AL-HUSAIN


قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم :

الحسين مصباح الهدى وسفينة النجاة

Rasulullah saw. bersabda:

“Al-Husein adalah pelita hidayah dan bahtera keselamatan.”

Tahukah anda siapa Imam Husein a.s.? Beliaulah yang memberikan kehidupan baru bagi iman yang ada di kalbu setiap insan Mukmin. Beliaulah yang menghidupkan kembali agama dan menjadikannya kekal dengan mempersembahkan untuk kemanusiaan warna yang indah bagi ajaran Tuhan dan teladan yang diturunkan ke muka bumi untuk disaksikan oleh umat manusia di setiap masa. Dengan begitu nurani yang hidup akan tergerak, jiwa yang bersih akan bergembira, dan ajaran-ajarannya yang terang bagai cahaya akan selalu dipegang erat oleh generasi demi generasi di setiap tempat.

Hal tersebut tidak mengherankan, sebab Allah telah menjadikan darah-darah yang suci dan mulia di sisi-Nya ini, sebagai garis pemisah antara haq dan batil, antara petunjuk dan kesesatan di setiap zaman.

Buku yang ada di tangan pembaca budiman ini adalah kisah tragis Karbala yang disajikan sesuai dengan riwayat yang kuat dan ditulis oleh seorang ulama Islam yang hidup di abad ketujuh hijrah, beliau adalah Sayyid Ibnu Thawus.

Beliau adalah seorang terkenal dengan takwa dan zuhudnya. Kejujuran, amanah dan kesucian beliau tak ada duanya.

Yayasan Imam Ali a.s. saat mempersembahkan buku ini untuk anda, yakin bahwa dengan itu berarti yayasan telah melakukan sesuatu dalam usahanya menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh pemeluknya yang setia di setiap tempat, agar cahaya kebenaran terpancar, tabir kebodohan tersingkap dan sinar mentari pagi dapat disaksikan oleh semua, karena Imam Shadiq a.s. berkata:

أحيوا أمرنا، رحم الله من أحيى أمرنا

“Hidupkanlah ajaran kami! Semoga Allah merahmati mereka yang menghidupkan ajaran kami.”

Sekilas Tentang Sayyid Ibnu Thawus

Beliau adalah Sayyid Radhiuddin Abul Qasim Ali bin Sa’duddin Abu Ibrahim Musa bin Jafar bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Thawus. Nasab silsilah beliau lewat jalur ayahnya bersambung sampai ke Imam Hasan Al-Mujtaba a.s., sedangkan dari pihak ibu sampai ke Imam Husein a.s. Karena itulah beliau disebut dengan Dzul Hasabain (orang yang memiliki dua silsilah mulia).

Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Thawus, sebab salah seorang kakek beliau yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Hasan memiliki wajah yang tampan tapi kedua kaki beliau jelek, sehingga orang menyebutnya dengan Thawus (Burung Merak). Dengan demikian, keturunan beliau dikenal dengan sebutan Ibnu Thawus.

Sayyid Ibnu Thawus lahir pada pertengahan bulan Muharram tahun 589 H, di kota Hullah, Irak. Ada juga pendapat lemah yang menyebutkan bahwa tanggal kelahiran beliau adalah bulan Rajab tahun 587 H. Beliau dibesarkan di kota kelahirannya, Hullah, dan di sana pula beliau belajar pelajaran dasar ilmu agama islam. Beliau tinggal di kota tersebut hingga tahun 602 H.

Dalam mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau berguru pada banyak ulama, di antaranya:

1.Ayahanda beliau sendiri Sa’duddin Musa, kakek beliau Warram bin Abi Farras Al-Nakha’i. Menurut pengakuan Ibnu Thawus sendiri, ayah dan kakek beliau Waram adalah dua orang yang telah memberikan perhatian besar pada pendidikannya dan yang mengajarkan kepadanya ketakwaan dan tawadlu’ (rendah hati).

2.Abul Hasan Ali bin yahya Al-Khayyat yang dalam sebagian riwayat disebutkan dengan nama Al-Hanat Al-Surawi Al-Hulli.

3.Husein bin Ahmad Al-Surawi.

4.Asad bin Abdul Qadir.

5.Muhammad bin Ja’far bin Hibatullah.

6.Hasan bin Ali Al-Darbi.

7.Muhammad Al-Surawi.

8.Muhammad bin Ma’ad Al-Musawi.

9.Fakhkhar bin Ma’ad Al-Musawi.

10.Haidar bin Muhammad bin Zaid Al-Huseini.

11.Salim bin Mahfudz bin Azizah Al-Hulli.

12.Jabra’il bin Ahmad Al-Jawwani.

13.Husein bin Abdul Karim Al-Gharawi.

14.Muhammad bin Abdullah bin Zuhrah Al-Halabi.

Selain dari nama-nama di atas, Sayyid Ibnu Thawus juga berguru dan memperoleh ijazah meriwayatkan hadits dari ulama-ulama diluar madzhab Syiah. Ibnu Thawus, dalam hal ini menyatakan bahwa menukil riwayat Ahlussunnah seperti yang beliau lakukan itu disebabkan adanya manfaat yang bisa didapat oleh Syi’ah. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Muhammad bin Najjar dan Muayyiduddin Muhammad bin Muhamad Al-Qummi.

Ibnu Thawus menikah dengan Zahra Khatun, putri seorang menteri bermadzhab Syiah yang bernama Nasir bin Mahdi. Perkawinan ini sama sekali tidak beliau inginkan. Sebab menurut beliau, menjalin hubungan dengan keluarga seperti itu dapat menyeretnya jatuh ke dalam jurang cinta dunia. Mengenai istri beliau ini, apakah dia melahirkan anak untuk beliau atau tidak, kami tidak mendapatkan informasi yang cukup. Seluruh putra-putri beliau yang disebutkan oleh para ulama, semuanya lahir dari budak-budak wanita beliau.

Disebutkan bahwa beliau memikili hubungan yang cukup baik dengan beberapa pejabat tinggi pemerintahan Abbasiyyah waktu itu, seperti Menteri Muhammad bin Ahmad Al-‘Alqami, saudara-saudara juga anaknya.

Demikian pula hubungan baik beliau dengan khalifah Mustansir Al-‘Abbasi, sampai-sampai sang khalifah memberinya sebuah rumah di sebelah timur kota.

Mustansir Al-‘Abbasi berusaha untuk menyeret Ibnu Thawus ke dalam kancah politik dengan menjadikannya pemimpin seluruh keturunan Abu Thalib. Akan tetapi beliau menolak dengan tegas tawaran tersebat.

Dalam kesempatan yang lain, Mustansir membujuk beliau agar bersedia menjadi duta utusannya menghadap komandan tentara Mongol, tapi beliau menolak.

Anak pertama Sayyid Ibnu Thawus lahir pada tanggal 9 Muharram tahun 643 H di kota Hullah.

Sedangkan anak beliau yang kedua lahir pada tanggal 8 muharram tahun 647 H di Najaf.

Yang dapat kita simpulkan dari buku-buku sejarah adalah bahwa Sayyid Ibnu Thawus kembali ke kota kelahirannya, Hullah tahun 641 H. Dan pada tahun 645 H, beliau bertolak menuju Najaf, dan selanjutnya pergi ke Karbala pada tahun 649 H. Tahun 652 H, beliau meninggalkan Karbala menuju kota Samarra, akan tetapi di tengah perjalanan, beliau melewati kota Baghdad dan menetap di Darul Khilafah.

Ketika kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol, Sayyid Ibnu Thawus masih berada di sana.

Pada waktu Holako memasuki kota, dia mengumpulkan seluruh ulama di Mustansiriyyah dan meminta fatwa mereka dalam masalah “Manakah yang lebih baik, penguasa muslim yang lalim ataukah penguasa kafir tapi adil?” Tak ada seorangpun memberikan jawaban. Saat itulah Sayyid Ibnu Thawus menjawab bahwa penguasa kafir yang adil lebih utama. Fatwa beliau tersebut lantas dikuti oleh para ulama lainnya.

Jelas bahwa fatwa ini beliau berdasarkan faktor taqiyyah, guna melindungi jiwa kaum muslimin yang masih tersisa. Hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang akan terjadi jika Sayyid tidak memberikan fatwa tersebut, ketika itu masih akan tersisakah kaum Muslimin di kota Baghdad?

Pada tanggal 10 Shafar tahun 656 H, Holaku menghadirkan Ibnu Thawus ke hadapannya dan memberinya suaka. Setelah itu, Ibnu Thawus pergi menuju Hullah.

Pada tanggal 9 Muharram tahun 658 H, disebutkan bahwa Ibnu Thawus berada di rumahnya di kota Najaf.

Sedangkan pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 659 H, beliau berada di rumahnya di Baghdad.

Disebutkan bahwa Holaku menunjuknya sebagai pemimpin kaum Alawy pada tahun 656 H dan tahun 661 H. Yang dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan buku sejarah adalah bahwa Holaku menunjuk beliau sebagai pemimpin Baghdad pada tahun 656 H, dan pada tahun 661 H menunjuknya sebagai pimpinan kaum Thalibiyyin seluruhnya.

Disebutkan bahwa Sayyid Ibnu Thawus pada mulanya menolak untuk menerima jabatan dan tanggung jawab ini, akan tetapi setelah Syekh Nasiruddin Al-Thusi memberitahunya bahwa penolakan tersebut dapat menyebabkan beliau terbunuh, jabatan tersebut beliau terima dengan terpaksa.

Sayyid Ibnu Thawus wafat pada pagi hari Senin tanggal 5 Dzul Qa’dah tahun 664 H di kota Baghdad. Cita-cita beliau untuk dapat dimakamkan di Najaf Al-Asyraf terlaksana.

Informasi yang kami dapatkan dari akhir kehidupan beliau sangat samar dan tidak jela.s. Karena itulah, ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal dunia ketika masih menjabat sebagai pemimpin bani Alawi.

Ada pula yang mengatakan bahwa di akhir masa hidupnya, beliau telah meletakkan jabatannya sebagai pimpinan bani Alawy.

Sebagian orang mengatakan bahwa beliau terbunuh bersama saudaranya.

Sayyid Ibnu Thawus menulis kitab Al-Malahim di Hullah pada tanggal 15 Muharrram 663 H, ketika melakukan perjalanan dari Bahgdad untuk berziarah ke Najaf dan berhenti di kota Hullah.

Pada bulan Jumadil Ula tahun 664 H, beliau memberikan ijazah kepada sebagian muridnya.

Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa Sayyid Ibnu Thawus pernah ke luar dari negeri Irak kecuali untuk berziarah ke Baitullah di Mekah pada tahun 627 H.

Keadaan ekonomi Ibnu Thawus cukup baik. Dalam surat wasiat kepada anaknya, beliau menyebutkan bahwa beliau tidak meninggalkan emas maupun perak, karena mengikuti sunah Nabi saw. dan Amirul Mukminin Ali, akan tetapi beliau meninggalkan tanah dan kebun-kebun yang beliau beli semasa hidupnya.

Sayyid Ibnu Thawus terkenal memiiki banyak keramat, yang sebagian dari keramat beliau telah beliau nukil sendiri dalam beberapa kitabnya. Sedangkan yang lainnya dinukil oleh mereka yang menulis biografi beliau. Sehingga dikatakan bahwa beliau selalu berhubungan dengan Imam Mahdi Al-Muntadzar a.s. Ada juga yang mengatakan, beliau mendapatkan anugerah Al-Ismu Al-A’dzam yang tidak dapat beliau ajarkan kepada siapapun juga walaupun kepada anak-anaknya sendiri.

Sayyid Ibnu Thawus mempunyai tiga orang saudara yaitu Syarafuddin Abul Fadl Muhammad, ‘Izzuddin Al-Hasan dan Jamaluddin Abul Fudlail Ahmad, ayah Ghiyatsuddin Abdul Karim.

Ibnu Thawus dikaruniai empat orang putri, tetapi hanya dua orang putri beliau saja yang disebutkan dalam buku-buku sejarah, mereka adalah: Syaraful Asyraf dan Fatimah.

Sayyid dengan bangga bercerita tentang putri-putri beliau, yang kesemuanya telah berhasil menghafalkan kitab suci Al-Quran Al-Karim, padahal waktu itu usia Syaraful Asyraf 12 tahun sedangkan usia Fatimah di bawah sembilan tahun. Untuk putri-putrinya tersebut, beliau mewasiatkan dua buah naskah Al-Quran.

Sayyid Ibnu Thawus meninggalkan banyak wasiat. Diantaranya, beliau berpesan kepada anak-anaknya dan Syiah Ahlul Bait secara umum untuk senantiasa memegang teguh taqwa dan wara’, dan sebisa mungkin menjauh dari orang-orang di luar golongan mereka, sebab bercampur dengan orang-orang tersebut dapat menjauhkan mereka dari Allah SWT.

Sayyid Ibnu Thawus memiliki satu perpustakaan besar yang seluruh nama kitab di dalamnya telah beliau susun rapi dalam sebuah katalog. Perpustakaan beliau tersebut, termasuk salah satu perpustakaan penting sepanjang sejarah.

Selain itu, Sayyid Ibnu Thawus selalu menekankan untuk senantiasa berpegangan pada riwayat-riwayat Nabi saw. dan Ahlul Bait a.s., karena riwayat-riwayat tersebut adalah sumber asli untuk mengenal agama.

Sayyid Ibnu Thawus memiliki banyak tulisan dan karya yang bermutu dalam banyak cabang ilmu, di antaranya:

1) Al-Aman min Akhthari Al-Asfar wa Al-zaman.

2) Anwaru Akhbari Abi ‘Amr Al-Zahid.

3) Al-Anwar Al-Bahirah fi Intishari Al-Ithrah Al-Thahirah.

4) Al-Asrar Al-Mudda’ah fi Sa’ati Al-Lail wa Al-Nahar.

5) Asrar Al-Sholati wa Anwar Al-da’awat.

6)Tsamaratu Al-Mahajjah fi Muhimmati Al-Aulad.

7)Al-Bisyaratu bi Qadlai Al-Hajati ‘ala Yadi Al-Aimmah AS Ba’da Al-Mamat.

8)Al-Duru’ Al-Waqiyah min Al-Akhthar.

9) Falah Al-Sail wa Najah Al-Masail ‘Amal Al-Yaum wa Al-lail.

10)Faraju Al-Mahmum Fi Ma’rifati Al-Halal wa Al-Haram min ‘llmi Al-Nujum.

11)Farhatu Al-Nadhir wa Bahjatu Al-Khawatir.

12)Fathu Al-Abwab Baina Dzawi Al-Albab wa Rabbi Al-Arbab fi Al-Istikharah wa Mafiha min Wujuhi Al-Shawab.

13)Fathu Al-Jawab Al-Bahir fi Khalqi Al-Kafir.

14)Ghiyatsu Sulthani Al-Wara li Sukkani Al-Tsara.

15)Ighatsaru Al-Dai wa I’anatu Al-Sa’i.

16)Al-Ijazatu li Kasyfi Thurugi Al-Mafazat.

17)Al-Iqbal bi Al-A’mal Al-Hasanah.

18)Al-Ishtifa’ fi Akhbari Al-Muluk wa Al-khulafa’.

19)Jamalu Al-Usbu’i fi Al-‘Amal Al-Masyrui’.

20)Al-Karamaat.

21)Kasyful Mahajjah li Tsamrati Al-Muhjah.

22)Lubab Al-Masarrah min Kitabi Ibni Abi Qurrah.

23)Al-Manamatu Al-Shadigah.

24)Masaliku Al-Muhtaj ila Manasiki Al-Haaj.

25)Al-Midhmar li Al-Sibaq wa Al-Lihq bi Shaumi Syahri Ithlagi Al-Arzaq wa I’taqi Al-A’naq.

26)Mishbahu Al-Zair wa Janahu Al-Musafir.

27)Muhaju Al-Da’awat wa Manhaju Al-‘Inayaat.

28)Muhasabatu Al-Nafs.

29)Al-Muhimmatu fi Ishlahi Al-Muta’abbid wa Tatimmatun li Mishbah Al-Mutahajjid.

30)Al-Mujtana min Al-Dua’i Al-Mujtaba.

31)Mukhtashar Kitab Ibni Habib.

32)Al-Muntaga fi Al-‘Iwadzi wa Al-Riqa.

33)Al-Muwasa’ah wa Al-Mudhayagah.

34)Al-Qabasu Al-Wadlih min Kitabi Al-Jalisi Al-Shalih.

35)Rabi’ul Albab.

36)Rayyu Al-Dham’an min marwiyyi Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman.

37)Ruhu Al-Asrar wa Rauhu Al-Asmar.

38)Al-Sa’adaatu bi Al-‘Ibadat Al-Lati Laisa Laha Augatun Mu’ayyanat.

39)Sa’du Al-Su’ud li Al-Nufus.

40)Syifa’u Al-Uquli min Dai Al-Fudlul fi ‘Ilmi Al-Ushul.

41)Al-Tahshilu min Al-Tadzyil.

42)Al-Tahshin min Asrari Ma Zada min Akhbari Al-Yaqin.

43)Al-Tamam li Mahammi Syahri Al-Shiyam.

44)Taqrib Al-Salik ila Khidmati Al-Malik.

45)Al-Taraif fi Ma’rifati Madzahibi Al-Thawaif.

46)Al-Tarajimu fi Maa Nadzkuruhu ‘ani Al-Hakim.

47)Al-Ta’rif li Al-Maulid Al-Syarif.

