatir bahwa Irak akan berubah menjadi sekutu dalam penyeru Islam sejati dan balik melawan pemikiran Takfiri, Wahabisme dan Zionisme.  Oleh karena itu, selama masa pendudukan Irak oleh Amerika Serikat,  warga Irak menghadapi gelombang teror oleh kelompok-kelompok teroris Takfiri yang mendapat dukungan langsung Arab Saudi. Salah satu di antara kelompok tersebut adalah embrio yang kelak akan lahir dalam bentuk ISIS.

Tiada hari di Irak yang berlalu tanpa puluhan korban jiwa di pihak warga sipil Irak. Yang patut digarisbawahi adalah bahwa itu semua terjadi meski kehadiran ratusan ribu tentara Amerika Serikat di Irak. Meski sebagian serdadu AS tewas dalam serangan tersebut, akan tetapi jumlahnya sedikit bila dibandingkan dengan jumlah laki-laki-perempuan dan anak-anak Irak yang menjadi mangsa berbagai serangan teror.

Gerakan Kebangkitan Islam pada 2011 yang dimulai di Tunisia dan kemudian di sejumlah negara despotik, mendadak mempersempit ruang bagi pengaruh rezim al-Saud, yang menilai dirinya sebagai saudara tua negara-negara Arab. Para penguasa Arab Saudi dengan “dolar-dolar petrol”  mereka berusaha dengan segala cara membendung gerakan tersebut. Perluasan aksi para anasir Takfiri dan pembunuhan terhadap komunitas Syiah serta perusakan tempat-tempat suci bagi seluruh mazhab Islam, digalakkan demi tujuan tersebut dan dalam rangka mendistorsi gelombang Kebangkitan Islam.

Salah satu negara yang dimusuhi Arab Saudi dan sekutunya di Barat serta rezim Zionis Israel adalah Suriah. Negara yang berada di garis terdepan front perlawanan terhadap rezim Zionis. Dengan dukungan politik, finansial dan militer dari Arab Saudi, Qatar dan Turki serta dukungan negara-negara Barat, kelompok-kelompok teroris Takfiri, teroganisasi dan dikerahkan ke Suriah. Salah satu kelompok yang beroperasi di Irak dan memperluas zona operasinya ke Suriah adalah ISIS.  Tanpa dukungan rezim al-Saud, ISIS tidak mungkin memiliki perlengkapan militer dan logistik moderen serta mampu menduduki sebagian wilayah Suriah dan Irak. Mereka berusaha memecah-belah Irak serta melemahkan pemerintah terpilih rakyat di Baghdad dan Damaskus. Deklarasi pembentukan pemerintah khilafah islami di wilayah-wilayah pendudukan mereka di Suriah dan Irak adalah dalam rangka tersebut.

Dalam menjaga posisi mereka di kawasan dan mencegah perluasan pemikiran Islam sejati dan murni hingga ke dalam Arab Saudi, para penguasa Riyadh hanya memiliki satu senjata yaitu penggunaan “dolar petrol” untuk memperkokoh kelompok-kelompok teroris dan Takfiri. ISIS adalah produk Wahabisme Arab Saudi. Di berbagai sekolah yang diduduki oleh ISIS di Suriah dan Irak, para murid diberi buku-buku pelajaran Arab Saudi. Ini hanya bagian terkecil contoh dari keterkaitan ISIS dengan pemikiran menyimpang Wahabisme yang berkuasa di Arab Saudi

Namun pertanyaannya adalah, apakah rezim al-Saud dapat menebar kekacauan luas di kawasan tanpa ada dukungan politik dan militer dari negara-negara Barat pengklaim kebebasan dan HAM?

Sistem pemerintahan monarki keluarga al-Saud kembali ke abad pertengahan. Masyarakat negara ini tidak menikmati hak-hak sipil paling mendasar mereka. Apakah milenium ketiga, negara seperti ini dapat dengan sendirian mengacau kawasan tanpa bantuan satu negara pun?

Mengapa rezim seperti ini dekat dengan Amerika Serikat dan Eropa pengklaim sebagai penegak demokrasi dan pro-kemanusiaan, serta menyediakan berbagai persenjataan mutakhir kepada al-Saud? Apakah bukan karena Arab Saudi sebagai penjaga kepentingan ilegal AS dan Eropa di kawasan strategis Timur Tengah? Apakah dengan keterkaitan antara ISIS dan Arab Saudi serta ketergantungan Riyadh terhadap pemerintah Barat, kita dapat mempercayai politik mereka dalam membentuk koalisi anti-ISIS? Pada pertemuan selanjutnya kita akan membahas peran Turki sebagai salah satu pendukung pembentukan dan perluasan kelompok teroris ISIS.(IRIB Indonesia)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (4)

Pasca gerakan Kebangkitan Islam yang mengguncang negara-negara despotik Tunisia, Mesir dan Libya, Turki tampil untuk mengesankan sebagai “bapak” gerakan tersebut dan memimpinnya. Oleh karena itu, tak lama berselang setelah tumbangnya rezim Hosni Mubarak di Mesir, Recep Tayyib Erdogan yang saat itu sebagai perdana menteri, berkunjung ke Kairo dan meminta para revolusioner negara itu untuk menjadikan pemerintah Turki sebagai model pemerintahan politik mendatang mereka.

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa di Turki, karena dekat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, memiliki hubungan sangat erat dengan partai Mesir itu setelah berhasil mengantongi suara terbanyak di parlemen dan juga meraih kursi kepresidenan oleh Muhammad Morsi. Pemerintah Erdogan juga berupaya memanfaatkan krisis demonstrasi Suriah demi tujuan ambisiusnya merevivalisasi rezim Ottoman dan perluasan pengaruh Turki.

Atas dasar itu, Ankara mengubah gerakan reformasi di Suriah sebagai gerakan penggulingan pemerintah Suriah. Mendadak bermunculan kelompok-kelompok oposisi di Suriah bak jamur yang nama mereka bahkan tidak pernah terdengar sebelum transformasi baru di Suriah. Secara perlahan, di samping kelompok-kelompok oposisi, terbentuk pula kelompok-kelompok beranggotakan para anasir dari berbagai negara asing dan memiliki pemikiran terbelakang Takfiri.

Medan operasi kelompok-kelompok tersebut di Suriah semakin meluas yang secara otomatis mempersempit medan operasi kelompok-kelompok oposisi. Sedemikian rupa sampai kelompok oposisi akhirnya berusaha membentuk sebuah pemerintahan di pengasingan dan menyatakan tidak dapat membentuk kantor di dalam Suriah karena perselisihan tajam dengan kelompok-kelompok Takfiri.

Pemerintah Turki mendukung kedua kelompok tersebut. Dukungan politik dan finansial pemerintah Turki kepada kelompok oposisi Suriah sedemikian kentara sehingga secara berkala digelar sidang di Istanbul untuk mewujudkan koordinasi dan persatuan dalam barisan kelompok oposisi. Akan tetapi rangkaian sidang tersebut tidak membuahkan hasil karena perselisihan politik yang sangat tajam. Sejak awal mereka tidak memiliki itikad baik yang sama dengan apa yang dituntut masyarakat Suriah, dan masing-masing mengupayakan kepentingan politik dan finansial serta memperebutkan kekuasaan.

Akan tetapi dukungan Turki terhadap kelompok-kelompok Takfiri dan teroris seperti ISIS dan Front al-Nusra, berlanjut secara intensif namun diupayakan tetap terselubung. Meski pun demikian, dukungan tersebut tidak dapat disembunyikan dari pantauan para pengamat. Ketika Amerika Serikat berselisih pendapat dengan Turki soal berlanjutnya dukungan terhadap ISIS, Wakil Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dengan tegas memaparkan dukungan Turki, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terhadap ISIS.

Kelompok-kelompok Takfiri memiliki anggota dari 86 negara dunia khususnya Arab, Kaukasus dan Eropa. Setelah memasuki Turki, mereka melalui tahap pelatihan militer di kamp-kamp pelatihan di dalam Turki, kemudian dikerahkan menuju Suriah untuk menebar kejahatan. Dalam hal ini terdapat berbagai rekaman dan dokumen, namun yang paling terpenting adalah pengakuan Joe Biden.

Televisi Turki sebelumnya mengungkapkan bahwa di jalan-jalan Fatih di Istanbul, Turki, telah dibuka sebuah kantor ISIS yang secara terang-terangan mengumpulkan bantuan dan dana untuk para teroris dan juga menerima pendaftaran calon anggota untuk dikirim ke Irak dan Suriah. Berdasarkan laporan ini, terdapat sejumlah kamp dan pangkalan pelatihan anasir ISIS di Turki yang salah satunya adalah kamp Gaziantep. Kamp Urufa di tenggara Turki juga merupakan kamp pelatihan lain untuk para anasir ISIS. Para teroris ISIS keluar dari kamp tersebut untuk menyerang kota perbatasan Kessab di Suriah, yang mayoritasnya adalah warga Kristen.

Adapun kamp al-Utsmaniya di Adana, selatan Turki, adalah kamp ketiga yang digunakan ISIS. Kamp itu berposisi di dekat pangkalan udara terbesar Amerika Serikat di Turki. Menariknya, kamp tersebut juga sangat dekat dengan persimpangan jalur pipa gas dari Irak dan Asia Tengah. Jalur pipa tersebut membentang hingga pelabuhan Jihan di sisi laut Mediterania.

