Filsafat dan Sains


Sebagai pendahuluan, kami ingin mengingatkan pembaca bahwa banyak kata yang memiliki lebih dari satu makna. Sekali waktu salah sara kata memiliki nilai kepentingan yang lebih luas dan umum di-banding kata lainnya. Kadangkala penggunaan kata-kata seperti itu dapat membawa kepada kesalahpahaman, dan penting untuk memasti-kan bahwa sebuah kata yang sedang digunakan dipahami dalam arti yang tepat sebagaimana yang dimaksudkan. Dalam filsafat, ada be-berapa kata seperti itu; sebagai contoh, “potensialitas”, “jiwa”, “nalar” (reason), dan sebagainya.

Di antara kata-kata yang sama-sama memiliki nilai penting adalah “filsafat” dan “ilmu”. -Di masa lalu kata “filsafat” (arti harfiahnya “cinta kebajikan”) telah diterapkan ke seluruh cabang pengetahuan, termasuk matematika, ilmu kealaman, teologi, etika, dan politik. Setiap cabang pengetahuan memiliki metodologinya sendiri, meskipun ter-kadang metode-metode yang tak tepat juga digunakan. Sebagai contoh, sebuah masalah yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu kealaman diteliti dengan pendekatan yang murni rasionalistik, padahal seharusnya ia dipelajari lewat metode eksperimental.

Di Abad Pertengahan, cabang-cabang pengetahuan lain ditambah-kan ke daftar di atas, sehingga hampir-hampir meliputi semua pemikiran abad itu.

Setelah zaman Renesans, khususnya sejak abad ke-17, ilmu-ilmu tersebut yang metode penelitiannya eksperimental sedikit demi sedikit dipisahkan dari filsafat, dan istilah filsafat kemudian cfipakai khusus untuk cabang pengetahuan yang berhubungan dengan masalah-masalah di luar lingkup eksperimen dan hanya dapat dipecahkan dengan metode yang murni rasional, dan teoretis. Cabang pengetahuan ini kemudian disebut “metafisika” atau “Filsafat Pertama”. Istilah “filsafat” juga digunakan untuk mengacu kepada proses menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk menyehdiki masalah-masalah suatu penge­tahuan khusus, seperti filsafat ilmu dan filsafat etika.

Kata “ilmu” yang secara harfiah berarti “pengetahuan”, secara teknis   digunakan untuk   menyebut   pengetahuan sistematis tentang ” masalah-masalah yang berhubungan dengan suatu subjek tertentu. Menurut definisi ini, istilah “ilmu” dapat juga diterapkan pada metafisika. Namun demikian, di abad-abad terakhir ini, penggunaan istilah itu sudah lebih terbatas, dan hanya mengacu kepada ilmu-ilmu eksperi­mental saja, sebagai lawan dari filsafat.

Menurut definisi yang terakhir, filsafat dan ilmu masing-masing memiliki bidang kajian dan metodologinya sendiri. Bidang kajian filsafat adalah masalah-masalah kemaujudan secara umum, yang bagian terbesarnya bersifat abstrak, dan juga disebut “konsep-konsep se-kunder”,4) sedangkan metodenya adalah rasional dan teoretis. Di sisi lain, ilmu mengkaji sifat-sifat aksidental dari objek-objek tertentu yang kemaujudannya sudah tak dipertanyakan lagi; metodenya adalah eksperimental. Sebagai contoh, fisika membahas materi dan energi serta interaksinya dalam bidang mekanika, akustik, optik, panas, listrik, magnet, radiasi, struktur atom, dan nuklir; kimia mempelajari kompo-sisi, struktur dan sifat-sifat zat, serta transformasi yang dialaminya; fisiologi mempelajari proses dan fenomena organis dari makhluk hidup; sementara psikologi mempelajari keadaan dan karakteristik-karakteris-tik mental. Bagaimanapun, tak satu pun dari ilmu-ilmu ini yang dapat berbicara tentang sifat esensial dari subjek yang dipelajarinya atau prinsip-prinsip fundamental yang mendasari metodologinya. Dengan kata lam, baik fisika maupun kimia tidak memiliki pandangan tentang kemaujudan; demikian juga, fisiologi dan psikologi tidak punya pandangan tentang realitas kehidupan dan jiwa. Juga, tak satu pun dari ilmu tersebut yang meneliti prinsip sebab-akibat dan hukum-hukum turunannya.