48)Al-Tasyrif bi Ta’rifi Waqti Al-Taklif.

49)Al-Taufiq li Al-Wafa’ Ba’da Tafriqi Dari Al-Fana’.

50)Thurafun min Al-Anba’ wa Al-Managib fi Syarafi Sayyidi Al-Anbiya’ wa ‘Ithratihi Al-Athayib.

51)Al-Yaqin fi Ikhtishashi Maulana ‘Ali bi Imrati Al- Mukminin.

52)Zuharu Al-Rabi’ fi Ad’iyati Al-Asabi’.

Demikianlah sekilas tentang biografi kehidupan Sayyid Ibnu Thawus yang penuh berkah. Materi yang kami sampaikan di atas berasal dari beberapa kitab. Kitab terpenting yang menjadi sandaran kami dalam penulisan biografi singkat beliau ini adalah kitab Dirasah ‘ani Al-Sayyid Ibnu Thawus karya Aali Yasin, yang menulis tentang kehidupan dan karya-karya beliau. Demikian juga kitab lainnya karya Ethen Calberk yang menulis tentang perpustakaan, kehidupan dan karya-karya Ibnu Thawus, yang ditulis dalam bahasa lnggris dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi.

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 

MUKADDIMAH

Segala puja dan puji bagi Allah yang menampakkan diri-Nya kepada para hamba-Nya di dalam lubuk hati mereka. Yang menyampaikan kehendak-Nya dalam bentuk Sunnah dan Al-Kitab (Al-Quran). Yang mensucikan para kekasih-Nya dari gemerlap dunia yang penuh tipuan dan rayuan, lalu membawa mereka menuju cahaya kebahagiaan. Hal itu Dia lakukan terhadap mereka bukan lantaran Dia memprioritaskan mereka di atas semua mahluk-Nya tanpa sebab dan menunjukkan kepada mereka sebaik-baik jalan.

Akan tetapi hal tersebut karena Dia mengetahui bahwa mereka pantas untuk mendapatkan kemurahan-Nya dan berhak menyandang sifat-sifat terpuji. Karenanya Dia tidak rela membiarkan mereka tanpa bimbingan khusus-Nya, akan tetapi memberi mereka kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sempurna.

Sehingga jiwa mereka lupa akan segala sesuatu kecuali Dia [1] . Ruh mereka mengenal kemuliaan ridha-Nya. Lantas mereka pun memalingkan hati mereka ke naungan-Nya dan mereka tambatkan pengharapan pada kemurahan dan kemuliaan-Nya.

Keceriaan pribadi yang meyakini alam abadi-Nya tampak di wajah mereka. Kecemasan orang yang takut akan bahaya yang menghadang kala berjumpa dengan-Nya terlihat jelas di raut muka mereka. Kerinduan mereka pada apa yang dikehendaki-Nya kian bertambah.

Sikap mereka terhadap apa yang berasal dari-Nya sama dengan sikap mereka terhadap apa yang kembali kepada-Nya. Telinga mereka dengan seksama mendengar rahasia-rahasia Ilahi. Hati mereka selalu riang dengan kelezatan dzikir-Nya.

Karenanya, Dia dekatkan mereka kepada-Nya sesuai dengan ketaatan mereka tersebut, dan Dia berikan kepada mereka karunia dari sisi-Nya, seperti seorang arif nan penyayang.

Segala sesuatu yang memalingkan mereka dari keagungan-Nya, kecil di mata mereka. Apapun yang menjauhkan mereka dari hubungan-Nya mereka tinggalkan. Sehingga mereka larut dalam kenikmatan kemulian dan kesempurnaan tersebut. Diapun memberi mereka jubah kebesaran dan keagungan untuk selama-lamanya.

Ketika mereka mengetahui bahwa kehidupan menjadi penghalang dalam menuruti kehendak-Nya, dan keberadaan mereka di dunia ini menjadi dinding pemisah antara mereka dan kemurahan-Nya, lalu mereka tanggalkan busana kehidupan. Pintu perjumpaan dengan-Nya mereka ketuk. Mereka menikmati jalan menuju kebebasan itu dengan mengorbankan jiwa raga dan menyodorkannya untuk menjadi mangsa pedang dan tombak.

Demi kemuliaan tersebut, jiwa para syuhada Karbala melayang tinggi, mereka berebut untuk menyongsong maut, dan akhirnya kawanan tombak dan sayatan pedang mencabik-cabik badan mereka.

Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Sayyid Murtadla ‘Alamul Huda ra. ketika menyifati mereka yang kami sebutkan diatas. Beliau berkata:

Badan mereka terkapar di padang sahara

Jiwa mereka di sisi Allah dengan jamuan-Nya

Mereka yang kan mencelakai justeru selamatkan

Pedang pembunuh justeru menghidupkan.

Jika tidak ada perintah Al-Quran dan Sunnah untuk bersedih dan berduka, atas gugurnya panji kebenaran dan terpuruknya pondasi kesesatan, sebagai perwujudan rasa sedih akan hilangnya kesempatan mendapatkan karunia tersebut dan rasa perih menyaksikan pembantaian seperti ini, kita akan senantiasa menyambut kenikmatan agung Ilahi ini dengan kegembiraan.

Ketika rasa sedih dan duka merupakan ridha Allah, Raja pada hari kebangkitan, dan kesenangan para hamba yang saleh, karenanya kita mengenakan busana duka dengan berlinang airmata, seraya berkata pada mata kita “Deraskan cucuran airmatamu dalam tangisan yang panjang.” Dan kepada hati kita katakan “Lakukanlah sesuatu yang biasa dilakukan para wanita ketika ditimpa musibah”.

Karena pusaka peninggalan Nabi saw. telah disia-siakan di hari Asyura’. Wasiat beliaupun mengenai keluarga dan keturunannya dikoyak-koyak oleh tangan umat dan musuh-musuhnya.

Sungguh betapa besar musibah yang menyayat hati ini, tragedi yang melahirkan kesedihan mendalam, bencana yang mengecilkan segala cobaan, tragedi yang mencabik-cabik simbol ketaqwaan, anak-anak panah yang menumpahkan darah risalah Ilahi, tangan-tangan yang menggiring tawanan kebesaran, bencana yang menundukkan kepala setiap insan mulia, cobaan yang mengorbankan jiwa sebaik-baik keluarga, pesta para musuh yang menggoncang hati para jawara, tragedi yang menyedihkan bagi Jibril, dan kejahatan besar di sisi Tuhan yang maha Agung dan Jalil.

Bagaimana tidak, bukankan darah daging Rasulullah SAW. terkapar di padang pasir. Darahnya yang suci tertumpah oleh pedang-pedang kesesatan. Wajah putri-putri beliau ditatap oleh mata para musuh Tuhan. Mereka menjadi tontonan khalayak ramai. Jasad para syuhada yang agung terlucuti dari pakaiannya. Badan mereka yang suci tersungkur di atas tanah. Sungguh musibah besar yang menyayat hati Nabi dengan anak panah yang menancap pada kalbu hidayah.

Ketika orang yang bersedih bosan dengan kesedihan, para pembawa kabar duka datang dengan kesusahan dan duka.

Oh, andaikan saja Fatimah as. dan ayahnya menyaksikan putra dan putri mereka yang terampas, terluka, diseret dan disembelih. Para putri Nabipun merobek baju-baju mereka karena kebingungan ditinggal oleh orang-orang yang mereka cintai. Mengacak-acak rambut mereka. Kerudung kepala mereka terbuka. Mereka memukuli pipi sendiri. Tak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain berlomba menguras tangisan dan jeritan, karena berpisah dari para penjaga dan pembela kehormatan mereka.

Wahai insan yang berbudi luhur, wahai pribadi dengan akal dan pikiran jernih, ceritakanlah pada diri kalian tragedi yang menimpa keluarga ini. Tangisilah mereka demi keridhaan Tuhan. Bantulah mereka dengan cinta dan airmata. Bersedihlah karena tidak dapat menolong mereka.

Mereka adalah pusaka peninggalan penghulu umat manusia, buah hati Rasulullah Saw.., cahaya mata Fatimah Zahra. Lisan suci Rasulullah Saw. telah banyak menyebutkan kemuliaan mereka. Ayah dan ibu mereka lebih beliau Saw. utamakan dari seluruh umatnya.

Jika engkau ragu tanyakan pada Hadits Nabi dan Ayat Qur’ani perihal mereka

Di sanalah terdapat bukti yang jelas dan terperinci tentang keutamaan mereka.

Nabi dengan wahyu perantara Jibril telah berwasiat untuk menjaga mereka

Sungguh mengherankan, bagaimana para durjana itu sampai hati membalas kebaikan kakeknya Saw. dengan kekufuran, padahal zaman belum jauh berselang. Mereka telah mengeruhkan kehidupan beliau dengan menyiksa buah hatinya, dan meremehkan beliau dengan menumpahkan darah putra kesayangannya?

Mana bukti kesetiaan mereka pada wasiat beliau untuk memelihara keluarganya? Jawaban apakah gerangan yang hendak mereka berikan kala berjumpa dengan beliau kelak? Padahal mereka telah menghancurkan bangunan yang beliau dirikan, dan lslam meneriakkan jeritan duka?!

Bagaimana hati tidak akan hancur kala mengingat tragedi ini! Sungguh mengherankan bagaimana umat melupakannya! Apa yang akan dijadikan alasan oleh mereka yang mengaku beragama Islam dan beriman padahal lalai akan tragedi menyayat hati yang menimpa agama?!

Bukankah mereka tahu bahwa Muhammad adalah keluarga korban pembantaian ini? Bukankah putra kesayangan beliau dibantai dan dicampakkan di padang sahara? Bukankah para malaikat datang mengucapkan bela sungkawa kepada beliau atas musibah besar yang beliau alami? Bukankah para Nabi bersama beliau dalam kesedihan dan duka?

Wahai para insan yang setia kepada Rasulullah, mengapa kalian tidak menyertai beliau dengan cucuran air mata?

Demi Allah, wahai pecinta putra Fatimah, iringilah beliau dalam meratapi jasad-jasad pembantaian ini! Berusahalah untuk mencucurkan air mata beriringan. Tangisilah kepergian pemimpin Islam ini, agar anda mendapatkan pahala orang yang bersedih atas musibah yang menimpa mereka dan meraih kebahagiaan di hari perhitungan awal kelak!.

Diriwayatkan dari junjungan kita Imam Baqir as., bahwa beliau bersabda: “Imam Ali Zainal Abidin as. mengatakan:

أيما مؤمن ذرفت عيناه لقتل الحسين عليه السلام حتى تسيل علي خده بوأه الله بها من الجنة غرفا يسكنها أحقاباً،وايما مؤمن ذرفت عيناه حتى تسيل على خده بما مسنا من الاذى من عدونا في الدنيا بوأه الله منزل صدق، وايما مؤمن مسه أذى فينا صرف الله عن وجهه الأذى وآمنه من سخط الله يوم القيامة

“Seorang Mukmin bila ia menangisi pembantaian lmam Husain as. hingga air mata membasahi pipinya, kelak Allah akan memberinya kamar-kamar di surga yang akan dia tempati selama-lamanya. Bila seorang Mukmin menangisi gangguan dan penganiayaan yang dilakukan para musuh terhadap kita, kelak Allah akan menempatkannya di tempat para siddiqin. Dan Jika seorang Mukmin merasa resah dan tersiksa karena gangguan yang kita derita, maka Allah akan menjauhkan segala gangguan darinya dan akan menjauhkannya dari kemurkaan api neraka di hari kiamat”.

Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far shadiq as. berkata:

من ذكرنا عنده ففاضت عيناه ولو مثل جناح الذبابة غفر الله ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر

Barang siapa yang mendengar musibah yang menimpa kita lalu menitikkan air mata walaupun sekecil sayap lalat, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.”

Diriwayatkan dari Ahlu Bait Nabi saw., bahwa mereka mengatakan:

من بكى وابكى فينا مائة فله الجنة. ومن بكى وابكى خمسين فله الجنة، ومن بكى وابكى ثلاثين فله الجنة، ومن بكى وابكى عشرين فله الجنة ومن بكى وابكى عشرة فله الجنة ومن بكى وابكى واحدا فله الجنة ومن تباكى فله الجنة

“Barang siapa menangis dan menjadikan seratus orang menangis atas musibah yang menimpa kita, maka tempatnya adalah surga. Barang siapa yang menangis dan membuat lima puluh orang menangis bersamanya maka tempatnya adalah surga. Barang siapa menangis dan membuat tiga puluh orang menangis, surga adalah tempatnya. Barang siapa menangis dan membuat dua puluh orang menangis, surga menjadi tempatnya. Barang siapa menangis dan membuat sepuluh orang menangis tempatnya adalah surga. Barang siapa menangis dan membuat seorang menangis, tempatnya adalah surga. Barang siapa (tidak bisa menangis, tapi) berusaha untuk menangis, tempatnya adalah surga”.

Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Thawus-penyusun kitab ini-berkata: alasan utama yang mendorong saya menyusun kitab ini adalah, ketika saya telah menyelesaikan penulisan kitab “Misbahu Al-Zair wa Janaahu Al-Musafir” yang menurut saya cukup lengkap dengan adanya banyak tata cara berziarah dan amalan-amalan yang seyogyanya dilakukan pada saat itu, sehingga dengan kitab ini orang tidak perlu lagi membawa buku-buku panduan ziarah dan doa lainnya. Ketika itulah, saya berpikir untuk membekali orang tersebut dengan satu kitab yang memuat kisah Karbala, sehingga dia tidak perlu lagi membawa kitab “Maqtal” saat berziarah ke makam Imam Husain as. di hari ‘Asyura’.

Maka dari itu, kitab ini saya susun sebagai pelengkap kitab pertama Hanya hal-hal penting saja bagi seorang peziarah dengan waktu yang singkat yang kami sebutkan dalam kitab ini. Saya berusaha untuk menghindari pembahasan yang panjang dan mendetail. Walaupun singkat, kitab ini cukup untuk memulai acara duka yang diinginkan oleh mereka yang benar-benar beriman, karena kronologi kejadiannya tertuang dalam bentuk kata-kata.

Kitab ini kami beri nama “Duka Padang Karbala”, dan terdiri dari tiga bagian, dengan mengharap pertolongan Tuhan yang Maha Penyayang.

 

[1] Nas.kah A (inisial untuk nas.kah cetakan Najaf tahun 1369 H): Sehingga jiwa mereka kosong dari segala sesuatu selain Dia.

 

BAGIAN PERTAMA

PRA SYAHADAH

Imam Husein a.s. lahir pada tanggal 5 Sya’ban tahun keempat Hijrah. Menurut riwayat lain, beliau lahir pada tanggal 3 Sya’ban. Riwayat ketiga mengatakan bahwa tanggal kelahiran beliau adalah akhir bulan Rabiul Awal tahun ketiga Hijrah. Ada juga riwayat-riwayat yang lain.

Ummul Fadhl[1] istri Abbas bin Abdul Mutthalib[2] ra. berkata,[3] “Sebelum kelahiran Al-Husain, saya bermimpi melihat sepenggal daging Rasulullah saw. terpotong dan diletakkan[4] di pangkuanku. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ta’bir mimpiku itu. Beliau saw. bersabda, “Mimpimu itu bagus. Jika mimpimu itu menjadi kenyataan, berarti Fatimah akan segera melahirkan seorang anak yang akan kuberikan kepadamu untuk engkau susui”.

Ummul Fadhl meneruskan, “Apa yang dikatakan beliau menjadi kenyataan. Suatu hari aku mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa bayi tersebut dan meletakkannya di pangkuan beliau. Tiba-tiba dia kencing, sehingga baju beliau saw. basah oleh air kencingnya. Akupun mencubitnya hingga menangis. Lalu Nabi saw. bersabda, “Wahai Ummul Fadhl, jangan kau lakukan itu, karena bajuku ini bisa dicuci tapi dengan cubitanmu itu, berarti engkau telah menyakitinya”.

Aku lalu pergi meninggalkannya dipangkuan beliau, untuk mengambil air.

Ketika kembali, aku melihat Rasulullah saw. menangis. Akupun bertanya, “Gerangan apa yang menjadikan anda menangis, ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Jibril baru saja datang dan memberitahuku bahwa umatku akan membunuh anakku ini. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat kelak[5]“.

Para perawi mengatakan, “Ketika umur Al-Husain genap satu tahun, dua belas malaikat datang kepada Nabi saw. Salah satu dari mereka dalam bentuk singa. Kedua dalam bentuk banteng, ketiga ular besar, keempat sebagai manusia biasa, dan delapan malaikat lainnya dalam bentuk yang bermacam-macam. Wajah mereka memerah dengan air mata yang luruh,[6] sembari membentangkan sayap, mereka berkata,

“Wahai Muhammad, putramu Al-Husain anak Fatimah akan mengalami apa yang dialami oleh Habil dari tangan Qabil. Dia akan memdapatkan pahala Habil sedangkan para pembantainya akan memikul dosa seperti dosa Qabil.”

Tak ada satu malaikatpun di langit kecuali turun dan mendatangi Nabi, untuk mengucapkan salam kepada beliau dan menghiburnya atas musibah yang kelak akan menimpa Al-Husain a.s., seraya memberitahukan kepada beliau pahala yang akan didapatnya dan memperlihatkan kepada beliau tanah tempat dia dibantai. Nabi saw. bersabda,

“Ya Allah, hinakanlah orang yang telah menghinakannya. Bunuhlah mereka yang membunuhnya dan jangan Engkau kabulkan apa yang mereka inginkan.”