Masih ada pula kamp Kerman di Adana yang berdekatan dengan perbatasan Suriah. Televisi CNN akhir tahun lalu dalam sebuah laporannya menayangkan film dokumentasi tentang penyusupan para anasir asing ke wilayah perbatasan Suriah melalui Turki. Reporter CNN merekam para anasir ISIS asal Mauritania, Libya, Mesir, Arab Saudi dan Inggris yang direlokasi ke wilayah perbatasan Hatay di dekat perbatasan Suriah. Dalam hal ini, para jurnalis dan wartawan Turki telah mengkonfirmasikan perubahan wilayah perbatasan Turki dan Suriah menjadi jalur lalu-lalang para teroris. Mereka juga berpendapat bahwa lembaga-lembaga intelijen Turki bekerjasama dengan para teroris.

Kelompok ISIS adalah kelompok teroris terbesar dan terkaya di dunia yang tidak mungkin mencapai posisi tersebut tanpa dukungan Turki. ISIS memiliki berbagai sumber dana. Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab merupakan para penyokong dana terbesar ISIS. Salah satu sumber pendapatan ISIS adalah penjualan minyak di wilayah-wilayah yang dikuasainya di Suriah dan Irak. Kelompok Takfiri ISIS dengan menyelundupkan minyak yang mereka curi dari Suriah dan Irak serta merelokasinya ke Turki, mengantongi dana besar dari penjualan minyak di pasar gelap.

Hubungan pemerintah Turki dengan salah satu pangeran Saudi pendonor ISIS menunjukkan dukungan nyata baik secara terang-terangan maupun tersembunyi Turki terhadap kelompok teroris. Pemerintah Ankara berusaha menepis hubungan tersebut akan tetapi berbagai laporan di koran-koran Turki mengungkap hubungan itu.

Yasin al-Qadhi, seorang milyarder Saudi, terkenal sebagai pendukung kelompok-kelompok teroris di dunia. Pasca serangan 11 September 2001, dia dan beberapa orang lain termasuk dalam daftar para teroris internasional yang dilarang masuk ke banyak negara, dan Turki juga termasuk di antaranya. Namun pada awal tahun ini, terpublikasi foto-foto pertemuan al-Qadhi dengan Erdogan dan juga dengan putra Erdogan bernama Bilal.

Pada tahun 2012, al-Qadhi empat kali berkunjung ke Turki dan Erdogan menyambut kedatangannya setelah menginstruksikan pemutusan seluruh kamera CCTV di bandara Istanbul. Dalam proses penyidikan hukum, Erdogan menghindar menyebut al-Qadhi sebagai seorang teroris dan mengatakan, “Sama seperti saya yakin pada diri saya sendiri, saya juga yakin kepada bapak al-Qadhi, dia adalah seorang dermawan.”

Koran Jumhuriyet terbitan Turki menulis, al-Qadhi berkunjung ke Turki sebanyak 12 kali dan tujuh di antaranya adalah dengan bantuan Erdogan, karena nama dia termasuk dalam list para teroris. Koran itu, memampang foto pertemuan al-Qadhi dengan Erdogan dan juga Ketua Dinas Rahasia Turki, seraya menambahkan, “Di saat polisi Turki mencari al-Qadhi, dia bertemu dengan  perdana menteri [kala itu]”(IRIB Indonesia)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (5)

Kelompok ISIS sebenarnya dapat disebut sebagai kepanjangan tangan Al Qaeda. Organisasi ini sendiri dibentuk oleh para petempur yang umumnya berasal dari negara-negara Arab untuk memerangi Tentara Merah Uni Soviet di Afghanistan. Pada masa itu, Al Qaeda memperoleh dukungan dari dinas-dinas intelijen Pakistan, Amerika Serikat, dan Inggris, serta beberapa negara Arab terutama Arab Saudi. Dengan berbekal dukungan itu, Al Qaeda bersama kelompok Taliban menentang pemerintahan Mujahidin di Afghanistan. Pemerintah Mujahidin di Kabul digulingkan dan Taliban berhasil menguasai 90 persen dari wilayah Afghanistan.

Taliban dan Al Qaeda di Afghanistan mengatur roda pemerintahan seperti era Abad Pertengahan dengan mengadopsi pemikiran yang kaku dan ekstrim atas nama Islam. Kedua kelompok ini mendapat dukungan penuh dari AS, Barat, Pakistan, dan Arab Saudiselama masih menjalankan kebijakan-kebijakan mereka.Taliban dan Al Qaeda bahkan diizinkan untuk membuka beberapa kantor cabang di negara-negara tersebut. Akan tetapi, semua berubah setelah peristiwa 11 September 2001 di AS. Taliban dan Al Qaeda yang menganut ideologi Wahabisme Saudi, secara mendadak berubah menjadi organisasi terorisme terbesar yang mengancam keamanan global.

Kubu Neo-Konservatifyang berkuasa di Gedung Putih melancarkan serangan ke Afghanistan dan kemudian ke Irak dengan alasan memerangi terorisme. Akan tetapi, kampanye militer AS selain tidak mengurangi aktivitas kelompok teroris, tapi malah memperbesar potensi ancaman terorisme. Ribuan warga sipil di Afghanistan dan Irak menjadi korban terorisme dan ancaman teror masih terus membayangi mereka. Rakyat Afghanistan dan Irak dari satu sisi menjadi sasaran brutalisme tentara Amerika dan dari sisi lain, mereka menjadi target serangan kelompok-kelompok teroris serta Taliban dan Al Qaeda.

Pada dasarnya, intervensi militer AS di Afghanistan dan Irak selama 13 tahun lalu telah mendorong penguatan basis-basis gerakan ekstrimisme dan terorisme.Kelompok ISIS lahir di tengah meningkatnya ketegangan, krisis, dan instabilitas di Irak. Pembubaran militer Irak oleh AS setelah menduduki negara itu dan upaya untuk mengobarkan konflik sektarian dan etnis, telah membuka peluang bagi terbentuknya embrio kelompok-kelompok ekstrim di Irak.

Terdapat dua pandangan mengenai esensi kelompok teroris ISIS. Golongan pertama menilaipembentukan kelompok takfiri dan terorisme dipicu oleh perpercahan etnis dan sektarian serta ketidakefektifan pemerintah pusat Irak di Baghdad.Sementara golongan kedua percaya bahwa kelompok ISIS diciptakan oleh dinas-dinas keamanan AS melalui bantuan sekutunya di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Turki. Sejarah kemunculan ISIS menyebutkan bahwa kedua faktor tersebut berperan dalam proses kelahiran kelompok itu.

Sebenarnya, AS dan sekutu regionalnya telah memanfaatkan perpecahan etnis dan sektarian di Irak untuk memperluaspertumpahan darah di Negeri Kisah 1001 Malam itu dan membentuk kelompok-kelompok takfiri dan terorisme di Irak dan Suriah.

Kelompok “Jamaat al-Tawhid wal-Jihad” pimpinan Abu Musab al-Zarqawi mengumumkan kemunculannya pasca pendudukan Irak oleh militer AS. Zarqawi telah berbaiat kepada Osama bin Laden dan menyatakan kelompok Jamaat al-Tawhid wal-Jihad sebagai cabang Al Qaeda di Irak. Pada tahun 2006, Zarqawi dalam sebuah rekaman video mengabarkan pembentukan Syura Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Abdullah al-Rashid al-Baghdadi.Di akhir 2006, kelompok “Daulah Islam Irak” juga dibentuk di bawah pimpinan Abu Omar al-Baghdadi. Pada tahun 2010, Abu Omar al-Baghdadi dan Abu Hamza al-Muhajirtewas dalam operasi gabungan pasukan Irak dan AS.

Setelah Omar al-Baghdadi tewas, Abu Bakr al-Baghdadi ditunjuk untuk memimpin Daulah Islam Irak. Dia kemudian memperluas operasi teror dan melakukan serangan terorganisir. Bersamaan dengan pecahnya krisis di Suriah, anasir-anasir kelompok Daulah Islam Irak mulai melebarkan zona operasinya sampai ke Suriah. Pada akhir 2011 dan bersamaan dengan dimulainya krisis Suriah,Jabhat al Nusrah li Ahli Syam (Front al-Nusra) didirikan sebagai cabang Daulah Islam Irak dan dengan cepat berubah menjadi salah satu kelompok berpengaruh di medan tempur Suriah.

Pada 2013,Abu Bakr al-Baghdadidalam sebuah pesan suara mengumumkan penggabungan Front al-Nusra ke dalam kelompok Daulah Islam Irak. Dengan begitu,kelompok Negara Islam Irak dan Suriah resmi berdiri dan lebih dikenal dengan sebutan ISIS atau Daesh.

Seiring perjalanan waktu, muncul perbedaan pandangan antara Abu Bakr al-Baghdadi dan Ayman al Zawahiri.Baghdadi kemudian mengumumkan bahwa ISIS bukan lagi bagian dari Al Qaeda. Pertempuran antara pasukan ISIS dan Front al-Nusra berkobar di Suriah dan ratusan orang dari anggota kedua kelompok tersebut tewas dalam perang.Oleh sebab itu, ISIS memindahkan fokus operasinya dari Irak ke Suriah dan kemudian kembali ke Irak setelah gagal dalam pertempuran dengan pasukan Presiden Bashar al-Assad.