Sedangkan filsafat berbicara tentang pertanyaan-pertanyaan abstrak umum seperti: sebab-akibat, ketetapan dan perubahan, yang material dan yang abstrak, yang mungkin dan yang wajib, dan lain-lain. Karena masalah-masalah ini tak berhubungan secara langsung dengan persepsi inderawi, pemecahannya pun tak dapat dikerjakan secara eksperimental. Kunci jawabannya harus ditemukan dalam penyelidik-an dan analisis rasional. Cara penyelidikan rasional ini dilakukan dan nilai temuan-temuannya membentuk bidang kajian dari satu bagian penting filsafat modern yang disebut “epistemologi”. Kembali ke masalah sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa kita tak dapat rnengharap kemajuan ilmu untuk membantu kita dalam memecahkan pcrtentangan-pertentangan filosofis; kita juga tak dapat berharap ilmu dapat menjadi penengah dalam pertentangan antara filsafat spiritual dengan filsafat material. “‘ Sayangnya, dalam sejarah ilmu dan filsafat telah ada usaha-usaha untuk meminta bantuan hukum-hukum dan teori-teori ilmu untuk memecahkan masalah-masalah filosofis, atau untuk mendukung suatu posisi metafisika. Sebaliknya, ada pula yang berlindung di bawah cara penalaran filsafat dan metode rasional untuk membantu memecahkan masalah-masalah ilmu. Pencampuradukan seperti ini, selain berbahaya untuk filsafat maupun ilmu, juga menghalangi keduanya dari jalur yang tepat untuk bidang kajian dan pemecahan masalah-masalahnya dengan cara mengikuti metode yang disarankan sifat masalah-masalah itu.

Sebagai contoh pencampuradukan seperti itu adalah argumen yang digunakan beberapa fisikawan modern untuk “membuktikan” keharusan adanya hubungan antara sebab dan akibat (determinisme) dengan merujuk kepada penemuan-penemuan di bidang fisika-makro. Fisika­wan lainnya menunjukkan gejala-gejala yang diamati dalam fisika-mikro sebagai bukti bahwa tak ada keharusan seperti itu. Lalu ada kelompok ketiga yang berusaha mendamaikan kedua posisi itu dengan mengusulkan pendapat bahwa determinisme berlaku dalam kasus gejala-gejala fisika-makro, dan tak berlaku dalam lingkup fisika-mikro. Semua ini berlangsung, sementara setiap filosof tahu bahwa hukum sebab-akibat adalah hukum filosofis dan metafisis umum yang, menurut pertimbang-an nalar, tetap dan tak berubah.

Apa yang harus kita kerjakan adalah mencari kasus-kasus di alam yang akan menunjukkan keberlakuan hukum sebab-akibat, lewat penyelidikan eksperimental. Apa yang sama sekali tak boleh kita laku-kan adalah menganggap penemuan beberapa contoh yang menunjukkan hukum itu dapat diterapkan padanya sebagai bukti keabsahannya; atau ketakmampuan untuk menerapkan hukum itu dalam beberapa kasus sebagai bukti ketakabsahan atau kurangnya sifat keumumannya; karena kegagalan seperti itu jelas adalah hasil ketaklayakan alat-alatnya. Sesungguhnya, prinsip sebab-akibat yang telah nyata dengan sendirinya atau terbukti-diri (self-evident) inilah yang menggerakkan ilmuwan untuk mencari sebab-sebab suatu fenomena dan menemukan hukum-hukum dan rahasia-rahasia alam. Dengan demikian, berusaha membukti­kan prinsip metafisis ini lewat rujukan kepada fenomena fisis dan penemuan-penemuan ilmu eksperimental sama sekali tak berarti dan tak memberikan pengaruh apa pun.

Bagaimanapun, harus dikatakan bahwa filsafat dan ilmu saling berhubungan dalam beberapa hal. Yang paling penting adalah bahwa filsafat membuktikan kemaujudan bidang kajian ilmu dan keabsahan prinsip-prinsip fundamentalnya. Sementara ilmu memberikan latar belakang yang lebih luas bagi penyelidikan filsafat. Dalam kedua hal itu, tak boleh ada pencampuran masalah-masalah maupun metode ilmu dan filsafat, dan kita tak dapat berharap memberikan jawaban terhadap masalah-masalah ilmu dari filsafat, atau sebaliknya.

Leave a comment