Ketika Al-Husain a.s. berumur dua tahun, Nabi saw. pergi ke luar kota untuk suatu urusan. Pada waktu beliau sampai di suatu tempat, tiba-tiba beliau memerintahkan untuk segera pulang dengan air mata membasahi pipi beliau yang suci. Seseorang bertanya akan apa yang terjadi pada diri beliau.

Beliau menjawab, ” Jibril baru saja datang kepadaku dan memberitahuku akan sebuah daerah di tepi sungai Furat yang dikenal dengan nama Karbala.[7] Di sanalah kelak putraku Al-Husain anak Fatimah akan dibantai.”

Merekapun bertanya lebih lanjut, “Ya Rasulullah, siapakah gerangan si celaka yang akan membunuhnya itu”?

Beliau menjawab, “Seorang yang bernama Yazid. Seakan-akan aku kini tengah menyaksikan tempat pembantaian dan kuburannya.” Beliaupun pulang dari perjalanan ini dalam keadaan sedih.

Sesampainya di Madinah, beliau naik ke atas mimbar dan berpidato dengan menuntun kedua cucu beliau. Sambil meletakkan tangan kanan di kepala Al-Hasan dan tangan kiri di kepala Al-Husain, beliau bersabda,

“Ya Allah, Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Kedua anak ini adalah keluargaku yang suci, sebaik-baik keturunanku dan pusaka yang kutinggalkan untuk umatku. Tapi Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa anakku ini akan dibantai dan dihinakan. Ya Allah, berkatilah darahnya dan jadikanlah ia penghulu para syuhada. Ya Allah, laknatlah orang yang membunuh dan menghinakannya.”

Masjid Nabawi gaduh oleh suara tangis dan jeritan histeris kaum muslimin. Saat itulah Nabi saw. bersabda, “Apakah kalian hanya akan menangis dan tidak menolongnya ?”

Rasulullah saw. pulang ke rumahnya dengan muka pucat dan wajah yang memerah.

Pada kesempatan lainnya beliau berpidato sambil mencucurkan air mata. Beliau bersabda, “Wahai kaum muslimin sekalian, aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, Kitabullah dan ithrahku, keluargaku. Keduanya tidak akan saling berpisah sampai bersama-sama menemuiku kelak di telaga surga. Ingatlah bahwa aku selalu menunggu mereka berdua. Aku tidak pernah mengharapkan sesuatu dari kalian kecuali apa yang Allah perintahkan kepada kalian untuk selalu mencintai keluargaku. Hati-hatilah! Jangan sampai kalian menemuiku di telaga surga nanti dalam keadaan membenci keluargaku, menzalimi atau bahkan membunuh mereka!

Ingatlah bahwa kelak di hari kiamat akan ada tiga bendera umatku yang dihadapkan kepadaku. Bendera pertama berwarna hitam pekat yang membuat para malaikat murka. Ketika sampai dihadapanku, aku bertanya, “Siapakah kalian?”

Saat itu mereka lupa padaku dan menjawab, “Kami adalah orang-orang Arab yang mengesakan Tuhan.”

Kepada mereka kukatakan, “Aku adalah Ahmad, nabi bangsa Arab dan Ajam.”

“Kalau begitu kami adalah sekelompok dari umatmu, wahai Ahmad,” kata mereka selanjutnya

Aku bertanya lagi,”Apa yang kalian perbuat terhadap keluargaku, ithrahku dan kitab suci Tuhanku, sepeninggalku?”

Merekapun menjawab, “Kitabullah telah kami campakkan dan keluargamu telah kami usahakan untuk melenyapkan mereka dari muka bumi.”

Mendengar itu aku segera memalingkan muka dari mereka. Mereka lalu pergi dalam keadaan kehausan yang mencekik leher dan wajah yang hitam lebam.

Bendera kedua yang berwarna lebih hitam dari yang pertama datang. Kepada mereka aku bertanya, “Apa yang kalian perbuat terhadap dua pusaka peninggalanku baik besar maupun yang kecil, kitabullah dan keluargaku ?”

Mereka menjawab, “Kami telah menentang pusakamu yang besar. Adapun pusakamu yang kecil, mereka telah kami hinakan dan kami bantai.”

Segera kuhardik mereka,”Enyahlah kalian dari hadapanku !” Mereka pergi meninggalkanku padahal rasa dahaga sangat mencekik leher mereka dan wajah mereka menjadi berwarna hitam pekat.

Kemudian bendera ketiga datang dengan memancarkan cahaya. Kepada mereka aku bertanya, “Siapakah gerangan kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah pengikut agama tauhid dan orang-orang yang bertaqwa. Kami adalah umat Muhammad saw. Kami pengikut kebenaran di akhir zaman. Kami telah mengemban amanat Kitabullah. Segala apa yang dinyatakan halal olehnya kami halalkan dan yang diharamkannya kami haramkan. Kamipun mencintai keturunan Nabi Muhammad saw. Kami menolong dan membantu mereka dalam semua hal, seperti yang kami lakukan untuk diri kami sendiri dan kami perangi orang-orang yang memusuhi mereka.”

Akupun berkata kepada mereka,”Bergembiralah kalian! Aku Muhammad, nabi kalian. Di dunia kalian benar-benar telah melakukan apa yang kalian katakan tadi.”

Selanjutnya aku mempersilahkan mereka untuk meminum air telaga itu, hingga mereka pergi dalam keadaan kenyang dan gembira. Lalu mereka masuk ke dalam surga dan kekal di dalamnya.”

Dengan demikian, orang ramai membicarakan tragedi yang akan menimpa Al-Husain a.s., mengagungkan dan menantikan kedatangan hari itu. Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan [8] meninggal dunia -pada bulan Rajab tahun 60 H-, Yazid bin Muawiyah [9] menulis surat kepada Walid bin Uthbah [10],

gubernur Madinah[11] saat itu, dan memerintahkannya untuk mengambil baiat dari penduduk kota tersebut khususnya dari Al-Husain bin Ali a.s. dan berpesan, jika Al-Husain enggan untuk berbaiat, penggal kepalanya dan kirimkan padaku !”

Maka Walid memanggil Marwan bin Hakam[12] untuk meminta sarannya dalam masalah Al-Husain a.s. ini. Kepadanya Marwan berkata, “Dia tidak mungkin akan bersedia untuk berbaiat. Jika aku berada di posisi anda sekarang ini, pasti sudah kupenggal kepalanya.” Walid yang kebingungan menghadapi masalah tersebut mengatakan, “Andai saja aku tidak terlibat masalah ini.”

Lantas ia mengirimkan utusannya kepada Al-Husain a.s. dan meminta beliau untuk datang menghadapnya. Beliau datang dengan dikawal oleh tiga puluh orang jawara dari keluarga dan pengikutnya. Kepada beliau Walid menyampaikan berita kematian Muawiyah dan meminta beliau untuk berbaiat kepada Yazid.

Dalam jawabannya beliau berkata, “Tuan gubernur, baiat tidak mungkin dilakukan secara diam-diam. Jika besok anda memanggil orang-orang untuk berbaiat, panggil juga aku.”

Marwan dengan cepat menukas, “Wahai gubernur, jangan anda terima alasannya itu ! Bila ia keberatan untuk berbaiat penggal saja kepalanya !”

Mendengar itu Al-Husain a.s. naik pitam dan berkata, “Celaka engkau ! Kau perintahkan ia untuk memenggal kepalaku ? Demi Allah yang kau katakan itu hanyalah dusta, hai pengecut !”

Lalu beliau berpaling kepada Walid dan berkata, “Wahai gubernur, kami adalah keluarga para nabi, pusat risalah Ilahi, dan tempat hilir mudiknya para malaikat. Dengan kami, Allah telah membuka agama-Nya dan dengan kami pula Dia akan menutupnya. Sedangkan Yazid, ia adalah seorang yang fasik, peminum arak dan penumpah darah orang-orang yang tidak bersalah. Dia melakukan maksiat.dengan terang-terangan. Demi Allah, ia sama sekali tidak layak untuk menduduki tempat itu. Orang sepertiku tidak mungkin akan membaiat orang seperti dia. Cobalah lihat, siapa di antara kita yang berhak memegang tampuk kepemimpinan dan menerima baiat.”

Setelah itu beliau a.s. pergi meninggalkan mereka. Marwan segera menegur Walid dan berkata,”Mengapa anda tidak menuruti saranku ?”

Walid menjawab, “Celaka kau, hai Marwan! Kau ingin menjerumuskan aku untuk melakukan sesuatu yang akan menghancurkan agama dan duniaku sekaligus ? Demi Allah aku tidak sudi mendapatkan kekuasaan dunia seutuhnya dengan jalan membunuh Al-Husain.

Demi Allah, tak ada orang yang menghadap Allah di hari kiamat kelak dengan tangan yang berlumuran darah Al-Husain, kecuali timbangan amalnya akan ringan. Allah tidak akan memandangnya dengan mata rahmat dan tidak akan membersihkannya dari dosa dan pasti ia akan mendapatkan azab yang pedih.”

Keesokan harinya, Al-Husain a.s. keluar untuk mendengar berita yang tengah terjadi di Madinah. Tiba-tiba beliau berpapasan dengan Marwan yang menegurnya dan berkata,”Hai Abu Abdillah, turutilah saranku pasti anda akan selamat!”

Al-Husain a.s. menjawab, “Coba katakan apa saranmu itu?”

“Saya sarankan kepada anda untuk berbaiat kepada Amirul MukmininYazid. Sebab hal itu adalah jalan terbaik untuk dunia dan akherat anda,” jawabnya.

Mendengar itu, Imam Husain a.s. berkata,

“Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Jika umat Islam harus dipimpin oleh orang seperti Yazid berarti Islam telah hancur. Aku pernah mendengar kakekku Rasulullah saw. bersabda,

الخلافة محرمة على آل أبي سفيان

“Khilafah adalah hal yang haram bagi keluarga Abu Sufyan.”

Dialog yang terjadi antara Imam Husein a.s. dan Marwan ini cukup panjang dan berakhir dengan kepergian Marwan dengan rasa dongkol.[13]

Esok harinya Imam Husein a.s. bertolak menuju kota Mekah,[14] tepatnya pada tanggal 3 Sya’ban tahun 60 H. Beliau tinggal di sana selama kurang lebih empat bulan (Sya’ban, Ramazan, Syawal, dan Dzul Qai’dah).

Suatu hari Abdullah bin Abbas ra.[15] dan Abdullah bin Zubair[16] datang menemui beliau. Mereka berdua menyarankan agar beliau menetap di kota ini. Dalam jawabannya beliau mengatakan, “Rasulullah saw. telah memerintahkan padaku satu hal dan aku harus melaksanakannya.”

Sekeluarnya dari tempat Al-Husain, Ibnu Abbas berteriak histeris, “Oh, Husein!”

Tak lama kemudian Abdullah bin Umar[17] datang menemui beliau dan menyarankan agar beliau berdamai saja dengan orang-orang sesat ini untuk menghindari pertumpahan darah. Imam Husein a.s. menjawab,”Wahai Abu Abdur Rahman, tahukah anda bahwa salah satu hal yang menyebabkan Allah murka adalah bahwa kepala Yahya bin Zakaria dipersembahkan kepada seorang sundal dari bani Israil ? Tahukah anda bahwa bani Israil dalam kurun waktu yang relatif singkat, antara terbitnya fajar dan tebitnya matahari telah membantai tujuh puluh orang nabi. Kemudian mereka duduk di pasar dan asyik melakukan aktivitas berdagang mereka, seakan-akan tidak ada kejadian apapun. Meskipun demikian Allah tidak langsung mengazab mereka. Akan tetapi Dia mengulur waktu mereka untuk selanjutnya mencabut mereka dengan kuat. Takutlah kepada Allah, wahai Abu Abdur Rahman, dan jangan sampai anda lalai untuk membela dan menolongku.”

Ketika penduduk Kufah[18] mendengar berita bahwa Al-Husain a.s. telah sampai di kota Mekah dan beliau tidak bersedia untuk berbaiat kepada Yazid, mereka segera mengadakan rapat darurat di rumah Sulaiman din Shurad Al-Khuza’i[19]. Setelah mereka semua hadir, Sulaiman bin Shurad berdiri dan menyampaikan pidatonya. Di bagian akhir khotbahnya, ia berkata,

“Wahai para pengikut Ahlul Bait ! kalian semua telah mendengar berita kematian Mu’awiyah yang telah menemui tuhannya untuk menerima balasan atas segala yang telah diperbuatnya di dunia. Sebelum mati,ia telah mengangkat anaknya,Yazid, untuk menggantikan kedudukannya. Sedangkan Al-Husain putra Ali a.s. menentang hal itu. Beliau pergi ke kota Mekah, menghindar dari kejaran pasukan keluarga Abu Sufyan. Kalian semua adalah pengikutnya dan sebelum ini kalian adalah pengikut ayahnya. Kini beliau membutuhkan pertolongan kalian. Jika kalian yakin akan setia untuk membela beliau dan berperang melawan musuh-musuh beliau, tulislah surat kepadanya. Tetapi jika kalian takut kalah, maka jangan sekali-kali kalian tipu dan dustai beliau.”

Lantas mereka serentak menulis surat untuk Al-Husain a.s. sebagai berikut:

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Kepada Pemimpin kami, Al-Husain bin Ali a.s. dari Sulaiman din Shurad Al-Khuza’i, Musayyib bin Najbah[20],

Rufa’ah bin Syaddad[21] Habib bin Madhahir[22], Abdullah bin

Wa’il[23], dan segenap pengikutnya yang beriman.

Salam sejahtera atas anda. Amma Ba’du.

Maha suci Allah yang telah membinasakan musuh anda dan musuh ayah anda, seorang yang congkak dan durjana, seorang yang zalim dan lalim yang telah merampas hak-hak umat ini, merampok harta benda mereka dan memerintah tanpa restu mereka. Dialah yang telah membantai orang-orang baik dan memelihara orang-orang jahat dari umat ini. Harta Allah dijadikannya sebagai barang yang diputarkan di antara mereka,orang-orang zalim. Semoga Allah melaknatnya seperti melaknat kaum Tsamud.

Selain itu, kami sampaikan kepada anda, bahwa kami tidak mempunyai pemimpin selain anda. Datanglah kemari! Semoga Allah SWT berkenan mengumpulkan kami bersama anda untuk memperjuangkan kebenaran. Sekarang ini Nu’man bin Basyir[24] ada di istana gubernur. Kami tidak akan sudi berkumpul dengannya dalam satu majlis atau salat bersama dalam satu jamaah. Kami juga tak mau keluar bersamanya untuk salat ‘Ied. Bila berita keberangkatan anda kemari sampai kepada kami, akan kami keluarkan dia dari Kufah supaya dapat berkumpul dengan para tuannya di Syam[25]. Salam, rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai putra Rasulullah dan atas ayahmu. Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah yang Maha Agung.”

Surat ini ditanda tangani oleh mereka yang hadir di majlis itu. Selang dua hari, mereka mengutus sekelompok orang dengan membawa sekitar seratus lima puluh pucuk surat. Surat-surat tersebut ada yang ditanda tangani oleh seorang saja, ada yang dua orang, tiga orang bahkan empat orang. Mereka semua meminta agar Al-Husain a.s. sudi untuk datang ke Kufah. Meskipun demikian, beliau tidak tergesa-gesa mengabulkan permintaan mereka tersebut.

Surat-surat penduduk Kufah terus mengalir. Disebutkan bahwa pada suatu hari sekitar enam ratus pucuk surat sekaligus sampai ke tangan Al-Husain a.s. Jumlah seluruh surat yang beliau terima dalam banyak kesempatan yang berbeda sekitar dua belas ribu pucuk surat.

Hani bin Hani Al-Sabi’i[26] dan Said bin Abdullah Al-Hanafi[27] datang menemui beliau dengan membawa surat terakhir dari penduduk Kufah yang berbunyi:

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Kepada Al-Husain bin Ali Amiul Mukminin a.s. dari para pengikutnya dan pengikut ayahnya dulu, Amirul Mukminin. Amma Ba’du.

Masyrakat telah menantikan kedatangan anda. Bagi mereka tak ada lagi pilihan kecuali mengikutimu. Bergegaslah, wahai putra Rasulullah! Padang sudah menghijau. Buah sudah saatnya untuk dipetik. Rumputpun telah tumbuh subur. Dan pohon-pohon telah mengeluarkan daunnya. Bila anda bersedia, datanglah kepada kami. Karena kedatangan anda akan disambut lasykar besar yang siap bersamamu. Salam, rahmat dan barakat Allah atasmu dan atas ayahandamu.

Al-Husain berpaling kepada Hani bin Hani Al-Sabi’i dan Sa’id bin Abdullah Al-Hanafi dan bertanya, “Katakan padaku siapa saja yang menulis surat yang kalian bawa ini ?”

Mereka berdua menjawab, “Wahai putra Rasulullah, mereka adalah, Syabats bin Rab’i[28], Hajjar bin Abjur[29], Yazid bin Harits, Yazid bin Ruwaim[30], ‘Urwah bin Qais[31] ‘Amr bin Hajjaj[32] dan Muhammad bin ‘Umair bin ‘Atharid[33].”

Lalu Al-Husain as berdiri melaksanakan salat sunnah dua rakaat di antara Ka’bah dan Maqam Ibrahim seraya memohon petunjuk dari Allah SWT dalam masalah yang tengah beliau hadapi ini.