Kelompok ISIS dengan mudah menduduki Kota Mosul dan beberapa wilayah lain di Irak. Mereka memanfaatkan isu perpecahan etnis dan sektarian serta pengaruh anasir Partai Baath di tubuh militer dan lembaga keamanan Irak. Pasukan ISIS merupakan gabungan dari anggota Partai Baath dan kelompok Sunni yang terpengaruh oleh propaganda ISIS.Pasca invasi Irak pada 2003, penguasa sementara Baghdad, Paul Bremer mengeluarkan sebuah perintah untuk membubarkan militer Irak karena ia khawatir akan dikudeta oleh sisa-sisa Partai Baath.

Militer Irak menguasai banyak sektor strategis di era rezim Saddam Hussein dan setelah dibubarkan,mayoritas pejabat tinggi militer menjadi pengangguran. Diperkirakan hampir 110-160 ribu tentara Saddam sekarang berada di tiga provinsi Irak yang dikuasai ISIS.Ketiga wilayah itu adalah Provinsi al-Anbar dengan Ibukota Fallujah, Provinsi Nainawa dengan Ibukota Tikrit, dan Provinsi Salaheddin dengan Ibukota Mosul.

Tentu saja, tidak semua mantan pasukan Saddam bergabung dengan kelompok ISIS. Namunwilayah tersebut siap untuk merekrut anggota baru ISIS. Ketidakpuasan masyarakat Sunni, kehadiran sisa-sisa Partai Baath, dan kemunculan kelompok radikal Suriah, telah membentuk kekuatan utama pasukan ISIS. Kelompok ISIS dalam waktu singkat dan dengan 1.500 kekuatan berhasil menduduki Mosul pada Juni 2014 dan kemudian dengan cepat menguasai kota-kota lain di Irak.

Perkembangan itu terjadi karena adanya pengkhianatan di tubuh militer dan lembaga keamanan Irak, kekecewaan masyarakat Sunni yang merasa dipinggirkan dari kancah politik dan ekonomi negara itu, dan perselisihan di tengah gerakan-gerakan politik Syiah di Irak. Pendudukan wilayah yang luas khususnya sumber-sumber minyak Irak, telah membantu kelompok ISIS untuk memiliki pundi-pundi pendanaan independen.

ISIS memperoleh pendapatan besar dari hasil penjualan minyak di Provinsi Raqqa, Suriah dan beberapa provinsi di wilayah utara Irak. Dana ISIS juga bersumber dari hasil penjarahan kas keuangan pemerintah Irak dan Suriah serta perampasan masyarakat. ISIS juga mengumpulkan dana dari pemungutan pajak dari pedagang dan mafia-mafia lokal yang terlibat jaringan penyelundupan. Dana besar tersebut membantu ISIS untuk membeli senjata baru dan modern di pasar gelap.

Menurut laporan sejumlah media, pendapatan ISIS dari penjualan minyak Irak dan Suriah sebelum serangan koalisi internasional terhadap posisi mereka, mencapai 800 juta dolar per tahun atau sekitar 2 juta dolar per hari. Para pakar minyak mengatakan, “ISIS menguasai tujuh sumur minyak dan dua kilang minyak di utara Irak, serta enam sumur dari 10 sumur minyak Suriah, khususnya di Provinsi Deir ez-Zor.”ISIS menjual minyak jarahannya dengan harga rendah untuk menarik para pembeli. Dilaporkan bahwa harga minyak ISIS di pasar gelap separuh dari harga minyak di pasar dunia. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (6)

Sebagian anasir ISIS adalah para warga Sunni yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah pusat Irak dan juga eks- militer rezim Baaths yang telah dibubarkan pasca pendudukan negara itu oleh Amerika Serikat pada 2003. Al-Qaeda dan kemudian ISIS memanfaatkan secara maksimal jurang etnis, mazhab, politik dan ekonomi di antara warga Irak yang tidak puas, untuk menjadi anggota mereka. Dalam hal ini, peran pemerintah Arab Saudi, Turki dan Uni Emirat Arab tidak boleh diabaikan dalam mengiringi politik AS di Timur Tengah. Mereka menilai terbentuknya pemerintah pusat yang kokoh dan demokratis berdasarkan suara rakyat di Irak, bertentangan dengan kepentingan mereka.

Oleh karena itu, Arab Saudi, Turki dan UEA berusaha membesar-besarkan perselisihan etnis, mazhab dan politik di Irak untuk mencegah pembentukan pemerintahan tersebut di Baghdad. Pengokohan kelompok-kelompok teroris dan Takfiri di Irak juga mengacu pada tujuan yang sama. Sejak deklarasi eksistensi kelompok teroris Takfiri ISIS hingga kini ribuan pemuda dari berbagai negara telah bergabung dengan kelompok itu di Suriah dan Irak dengan alasan jihad.

Pertanyaannya adalah alasan apa yang membuat seorang warga biasa dapat bergabung dalam barisan kelompok teroris Takfiri bersenjata seperti ISIS atau kelompok-kelompok lain yang aktif di Suriah seperti Front al-Nusra?  Motivasi mereka yang datang dari berbagai belahan dunia khususnya dari negara-negra Arab untuk bergabung dengan ISIS adalah motivasi sektarian. Mereka yang terpengaruh oleh pemikiran Wahabi, memiliki potensi besar untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris Takfiri.

Sekolah dan madrasah Wahabi mendidik anak dan remaja dengan ajaran yang tidak sesuai dengan pinsip dan nilai-nilai luhur Islam yang membangun manusia dan bersemangat keadilan. Apa yang diajarkan dalam sekolah-sekolah itu pada hakikatnya adalah pemupukan benih kebencian dan dendam kepada para pengikut mazhab Islam lainnya. Mengingat mazhab-mazhab Islam lain, menentang pemikiran anti-Islam Wahabisme.

Pihak-pihak Wahabi dengan menggunakan “dolar petrol” Arab Saudi, berpropaganda secara luas di berbagai negara Islam dan juga di masyarakat Barat di mana kaum Muslim sebagai mayoritas, untuk menarik perhatian mereka. Dengan membangun sekolah-sekolah serta pusat kegiatan keagamaan, mereka berusaha mengumpulkan kekuatan para pemuda. Pemikiran terbelakang Wahabi umumnya diterima oleh kelompok masyarakat yang miskin dan tidak puas atas kondisi yang ada.

Setelah upaya Barat menyulut krisis di Suriah memuncaknya, para mufti Wahabi Arab Saudi mengeluarkan berbagai fatwa yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam dan menimbulkan penistaan terhadap agama samawi ini. Termasuk di antara fatwa tersebut adalah “jihad nikah.” Dalam Islam para mufti harus mengeluarkan fatwa sesuai pedoman al-Quran dan sirah Rasulullah Saw. Salah satu perbedaan antara Ahlussunnah dan Syiah adalah terkait sumber-sumber fiqih.

Kaum Syiah selain al-Quran dan sirah Rasulullah Saw, juga meyakini akal dan ijma’ sebagai sumber fiqih. Akan tetapi para mufti Wahabi Arab Saudi yang mengklaim sebagai pengikut sirah dan sunnah Rasulullah Saw, terkadang merilis fatwa yang bukan hanya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah Nabi, melainkan tidak masuk akal. “Jihad nikah” adalah dosa besar dalam Islam dan menurut Ayatullah Makarem Shirazi, seorang marji’ taqlid Syiah, itu sama dengan “jihad prostitusi”. Pada hakikatnya jihad nikah adalah perbudakan seks dengan menyematkan label syariat.

Sekelompok perempuan dari berbagai negara bahkan dari Eropa dikirim ke Suriah setelah temakan tipuan fatwa para mufti Wahabi. Banyak di antara mereka setibanya di Suriah dan Irak berhadapan dengan fakta-fakta mengerikan. Mereka menyadari bahwa Islam telah menjadi mainan di tangan sekelompok manusia fasid dan jahat untuk melampiaskan keinginan setan mereka. Jihad nikah adalah justifikasi alasan bagi kelompok-kelompok yang melakukan kebejatan tersebut.

Puluhan ribu orang dari berbagai negara bergabung dengan ISIS dapat dibagi dalam berbagai kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang tertipu ISIS dan beranggapan bahwa kelompok itu berjuang demi menegakkan sunnah Rasulullah Saw. Banyak di antara mereka yang tetap beranggapan seperti itu dan melanjutkan berbagai kejahatan anti-kemanusiaan mereka. Adapun mereka yang menyadari eksistensi ISIS dan ingin pulang ke rumah, kepala mereka dipenggal atau dieksekusi. Ada pula yang berhasil melarikan diri. Mereka itulah yang kemudian membeberkan borok dan kebejatan ISIS. Sekiranya tiada ada satu pekan berlalu tanpa berita pemenggalan kepala korban ISIS.

Kelompok lainnya yang jumlah mereka tidak sedikit, adalah para kriminal dan penjahat yang terkenal di negara mereka dan telah menghabiskan usia mereka di balik jeruji besi atas kejahatan mereka. Kelompok ini bergabung dengan ISIS demi uang.  Jurnal The Economist dalam sebuah artikelnya menyinggung motivasi warga Barat untuk bergabung dengan ISIS dan berperang di Suriah dan menyatakan, “Tidak ada yang tahu, mungkin orang-orang Barat yang bergabung dengan ISIS adalah para pembunuh yang sebelumnya berjalan-jalan di Perancis, Inggris dan Amerika Serikat.”

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya bulan November tahun lalu menyebutkan bahwa jumlah warga asing  yang bergabung dengan ISIS mencapai 15 ribu orang. Turki menjadi gerbang utama mereka untuk bergabung dengan kelompok teroris Takfiri itu.  Disebutkan bahwa sebanyak 4.000 warga Turki bergabung dengan ISIS. Politik konfrontatif pemerintah Turki terhadap Suriah berpengaruh penting dalam hal ini.