Kemudian beliau memanggil Muslim bin ‘Aqil[34] dan memberitahunya akan masalah yang tengah terjadi. Beliau juga menulis jawaban atas surat-sarat yang mereka kirmkan lewat Muslim. Dalam surat tersebut beliau berjanji untuk datang kepada mereka dan mengatakan yang intinya sebagai berikut:

Aku kirimkan saudara sepupuku, Muslim bin Aqil, ke kota kalian. Dialah yang akan memberiku kabar tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di kota kalian ini dan tekad bulat kalian.

Muslim berangkat menuju Kufah dengan membawa surat Al-Husain a.s. Setibanya di kota tersebut, beliau menunjukkan surat jawaban Al-Husain a.s. kepada penduduk kota Kufah. Setelah surat tersebut mereka baca, kegembiraan tampak di wajah mereka yang berseri-seri karena sang Imam yang mereka nanti-nantikan akan segera berada di tengah-tengah mereka. Mereka lalu menjamu Muslim di rumah Mukhtar bin Abi ‘Ubaidah Al-Tsaqafi[35].Di rumah itulah para pengikut Ahlul Bait silih berganti menemui duta Al-Husain a.s., Muslim bin Aqil.

Di hadapan sekelompok orang dari penduduk Kufah, Muslim membacakan surat Al-Husain yang dibawanya diiringi dengan derai air mata kerinduan mereka. Delapan belas ribu orang spontan berbaiat kepadanya.

Menyaksikan hal itu, Abdullah bin Muslim Al-Bahili[36], ‘Umarah bin Walid[37] dan Umar bin Sa’ad[38] buru-buru memberikan informasi kepada Yazid perihal Muslim bin ‘Aqil. Mereka menyarankan kepadanya untuk segera mencari pengganti Nu’man bin Basyir sebagai gubernur Kufah, yang dinilai lemah.

Yazid mengirimkan suratnya ke Ubaidillah bin Ziyad[39] -yang saat itu menjabat sebagai gubernur Bashrah[40]-yang berisi pengangkatannya sebagai gubernur Kufah dan Bashrah sekaligus dan memberitahunya perihal Muslim bin Aqil dan tugas yang diembannya dari Al-Husain a.s. Tak lupa, Yazid menekankan untuk segera mencari Muslim dan membunuhnya. Ubaidillah bersiap-siap untuk segera bertolak ke Kufah.

Pada saat yang sama, Al-Husain a.s. telah mengirimkan suratnya kepada para pembesar kota Bashrah. Surat yang dibawa oleh bekas budak beliau yang dikenal dengan sebutan Abu Razin[41] ini, berisikan ajakan beliau kepada mereka untuk membela dan menaatinya.Di antara para pembesar itu, terdapat nama Yazid bin Mas’ud Al-Nuhsyali[42] dan Mundzir bin Jarud Al-‘Abdi.[43]

Dengan kedatangan duta Al-Husain a.s. ini, Yazid bin Mas’ud segera mengumpulkan kabilah bani Tamim, bani Handzalah dan bani Sa’ad[44]. Setelah mereka semua hadir, Yazid bin Mas’ud memulai pembicaraannya. Ia berkata,

“Wahai kabilah bani Tamim ! Bagaimana pendapat kalian tentang kedudukan dan silsilah keturunanku ?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, anda adalah simbol keutamaan. Kemuliaan anda tidak lagi diragukan.”

Kemudian Yazid berkata, “Kalian aku kumpulkan di sini untuk suatu masalah yang maha penting. Aku ingin meminta saran dan pertolongan kalian.”

Mereka serempak menjawab, “Demi Allah, kami hanya menginginkan kebaikan untuk anda. Apapun yang anda katakan akan kami ikuti. Katakanlah, kami siap mendengarnya !”

Yazid lebih lanjut berkata, “Mu’awiyah telah mati. Kematiannya tidak menjadikan kita berduka. Ingatlah bahwa dinding ketidakadilan dan kedurjanaan telah roboh. Pondasi kezaliman telah runtuh. Sebelum kematiannya, ia telah mengambil baiat utnuk anaknya. Dia mengira bahwa yang dilakukannya itu sudah cukup untuk membuat baiat itu legal dan resmi. Tapi ketahuilah bahwa apa yang diinginkannya ini jauh dari kenyataan. Demi Allah, usahanya hanya sia-sia belaka. Tindakannya ini hanya mendatangkan kehinaan buatnya. Dan sekarang anaknya, Yazid, seorang penenggak khamar dan pemuka para pendosa, mengaku sebagai khalifah kaum muslimin. Dia ingin memerintah tanpa restu dari mereka. Padahal ia tidak mempunyai kebijakan dan ilmu pengetahuan sama sekali. Dia sedikitpun tidak mengenal kebenaran. Aku bersumpah demi Allah, dengan sumpah sejati, bahwa berperang melawannya demi tegaknya agama lebih utama dari pada berperang melawan kaum musyrikin.

Sedangkan Al-Husain bin Ali, anak dari putri Rasulullah saw. adalah pemilik kemuliaan yang sebenarnya. Keutamaannya tak dapat disifati dan ilmunya tak terbata.s. Beliaulah yang lebih berhak untuk memegang kekuasaan, karena keutamaan, usia, pengalaman dan kekerabatannya dengan Rasulullah saw. Dia orang yang lemah lembut terhadap anak kecil dan menghormati orang yang lebih tua. Dialah sebaik-baik pemimpin dan imam bagi umat. Kita semua wajib untuk mengikutinya. Cukup banyak bukti untuk mentaatinya.

Jangan sampai kalian mnyimpamg dari jalan yang benar dan terjerumus ke jurang kebatilan. Ingatlah bahwa Shakhr bin Qais[45] telah menghinakan kalian dalam perang Jamal. Karena itu, cucilah dosa kalian dengan keluar menyambut ajakan putra Rasulullah ini dan membelanya. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lalai untuk membantu dan membelanya kecuali Allah SWT akan menurunkan kehinaan atas anak cucunya dan memperkecil jumlah keluarganya.

Lihatlah, kini aku telah mengenakan baju perang. Siapapun dia, jika tidak tewas terbunuh, pasti akan mati juga. Siapapun yang lari, ajal tetap akan menjemputnya. Karena itu, aku berharap bahwa jawaban kalian adalah yang terbaik untuk kalian sendiri. Semoga Allah menurunkan rahmatNya atas kalian.”

Bani Handzalah bangkit dan berseru,

“Wahai Abu Khalid, kami ibarat anak panah busurmu dan pasukan berkuda kaummu. Jika anda lepaskan anak panah itu, ia akan jatuh tepat di sasaran. Dan jika anda berperang bersama kami pastilah anda akan menang. Demi Allah, tak ada lautan yang anda selami kecuali kami akan bersama anda menyelaminya. Dan tak ada satu masalahpun yang anda hadapi kecuali kami akan bersama anda menghadapinya. Kami akan membela anda dengan pedang dan membentengi anda dengan tubuh kami.[46] Bangkitlah jika itu yang anda inginkan.”

Bani Sa’ad bin Zaid[47] angkat suara dan mengatakan,

“Wahai Abu Khalid, tak ada yang lebih kami benci dari menentangmu dan meninggalkan pendapatmu. Dulu Shakhr bin Qais menyuruh kami untuk meninggalkan medan perang, tapi kami tolak ajakannya dan kami turuti keyakinan kami sendiri,sehingga kehormatan tetap kami miliki. Beri kami waktu untuk merundingkan masalah ini, jawabannya akan segera kami sampaikan kepada anda.”

Bani Amir bin Tamim berkata,

“Wahai Abu Khalid, kami putra saudara ayahmu dan pembela-pembelamu. Kami tidak akan rela jika engkau marah. Dan jika anda pergi kami tak akan tinggal diam. Terserah padamu. Ajaklah kami, pasti akan kami penuhi ajakanmu. Perintahlah kami pasti akan kami lakukan perintahmu. Semua terserah padamu.”

Yazid bin Mas’ud merasa lega dan berkata,

“Wahai bani Sa’ad, demi Allah, jika yang kalian katakan itu benar-benar kalian lakukan, niscaya Allah tidak akan mengangkat pedang dari tangan kalian. Dan kalian akan selalu mulia dengan kekuatan yang ada di pedang kalian itu.”

Kemudian ia menulis surat kepada Imam Husein a.s., yang berbunyi:

Bismillahir Rahmanir Rahim

Amma ba’du.

Surat anda telah saya terima. Saya telah memahami maksud ajakan dan seruan anda untuk mentaatimu dan bergegas membantumu. Semoga Allah tidak pernah akan mengosongkan bumi dari orang yang berbuat kebajikan dan menjadi petunjuk jalan keselamatan. Kalian adalah hujjah Allah atas para hambaNya dan amanat yang Dia dititipkan di muka bumi. Kalian berasal dari pokok zaitun Ahmad. Dialah pokok sedangkan kalian adalah cabangnya. Datanglah anda pasti yang gembira. Saya telah mengajak bani Tamim untuk menyertai anda. Dan kini mereka menantikan kedatangan anda lebih dari kawanan unta kehausan yang menantikan air. Saya juga telah mengajak bani Sa’ad. Hati-hati mereka yang kotor telah kucuci dengan air hujan yang sejuk sehingga tampak bersih dan berkilau.”

Setelah Imam Husein a.s. membaca surat tersebut, beliau berkata,

“Semoga Allah memberimu rasa aman di hari semua orang dicekam oleh rasa takut yang luar biasa dan memuliakan serta memberimu minuman di hari kehausan akbar.”

Ketika orang tersebut -Yazid bin Mas’ud- hendak pergi bergabung dengan Imam Husein a.s., berita syahada beliau di Karbala sampai ke telinganya. Diapun bersedih karena tak dapat ikut serta terbunuh bersama beliau.

Adapun Mundzir bin Jarud, bersama dengan utusan Al-Husain a.s. dan surat yang dibawanya, ia pergi menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Sebab ia khawatir bahwa surat ini dikirim oleh mata-mata Ubaidillah. Di samping itu, Bahriyah[48] anak perempuan Mundzir adalah istri Ubaidillah. Sang gubernur segera menangkap duta Al-Husain itu dan mensalibnya. Kemudian ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman kepada penduduk kota Bashrah untuk tidak menentangnya dan menyebarkan fitnah yang berbahaya.

Malam itu ia dapat beristirahat dengan tenang. Keesokan harinya, ia menunjuk saudaranya, Utsman bin Ziyad[49], untuk duduk menggantikannya dalam tugasnya sebagai gubernur Bashrah. Ia sendiri pergi bertolak menuju kota Kufah.

Mendekati kota Kufah, perjalanan ia hentikan untuk menunggu gelapnya suasana. Malam hari, Ubaidillah berjalan memasuki kota Kufah. Penduduk kota yang menyangka bahwa orang itu adalah Al-Husain a.s., segera larut dalam kegembiraan,karena orang yang telah sekian lama mereka nantikan kini telah berada di tengah-tengah mereka. Mereka segera menyambut kedatangannya dan bergerak mendekat. Namun tiba-tiba mereka lari terbirit-birit saat mengenali wajah orang yang baru datang yang ternyata adalah Ibnu Ziyad ini.

Ubaidillah masuk ke dalam istana gubernur dan beristirahat sampai pagi.

Esok harinya, ia naik ke atas mimbar. Sambil menghadap penduduk kota Kufah, ia menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman bagi para pembangkang khalifah dan janji-janji muluk bagi yang setia dan patuh kepadanya.

Sewaktu Muslim mendengar berita tersebut, beliau cemas kalau-kalau kabar kedatangannya sebagai duta Al-Husain a.s. sampai ke telinga Ubaidillah. Maka beliaupun bergegas meninggalkan rumah Mukhtar menuju ke rumah Hani bin ‘Urwah[50]. Hani dengan senang hati menerima dan memberinya tempat. Para pengikut Ahlul Bait a.s. berdatangan silih berganti di rumah tersebut. Di lain pihak Ubaidillah telah lebih dulu menyebar mata-matanya untuk mengawasi rumah Hani dan menangkap Muslim.

Setelah yakin bahwa Muslim bin Aqil berada di rumah Hani, Ubaidillah lantas memanggil Muhammad bin Asy’ats[51], Asma’ bin Kharijah[52] dan ‘Amr bin Hajjaj. Kepada mereka dia berkata, “Apa gerangan yang menyebabkan Hani bin ‘Urwah tidak datang menemuiku ?”

Mereka menjawab,” Entahlah, kami tidak tahu.” Ada yang lantas berujar, “Dia sedang sakit, tuan.”

“Aku sudah dengar itu,” seru Ubaidillah.”Tapi kabarnya dia sudah sembuh dan asyik duduk-duduk di depan rumahnya. Kalau tahu bahwa dia masih sakit, pasti akan kubesuk dia. Kalian, pergilah dan temui dia. Suruh dia untuk tidak melupakan kewajibannya terhadap kami. Aku tidak suka berurusan dengan orang seperti dia, sebab dia masih termasuk bangsawan Arab.”

Mereka lalu pergi menemui Hani. Sore hari, mereka sampai di depan pintu rumah Hani. Kepadanya mereka bertanya, “Apa yang membuatmu enggan menemui tuan gubernur ? Tadi beliau menyinggung masalah anda, seraya mengatakan, jika Hani sakit maka aku akan segera membesuknya.”

“Sakit inilah yang menghalangiku,” jawab Hani.

“Ubaidillah mendapat laporan bahwa anda setiap petang hari duduk-duduk di serambi rumah anda. Dia merasa bahwa anda enggan untuk menemuinya, karena keterlambatan anda ini. Keterlambatan dan sikap keras kepala dari orang seperti anda tidak dapat diterima oleh seorang penguasa. Sebab anda adalah seorang pembesar kota ini. Oleh karena itu, kami bersumpah untuk membawa anda segera menemuinya,” ujar mereka lagi.

Hani meminta pakaian dan kudanya. Setelah berganti pakaian dan duduk di atas kuda, mulailah mereka bergerak menuju istana gubernur.Saat mereka hampir sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba dia mendapatkan firasat bahwa ada sesuatu yang bakal terjadi. Kepada Hassan bin Asma’ bin Kharijah ia berkata,”Wahai keponakanku, aku merasa cemas untuk bertemu dengan orang ini. Bagaimana denganmu ?”

Hassan menjawab, “Demi Allah, paman, aku tidak merasakan bahwa akan ada sesuatu yang bakal terjadi. Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Hassan tidak menyadari maksud Ubaidillah bin Ziyad memanggil Hani.

Hani telah sampai di istana bersama orang-orang tadi. Lalu mereka masuk ke ruangan Ubaidillah. Sewaktu pandangan Ubaidillah jatuh ke wajah Hani, iapun berseru, “Akhirnya pengkhianat ini datang juga.”

Lalu ia menoleh ke arah Syuraih[53], hakim kota, yang duduk di sampingnya seraya menunjuk Hani dan membawakan bait syair ‘Amr bin Ma’dikarib Al-Zubaidi[54]:

Kuingin dia hidup, tapi ia inginkan kematianku

Sungguh mengherankan kawanmu dari Murad ini

“Apa yang anda maksudkan itu, wahai tuan gubernur ?” tanya Hani.

Ubaidillah bin Ziyad menjawab, “Suara sumbang yang terjadi di rumahmu yang mengancam Amirul Mukminin Yazid dan menyebabkan fitnah di kalangan kaum muslimin. Bukankah kau telah membawa Muslim bin Aqil ke rumahmu. Lalu kau mengumpulkan senjata dan menyusun kekuataan militer. Kau kira kami tidak tahu ?”

“Sungguh aku tidak melakukan hal itu, ” sanggah Hani.

“Bohong. Kau telah melakukannya”, tegas Ibnu Ziyad.

“Semoga Allah meluruskan tuan gubernur. Saya tidak pernah melakukan hal yang anda tuduhkan itu,” bantah Hani lagi.

“Panggil budakku Mi’qal[55],” seru Ibnu Ziyad dengan geram. Mi’qal adalah nama seorang budak yang ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad untuk memata-matai setiap gerakan yang mencurigakan dari para pecinta Ahlul Bait A.S. Ia banyak mengetahui rahasia mereka.

Mi’qal datang dan berdiri di hadapan sang Amir. Saat pandangan Hani jatuh ke wajah orang tersebut, sadarlah ia bahwa selama ini ia selalu dimata-matai oleh budak Ubaidillah bin Ziyad.

Hani segera berkata, “Semoga Allah meluruskan tuan. Demi Allah, aku tidak pernah memanggil maupun mengundang Muslim bin Aqil ke rumahku. Tapi sewaktu ia datang sendiri ke rumahku dan meminta perlindunganku, aku tidak dapat menolaknya. Aku terikat janji dengannya untuk memberinya perlindungan. Aku kira anda cukup mengetahui posisiku dalam masalah ini. Karena itu biarkan aku pulang ke rumah dan menyuruhnya pergi meninggalkan rumahku, kemana saja dia suka. Dengan itu aku terlepas dari tanggungan ini.”

Ibnu Ziyad menolak permintaan Hani dan berkata, “Demi Allah, tak akan kubiarkan engkau keluar dari sini kecuali setelah menyerahkan orang itu.”

“Aku bersumpah untuk tidak menyerahkannya kepadamu. Jangan dikira bahwa aku akan rela menyerahkan tamuku padamu untuk kau bunuh,” sergah Hani.

“Tak ada pilihan lain selain kau harus menyerahkannya padaku,” seru Ibnu Ziyad.

“Demi Allah, tidak mungkin akan kuserahkan,” jawab Hani.

Ketika dialog antara keduanya kian memanas, Muslim bin ‘Amr Al-Bahili[56] bangkit dan berkata, “Semoga Allah melindungi tuan gubernur! Biarkan aku berdua bersamanya, biar kubujuk dia.”

Mereka berdua pergi ke salah satu sudut istana -di tempat yang sekiranya Ibnu Ziyad dapat melihat mereka dan mendengar pembicaraan mereka. Tiba-tiba suara mereka bertambah tinggi.

Muslim berkata, “Hai Hani, kuingatkan engkau kepada Allah ! Jangan kau binasakan dirimu sendiri dan membuat permasalahan untuk keluargamu! Demi Allah, aku tidak ingin kau mati terbunuh. Muslim bin Aqil masih termasuk famili mereka sendiri. Mereka tidak mungkin akan melukai apalagi sampai membunuhnya. Karena itu serahkan saja ia kepadanya! Jika hal itu kau lakukan masyarakat tidak akan mencelamu, sebab kau telah menyerahkannya kepada penguasa.”

Hani menjawab, “Demi Allah, sungguh aib dan cela yang besar buatku bila hal itu sampai kulakukan. Jadi kau menyuruhku untuk menyerahkan orang yang kulindungi sekaligus tamu dan utusan putra Rasulullah SAW., kepada musuhnya, padahal aku masih segar bugar dan memiliki banyak orang yang siap membelaku? Demi Allah, seandainya aku hanya sendirian tanpa ada seorangpun yang siap membelaku tak akan pernah aku menyerahkannya walaupun harga yang harus aku tebus adalah nyawaku ini.”

Ketika Ibnu Ziyad mendengar jawaban Hani tersebut mendadak ia naik pitam dan berteriak, “Bawa dia kemari!”

Hani dibawa mendekat ke Ibnu Ziyad. Kepadanya Ubaidillah berkata, ” Demi Allah, serahkan dia kepadaku atau kupenggal batang lehermu !”

“Kalau begitu akan banyak pedang yang mengepung rumahmu,” jawab Hani.

“Oh, kasihan kau ini Hani. Kau takut-takuti aku dengan pedang,” cibir Ubaidillah. Hani mengira bahwa sanak keluarganya akan menanggapi apa yang ia katakan tadi.

“Bawa dia lebih dekat lagi!”, seru Ibnu Ziyad kemudian. Ketika Hani telah berada di dekatnya, tiba-tiba Ubaidillah memukulkan kayu ke wajahnya. Hidung, dahi dan pipinya menjadi sasaran pukulan Ibnu Ziyad yang bertubi-tubi itu. Hidung Hani retak. Darah segar mengucur membasahi bajunya. Daging pipi dan dahinya menonjol keluar. Pukulan Ibnu Ziyad tidak berhenti sampai kayu tersebut patah dan terbelah.

Hani mengayunkan tangannya ke pangkal pedang seorang pengawal yang berada di dekatnya. Dengan gerakan refleks, pengawal itu menarik pedangnya. Tiba-tiba terdengar suara Ibnu Ziyad yang mengatakan, “Tangkap dan seret dia!”

Hani ditangkap lalu dimasukkan ke dalam satu ruangan di istana yang dikunci dari luar. Kini Hani tak dapat lolos lagi.

“Jaga dan awasi dia!”, perintah Ubaidillah. Perintah dijalankan.

Asma’ bin Kharijah -menurut sebagian riwayat Hassan bin Asma’- berdiri dan menghampiri Ibnu Ziyad. Kepadanya ia berkata, “Apakah hari ini semua orang sudah menjadi pengecut dan licik ? Tuan gubernur, anda menyuruh kami untuk membawa dia menghadapmu. Tapi setelah kami berhasil membawanya kemari, anda lalu memukul wajahnya hingga darah mengalir dari rongganya dan membasahi janggutnya. Bahkan andapun mengancam akan membunuhnya.”

Mendengar itu Ubaidillah naik pitam. “Tetap di tempat!,” bentaknya. Kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencambuknya. Setelah puas, dalam keadaan tangan dan kaki yang dibelenggu, ia ditahan di salah satu sudut istana.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Berita kematianmulah, wahai Hani, yang dapat aku sampaikan,” batinnya.

Berita terbunuhnya Hani segera tersebar dan sampai ke telinga ‘Amr[57] bin Hajjaj. -Ruwaihah[58] putri ‘Amr adalah istri Hani- ‘Amr bersama dengan seluruh kabilah bani Midzhaj segera datang dan mengepung istana.

Dengan suara yang lantang dia berkata, “Aku ‘Amr bin Hajjaj dan ini para jawara bani Midzhaj. Kami adalah orang-orang yang loyal pada pimpinan dan kelompok kami. Kami dengar bahwa saudara kami, Hani, terbunuh di sini.”

Ubaidillah sadar bahwa sesuatu yang tak diinginkannya bakal terjadi, melihat kedatangan mereka dan apa yang mereka katakan. Lantas ia memerintahkan Syuraih untuk masuk ke tempat di mana Hani disekap dan melihat keadaannya, lalu memberitahukan keselamatannya kepada keluarga dan kabilah Hani. Syuraih melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibnu Ziyad. Mendengar kesaksiannya, kaum kerabat Hani lega dan beranjak meninggalkan istana.

Berita tersebut segera menyebar dan sampai pada Muslim bin Aqil. Beliau lalu keluar bersama orang-orang yang telah membaiatnya untuk menyerang Ubaidillah.

Ibnu Ziyad hanya bisa berlindung di balik tembok istana untuk menghindar dari Muslim. Pertempuran antara pasukan Muslim dan tentara istana pun berkobar. Orang-orang Ibnu Ziyad yang berada di dalam istana dengan setia menemaninya dan menakut-nakuti para pengikut Muslim akan bala tentara yang segera tiba dari Syam. Pertempuran terus berlanjut sampai malam hari.

Pasukan Muslim mulai meninggalkan sang komandan seraya berbisik satu sama lain, Kenapa kita mesti mempercepat datangnya fitnah? Bukankah lebih baik kita tinggal di dalam rumah dan tidak ikut campur urusan mereka? Serahkan saja pada Allah yang akan mendamaikan mereka yang berselisih!”

Pasukan Muslim hanya tersisa sepuluh orang saja. Bersama dengan sepuluh orang tadi, muslim masuk ke dalam mesjid untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Mereka inipun pergi meninggalkannya.

Melihat apa yang terjadi, dengan langkah gontai, Muslim berjalan seorang diri menelusuri lorong-lorong kota Kufah. Sampai di depan pintu rumah seorang wanita tua bernama Thau’ah[59], beliau meminta seteguk air kepadanya. Wanita tua itu menyodorkan segelas air kepadanya.

Kemudian Muslim meminta perlindungan darinya. Iapun dengan senang hati menerima kehadiran Muslim. Anak si wanita setelah tahu apa yang terjadi di rumahnya, segera menyampaikan berita kepada Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Asy’ats untuk menangkap Muslim.

Muslim yang mendengar suara ramai derap kaki kuda sadar bahwa keberadaannya di rumah itu telah diketahui oleh Ibnu Ziyad. Secepat kilat ia mengenakan baju besinya dan naik ke atas kuda lalu menyerang pasukan kiriman Ubaidillah tersebut.

Setelah Muslim berhasil menewaskan beberapa orang, tiba-tiba Muhammad bin Asy’ats berseru, “Hai Muslim, menyerahlah ! Aku menjamin keselamatanmu.”

“Jaminan keselamatan apa yang dapat diberikan oleh orang-orang licik dan durjana ?” jawab Muslim. Beliaupun lantas meneruskan pertarungan tak berimbang itu sambil mendendangkan bait-bait syair Hamran bin Malik Al-Khats’ami[60] pada perang Qaran yang berbunyi:

Aku bersumpah tak akan mati kecuali dalam kebebasan

Walupun kulihat maut sangatlah menakutkan

Aku benci menjadi sasaran muslihat dan tipuan

Atau mencampur rasa dingin panas dan kepahitan

Semua pasti kan temui kemalangan suatu hari

Kutebas kalian apapun akibatnya, aku tak perduli

Mereka menyahut, “Tak ada makar dan tipu muslihat di sini.” Muslim tak menggubris. Melihat itu, mereka serentak bersama-sama menyerangnya. Muslim yang sudah mengalami banyak luka di tubuhnya, akhirnya ditikam dari belakang oleh seseorang hingga jatuh tersungkur. Selanjutnya ia ditangkap sebagai tawanan.

Ketika dihadapkan pada Ubaidillah bin Ziyad, Muslim masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Pengawal istana yang menyaksikan hal itu langsung menghardiknya dan berkata, “Ucapkan salam pada tuan gubernur!”

“Tutup mulutmu! Demi Allah dia bukan tuanku,” jawab Muslim.

Ibnu Ziyad menyahut, “Biarkan saja, tidak apa-apa. Kau mau mengucapkan salam atau tidak itu sama saja. Sebentar lagi kau juga akan mati.”

Muslim menjawab, “Aku tidak terkejut mendengar kau akan membunuhku. Sebab dulu orang yang lebih jahat darimu juga telah membunuh orang yang jauh lebih baik dari aku. Selain itu, aku tahu bahwa kau tidak lepas dari pembunuhan dengan cara yang keji, mencincang, hati yang busuk dan cacian kemenangan. Tak ada yang lebih berhak atas hal itu kecuali engkau.”

Dengan geram Ubaidillah berkata, “Hai pembangkang dan pengacau! Kau sudah melawan imam dam pemimpinmu sendiri. Kau rusak persatuan kaum muslimin dan tebarkan fitnah di antara mereka.”

“Bohong! Yang merusak persatuan kaum muslimin adalah Mu’awiyah dan anaknya, Yazid. Sedangkan yang menebarkan fitnah adalah engkau dan ayahmu, Ziyad bin Ubaid[61], budak bani ‘Ilaj dari Tsaqif. Aku berharap semoga Allah mengaruniaku syahadah di tangan orang yang paling jahat,” jawab Muslim.

Ubaidillah sambil mencibir Muslim berkata, ” Kau menginginkan sesuatu (kepemimpinan) yang Allah tidak kehendaki. Dia melihat bahwa kau bukanlah orang yang pantas untuk mendapatkannya. Karena itu, Dia telah memberikannya kepada yang layak.”

Muslim bertanya, “Hai putra Marjanah, siapa orang berhak itu ?”

Ubaidillah menjawab, “Yazid bin Mu’awiyah.”

“Al-Hamdulillah. Kami rela menjadikan Allah sebagai hakim di antara kita,” ujar Muslim.

“Apa kau mengira pantas untuk mendapatkan kekuasaan ?”, tanya Ubaidillah.

“Bukan hanya perkiraan dan sangkaan, tapi yakin dan pasti,” jawab Muslim.

“Hai Muslim, katakan padaku, apa maksud kedatanganmu ke kota ini, yang dulu suasananya tenang dan hubungan di antara merekapun baik tapi sekarang engkau rusak suasana dan persatuan mereka?”, kata Ubaidillah.

Muslim menjawab, “Tujuan dan maksud kedatanganku bukan seperti yang kau tuduhkan. Tapi ketika kalian dengan terang-terangan melakukan hal-hal yang mungkar, kalian kubur hal-hal yang ma’ruf, kalian memerintah atas umat ini tanpa restu dari mereka, kalian bawa mereka ke arah yang tidak Allah ridhai, dan kalian melakukan seperti apa yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan kaisar Rumawi, maka sekarang aku datang untuk menegakkan kebajikan ( ma’ruf ) dan melarang kekejian ( mungkar ) sekaligus mengajak mereka untuk kembali ke hukum Allah dan Rasul-Nya. Kamilah orang yang paling layak untuk melakukannya, seperti yang telah dititahkan oleh Rasulullah saw.”

Ubaidillah – la’natullah ‘alaihi – mulai ,mencaci-maki Imam Ali, Al-Hasan dan Al-Husain a.s.

“Kau dan ayahmulah yang pantas untuk menerima cacian dan makian itu. Lakukanlah apa yang kau maukan, hai musuh Allah !”, potong Muslim.

Selanjutnya Ubaidillah memanggil Bukair bin Hamran[62] dan menyuruhnya untuk pergi ke atas istana dengan membawa Muslim dan kemudian membunuhnya. Bukairpun pergi ke atas istana dengan membawa Muslim yang mulut dan lidahnya selalu basah dengan ucapan tasbih, istighfar dan salawat kepada Nabi saw. Adegan selanjutnya, kepala Muslim lepas dengan sekali teba.s. Tapi wajah Bukair pucat pasi saat turun dan menghadap Ubaidillah bin Ziyad.

“Ada apa denganmu ?”, tanya Ubaidillah.

“Pada saat aku mengayunkan pedangku untuk menebas kepalanya, tiba-tiba kulihat seseorang dengan kulit berwarna hitam legam dan wajah yang menakutkan berada di hadapanku sambil menggigit jari -atau bibirnya-. Melihat itu, aku ketakutan setengah mati. Belum pernah aku merasa takut seperti ini “, jawabnya.

“Ah, kau hanya panik saja,” kata Ubaidillah mencoba menghibur.

Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan agar Hani bin Urwah segera dibunuh. Hani hanya bisa berteriak memanggil sanak keluarganya, ” Wahai bani Midzhaj! Di manakah kalian wahai bani Midzhaj? Di mana sanak keluargaku ? “

Algojo berkata kepadanya, “Julurkan lehermu!”

Hani menjawab, “Demi Allah, aku bukan orang dermawan yang mau memberikan kepalaku. Dan tidak mungkin aku akan membantu orang dalam membunuhku.”

Budak Ubaidillah bin Ziyad yang bernama Rasyid[63] segera memukul dan menghabisinya.

Berkenaan dengan terbunuhnya Muslim dan Hani, Abdullah bin Zubair Al-Asadi[64] mengatakan dalam bait syairnya[65].

Jika kau tak tahu apakaha maut itu

Lihatlah Hani dan Muslim putra Aqil

Jawara dengan kepala pecah karena pedang

Dan yang gugur jatuh dari ketinggian

Keduanya korban kebiadaban para durjana

Yang menjadi buah bibir semua orang

Kau lihat jasad dengan warna dirubah maut

Dan darah segar membasahi tubuh mereka

Kesatria pemalu bak seorang gadis

Tajam melebihi pedang bermata dua

Asma’ kini tak merasa aman di atas kudanya

Di saat bani Midzhaj hendak menebus darah darinya

Bani Murad mengitarinya, sedang mereka semua

Baik pemimpin maupun rakyat telah siaga

Jika kalian tak mau menuntut balas darinya

Jadilah wanita murah yang puas dengan sedikit harta

Setelah itu, Ubaidillah bin Ziyad menulis sepucuk surat kepada Yazid bin Mu’awiyah dan memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berhasil membunuh Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah.

Menanggapi surat tersebut, Yazid membalas dengan mengirimkan surat yang berisi rasa terima kasihnya atas apa yang telah diperbuat oleh Ibnu Ziyad terhadap mereka berdua. Selain itu, ia juga mengabarkan akan keberangkatan Al-Husain a.s. menuju Kufah, sekaligus memerintahkannya untuk menindak tegas dan memenjarakan siapa saja yang condong kepada beliau a.s. walaupun atas dasar praduga murni.

Al-Husain a.s. meninggalkan kota Mekah pada hari Selasa[66] tanggal 3 Dzulhijah, dan menurut pendapat lain tanggal 8 Dzulhijjah[67], tahun 60 H, sebelum berita terbunuhnya Muslim bin Aqil sampai ke telinga beliau. Sebab beliau keluar dari Mekah pada hari Muslim terbunuh.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari Al-Imami[68] dalam kitabnya “Dalailu Al-Imamah[69]meriwayatkan dari Abu Muhammad Sufyan bin Waki’[70] dari ayahnya, Waki’[71], dari A’masy[72]. Ia mengatakan, “Abu Muhammad Al-Waqidi[73] dan Zurarah bin Khalaj[74] mengatakan padaku, “Kami pergi menemui Al-Husain bin Ali a.s. tiga hari sebelum beliau keluar menuju Irak[75]. Kepada beliau kami katakan bahwa penduduk Kufah adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Hati mereka bersama beliau tapi pedang mereka menghadap beliau.

Kemudian beliau menunjuk ke ata.s. Tiba-tiba pintu-pintu langit terbuka dan para malaikat turun ke bumi dalam jumlah yang terhitung kecuali oleh Allah SWT. Kemudian beliau berkata, “Jika bukan karena takdir yang sudah ditentukan dan dekatnya kematianku, akan kuperangi mereka dengan pasukan malaikat ini. Akan tetapi, di sanalah pusaraku dan pusara para sahabatku. Tak akan ada yang selamat kecuali anakku, Ali.”

Disebutkan bahwa ketika hendak berangkat menuju Irak, di depan khalayak beliau berdiri menyampaikan khutbahnya:

“Maha suci Allah. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Tiada kekuatan kecuali dengan izinnya. Salawat dan salam Allah atas Rasul-Nya. Maut adalah sesuatu yang melingkar pada manusia bagai seuntai kalung yang melingkar di leher seorang dara. Betapa rindunya aku untuk segera berjumpa dengan para pendahuluku melebihi rindunya Ya’qub kepada anaknya, Yusuf a.s.

Sebaik-baik hal bagiku adalah kematian yang akan kualami. Aku dapat menyaksikan badanku dicabik-cabik oleh serigala-serigala buas padang pasir di sebuah tempat di antara Nawasis[76] dan Karbala. Mereka lalu mengisi penuh kantong-kantong mereka yang kosong. Tak ada lagi tempat pelarian dari kejaran takdir.