Sebuah kelompok atau lembaga memerlukan kesatuan keyakinan atau kriteria kolektif untuk menjamin kelanjutan esksistensi mereka, namun hal itu tidak ditemukan dalam ISIS, mengingat kelompok ini tidak memiliki keselarasan keyakinan dan ideologi di antara para anggotanya. Mereka dengan pemikiran menyimpang dan pemahaman keliru dari Islam, mereka berusaha memperkenalkan diri sebagai Muslim sejati. Akan tetapi aksi-aksi mereka bahkan bertentangan dengan keyakinan keliru, fanatik dan buta mereka sendiri.

Sebagian besar anasir ISIS, khususnya para anggota senior, kehidupan mereka dipenuhi dengan kejahatan, kezaliman dan kemaksiatan. Di wilayah mana pun mereka tinggal, identitas mereka telah diketahui oleh warga setempat dan oleh karena itu mereka telah mengundang kemarahan dan penentangan warga lokal yang pada akhirnya bergabung dengan militer.

Akan tetapi salah satu alasan di balik berlanjutnya eksistensi kelompok teroris ini dan bahkan dapat merekrut anasir baru, adalah dana dan uang yang didapatkan dengan merampas kekayaan publik dan juga penjualan minyak secara ilegal di pasar gelap. Perlu diketahui bahwa para gembong ISIS memberikan uang bayaran lebih besar kepada anggotanya yang datang dari negara-negara Barat.

Namun sekarang menyusul berbagai keberhasilan militer dan pasukan relawan, kelompok ISIS sekarang dalam posisi pasif dan defensif. Mereka juga sedang kehilangan berbagai wilayah yang sebelumnya  mereka kuasai. Ini berarti berkurangnya sumber dana dan semakin lemahnya mentalitas para anggotanya. Aksi pembantaian korban dengan berbagai macam cara sadis juga menunjukkan betapa ISIS kebingungan bagaimana harus mengendalikan kekuatannya yang sedang terurai dan melemah.(IRIB Indonesia)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (7)

Sebelumnya kita sudah berbicara tentang komponen pembentuk ISIS serta peran negara-negara Barat dan sekutu regional mereka dalam menciptakan kelompok itu. Namun untuk melihat lebih jauh tentangperan mereka dalam membentuk dan mempersenjatai ISIS untuk mengacaukan Irak dan Suriah, kita akan mengkaji mengenai sumber-sumber finansial, persenjataan, dan pelatihan pasukan ISIS. Kajian ini akan menyingkap peran negara-negara Barat – sebagai pihak yang mengaku memerangi terorisme –dalam membentuk dan mempersenjatai organisasi terorisme terbesar di dunia ini.

Tanpa sebuah jaringan yang kuat untuk menjamin pendanaan, persenjataan, dan pelatihan para petempur yang datang dari berbagai penjuru dunia, tentu saja mustahil bagi ISIS untuk bisa menguasai banyak daerah di Suriah dan Irak dalam waktu singkat. Pundi-pundi keuangan militan ISIS umumnya dijamin oleh para pangeran Arab Saudi yang disalurkan melalui Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Sebagian dari dana itu ditransfer melalui bank-bank di Barat untuk memenuhi kebutuhan senjata dan logistik yang diperlukan oleh pasukan ISIS.

Profesor Guenter Meyer, Direktur Pusat Riset Dunia Arab (CERAW) di Universitas Mainz Jerman, percaya bahwa negara-negara Arab di Teluk Persia terutama Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab merupakan sumber utama pendanaan kelompok ISIS.Berkenaan dengan dukungan finansial Saudi untuk kelompok ISIS, Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat(WINEP) dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Lori Plotkin Boghardt menyebutkan, “Demi memastikan sampainya bantuan finansial ke tangan kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Suriah, pemain asingmeminta para penyumbang dana di Saudiuntuk memindahkan bantuan ke Kuwait, karena Kuwait merupakan salah satu negara Arab yang paling bisa dipercaya di Teluk Persia untuk menyampaikan bantuan itu kepada teroris.”

Menurut tulisan di situs WINEP, kelompok ISIS selain menikmati sokongan dana dari Arab Saudi, juga memiliki sumber pendanaan independenyang diperoleh dari hasil penjualan minyak, senjata, peninggalan sejarah, uang tebusan, dan aksi pencurian. Turki tentu saja memainkan peran dominan dalam kasus penyelundupan minyak dan penyaluran dolar hasil penjualan minyak itu kepada ISIS. Oleh karena itu, salah satu cara untuk melawan militan ISIS adalah memutus sumber-sumber finansial kelompok tersebut.

Namun sayangnya, koalisi Barat pimpinan Amerika Serikat untuk memerangi ISIS tidak memperhatikan masalah pemutusan sumber-sumber dana teroris. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki tekad yang serius untuk menumpas ISIS dan pembentukan koalisi internasional anti-ISIS hanya untuk mengelabui opini publik.

Kajian mengenai sumber-sumber persenjataan ISIS semakin memperjelas tentang sejauh mana peran Barat dan sekutu mereka di Timur Tengah seperti, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Turki dalam mengandung dan melahirkan kelompok ISIS.Dalam sejumlah operasi yang dilakukan oleh militer dan pasukan sukarelawan Irak dan Suriah untuk membebaskan daerah-daerah yang dikuasai ISIS, berbagai jenis senjata ditemukan di markas ISIS mulai dari senjata buatan Cina, Rusia sampai senjata bikinan Amerika Serikat, Israel, dan beberapa negara Eropa.

Sebagian besar senjata buatan Rusia dan Cina diperoleh oleh militan ISIS setelah menguasai wilayah tertentu di Suriah atau Irak. Mereka menjarah senjata-senjata tersebut di gudang logistik militer. Namun, senjata-senjata Barat milik ISIS merupakan pemberian pemerintah Barat baik itu disalurkan secara langsung atau melalui perantara kepada kelompok teroris tersebut.

Majalah Foreign Policy milik Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada Oktober 2014, mempublikasikan sebuah artikel yang ditulis oleh Jeffrey Smith, tentang sumber-sumber persenjataan ISIS. Jeffrey Smithdalam artikel berjudul “Where Does the Islamic State Get Its Weapons?” menulis, “Kebanyakan senjata yang dipakai oleh kelompok ISIS di Irak dan Suriahdatang dari Amerika Serikat.” Laporan itu menambahkan,“Sebuah grup independen pemantau senjata telah mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa militan ISIS menggunakan senjata dan amunisi yang diproduksi di 21 negara termasuk AS.”

Beberapa laporan intelijen menulis bahwa pendapatan ISIS dari penjualan minyak dan sumber-sumber lain terbilang tinggi sehingga mereka mampu membeli senjata dari perusahaan-perusahaan dan para broker, yang diuntungkan oleh perang di Timur Tengah. Dalam sebuah kajian lain, grup peneliti senjata militer yang bermarkas di London menerjunkan para pakarnya ke medan tempur untuk mengidentifikasi jenis dan sumber senjata dan kemudian mereka menyusun sebuah laporan berdasarkan temuan di lapangan.

Dalam laporannya, kelompok itu menguak fakta tentang sumber lebih dari 1.700 peluru dan amunisi yang dipakai dalam perang antara pasukan Kurdi dan ISIS di Irak Utara dan Suriah selama bulan Januari dan Agustus 2014. Menurut mereka, “AS juga merupakan salah satu pemasok utama senjata untuk ISIS. Sekitar 323 peluru dan amunisi adalah milik AS.”Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga pernah mengeluarkan laporan mengenai sumber-sumber senjata ISIS dan menemukan fakta bahwa gudang-gudang logistik ISIS telah penuh dengan berbagai jenis senjata ringan dan berat keluaran negara-negara dunia. Laporan itu juga menyinggung tentang ukuran dan luas gudang senjata yang dimiliki ISIS.

Para pakar PBB  percaya bahwa ISIS merupakan salah satu kelompok yang paling aktif bermanuver dan memperluas wilayah operasinya. Hal ini ditandai dengan keberadaan gudang-gudang senjata mereka yang tersebar luas di berbagai daerah. Berdasarkan penyelidikan PBB, gudang senjata ISIS menyimpan tank T-55 dan T-72, mobil Hummer yang bisa membawa rudal dari darat ke udara buatan AS, artileri anti-udara, bazooka, dan jenis-jenis lain.

Mayoritas pasukan ISIS merupakan para petempur yang sudah punya pengalaman perang di Libya dan beberapa negara lain yang dilanda krisis di Timur Tengah. Akan tetapi, pendatang baru dari Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia yang bergabung dengan ISIS, tidak memiliki pengalaman seperti itu dan mereka harus mengikuti pelatihan untuk mengeporasikan senjata-senjata modern. Berkenaan dengan pelatihan para pendatang baru itu, AS dan sekutunya di Eropa serta Timur Tengah memainkan peran penting dalam memperkuat posisi kelompok ISIS.

Pada tahun 2014, sejumlah perwira militer Turki ditangkap di sekitar Mosul, Irak. Mereka mengaku bahwa anasir-anasir teroris sedang menjalani latihan untuk melakukan operasi di Irak dan pelatihan mereka berada di bawah pengawasan para perwira Turki di Pangkalan Udara Incirlik. Pangkalan ini merupakan salah satu basis militer terbesar Amerika di luar negeri.Washington menyimpan sekitar 90 buah bom atom di pangkalan tersebut. Militan ISIS menerima pelatihan di pangkalan yang sangat strategis dan penting ini.