Ridha Allah adalah ridha kami Ahlul Bait. Kami akan tabah dan mengahadapi segala cobaan dan ujian-Nya, dan berharap Allah akan memberikan pahala-Nya yang besar kepada mereka yang sabar. Daging yang berasal dari Rasulullah saw. tidak akan terpisah darinya. Tapi sebaliknya, akan berkumpul dengannya menjadi satu di hadapan Allah, Tuhan yang Mahasuci. Beliau akan gembira melihat mereka dan melalui merekalah semua janjinya akan terpenuhi.

Barang siapa yang siap mengorbankan jiwa raganya demi kami dan ingin segera berjumpa dengan Allah segelah bergabung dengan kami. Karena esok pagi aku akan segera berangkat, insya Allah.”[77]

Diriwayatkan dari Muhammad bin Daud Al-Qummi[78] dengan sanadnya dari Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq a.s., beliau berkata, “Pada malam hari keberangkatan Al-Husain a.s. dari Mekah menuju Kufah, Muhammad bin Al-Hanafiyyah[79] datang menemui beliau dan berkata, “Saudaraku, bukankah engkau telah mengetahui kelicikan penduduk Kufah terhadap ayah dan abangmu ? Aku takut dan cemas nasibmu akan berakhir seperti mereka berdua yang telah lebih dulu pergi meninggalkan kita. Aku memohon agar engkau mau tetap tinggal di sini, sebab engkau adalah orang yang paling mulia dan terhormat di kota suci ini.”

Al-Husain a.s. menjawab,”Adikku, aku takut Yazid bin Mu’awiyah akan membunuhku di kota suci ini, sehingga aku menjadi penyebab terinjak-injaknya kehormatan Baitullah.”

Ibnu Al-Hanafiah berkata lagi.”Kalau begitu pergi saja ke Yaman[80] atau kota lainnya ! Di sana orang-orang akan menghormatimu, sehingga tidak ada orang yang dapat mencelakanmu,”

“Baik, akan kupertimbangkan saranmu itu,”jawab Al-Husain a.s.

Mendekati subuh, Al-Husain a.s. bergerak meninggalkan kota. Berita keberangkatan beliau segera sampai ke telinga Muhammad bin Al-Hanafiyyah. Bergegas ia pergi menyusul Al-Husain a.s. Ibnu Al-Hanafiyyah menarik tali kekang kuda yang dinaiki oleh abangnya itu seraya berkata, “Bukankah engkau telah berjanji padaku untuk mempertimbangkan saranku, wahai saudaraku ?”

“Benar,” jawab Al-Husain a.s..

Lalu mengapa engkau buru-buru pergi ?”, tanyanya lagi.

Dalam jawabannya, Al-Husain a.s. berkata, “Setelah engkau pergi meninggalkanku, Rasulullah saw. datang kepadaku dan bersabda, “Anakku Husein, pergilah! Karena Allah berkehendak untuk menyaksikanmu mati terbunuh.”

Muhammad bin Al-Hanafiyyah tersentak kaget dan mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Tapi mengapa engkau membawa wanita-wanita ini bersamamu, padahal kepergianmu seperti yang engkau katakan ?”

Al-Husain menjawab, “Beliau saw. juga bersabda bahwa Allah SWT. berkehendak untuk melihat mereka diseret sebagai tawanan.”

Kemudian beliau mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya itu dan meneruskan perjalanannya.[81]

Kemudian Al-Husain a.s. memulai perjalanannya. Ketika sampai di Tan’im[82], beliau berpapasan dengan rombongan yang membawa hadiah, utusan Buhair bin Raisan Al-Himyari[83], gubernur Yaman. Hadiah yang sedianya akan diserahkan kepada Yazid bin Mu’awiyah itu beliau ambil, karena beliau adalah pemimpin kaum muslimin yang sebenarnya.

Kepada para pemilik unta pembawa hadiah tersebut beliau berkata, “Barag siapa yang mau ikut bersama kami pergi ke negeri Irak, upah sewa untanya akan kami bayar dan akan kami perlakukan dia dengan baik. Dan siapa yang tidak mau dan ingin berpisah dari kami, upah perjalanan yang telah ia tempuh akan kami berikan.”

Sebagian menerima tawaran baik Al-Husain a.s. dan yang lain memilih untuk tidak meneruskan perjalanan bersama beliau.

Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Zatu ‘Irq[84], beliau berjumpa dengan Bisyr bin Ghalib[85] yang baru saja meninggalkan negeri Irak. Kepadanya beliau Imam a.s. bertanya tentang keadaan ahli Irak. Bisyr menjawab, “Aku baru saja meninggalkan satu kaum yang hati mereka bersamamu tetapi pedang mereka bersama bani Umayyah.”

Beliau lantas berkata, “Orang ini berkata benar. Allah berbuat sesuatu yang Dia kehendaki dan menentukan apa yang Dia mau.”

Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di Tsa’labiyyah[86], matahari sudah tinggi. Beliau beristirahat dan tertidur. Setelah bangun beliau berkata, “Aku mendengar suara yang mengatakan, kalian pergi disertai oleh maut yang siap menghantarkan kalian ke surga.”

Putra beliau yang bernama Ali segera bertanya, “Ayah, bukankah kita berada di jalan yang benar ?”

“Ya, demi Tuhan yang menjadi tempat kembali semua hamba,” jawab Al-Husain a.s.

“Kalau begitu kita tidak perlu takut menyongsong kematian,” ujar sang anak mantap.

Dengan perasaan bangga Al-Husain a.s. berkata, “Semoga Allah memberimu sebaik-baik pahala yang Dia berikan kepada anak yang berbakti kepada orang tuanya.”

Malam itu Al-Husain a.s. bermalam di tempat tersebut. Esok harinya, seorang penduduk Kufah yang dikenal dengan nama Abu Hirrah Al-Azdi[87] datang menemui beliau. Setelah mengucapkan salam, Abu Hirrah berkata, “Wahai putra Rasulullah, apa yang mendorong anda untuk meninggalkan kota suci Allah dan kota suci kakekmu, Rasulullah saw. ?”

Al-Husain a.s. menjawab, “Hai Abu Hirrah, ketika bani Umayyah merampas harta bendaku, aku bersabar. Demikian pula sewaktu mereka menginjak-injak kehormatanku. Kini mereka ingin membunuhku, karena itulah aku pergi melarikan diri. Demi Allah, aku pasti akan dibantai oleh sekelompok orang. Dan Allah akan menghukum mereka dengan kehinaan dan kebinasaan. Allah akan menjadikan mereka dikuasai oleh orang yang akan menghinakan mereka sehingga mereka menjadi hina lebih dari bangsa Saba’ saat diperintah oleh seorang wanita yang menguasai harta dan jiwa mereka lalu menghinakan mereka.”

Al-Husain a.s. meneruskan perjalanannya.

Sekelompok orang dari bani Fazzarah dan Bujailah berkata, “Kami bersama Zuhair bin Al-Qain[88] meninggalkan kota Mekah. Kami berjalan bersama dengan rombongan Al-Husain a.s. Sebenarnya kami tidak suka melakukan perjalanan ini bersama Al-Husain, karena beliau membawa rombongan wanita. Maka dari itu, jika beliau berhenti di suatu tempat, kami pergi ke tempat yang lain dan beristirahat di sana.

Suatu saat, beliau berhenti dan beristirahat di satu tempat. Kami pun terpaksa berhenti. Sewaktu kami asyik menyantap hidangan makan siang yang telah kami siapkan, tiba-tiba utusan Al-Husain a.s. datang menemui kami. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, “Wahai Zuhair bin Al-Qain, Abu Abdillah mengutusku untuk memanggilmu.” Kami semua meletakkan kembali makanan yang sudah ada di tangan dan duduk mematung seakan-akan ada burung yang hinggap di atas kepala kami.

Istri Zuhair yang bernama Dailam binti ‘Amr [89]menegur dan berkata, “Subhanallah, putra Rasulullah memanggilmu dan engkau tidak mau datang menemuinya? Pergi dan temui beliau, dan dengarkan apa yang akan beliau katakan padamu !”

Zuhair bangkit dan pergi menemui Al-Husain a.s. Tak lama kemudian ia datang kembali dengan wajah yang berseri-seri. Lalu dia meminta barang bawaannya dan pergi bergabung bersama Al-Husain a.s. Kepada istrinya ia berkata, “Engkau aku cerai. Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan untukmu. Aku bertekad untuk bergabung dengan Al-Husain a.s. dan mempertaruhkan nyawaku demi beliau.”

Lalu ia memberikan harta yang menjadi hak sang istri kepadanya dan menitipkannya pada sanak keluarganya untuk mereka serahkan kepada keluarga terdekatnya.

Sang istri menghampiri Zuhair dan mengucapkan selamat jalan. Dengan berlinang air mata, dia berkata, “Allah telah menjatuhkan pilihan-Nya atasmu. Aku mohon engkau tidak lupa padaku di hari kiamat kelak di hadapan kakek Al-Husain a.s.”

Kemudian Zuhair berkata kepada kawan-kawannya, “Siapa di antara kalian yang mau ikut bergabung bersamaku ? Siapa yang tidak ingin bersamaku, berarti hari ini adalah hari terakhir hubungan kita.”

Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di tempat bernama Zubalah[90], berita syahadah Muslim bin Aqil di tangan algojo Ibnu Ziyad sampai kepada beliau. Sebagian anggota rombongan Al-Husain a.s. yang masih menginginkan hidup dan memiliki keragu-raguan di dalam hati segera pergi meninggalkan beliau. Kini hanya hanya sanak keluarga dan sahabat-sahabat setia Al-Husain a.s. yang masih dengan tegar berada di samping beliau.

Jerit tangis histeris memecahkan suasana menyambut berita syahadah Muslim bin Aqil dan air mata telah membasahi semua tempat.

Al-Husain kembali meneruskan perjalanan ke tempat Allah telah memerintahkannya. Tiba-tiba muncul Farazdaq yang datang menemuinya. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, mengapa anda masih saja percaya pada orang-orang Kufah, padahal mereka baru saja membunuh Muslim bin Aqil, sepupu dan pengikutmu yang setia.”

Dengan berlinang air mata, Al-Husain a.s. menjawab, “Semoga Allah merahmati Muslim. Kini ia berada dalam kenyamanan, kesenangan, kemuliaan dan keridhaan Allah. Dia telah melakukan tugasnya dengan baik. Dan sekarang tugas itu menjadi tanggung jawab kita semua.”

Lalu beliau menambahkan:

Jika dunia ini mempunyai harga

Ketahuilah, pahala di sisi Allah lebih berharga

Jika badan tercipta untuk kematian

Maka, kematian di jalan Allah lebih utama

Jika rezeki dibagikan menurut ketentuan

Alangkah baiknya untuk tidak serakah dalam usaha

Jika harta setelah terkumpul akan ditinggalkan

Mengapa orang kikir untuk menginfakkannya

Selanjutnya Al-Husain menulis surat kepada Sulaiman bin Shurad, Musayyib bin Najbah[91], Rufa’ah bin Syaddad dan sekelompok orang Syiah kota Kufah yang beliau kirimkan lewat Qais bin Musahhar Al-Shaidawi[92]. Ketika hampir masuk kota Kufah, Qais dihadang oleh Hushain bin Numair[93], pengikut setia Ubaidillah bin Ziyad untuk memeriksanya. Qais mengeluarkan surat yang ia bawa dan merobek-robeknya. Hushain menangkap dan membawanya ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad.

Setelah sampai dan berdiri di hadapannya, Ibnu Ziyad bertanya, “Siapa kau ? “

“Aku salah seorang pengikut setia Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan anaknya,” jawab Qais mantap.

“Lalu mengapa surat itu kau robek ?” tanya Ubaidillah lagi.

“Agar kau tidak mengetahui isinya,” jawab Qais ketus.

“Dari siapa dan untuk siapa surat itu?”, tanyanya.

“Dari Al-Husain a.s. untuk sekelompok orang Kufah yang tidak kuketahui namanya,” jawabnya.

Ibnu Ziyad naik pitam dan berkata,”Demi Allah, kau tidak akan kuizinkan untuk meninggalkan tempat ini sebelum memberitahu nama-nama mereka, atau kau naik ke atas mimbar untuk melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya. Jika tidak, kau akan kubunuh dan kucincang.”

Mendengar itu Qais berkata, “Nama-nama mereka tidak akan kusebutkan. Tapi kalau melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya, aku siap untuk melakukannya.”

Qais naik ke atas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad saw., dia memuji dan mengagungkan Ali dan keturunannya. Setelah itu ia melaknat Ubaidillah bin Ziyad dan ayahnya serta seluruh antek-antek bani Umayyah. Katanya,

“Wahai penduduk Kufah! Aku adalah utusan Al-Husain bin Ali a.s. Beliau masih berada di suatu tempat saat aku kemari. Pergi dan sambutlah beliau!”

Berita ini segera sampai telinga Ibnu Ziyad yang lalu memerintahkan untuk melemparkan Qais dari atas atap istana. Qais lalu dijatuhkan dari atas istana dan tewas seketika sebagai syahid.

Berita kematian Qais sampai ke telinga Al-Husain a.s. Dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi, beliau memanjatan doa.

Ya Allah, berikanlah untuk kami dan para pengikut setia kami satu tempat mulia di sisi-Mu. Kumpulkan kami bersama mereka di tempat yang Engkau penuhi dengan rahmat-Mu. Engkau maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Menurut riwayat, beliau menulis surat tersebut di tempat yang bernama Hajiz[94]. Adapula riwayat yang mengatakan tempat lainnya.

Al-Husain a.s. kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampainya beliau di satu daerah dekat Kufah, beliau dihadang oleh Hurr bin Yazid Al-Riyahi[95] yang memimpin seribu orang pasukan berkuda.

Al-Husain a.s. menyapa, “Kalian pengikutku atau musuhku ?”

Hurr menjawab, “Musuhmu, ya Abu Abdillah”

“La haula wala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adzim,” desah Al-Husain a.s.

Mereka berdua terlibat dalam satu pembicaraan serius. Sampai kemudian Al-Husain a.s. berkata, “Jika kenyataan yang ada pada kalian berlainan dengan apa yang tertulis dalam surat-surat kalian dan apa yang disampaikan oleh utusan kalian kepadaku, biarkan aku kembali lagi ke asalku.”

Hurr dan pasukannya tidak memberikan izin kepada beliau. Katanya, ” Tidak. Anda tidak akan kuperkenankan untuk kembali. Tapi aku punya saran untukmu, wahai putra Rasulullah. Ambillah jalan yang tidak membawa anda menuju Kufah dan tidak membawa anda kembali ke Madinah. Dengan begitu aku ada alasan kepada Ibnu Ziyad dengan mengatakan kepadanya bahwa kita tidak pernah bertemu.”

Al-Husain a.s. menerima saran tersebut dan bergerak sampai ke ‘Adzibu Al-Hajanat[96]. Tiba-tiba Hurr mendapat surat dari Ubaidillah bin Ziyad yang mengecamnya karena dianggap terlalu memberi kemudahan kepada Al-Husain a.s. dan memerintahkannya untuk mempersempit ruang gerak Al-Husain a.s.

Hurr dan pasukannya segera menghadang gerak laju perjalanan rombongan Al-Husain a.s. dan mencegah beliau untuk meneruskannya. Kepada Hurr Al-Husain a.s. bertanya, “Bukankah engkau tadi yang menyuruh kami untuk keluar dari jalan yang menuju Kufah ?”

“Ya, benar,” jawab Hurr. “Tapi tuan gubernur, Ubaidillah bin Ziyad, melalui suratnya yang baru saja sampai kepadaku memerintahkan untuk mempersulit ruang gerak anda. Selain itu, dia juga telah mengirimkan mata-matanya untuk mengawasiku dalam menjalankan perintahnya itu.”

Lantas Al-Husain a.s. berdiri di hadapan para sahabat setianya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat atas kakeknya, beliau berkata,“Kalian semua telah mengetahui apa yang tengah kita hadapi. Kini dunia telah berubah. Kebaikan telah pergi, sehingga dunia tak ubahnya bagai barang yang pecah berkeping-keping. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa tetes sebanyak air yang tersisa dalam bejana. Sisa kehidupan yang hina ini bagai rumput yang jelek dan kering. Tidakkah kalian saksikan bahwa kebenaran telah ditinggalkan dan kebatilan tidak lagi dilarang. Kini saatnya seorang insan Mukmin berharap untuk segera bertemu Tuhannya dengan membawa kebenaran besamanya. Aku melihat kematian bagai suatu kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim bagai suatu kehinaan yang membosankan.”

Zuhair bin Al-Qain bangkit dan berkata, “Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kami semua dengan perantara anda, wahai putra Rasulullah. Kami telah mendengar apa yang anda katakan tadi. Seandainya dunia kami ini abadi dan kami semua akan tinggal kekal di dalamnya, kami lebih memilih berperang bersamamu daripada hidup di dunia.”

Hilal bin Nafi’ Al-Bajli[97] melompat dan berseru, “Demi Allah, kami tidak akan pernah ragu untuk bertemu dengan Tuhan kami, selagi kami memiliki niat yang luhur dan iman yang mantap dengan mencintai orang yang mengikutimu dan memusuhi orang yang memerangimu.”

Burair bin Hushain[98] tak mau kalah. Katanya, “Wahai putra Rasulullah! Demi Allah, ini adalah anugerah yang Allah berikan kepada kami, bahwa kami dapat berperang bersamamu dan mempersembahkan raga ini untuk dicincang. Kemudian di hari kiamat kakek anda akan memberikan syafaatnya kepada kami.”

Al-Husain a.s. bangkit dan naik ke atas kudanya. Pasukan Hurr menggiring beliau dan rombongan sampai ke suatu padang yang bernama Karbala. Peristiwa ini terjadi pada hari kedua bulan Muharram. Ketika sampai di situ beliau bertanya, “Apa nama tempat ini ?” Terdengar jawaban yang mengatakan “Karbala.”[99]

Saat itulah Al-Husain a.s. berkata kepada rombongannya, “Turunlah kalian semua ! Di sinilah kita harus berhenti. Inilah tempat kita akan dibantai. Demi Allah, tempat inilah yang menjadi kuburan kita. Demi Allah, dari sinilah keluarga kita akan diseret sebagai tawanan. Hal inilah yang pernah dikatakan oleh kakekku Rasulullah saw. kepadaku.”

Mereka semua turun dari tunggangan masing-masing dan mendirikan kemah. Hurr dan pasukan berada di tempat lain yang tidak jauh dari sana.

Al-Husain a.s. duduk sambil mengasah pedangnya dan bersenandung:

“Wahai masa! Kau bukanlah kawan sejati

Kau hanya berputar antara pagi dan sore hari

Antara orang pencari, kawan, dan yang dibantai

Masa! Kau tak pernah puas dengan pengganti

Semua urusan hanya ada di tangan Ilahi

Semua yang hidup pasti akan mati

Alangkah dekatnya waktuku untuk segera pergi

Ke surga, tempat istirahatku yang abadi”[100]

Zainab putri Fatimah a.s.[101] yang mendengar senandung abangnya itu, dengan tangis tertahan ia berkata,

“Abangku, ini adalah kata-kata orang yang sudah yakin akan segera mati terbunuh.”

“Ya, memang demikian, adikku,”jawab Al-Husain a.s. lirih.

Zainab histeris, “Oh, dengarlah Al-Husain tengah memberitahu kematiannya kepadaku.”

Mendengar itu, para wanita rombongan keluarga suci Nabi saw. itu, langsung larut dalam tangisan. Tangan-tangan mereka memukuli pipi dan menarik-narik baju mereka sendiri.

“Ya Muhammad! Ya Ali! Ibuu! Ya Fatimah! Ya Hasan! Ya Husain! Alangkah malangnya nasibku ini jika kau tinggal pergi wahai Abu Abdillah,” jerit Ummu Kultsum[102] histeris.

Al-Husain a.s. segera menghiburnya, “Adikku! bersedihlah dengan ketentuan dari Allah ! Seluruh mahluk penghuni langit pasti akan mati. Mahluk di bumi ini pun tak ada yang kekal. Semuanya pasti akan binasa.”

“Adik-adikku, kau Ummu Kultsum, Zainab, Ruqayyah[103], Fatimah[104], dan kau Rubab[105], camkan kata-kataku! Jika aku terbunuh nanti, jangan sekali-kali kalian kalian robek pakaian kalian sendiri! Jangan pula kalian memukuli wajah atau berkata yang tidak semestinya!” kata beliau lagi.

Menurut riwayat yang lain, Zainab – yang saat itu bersama para wanita anggota rombongan sedang berada di tempat lain tak jauh dari Al-Husain a.s. – ketika mendengar bait-bait yang didendangkan oleh Al-Husain a.s. tersebut segera keluar dengan seribu perasaan duka sambil menari-narik bajunya. Setelah sampai di hadapan Al-Husain a.s., dia berkata, “Oh malangnya nasib ini. Andai saja maut datang mengakhiri hidupku! Oh, ini adalah hari kematian ibuku Fatimah, ayahku Ali, dan kakakku Al-Hasan Al-Zaki, wahai pusaka mereka yang telah pergi dan pemimpin umat ini.”

Al-Husain a.s. memandang adiknya dan berkata, “Adikku, jangan sampai kesabaranmu hilang !”

Zainab bertanya, “Demi ayah dan ibuku, apakah engkau akan segera meninggalkan kami dan mati terbunuh?”

Al-Husain a.s. dengan kesedihan yang tampak jelas di raut wajahnya dan mata yang berkaca-kaca, mengatakan, “Jika burung buruan ditinggalkan oleh pemburunya, ia akan dapat tidur dengan nyenyak.”

(Maksudnya adalah pasukan yang berada di hadapan kita ini datang untuk membunuhku dan tak akan meninggalkanku untuk dapat tenang. Pent)

Zainab kembali bertanya, “Apakah engkau akan mereka cincang dan lucuti? Jika memang demikian, hatiku ini akan bertambah perih menyaksikannya.”

Lalu Zainab menarik-narik bajunya hingga jatuh pingsan.

Al-Husain a.s. menyiramkan sedikit air ke wajahnya hingga kembali sadar. Beliau kemudian menghiburnya dengan berkata bahwa apa yang beliau lakukan ini adalah demi kebenaran dan mengingatkan adiknya itu akan musibah yang telah menimpa ayah dan kakek mereka saw.

Salah satu hal yang menyebabkan Al-Husain a.s. menyertakan keluarga beliau dalam perjalanan yang penuh dengan duka ini adalah, jika mereka ditinggalkan di Hijaz atau negeri manapun saja, Yazid bin Mu’awiyah dapat dengan mudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap dan membawa mereka ke hadapannya. Dan dia akan melakukan tindakan sekeji apa saja untuk memaksa Al-Husain a.s. mengurungkan niatnya untuk berjihad dan meraih syahadah. Tindakan Yazid bin Mu’awiyah dengan menangkap dan menyandera mereka dapat menghalangi beliau untuk dapat mencapai kebahagian hakiki.

[1] Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyyah, masyhur dengan sebutan Ummul Fadhll, istri Abbas bin Abdul Mutthalib, melahirkan tujuh anak Abba.s. Beliau masuk Islam di Mekah setelah Khadijah. Rasulullah Saw. sering mengunjunginya dan beristirahat di rumahnya. Beliau wafat kira-kira pada tahun 30 H.

(Rujuk, Al-Ishabah, biografi No. 942 dan 1448, Dzailu Al-Mudzil hal. 84, Al-Jam’ Baina Rijali Al-Shahihain hal. 612, dan Al-A’lam 5 hal. 239).

[2] Abba.s. bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, dengar kunyah Abul Fadhll, adalah salah seorang pembesar Quraisy baik di masa Jahiliyyah maupun di masa Islam. Beliau orang baik di kalangan kaumnya dan memiliki ide-ide cemerlang. Tugas memberi minum jamaah haji dan menyemarakkan Ma.s.jidil Haram ada di pundaknya. Beliau masuk Islam sebelum hijrah Nabi saw., tapi menyimpan keislamannya. Di akhir hayatnya mata beliau buta. Wafat di Madinah tahun 32 H.

(Rujuk Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 203, Al-Mihbar: 63, Dzailu Al-Mudzil hal.10 dan Al-A’lam 3 hal. 262).

[3] Dalam naskah A disebutkan: “Ketika beliau lahir, Jibril bersama dengan seribu malaikat turun untuk mengucapkan selamat kepada Nabi saw. Lalu Fatimah a.s. datang kepada beliau dengan membawa bayi tersebut. Nabi sangat bersuka cita karenanya dan memberinya nama Al-Husain.

Dalam Al-Thabaqat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Saya mendengar dari Abdullah bin Bakr bin Habib Al-Sahmi dari Hatim bin Shan’ah bahwa Ummul Fadhll berkata …

[4] Dalam naskah berinisial R yang ada di perpustakaan Ridlawiyyah di Masyhad yang ditulis tahun 1117 H tidak terdapat kalimat “Lalu di letakkan”.

[5] Sabda Nabi Saw. “Mereka tidak akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat” tidak terdapat dalam naskah R.

[6] “dengan air mata yang luruh” tidak terdapat dalam naskah.R

[7] Karbala, nama daerah di mana Al-Husain a.s. dibantai, dan berada di ujung daratan dekat kota Kufah.

Diriwayatkan bahwa beliau a.s. telah membeli daerah sekitar tempat beliau akan dimakamkan, dari penduduk Nainawa (Nama lain Karbala) dan Ghadhiriyyah dengan harga enam puluh ribu dirham dan bersedekah dengan uang itu kepada mereka dengan syarat bahwa mereka harus menjadi petunjuk bagi peziarah yang ingin berziarah ke makam beliau, dan menjamunya selama tiga hari seperti layaknya tamu mereka sendiri.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 4 hal. 249 dan Majma’u Al-Bahrain 5 hal. 641-642).

[8] Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, pendiri dina.s.ti Bani Umayyah di Syam. Lahir di Mekah dan ma.s.uk Islam pada hari penaklukan kota tersebut (Fathu Mekah). Dia mendapat kepercayaan untuk memimpin satu pa.s.ukan di bawah komando saudaranya, Yazid, pada masa khilafah Abu Bakar. Pernah menjabat sebagai gubernur Yordania pada masa Umar, lalu menjadi gubernur Syam. Pada waktu Utsman naik ke kursi khilafah, seluruh negeri Syam berada di bawah kekua.s.aannya. Setelah Utsman terbunuh dan Ali a.s. naik menjadi khalifah, beliau mengirimkan utusannya dan memecat Mu’awiyah dari jabatannya tersebut. Tetapi sebelum utusan itu sampai di Syam, Mu’awiyah yang lebih dahulu mendengar berita ini, langsung mengumumkan bala.s. dendam atas darah Utsman dan menuduh Ali a.s. sebagai dalang yang berada di balik pembunuhan khalifah. Maka berkobarlah peperangan yang sengit antara kedua belah pihak. Mu’awiyah yang hampir kalah, menggunakan taktik yang licik untuk menghindari kekalahan yang sudah di depan mata itu. Meninggal di Damaskus pada tahun 60 H, setelah sebelumnya mengangkat anaknya yang bernama Yazid, sebagai penggantinya.

( Rujuk, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 2, Tarikh Thabari 6 hal. 180, Al-Bad’u wa Al-Tarikh 6 hal. 5 dan Al-A’lam 7 hal. 261-262 ).

[9] Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan Al-Umawy, khalifah kedua dinasti Bani Umayyah di Syam. Lahir di Mathrun dan dibesarkan di Damaskus. Diangkat sebagai khalifah setelah ayahnya meninggal pada tahun 60 H. Sebagian kaum muslimin tidak bersedia untuk berbaiat kepadanya. Al-Husain bin Ali a.s. adalah salah seorang tokoh yang menonjol dari kelompok ini. Mereka tidak mau berbaiat karena mereka melihat bahwa Yazid adalah orang fasik yang bergelimang dosa dan gemar hiburan. Penduduk Madinah menunjukkan pembangkangan mereka padanya tahun 63 H. Karena itulah, ia mengirimkan bala tentaranya yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah dan memerintahkan untuk menghalalkan kota Madinah selama tiga hari lalu mengambil baiat penduduk Madinah dengan paksa atas nama budak Yazid. Muslim melakukan segala macam kebiadaban dan membantai banyak orang shaleh dari kalangan sahabat dan tabi’in. Yazid meninggal pada tahun 64 H.

( Rujuk, Tarikh Thabari peristiwa tahun 64 H, Tarikh Al-Khamis 2 hal. 300, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 49, Jamharatu Al-Ansab hal. 103 dan Al-A’lam 8 hal. 189 ).

[10]Walid bin Uthbah bin Abi Sufyan Al-Umawy, salah seorang pembesar Bani Umayyah. Pernah menjabat sebagai gubernur Madinah di masa Mu’awiyah. Setelah kematian Mu’awiyah, Yazid memerintahkannya untuk mengambil baiat ahli Madinah untuknya. Dimutasi oleh Yazid dari jabatannya itu untuk menjadi penasehat pribadinya di Dama.s.kus. Pada tahun 61 H, kembali menjabat sebagai gubernur Madinah. Pada saat terjadinya pemberontakan Abdullah bin Zubair, ia sedang berada di Mekah. Tinggal di Madinah sampai akhir hayatnya dan meninggal karena terserang wabah ( Tha’un ). Pernah menjadi pimpinan jamaah haji pada tahun 62 H.

( Rujuk, Mir’atu Al-Janan 1 hal. 140, Na.s.abu Quraisy hal. 133 dan 433 dan Al-‘A’lam 8 hal. 121 ).

[11] Madinah, kota Rasulullah saw. yang dulu bernama Yatsrib. Luas kota ini setengah luas kota Mekah. Termasuk kota yang subur dengan banyak tanaman korma di dalamnya. Masjid Nabawi berada di tengah-tengah kota ini dan pusara suci Rasulullah Saw. berada di sebelah timur masjid. Kota Madinah mempunyai banyak nama lain seperti, Thayyibah, Yatsrib dan Mubarakah.

[12] Abu Abdil Malik Marwan bin Hakam bin Abdul ‘A.s.h bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, salahseorang khalifah dina.s.ti dani Umayyah. Dia adalah orang pertama dari Bani Hakam yang berkuasa. Bani Marwan adalah keturunannya. Merekalah yang kemudian memegang kendali pemerintahan dengan nama Daulah Marwaniyyah. Marwan lahir di Mekah, dibesarkan di Thaif dan tinggal di Madinah. Utsman mengangkatnya sebagai orang khusus dalam pemerintahannya dan menjadikannya sebagai sekretaris pribadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, Marwan pergi ke Bashrah untuk ikut serta dalam pasukan Jamal yang dipimpin oleh Aisyah. Kemudian ia ikut dalam perang Shiffin bersama Mua’wiyah. Menjabat sebagai gubernur Madinah di masa Mu’awiyah. Abdullah bin Zubair mengusirnya dari kota suci tersebut dan untuk selanjutnya, ia menetap di Syam. Meninggal pada tahun 65 H, karena wabah penyakit Tha’un. Menurut riwayat lain ia dibunuh oleh istrinya sendiri, Ummu Khalid.

( Rujuk, Usdu Al-Ghabah 4 hal. 348, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 74, Tarikh Thabari 7 hal. 34 dan Al-A’lam 7 hal. 207 ).

[13] Di Na.s.kah dengan A terdapat pembaha.s.an yang cukup panjang yang tidak terdapat dalam na.s.kah R dan B ( Na.s.kah yang dinukil oleh Allamh Majlisi dalam kitabnya Biharu Al-Anwar ). Kemungkinan pembaha.s.an itu adalah catatan penulis sendiri. Bagaimanapun juga, ada baik kami sebutkan apa yang ada dalam na.s.kah A tersebut:

Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Thawus, penulis kitab ini, berkata,: Satu hal yang kami yakini kebenarannya adalah bahwa Imam Husein a.s.. telah mengetahui apa yang akan menimpa dirinya. Sedangkan apa yang beliau lakukan itu adalah tuga.s. yang beliau emban.

Sebagian orang yang namanya telah disebutkan dalam kitab “Ghiyatsu Sulthani Al-Wara li Sukkani Al-Tsara” memberitahuku dengan sanad mereka yang tersambung sampai ke Abu Ja’far Muhammad bin Babuwaih, seperti yang beliau sebutkan dalam kitabnya “Al-Amali” dengan sanadnya dari MuFadhlhdhal bin Umar dari Imam Ja’far Shadiq a.s., dari ayahnya, dari kakeknya a.s., beliau berkata, ” Suatu hari Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. datang menemui abangnya, Imam Hasan a.s.. Ketika pandangan beliau jatuh ke wajah sang kakak, tiba-tiba beliau menangis. Imam Hasan pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis ?”

Beliau menjawab,” Aku menangisi apa yang akan engkau alami.”

Imam Hasan a.s. menyahut, “Apa yang akan kualami hanyalah racun yang dibubuhkan ke dalam minumanku yang akan membunuhku. Tapi tiada hari seperti hari yang akan kau alami, wahai Abu Abdillah. Engkau akan dihadang oleh tiga puluh ribu orang tentara yang mengaku sebagai umat kakek kita, Muhammad saw. dan beragama Islam. Mereka akan bahu membahu untuk membunuhmu, menginjak-injak kehormatanmu, menawan anak istrimu dan merampa.s. hartamu. Saat itulah kutukan Allah turun ata.s. Bani Umayyah dan langit akan menitikkan hujan darah dan abu. Seluruh mahluk sampai binatang buas dan ikan dalam lautpun akan larut dalam tangisan”.

Mereka yang saya sebutkan di atas, juga membawakan sebuah riwayat kepadaku dengan sanad mereka dari Umar Nassabah ( Ahli Na.s.ab ) seperti yang beliau sebutkan di bagian akhir kitab “Al-Syafi fi Al-Nasab” dengan sanadnya dari kakek beliau Muhammad bin Umar, beliau berkata, ” Saya mendengar dari ayah saya, Umar bin Ali bin Abi Thalib a.s., ketika berbicara dengan paman-pamanku dari pihak ibu, keluarga Aqil, mengatakan, “Ketika abangku Al-Husain a.s. yang saat itu tengah berada di Madinah menolak untuk berbaiat kepada Yazid, aku datang menemuinya. Beliau waktu itu sedang sendirian. Kukatakan padanya, “Jiwaku menjadi tebusanmu, wahai Abu Abdillah. Saudaramu Abu Muhammad Al-Hasan memberitahuku bahwa ayah kita …” Saat itu air mata telah lebih dahulu membasahi pipiku dan menyesakkan dadaku.