Kota Gaziantep juga merupakan salah satu lokasi lain untuk pelatihan pasukan ISIS di wilayah Turki. Koran al-Sabah Irak mengutip sumber-sumber terpercaya menulis, “Abu Bakr al-Baghdadi dan Shakir Wahib paling sedikit pernah menjalani pelatihan militer di kota itu selama dua tahun. Mereka juga beberapa kali melakukan perjalanan ke Israel dengan menggunakan maskapai EL AL Israeldan mengadakan pertemuan dengan para pejabat keamanan rezim Zionis.”

Sejumlah laporan juga menyingkap tentang peran dominan Mossad dan militer Israel dalam melatih pasukan ISIS. Meski pelatihan itu dilakukan sebagai dukungan untuk Tentara Bebas Suriah (FSA),namun faktanya menunjukkan langkah itu hanya kedok untuk menutupi misi memperkuat ISIS. SitusDEBKAfile dalam laporannya menulis bahwa kelompok bersenjata (Yarmuk), salah satu brigade FSA akhirnya bergabung dengan ISIS setelah dilatih Mossad di Yordania dan mendapat dukungan dari AS.

DEBKAfile mengutip unit kontraterorisme militer Israel mengabarkan bahwa militer rezim Zionis juga memberikan senjata kepada kelompok militan tersebut untuk berperang melawan pasukan Suriah. Lalu, bagaimana kelompok yang didukung oleh musuh-musuh kaum Muslim bisa mengklaim dirinya sedang menghidupkan Islam?Jelas bahwa ISIS mengejar beberapa tujuanyang sesuai dengan arahan Israel dan AS. Mereka ingin mencoreng citra agama Islam dan memusnahkan poros muqawama yang menentang eksistensi rezim Zionis. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (8)

Pada seri sebelumnya, kita sudah berbicara tentang sumber-sumber finansial, senjata, serta peran negara-negara Barat dan sekutu mereka diTimur Tengah dalam melatih pasukan ISIS.Tanpa dukungan Barat dan kontribusi langsung pemerintah Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab dalam mengacaukan Suriah dan Irak, kelompok ISISmustahil dapat menjadi organisasi terorisme terbesar dan terkuat di dunia. Saat ini, keberlangsungan hidup kelompok ISIS juga bergantung pada dukungan mereka.

 

 

Pada pertengahan 2014, semua pandangan tertuju ke arah transformasi yang terjadi di Irak. Pasukan ISIS dalam waktu singkat mampu menduduki Mosul, kota dengan populasi terpadat kedua di Irak dan pusat Provinsi Nainawa.Pemerintah Irak mengeluarkan alarm tanda peringatan menyusulgerak maju pasukan ISIS dan kejahatan yang mereka lakukan di daerah kekuasaannya. Kelompok ISIS bahkan pernah bergerak maju sampai ke gerbang Kota Baghdad.

 

Para analis melontarkan sejumlah alasan di balik kemajuan cepat yang diraih ISIS di Irak, termasuk pendudukan beberapa daerah oleh kelompok ini. Kota Mosul yang memiliki salah satu pangkalan terbesar militer Irak dengan mudah jatuh ke tangan ISIS. Salah satu faktor tumbangnya Mosul karena adanya persekongkolan beberapa pejabat daerah dan para panglima militer dengan kelompok ISIS. Selama bertahun-tahun berkuasa di Irak, Saddam Hussein telah membentuk sebuah kekuatan militer, di mana posisi-posisi kunci diserahkan kepada para pejabat Partai Baath.

 

Organisasi baru militer dibentuk di Irak setelah pendudukan negara itu oleh AS dan pembubaran militer era Saddam. Akan tetapi, pasukan Amerika tidak mengizinkan anggota kelompok-kelompok milisi penentang Saddamseperti Sepah Badr, untuk bergabung dengan militer baru Irak dengan alasan kedekatan mereka dengan Republik Islam Iran. Pasukan Amerika justru menekan pemerintah Baghdad untuk memanggil kembali para perwira militer Saddam untuk mengatur organisasi baru militer Irak. Pada akhirnya, para loyalis Saddam kembali menduduki posisi-posisi penting di militer baru Irak.

 

Pada dasarnya, para perwira Partai Baath tidak meyakini sistem pemerintahan baru Irak.Mereka juga memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri. Fenomena korupsi di tengah para pejabat tinggi militer sudah cukup parah sehingga membuat mereka tidak berdaya dalam melawan kelompok ISIS. Anak buah mereka juga tidak punya semangat untuk terlibat perang setelah menyaksikan kebobrokan moral para pemimpinnya. Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap motivasi politik anasir Partai Baath yang merasuki tubuh militer baru Irak dengan tujuan menggulingkan pemerintah dan juga menyerahkan Mosul ke tangan ISIS.

 

Tentu saja, itu bukan satu-satunya faktor yang membuat militan ISIS mampu bermanuver di akhir pertengahan 2014. Faktor lain kemajuan ISIS di Irak adalah karena dukungan finansial dan persenjataan yang diberikan Barat, Turki, Arab Saudi, Qatar, dan beberapa negara regional lainnya kepada pasukan ISIS yang beroperasi di Suriah. Dari satu sisi, pemerintah Damaskus kehilangan kontrol atas wilayah perbatasan bersama Irak-Suriah karena militer Suriah sedang terlibat perang dengan kelompok-kelompok bersenjata di negara itu. Di sisi lain, tentara Irak juga tidak mampu mengontrol garis perbatasan yang begitu panjang.

 

Di tengah kekacauan itu, aktivitas penyelundupan senjata dan amunisi dari Suriah ke Irak meningkat tajam. Berbagai jenis senjata pemberian Barat kepada kelompok yang disebut oposisi moderat Suriah, mengalir deras ke Irak dan kelompok ISIS menggunakan senjata tersebut untuk melawan tentara Irak. Setelah menguasai Mosul dan menjarah gudang-gudang senjata, militan ISIS dengan cepat bergerak ke daerah-daerah lain di Irak. Keikutsertaan suku-suku Irak di barisan pasukan ISIS juga ikut membantugerak cepat teroris Takfiri tersebut.

 

Kekuatan ISIS tidak hanya terpusat di medan perang, tapi mereka juga melancarkan propaganda media dengan dukungan beberapa jaringan berita dan media Arab. Tersiarnya berita seputar kejahatan-kejahatan ISIS di wilayahkekuasaan mereka telah menciptakan ketakutan di daerah-daerah yang terancam diserang ISIS. Masyarakat di wilayah itu memilih eksodus dan mencari tempat perlindungan untuk menghindari serangan ISIS.Beberapa daerah juga mengobarkan perlawanan terhadap ISIS seperti Kota Amerli.

 

Masyarakat Amerli telah melakukan perlawanan hampir tiga bulan terhadap teroris ISIS. Pada akhirnya setelah datang bala bantuan, pasukan ISIS terpaksa mundur dari kota tersebut. Marja’ Besar Syiah Ayatullah Sayid Ali Sistani mengeluarkan fatwa jihad kifai setelah pemerintah Irak membunyikan peringatan tanda bahaya. Fatwa ini mendorong ratusan ribu warga Irak dari Syiah dan Sunni membentuk pasukan relawan untuk memerangi teroris ISIS.

 

Di kancah internasional, pemerintah AS mencoba untuk membentuk sebuah koalisi internasional anti-ISIS. Selain Turki, semua negara yang selama ini membantu kelompok ISIS di Suriah, bergabung dalam koalisi pimpinan Amerika. Mereka sudah tidak punya jalan lain, karena kejahatan yang dilakukan ISIS telah menciptakan api kebencian di seluruh dunia. Negara-negara regional dan Barat juga mengkhawatirkan serangan ISIS ke wilayah mereka sehingga harus segera mendeklarasikan perang anti-ISIS.

 

Akan tetapi, AS dan sekutunya sama-sama tidak memiliki tekad serius untuk menumpas ISIS. Mereka meluncurkan kampanye udara untuk menghancurkan pusat-pusat konsentrasi dan gudang senjata ISIS. Namun, serangan-serangan itu sama sekali tidak memberi pukulan serius bagi teroris. Sebaliknya, kampanye udara koalisi justru telah menghancurkan sarana infrastruktur ekonomi dan industri Suriah dan Irak. Pasukan ISIS juga mulai belajar untuk menghindari serangan udara koalisi.

 

Sebenarnya, serangan udara koalisi internasional anti-ISIS telah menjadi alat AS dan sekutunya untuk meraup keuntungan politik, melakukan pencitraan, dan menipu opini publik dunia. Jika Barat benar-benar ingin menghancurkan kelompok ISIS,cukup bagi mereka memaksa Turki untuk bergabung dalamkoalisi. Perbatasan Turki merupakan gerbang terbesar dan terpenting untuk menyalurkan bantuan kepada ISIS dan pintu perlintasan orang-orang dari berbagai belahan dunia untuk bergabung dengan kelompok itu.

 

Kota Kobani di Suriah hanya berjarak dua kilometer dari perbatasan Turki dan kota ini merupakan salah satu simbol perlawanan anti-ISIS. Meski Kobani menghadapi serangan besar-besaran oleh pasukan ISISdan warga Kurdi di sana berada dalam ancaman serius, tapi militer Turki hanya memamerkan tank-tanknya di garis perbatasan dan duduk menyaksikan pembantaian massal warga Kobani.Meski demikian, rakyat Irak dan Suriah tentu saja tidak sendirian dalam memerangi ISIS. Republik Islam Iran dalam beberapa tahun terakhir memainkan peran besar dalam membantu pemerintah dan rakyat Irak dan Suriah untuk menumpas teroris Takfiri. Para pejabat Baghdad dan Damaskus berkali-kali mengakui hal itu.

 

Presiden Irak Fuad Masum termasuk tokoh yang mengakui kontribusi besar Iran dalam memerangi ISIS. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan, “Iran telah memberikan banyak bantuan kemanusiaan dan militer kepada kami sejak hari pertama munculnya ISIS dan serangan kelompok itu ke Mosul.” Kantor berita Associated Press dalam sebuah analisanya menulis, “Dalam pandangan mayoritas warga Irak,sekutu terbaik negara mereka dalam perang melawan ISIS adalah bukan Amerika Serikat atau koalisi internasional, tapi Iran di mana negara itu telah menghalau serangan militan ke Baghdad.”

 

Duta Besar Amerika di Irak, Stuart E. Jones dalam wawancara dengan Associated Press, juga mengakui bahwa Iran memiliki peran penting dalam memerangi teroris ISIS. Komentar-komentar tersebut membuktikan bahwa Republik Islam Iran memainkan peran utama di Timur Tengah dalam perang kontra-terorisme, terutama kelompok ISIS. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (9)

Pemerintah dan rakyat Irak serta negara-negara lain di Timur Tengah tercengang ataskemajuan cepat yang dicapai kelompok ISIS dan kejahatan keji yang mereka lakukan di sejumlah daerah. Namun, orang-orang yang mengikuti perkembangan Timur Tengah dari dekat,tidak terkejut dengan manuver-manuver ISIS pada pertengahan 2014, mengingat kelompok itu mendapatdukungan besar dari negara-negara Barat dan regional. ISIS melalui dukungan penuh dan langsung mereka telah menciptakan krisis di Suriah dan Irak. Dukungan itu juga membuat ISIS menjadi kelompok teroris terbesar di dunia.

Negara-negara Barat dengan alasan membantu terciptanya kebebasan di Suriah, memberikan segala bentuk bantuan kepada kelompok-kelompok teroris Takfiri, terutama ISIS. Pemerintah Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab tentu saja memainkan peran signifikan dalam kegiatan ini. Kelompok-kelompok teroris itu memperluas kegiatan operasinya di Irak setelah gagal mencapai tujuannya di Suriah. Kelemahan pemerintah Baghdad dan pengaruh luas para loyalis Saddam di tubuh militer Irak serta pengkhianatan mereka, merupakan faktor utama yang mempercepat kemajuan ISIS di Negeri Kisah 1001 Malam itu.

Kekejaman yang dipertontonkan ISIS dan kebencian publik internasional terhadap kelompok itu, membuat negara-negara pendukung teroris berada pada posisi sulit.Mereka sekarang tidak bisa lagi menyatakan dukungan terang-terangan kepada ISIS dengan alasan membantu rakyat Suriah mencapai kebebasan dan demokrasi. Pada dasarnya, negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat hanya memanfaatkan kelompok-kelompok teroris seperti, ISIS sebagai instrumen untuk menjamin kepentingan ilegal mereka dan kelompok itu juga punya tanggal kadaluarsa.

Sebelum terjadinya transformasi tahun lalu di Irak dan kemajuan cepat yang dicapai ISIS, tanggal kadaluarsa kelompok teroris tampaknya belum tiba. Sebab, negara-negara Barat dan sekutu regional mereka belum berhasil mencapai tujuan-tujuannya di Suriah setelah empat tahun menciptakan kekacauan di negara itu. Akan tetapi, gerak cepat ISIS di Irak telah membuat kelompok teroris ini lepas dari kontrol para pendukungnya. Negara-negara pendukung kini tidak bisa lagi menutup mataatas kebencian publik dunia terhadap kejahatan luas ISIS di Suriah dan Irak selama beberapa tahun terakhir.

Pemenggalan beberapa sandera Barat juga membuat negara-negara pendukung ISIS frustasi. Oleh karena itu, pemerintah Barat dan sekutu mereka terpaksa mengubah permainan mereka di Timur Tengah.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidato peringatan peristiwa 11 September pada tahun 2014, berbicara tentang urgensitas memerangi ISIS. Dia mengatakan, “Kita akan memperlemah ISIS dan pada akhirnya menghancurkan mereka.” Obama melontarkan slogan memerangi ISIS pada saat strategi Amerika di Suriah tetap berpijak pada pemberian dukungan kepada kelompok-kelompok teroris untuk menumbangkan pemerintah Bashar al-Assad.

Mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates dalam satu pernyataan menyebut tujuan-tujuan Obama dalam perang melawan ISIS tidak akan tercapai. Dia mengatakan, “Dalam situasi seperti ini, tujuan Presiden Obama untuk menghancurkan ISIS terlalu ambisius. Pola penanganan pemerintahan Obama dalam memerangi ISIS dengan mengandalkan sebuah tim kecil, tidak realistis. Menurut Gates, diperlukan sejumlah instruktur dan pasukan komando Amerika untuk melemahkan atau menghancurkan ISIS.

Koran The Los Angeles Times juga menurunkan sebuah catatan tentang cara AS menangani kelompok ISIS. Harian ini menulis, “Pidato Presiden Obama untuk memerangi teroris ISIS merupakan sebuah kemunafikan.” Disebutkan pula bahwa sesumbar AS mengenai kemampuan militer negara itu dalam memerangi ISIS sebagai klaim palsu dan menipu.Menurut The Los Angeles Times, militerisme Amerika di berbagai belahan duniatermasuk di Timur Tengah dan wilayah Afrika telah memperparah krisis di kawasan. Menurutnya, kepemimpinan dalam memerangi ISIS seharusnya dipegang oleh negara-negara yang mengalami kerugian terbesar.

Komentar beberapa mantan pejabat dan pejabat Washington serta analisa beberapa media Amerika adalah bukti bahwa Negeri Paman Sam tidak memiliki tekad serius untuk menghancurkan ISIS. Komposisi negara anggota koalisi internasional anti-ISIS juga sarat dengan kepentingan politik dan pencitraan. Di benua Eropa, Perancis dan Inggris termasuk negara terdepan dan aktif dalam koalisi internasional anti-ISIS. Poin yang patut dicermati di sini adalah sejumlah besar anggota ISIS justru berasal dari negara-negara Eropa.

Sebelum serangan terorisme di Paris pada awal Januari 2015, kelompok ISIS dengan mudah merekrut anggota baru dari negara-negara Eropa melalui jejaring sosial. Anggota ISIS dari Eropa juga leluasa pergi ke Suriah dan Irak dan kemudian kembali ke negara asal mereka. Gerbang utama mereka untuk masuk ke Suriah dan Irak dan kemudian kembali ke Eropa adalah Turki. Kebanyakan dari mereka menerima pelatihan di kamp-kamp di Turki sebelum bergerak ke Suriah dan Irak.

Pengetatan keamanan di Eropa pasca serangan Paris merupakan sebuah keputusan yang tidak bisa dihindari oleh negara-negara Eropa untuk melawan ancaman teroris ISIS. Akan tetapi, pengambilan kebijakan itu tidak berarti secara serius ikut mengubah pendekatan mereka dalam memerangi ekstrimisme, kekerasan, dan terorisme di wilayah Timur Tengah.ISIS kini telah menjadi simbol terorisme dan ekstrimisme di Timur Tengah, sementara di Afrika ada Boko Haram. Padahal sebelum ini, Al Qaeda merupakan ikon terorisme dan ekstrimisme.

Jika negara-negara Eropa seperti, Perancis dan Jerman benar-benar ingin memerangi terorisme, mereka harus mengecam segala bentuk terorisme tanpa memperhatikan siapa yang jadi korban,agama, atau kebangsaan mereka.Karena selama tindakan-tindakan terorisme ISIS belum menelan korban dari warga negara Barat, maka kekejaman kelompok itu di Suriah dan Irak tidak layak dikecam. Mereka justru menganggap kekejaman itu sebagai harga untuk sebuah kebebasan dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Suriah. Barat bahkan memberi dukungan finansial dan senjata kepada kelompok tersebut. Ini adalah bentuk pembagian teroris baik dan buruk oleh negara-negara Barat.

Padahal, apa yang sedang terjadi di Suriah adalah benar-benar serangan terorisme. Akan tetapi, negara-negara Barat sejauh ini belum memperbaiki perilakunya dalam menyikapi pemerintah Damaskus. Barat tetap bersikeras bahwa mereka sedang mendukung “kelompok moderat”yang berperang melawan pemerintah Assad. Namun, bantuan-bantuan senjata Barat kepada “kelompok moderat” di Suriah jatuh ke tangan kelompok ISIS. Perilaku Barat ini semakin mempertegas bahwa pembentukan koalisi internasional anti-ISIS bertujuan mengejar kepentingan politik, pencitraan, dan mengelabui opini publik.

Kehadiran Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab serta beberapa negara Arab pendukung ISIS di tengah koalisi, juga telah mengundang keraguan tentang tujuan-tujuan pembentukan koalisi ini. Para mufti Saudi merupakan inspirator kelompok teroris ISIS. Kelompok ISIS menganggap kejahatan-kejahatannya sejalan dengan tuntunan syariatberdasarkan fatwa para mufti Wahabi Saudi.Tanpa dukungan finansial dan senjata dari beberapa pangeran Saudi, ISIS mustahil bisa menyandang predikat sebagai kelompok teroris terbesar di dunia.

Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahkan pernah mengeluarkan pengakuan yang layak dicermati. Biden dalam pidatonya di Universitas Harvard mengatakan, “Turki, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi telah menggelontorkan dana milyaran dolar dan puluhan ribu ton senjata kepada militan Sunni untuk mengalahkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.Mereka membantu dan menyambut warga asing yang ingin bergabung dan bertempur bersama Al Qaeda dan Front al-Nusra.”

Tidak hanya Biden yang menyerang sekutu-sekutu Barat di Timur Tengah, Jenderal Jonathan Shaw, mantan Panglima Pasukan Inggris di Irak mengatakan, “Arab Saudi dan Qatar memberikan bantuan finansial kepada teroris ISIS.” Koran Daily Telegraph juga menyingkap sebuah fakta tentang dukungan finansial Bank Sentral Qatar kepada kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Suriah dan Irak. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (10)

Sejumlah negara Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat membentuk koalisi internasional anti-ISIS.Sebuah koalisi yang sejak hari pertama lahir telah mengundang banyak keraguan mengenai kejujuran motivasi dan tekad serius mereka untuk memerangi teroris ISIS. Kelompok-kelompokTakfiri dan teroris seperti, Al Qaeda dan ISIS merupakan organisasi yang tumbuh berkembang dengan ideologi Wahabi.Sebuah ideologi yang sampai sekarang masih menjadi basis pemikiran dan referensi keluarga Al Saud di Arab Saudi.Al Saud dan Wahabisme menyatu padu dan keduanya mustahil dipisahkan.

Sekitar empat tahun lalu, negara-negara Barat dan Arab di bawah komando Amerika membentuk geng untuk menciptakan kekacauan di Suriah dan menggulingkan pemerintah Damaskus. Kelompok ISIS juga dikandung dan dilahirkan oleh geng tersebut, di mana Saudi dan Amerika menyediakan dukungan luas untuk membentuk ISIS di Irak dan menugaskan mereka untuk mengobarkan perang di Suriah sampai pemerintah Presiden Bashar al-Assad tumbang. Turki dan Saudi – sejalan dengan garis kebijakan Barat yang mengaku memerangi terorisme –tidak segan-segan untuk menyalurkan bantuan kepada kubu-kubu teroris di Suriah.

Kebijakan paraaktor intelektual ISISadalah menyebarkan kebuasan dan mempertontonkankejahatan. Kelompok ini sengaja menebarkan ketakutan untuk mempermudah aksi mereka memperluas wilayah kekuasaannya di Suriah dan Irak. Kebijakan ini telah menyingkap esensi kelompok teroris Takfiri kepada opini publik dunia, khususnya masyarakat di wilayah Timur Tengah.Seiring perjalanan waktu, Amerika dan sekutunya di Eropa dan Timur Tengah melihat sudah mustahil untuk memberi dukungan terang-terangan kepada ISIS dengan dalih “memperjuangkan kebebasan” rakyat Suriah.

Amerika dan sekutunya tidak punya jalan lain kecuali mengubah peran mereka dalam menyikapi anak kandungnya itu. Setelah Washington mengubah perannya, negara-negara sekutu tampaknya juga mengubahgaris haluan mereka. Namun, Turki menolak perubahan itu dan tidak bersedia bergabung dengan koalisi internasional anti-ISIS. Turki telah menjadi gerbang utama untuk memenuhi kebutuhan dana dan mengirim bantuan senjata kepada ISIS. Negara itu juga menjadi jalur lalu lintas bagi orang-orang yang ingin bergabung denganISIS di Suriah dan Irak.

Salah satu alasan keraguanserius tentang tujuan koalisi anti-ISIS adalah karena ketidakhadiranTurki di tengah koalisi.Sebagian orang mungkin saja bertanya seperti ini, bukankah koalisi internasional telah membombardir posisi-posisi ISIS hingga ratusan kali, dan ini membuktikan tekad mereka untuk menghancurkan ISIS. Namun perlu disampaikan bahwa ISIS dan kelompok-kelompok teroris lain sejauh ini masih berperang di Suriah dan Irak sebagai kaki tangan Saudi dan Turki. Riyadh dan Ankara ingin menjalankan agendanya di kawasan dengan biaya yang paling minim. Akan tetapi, perlawanan rakyat terhadap teroris di Suriah dan Irak telah menggagalkan misi Amerika dan sekutunya.

Kegagalan Amerikadan sekutunya dalam mewujudkan tujuan-tujuannya melalui tangan kelompok Takfiri, memaksa mereka untuk terlibat langsung di medan tempur, tapi kali ini mengusung slogan memerangi terorisme dan bukan mendukung kebebasan yang disuarakan rakyat Suriah.Dengan cara ini, koalisi internasional dapat menjustifikasi kehadiran militernya di Timur Tengah sekaligus meredam kemarahan publik di dalam negeri.

Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner dalam pidatonya di forum PBB pada September 2014, membongkar kontradiksi politik Amerika dan berbagai kebohongannya.Dia mengecam kebijakan Amerika yang penuh dengan kebencian, namun ditutupi dengan topeng perang melawan teroris.Cristina dengan lantang berkata, “Anda pernah mengeluarkan keputusan untuk memerangi Al Qaeda setelah peristiwa 11 September, Anda jajah banyak negara dan Anda membunuh ratusan ribu penduduknya atas nama perang melawan terorisme di Irak dan Afganistan yang sampai saat ini masih saja menjadi negara yang paling bermasalah dengan teroris.”

Cristina lebih lanjut menegaskan, “Setahun lalu, kita pernah bersidang di mana Anda semua melabel pemerintah Bashar al-Assad sebagai teroris dan Anda semua mendukung oposisi yang dulu kami anggap sebagai pembangkang, namun sekarang kita bersidang lagi untuk membungkam para pembangkang itu yang ternyata memang teroris dan mayoritas sudah masuk daftar organisasi-organisasi teroris ekstrimis yang sekarang sudah berubah menjadi super ekstrim.”Mendapatkan kritik pedas ini, terjemahan pidato Cristina diputusagar pesan-pesannya tidak sampai ke seluruh dunia, dan stasiun-stasiun televisi yang melakukan siaran langsung juga memutuskan siarannya.

Pidato itu menunjukkan bahwa dunia masih menyimpan para politisi yang jujur dan punya itikad baik. Cristina berani membongkar niat busuk Amerika dan sekutunya di forum dunia. Namun sayangnya, media-media Barat memboikot pidato Cristina dan menggunakan metode teror teknis untuk menghalangi sampainya kebenaran kepada khalayak ramai.Negara-negara Barat sejauh ini membatasi kampanye anti-ISIS hanya lewat serangan udara.

Meski koalisi internasional telah melancarkan ratusan kali serangan, tapi aksi itu tidak memberi pukulan serius kepada ISIS.Di samping itu, para pejabat Washington juga mengeluarkan komentar bahwa perang anti-ISIS membutuhkan waktu panjang. Komentar ini sontak mengundang keraguan tentang ketulusan niat Barat untuk menghancurkan ISIS. Lalu, bagaimana koalisi 40 negara tidak mampu memblokir aliran dana dan senjata kepada ISIS serta melacak lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan itu? Padahal, mereka memiliki dinas-dinas intelijen dan keamanan yang sangat kuat dan mampu mengidentifikasi para teroris bahkan melalui rekam suara mereka.

Cukup bagi kita untuk melihat bagaimana Amerika melacak keberadaan Osama bin Laden di Pakistan dan bahkan menyiarkan secara langsung aksi pembunuhan gembong teroris itu kepada para penghuni Gedung Putih.

Barat jika benar-benartulus bisa dengan mudahmenghancurkan jaringan komunikasi ISIS di Irak dan Suriah, tapi untuk saat ini belum agenda ke arah sana. Sebab, mereka sampai sekarang belum mencapai tujuan-tujuannya di Suriah. Barat – meski telah gagal dalam menggulingkan pemerintah Damaskus – tetap saja mengeluarkan sesumbar untuk mengganti penguasa di Suriah dengan tujuan memperlemah gerakan perlawanan Islam terhadap rezim Zionis Israel. Kelompok ISIS gagal mewujudkan mimpi-mimpi Barat, Turki, dan Arab Saudi untuk menumbangkan pemerintah Assad.

Amerika dan sekutunya masih mengejar mimpinya di Suriah dan meluncurkan kampanye militer di negara itu dengan dalih memerangi terorisme. Oleh karena itu, mereka tidak punya misi untuk melumpuhkan kemampuan ISIS atau memberi pukulan serius kepada kelompok-kelompok teroris Takfiri. Alasan lain yang membuat banyak pihak meragukan niat koalisi internasional anti-ISIS adalah ketidakhadiran negara-negara yang sejak awal gigih memerangi ISIS dan mereka berada di front terdepan untuk menumpas kelompok teroris dalam beberapa tahun terakhir.

Konsultasi militer yang diberikan Iran kepada pemerintah Suriah dan Irak telah berhasil memukul mundur kelompok teroris di negara tersebut. Kelompok ISIS memilih angkat kaki dari sejumlah daerah karena mendapat perlawanan sengit dari rakyat Suriah dan Irak. Jika perlawanan dan keberanian itu tidak muncul, maka kondisi kedua negara jauh lebih buruk. Jika pun kita menerima bahwa Amerika dan sekutunya ingin menebus kesalahan-kesalahan mereka di Suriah dan Irak dan memiliki niat tulus untuk mengalahkan ISIS, tentu mereka harus merangkul Republik Islam Iran dan pemerintah Suriah dalam koalisi.

Namun hal itu sama sekali tidak terjadi, karena niat mereka yang sesungguhnya adalah bukan untuk menghancurkan ISIS. Bagaimana kita bisa percaya dengan kehadiran Arab Saudi dalam koalisi anti-ISIS? Bukankah ideologi ISIS bersumber dari ajaran Wahabi. Ribuan warga negara Saudi berperang bersama ISIS dan Al Saud merupakan pelaksana kebijakan-kebijakan Amerika di Timur Tengah. Lalu, apakah mungkin untuk melibatkan Iran dalam koalisi seperti ini? Meski menerima undangan, Tehran tentu tidak akan bergabung karena menyadari tentang esensi pembentukan koalisi anti-ISIS. (IRIB Indonesia/RM)

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (11-Habis)

Artikel berseri ini bertujuan untuk membuka topeng teroris Takfiri dan mempertegas sebuah realitas bahwa ISIS dan kubu-kubu yang sepemikiran dengan mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam, yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan kasih sayang. Kelompok ISIS dan saudara-saudaranya memiliki landasan pemikiran yang sama dan mereka menerima asupan pemikiran, dana, dan senjata dari sumber yang satu. Pada seri sebelumnya, kita telah menyingkap jejak Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa (seperti Inggris dan Perancis) serta negara-negara Timur Tengah (seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki) dalam membentuk dan memanfaatkanteroris sebagai alat kepentingan.

Misi utama ISIS dan kembaran-kembarannya adalah untuk merusak citra Islam. Agama ini menaruh perhatian besar terhadap masalah penegakan hak asasi manusia di semua dimensinya. Kadar perhatian yang diberikan Islam sama sekali tidak ditemukan dalam deklarasi HAM dan agama manapun. Kekejaman ISIS dan kelompok-kelompok Takfiri benar-benar bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam perspektif Islam, tindakan itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan tempat yang pantas untuk para pelakunya adalah neraka.

Barat baru menyadari bahwa ISIS telah keluar dari kontrol mereka setelah kelompok itu memenggal kepala beberapa sandera dari Barat. Merespon kejahatan itu, Barat tampaknya mengubah skenarionya dalam mendukung ISIS dan kemudian membentuk sebuah koalisi internasional untuk memerangi kelompok tersebut. Amerika dan sekutunya berharap kelompok ISIS masih tetap setia melayani kepentingan-kepentingan mereka di Irak dan Suriah meski telah lepas kendali. Oleh sebab itu, sejumlah pejabat Washington berbicara tentang perang panjang untuk menghancurkan ISIS.

Mantan Menteri Pertahanan AS, Chuck Hagel menyebut ISIS sebagai sebuah kelompok yang terorganisir dengan rapi dan memiliki peralatan militer canggih.Menurutnya diperlukan perang panjang untuk menumpas ISIS. Ia mengatakan, “Ancaman kelompok itu bukan sebuah ancaman jangka pendek, karena ISIS lebih terorganisir dari sekedar sebuah kelompok teroris. Kelompok ini didukung dan dipersenjatai dengan sangat baik, serta memiliki ideologi sendiri.Mereka bukan hanya sekadar kelompok teroris. Mereka menggabungkan ideologi, kecanggihan strategis, dan taktik militer, jadi mereka benar-benar memiliki dana besar.”

Kepala Staf Militer Gabungan AS, Jenderal Martin Dempsey dalam sebuah kunjungan dadakan ke Irak, menegaskan bahwa perimbangan kekuatan dalam perang melawan ISIS sedang berubah, namun pertempuran terhadap kelompok itu bisa berlangsung tahunan.

Para pejabat Amerika sengaja mengesankan kemampuan luar biasa ISIS untuk membuka peluang kehadiran jangka panjang Pentagon di Timur Tengah dan menjadi alasan untuk mengintervensi setiap wilayah. Padahal, Amerika dan sekutunya dengan mengubah skenario merekaingin meraup keuntungan maksimal dari kekacauan di kawasan. Menyusul permintaan pemerintah Irak untuk memerangi teroris ISIS, Republik Islam Iran merupakan negara pertama yang memberi jawaban praktis atas seruan tersebut.

Iran berupaya membentuk sebuah front yang kuat untuk menumpas ISIS dengan cara memberi konsultasi kepada militer Irak dan mengorganisir berbagai lapisan masyarakat. Respon cepat para pejabat Iran dan bantuan yang mereka salurkan kepada pasukan Peshmerga Kurdi telah mencegah jatuhnya Kota Arbil dan memukul mundur pasukan ISIS dari sekitar Baghdad. Kontribusi itu berlanjut sampai sejumlah wilayah strategis di Irakberhasil dibebaskan dari pendudukan ISIS.

Menurut pengakuan para pejabat Baghdad dan Kurdi Irak, Iran merupakan negara pertama yang datang membantu mereka dan menghalau gerak maju teroris ISIS. Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi mengatakan, peran Iran dalam perang melawan terorisme di kawasan mendasar dan penting. Dia menambahkan Iran telah menawarkan bantuan terpuji kepada pemerintah dan rakyat Irak pada periode sensitif yang berbeda. Sehingga memiliki peran fundamental dan penting dalam perang melawan ISIS sekarang ini, dan berdiri di samping bangsa Irak.Presiden Kurdistan Irak,  Massoud Barzani dalam sebuah konferensi pers menyebut Iran sebagai negara yang menyuplai segala kebutuhan militer Kurdi. Dia mengatakan, “Kami minta senjata dari Iran. Mereka adalah negara pertama yang menyediakan kami senjata.”

Berkenaan dengan bantuan Iran kepada Irak dalam perang melawan ISIS, Ketua Dewan Tinggi Islam Irak, Hujjatul Islam Sayid Ammar Hakim mengatakan, “Kita tidak boleh melupakan peran kunci Republik Islam Iran dalam perang anti-ISIS. Namun, Gedung Putih selalu ingin menutupi peran Iran dan tidak ingin peran itu diketahui oleh publik. Iran memberikan bantuan luar biasa baik itu dalam bentuk konsultasi militer atau bantuan ekonomi. Mereka selalu berada di samping rakyat Irak dan berjuang bersama untuk mengalahkan ISIS sehingga kekerasan dan rasa takut hilang.”

Menteri Dewan Kota Irak, Abdul Karim al-Ansari juga menuturkan, “Republik Islam Iranmemainkan peran utama dalam menghentikan manuver dan penyebaran pengaruh ISIS. Fakta ini terlihat jelas di Suriah dan di sana mereka berhasil mengubah perimbangan di medan perang. Di Irak, mereka juga mampu menghentikan kelompok Takfiri tersebut.”

Salah satu misi kelompok ISIS di Irak dan Suriah adalah untuk menciptakan konflik sektarian dan perang saudara di kedua negara itu. Akan tetapi, perilaku keji mereka justru telah mendorong persatuan antara berbagai kelompok etnis dan mazhab untuk bangkit memerangi ISIS. Saat ini, semua etnis dan mazhab di Suriah dan Irak saling berangkulan untuk mengalahkan teroris ISIS. Peran Tehran dalam pertempuran tersebut juga menentukan. Iran menaruh perhatian besar terhadap masalah kedaulatan nasional dan integritas teritorial Irak dan Suriah.

Sejalan dengan strategi itu, Iran memberikan bantuan berupa konsultasi militer dan ekonomi kepada semua suku dan mazhab yang terlibat dalam perang melawan ISIS.Sekarang, tidak ada satu pun pihakyang meragukan peran tak tertandingi Iran dalam mencegah langkah maju kelompok teroris Takfiri. Kejahatan yang dilakoni ISIS telah menyingkap banyak fakta dan membongkar propaganda licik Amerika dan sekutunya di kawasan terhadap Iran. Negara-negara Barat selama 36 tahun menyebarkan propaganda miring dan menuding Iran sebagai pendukung terorisme dan pengacau stabilitas regional.

Barat telah meluncurkan kampanye Iranphobia dan kemudian mengubah wilayah Teluk Persia sebagai pasar senjata terbesar di dunia. Bantuan Iran kepada pemerintah Irak dan Suriah dalam perang melawan teroris telah memperjelas tentang siapa yang benar-benar memerangi terorisme. Peran aktif Iran juga menyingkap kepalsuan slogan-slogan Barat dalam perang kontra-terorisme. Pada dasarnya, Republik Islam Iran merupakan negara korban terorisme terbesar di dunia, di mana 17 ribu warganya gugur dalam aksi teror.

Iran juga tercatat sebagai negara yang paling serius dan telah mengeluarkan biaya besar untuk memerangi terorisme. Berbeda dengan semua propaganda miring Amerika dan sekutunya, Iran memainkan peran konstruktif dan penjaga stabilitas di wilayah Timur Tengah. Tanpa peran konstruktif Republik Islam Iran, maka kondisi di Afghanistan, Irak, Suriah, dan Lebanon akan semakin kacau. Stabilitas relatif yang tercipta di negara tersebut merupakan hasil dari kebijakan rasional Iran dalam mewujudkan ketenangan dan menggagalkan konspirasi musuh, yang ingin merusak stabilitas regional. (IRIB Indonesia/RM)