Al-Husain lalu memelukku seraya bertanya,” Apakah Al-Hasan a.s. memberitahumu bahwa aku akan mati terbunuh?”

Aku menjawab,”Aku sangat kuatir, wahai putra Rasulullah.”

Al-Husain a.s. kembali bertanya, “Aku bertanya kepadamu, demi ayahmu, apakah beliau memberitahumu bahwa aku akan terbunuh ?”

“Ya. Karena itu, apakah tidak sebaiknya anda berbaiat ?”

Ketika itulah beliau mengatakan, “Ayahku pernah memberitahuku bahwa Rasulullah saw. telah memberi kabar terbunuhnya beliau dan aku. Rasulullah juga memberitahukan bahwa makamku akan berada di dekat makam beliau. Kau kira kau telah mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui ? Ingatlah bahwa aku tidak akan sudi untuk menjadi hina. Kelak Fatimah, ibuku, akan menemui ayahandanya untuk mengadukan segala yang telah dilakukan umat terhadap keturunannya. Orang yang telah menyakitinya dengan jalan menyakiti keturunannya, tidak akan masuk surga.”

Penulis mengatakan, “Sebagian orang yang tidak mengetahui hakikat kemuliaan orang yang mati syahid saat menuju kebahagiaan abadi, akan beranggapan bahwa Allah SWT tidak akan menyuruh hambaNya untuk melakukan tugas seperti ini. Dalam menjawab, kita katakan, apakah anda tidak pernah mendengar ayat Al-Quran yang maha benar yang mengatakan bahwa Allah SWT pernah memerintahkan satu kaum untuk membunuh diri mereka sendiri. Allah SWT berfirman:

فتوبوا إلى بارئكم فاقتلوا أنفسكم ذلكم خير لكم عند بارئكم

“Bertobatlah kalian kepada Tuhan kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itulah yang terbaik di sisi Tuhan kalian.” ( Q.S. Al-Baqarah: 54 )

Mungkin mereka mengira bahwa maksud dari ayat:

ولا تلقوا بأيديكم الي التهلكه

“Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan ” ( Q.S. Al-Baqarah: 195 ).

adalah mati terbunuh . Padahal maksud ayat tersebut bukanlah demikian. Bahkan beribadah dengan mengorbankan jiwa dan raga merupakan puncak tertinggi dari kebahagian ukhrawi.

Penulis kitab “Al-Maqtal” menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Ja’far Shadiq a.s. mengenai tafsiran ayat di atas yang lebih logis. Beliau meriwayatkan dari Aslam, dia berkata, ” Dalam perang Nahawand -atau peperangan lainnya-, ketika kedua pasukan saling berhadapan dengan barisan panjang yang belum pernah saya saksikan sebelumya, sedang tentara Rumawi telah merapatkan punggung mereka di tembok kota mereka, tiba-tiba seseorang keluar dari barisan kami dan maju menembus barisan musuh.

Saat itu terdengar orang-orang berkata, “Laailaha illallah.” Dia jerumuskan dirinya ke dalam kebina.s.aan. Abu Ayyub Al-Anshari yang ada di situ segera menuka.s. perkataan mereka, “Jangan sembarangan menafsirkan ayat ini. Orang tadi itu hanya mencari syahadah. Takwil kalian itu keliru. Ayat ini turun pada kami yang setelah sibuk berjuang membela Rasulullah saw. dengan meninggalkan harta benda dan keluarga, berniat untuk tinggal dan mengurusi harta benda kami yang telah rusak atau musnah karena kami tinggalkan. Ketika itulah Allah SWT menegur kami atas niat kami untuk meninggalkan jihad, membela Nabi saw. itu. Lalu turunlah ayat:

ولا تلقوا بأيديكم الي التهلكه

Jadi maksud ayat tersebut adalah, jika kalian lalai pada tuga.s. kalian dalam membela Rasulullah saw. dan memilih untuk tetap tinggal di rumah kalian, hal itu berarti kalian telah menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. Karena itu, Allah murka pada kalian, dan itulah yang akan membina.s.akan kalian. Ayat ini turun untuk menegur kami atas apa yang kami katakan dan niatkan bahwa kami akan tinggal, juga mendorong kami untuk berjihad. Ayat ini bukannya turun atas mereka yang menyerang musuh dengan gagah berani untuk memberikan spirit kepada kawan-kawannya untuk melakukan hal yang sama atau untuk dapat mati syahid dalam jihad di jalan Allah agar dapat meraih pahala yang besar di akhirat kelak.

Penulis berkata, “Dalam muqaddimah kitab ini telah saya singgung masalah ini. Dan dalam pembahasan mendatang faktor-faktor tersebut akan kami paparkan lebih jelas lagi.

[14] Kota Mekah memiliki banyak nama lainnya seperti, Ummul Quro, Na.s.a.s.ah, Ummu Rahim dan Baitullah Al-Haram. Makk dalam bahasa Arab berarti penghancuran. Kota suci ini di namakan Mekah, karena kota ini menghancurkan segala dosa dan menghapusnya, atau menghancurkan dan membinasakan mereka yang hendak berbuat zalim padanya.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 5 hal. 181-188, Majma’u Al-Bahrain 5 hal. 289 ).

[15] Abul Abba.s. Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Qurasyi terkenal dengan sebutan Habrul Ummah (Guru besar umat). Beliau adalah seorang sahabat terkemuka. Lahir di Mekah dan dibesarkan pada masa-masa awal Islam. Beliau dekat dengan Nabi saw. dan banyak meriwayatkan hadis beliau. Ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin dalam barisan Imam Ali a.s. Pada akhir hayatnya, beliau menjadi buta. Ibnu Abbas tinggal di Thaif dan wafat di sana pada tahun 68 H.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 4772, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 314, Hilayatu Al-Auliya’ 1 hal. 314, Na.s.abu Quraisy hal. 26, Al-Mahbar hal. 98 dan Al-A’lam 4 hal. 95 ).

[16] Abu Bakar Abdullah bin Zubair bin Awwam Al-Asadi Al-Qurasyi, dibaiat sebagai khalifah pada thun 64 H, setelah kematian Yazid bin Mu’awiyah. Dia berhasil menguasai Mesir, Hijaz, Yaman, Khurasan, Irak dan sebagian Syam. Pusat pemerintahannya berada di kota Madinah. Terjadi beberapa kali peperangan sengit antara tentaranya dengan pasukan Bani Umayyah. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi menyerangnya. Ia kalah, sehingga harus lari ke kota Mekah. Hajjaj membuat kamp militernya di Thaif. Peperangan sengit antara tentara keduanya tak lagi dapat dielakkan. Dalam peperangan ini, Ibnu Zubair tewas setelah ditinggalkan oleh tentaranya sendiri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 73 H. Masa khilafah Ibnu Zubair 9 tahun

( Rujuk, Tarikh Ibnu Atsir 4 hal. 135, Tarikh Thabari 7 hal. 202, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 210, Tarikhu Al-Khamis 2 hal. 301 dan Al-A’lam 4 hal. 87 ).

[17] Abu Abdur Rahman Abdullah bin Umar bin Khattab Al-‘Adawi. Beliau buta di akhir hayatnya. Ibnu Umar merupakan sahabat terakhir yang meninggal dunia di kota suci Mekah. Lahir dan wafat di kota tersebut. Ulama berselisih pendapat tentang tahun wafatnya.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 4825, Thabaqat Ibnu Sa’ad 4 hal. 105-138, Tahidzibu Al-A.s.ma’ 1 hal. 278 dan Al-‘A’lam 4 hal. 108 ).

[18] Kufah, adalah nama sebuah kota terkenal di negeri Babil di daratan Irak. Menurut sebagian orang kota ini diberi nama Kufah karena bentuknya yang bundar seperti lingkaran besar.

(Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 4 hal. 322 ).

[19] Abu Mutharraf Sulaiman bin Shurad bin Al-Jun bin Abi Al-Jaun Abdul ‘Uzza bin Munqidz Al-Saluli Al-Khuza’i, seorang sahabat dan pembesar kaumnya. Ikut serta dalam perang Shiffin bersama Imam Ali a.s. Beliau tinggal di Kufah. Pemimpin gerakan orang-orang yang bertaubat (Tawwabun). Beliau syahid di tempat bernama ‘Ainul Wardah, dibunuh oleh Yazid bin Al-Hushain.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 3450, Tarikhu Al-Islam 3 hal. 17 dan Al-A’lam 3 hal. 127 ).

[20] Musayyib bin Najbah bin Rabi’ah bin Riyah Al-Fazzari, salah seorang tabi’in dan orang terkemuka di kalangan kaumnya. Ikut serta dalam perang Qadisiyyah dan penaklukan Irak. Musayyib berada di belakang Imam Ali a.s. dalam semua peperangan beliau. Beliau bertempat tinggal di kota Kufah. Beliau juga ikut serta dan terlibat dalam gerakan tawwabun yang menuntut darah Al-Husain a.s. Syahid bersama Sulaiman bin Shurad di Irak pada tahun 65 H. Beliau adalah seorang pahlawan yang pemberani dan ta’at beribadah.

( Rujuk, Al-Ka mil fi Al-Tarikh 4 hal. 68-71, Al-Ishabah biografi No. 8424 dan Al-A’lam 7 hal. 225-226 ).

[20] Rufa’ah bin Syaddad Al-Bajli, seorang qari’ dan pejuang yang gagah berani. Beliau adalah penduduk Kufah dan salah seorang pengikut Imam Ali a.s., yang terbunuh pada tahun 66 H.

( Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh peristiwa tahun 66 H dan Al-A’lam 3 hal. 29 ).

l

[22]Habib bin Madhahir -atau Mudhahhir, juga Muthahhir- bin Ri’ab bin A.s.ytar bin Hajwan Al-Asadi Al-Kindi Al-Faq’a.s.i, seorang tabi’in dan salah seorang pembesar yang gagah berani. Tinggal di Kufah. Beliau iktu menyertai Imam Ali a.s. dalam semua peperangan beliau. Beliau juga ikut bersama Imam Husein a.s. dalam perjalanannya ke Karbala, padahal ketika itu beliau telah berusia 75 tahun. Habib telah berusaha untuk mengajak orang-orang Bani Asad untuk ikut serta membela cucu Rasulullah saw. itu. Tapi sebelum mereka sampai di Karbala, pasukan kiriman Bani Umayyah telah menghadang mereka. Imam Husein sangat menghormati pribadi agung ini. Beliau termasuk salah seorang tokoh terkemuka kota Kufah. Ketika beliau syahid, Imam Husein a.s. berkata, “Habis sudah aku dan tamatlah riwayat penjaga para sahabatku.” Beliau syahid di tangan Badil bin Sharim Al-Ghafqani.

( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 352-440, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Ta.s.miatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 152, Lisanu Al-Mizan 2 hal. 173, Al-Kamil fi Al-Tarikh peristiwa tahun 61 H, Al-A’lam 2 hal. 166 dan Ansharu Al-Husain hal. 81-82 ).

[23] Menurut kami nama beliau yang benar adalah Abdullah bin Waal Al-Tamimi, seperti yang disebutkan oleh Syekh dalam kitab “Rijal” nya hal. 55 dalam urutan sahabat-sahabat Imam Ali a.s. Dalam kitab tersebut, nama beliau dicantumkan setelah nama Qanbar dan digabungkan dengannya. Jela.s. bahwa ini suatu kekeliruan. Dan dalam na.s.kah tulisan tangan kitab “Rijal Syekh” nama beliau disebutkan beberapa urutan sebelum nama Qanbar. Nama beliau juga tercantum dalam Syarh Nahju Al-Balaghah 3 hal. 132 dan di beberapa tempat lain kitab itu.

[24] Abu Abdillah Nu’man bin Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah Al-Khazraji Al-Anshari, adalah gubernur Madinah dan penyair kota tersebut. Nailah, istri Utsman, mengirimnya ke Mu’awiyah dengan membawa baju Utsman. Lalu dia menetap di Syam dan ikut serta dalam perang Shiffin di barisan Mu’awiyah. Pernah menjabat sebagai hakim kota Damaskus dan setelah itu menjadi gubernur Yaman dari pihak Mu’awiyah. Kemudian Mu’awiyah memindahkannya ke Kufah. Setelah ia dibebastuga.s.kan dari jabatannya tersebut, ia menjabat sebagai gubernur Himash sampai Yazid meninggal dunia. Ketika Abdullah bin Zubair mengumumkan khilafah dirinya, Nu’man berbaiat kepadanya. Saat penduduk Himash memberontak, Nu’man lari meninggalkan kota tersebut. Tapi Khalid bin Khulay mengikutinya dan berhasil membunuhnya, pada tahun 65 H.

( Rujuk, Jamharatu Al-Ansab hal. 345, Usdu Al-Ghabah 5 hal. 22, Al-Ishabah biografi No. 8730 dan Al-A’lam 8 hal. 36 ).

[25] Syam atau Sya’m kata jamak dari Syamah. Kawasan ini dinamakan Syam karena desa-desanya yang banyak dan saling berdekatan. Daerah ini membentang dari sungai Furat sampai daerah yang bersambung dengan negeri Mesir. Sedangkan lebarnya dimulai dari dua gunung Thayyi’ dari arah kiblat sampai laut Romawi. Di antara kota-kota besar kawasan ini terdapat nama, Halab, Manbaj, Humat, Himash, Damaskus, Baitul Maqdis dan Ma’arrah. Sedangkan daerah pesisirnya adalah Antakia, Tripoli dan lain-lain.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 3 hal. 311-315 ).

[26] Dalam naskah R disebutkan bahwa beliau adalah Sa’id Al-Nakha’i. Di banyak kitab standar dan dalam doa ziarah disebutkan bahwa nama beliau adalah Sa’ad.

l Beliau dari kelompok Bani Hanifah bin Lujaim dari kabilah Bakr bin Wa’il. Beliau terma.s.uk salah seorang yang menjadi utusan penduduk Kufah yang membawa surat mereka untuk Al-Husain a.s. dan seorang revolusioner yang penuh semangat.

( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 419 dan 353, Maqtalu Al-Husain tulisan Khawarizmi 1 hal. 195 dan 2 hal. 20, Al-Manaqib 4 hal. 103, Al-Bihar 45 hal. 21,26 dan 70, Ta.s.miatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 154 dan Ansharu Al-Husain hal. 90-91 ).

[28] Abu Abdil Quddus Syabats bin Rab’i Al-Tamimi Al-Yarbu’I, seorang pembesar Bani Mudhar dan penduduk Kufah di zamannya. Mengalami ma.s.a kenabian. Ikut bergabung dengan Sajah, wanita yang mengaku nabi, lalu kembali ke Islam. Terma.s.uk salah seorang yang memberontak pada Utsman. Ikut serta dalam pembantaian terhadap Imam Husein a.s.. setelah menulis surat kepada beliau dan meminta agar beliau mau datang ke Kufah. Meninggal dunia pada tahun 70 H.

Diriwayatkan bahwa ketika Syabats tertangkap, Ibrahim, salah seorang komandan pa.s.ukan Mukhtar, bertanya kepadanya, “Ceritakan padaku apa saja yang kau lakukan pada hari Thaf (‘A.s.yura’ tahun 61 H)?” Ia menjawab, “Aku memukul wajah Al-Husain yang mulia dengan pedangku.” Ibrahim membentaknya, “Celakalah engkau, hai orang terkutuk ! Kau tidak takut pada Allah SWT dan kakeknya, Rasulullah?” Lalu ia menyayat-nyayat paha Syabats hingga tewas secara mengenaskan.

( Rujuk Al-Ishabah biografi No. 3950, Tahdzibu Al-Tahdzib 4 hal. 303, Mizanu Al-I’tidal 1 hal. 440 dan Al-A’lam 3 hal. 154 ).

[29] Hajjar (Hijar) bin Abjur Al-Kufi. Disebutkan bahwa dia meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s., dan Sammak bin Harb meriwayatkan darinya. ( Al-Rijalu fi Taji Al-‘Arus 2 hal. 25 ).

[30] Dalam naskah memang demikian disebutkan. Mungkin terjadi kekeliruan. Yang benar adalah Yazid bin Harits bin Ruwaim, bukan Yazid bin Harits dan Yazid dan Yazid bin Ruwaim.

Yazid bin Harits bin Ruwaim SyaiBani, hidup semasa dengan Nabi SAW.. Ia masuk Islam di tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Ikut dalam perang Yamamah. Tinggal di Ba.s.hrah dan tewas dibunuh pada tahun 68 H di kota Rey.

Sebagian kitab menyebutkan nama Yazid bin Ruwaim langsung dinisbatkan ke kakeknya, padahal ulama bersepakat bahwa dia adalah Yazid bin Harits bin Ruwaim.

( Rujuk, Al-Kamil 4 hal. 111, Al-Ishabah biografi No. 9398, Tahdzibu Al-Tahdzib 8 hal. 163, Jamharatu Al-Ansab hal. 305 dan Al-A’lam 8 hal. 180-181 ).

[31] Mungkin nama yang benar adalah Azrah bin Qais.

( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 353, Ansabu Al-A.s.yraf 3 hal. 158).

[32] Na.s.kah R: Umar bin Hajjaj.

Dalam kitab Al-Irsyad karya Sykh Mufid hal. 38 Amr bin Hajjaj Al-Zubaidi.

[33] Muhammad bin Umair bin ‘Atharid bin Hajib bin Zurarah Al-Tamimi Al-Darimi, seorang penduduk Kufah. Banyak kasus yang terjadi antara dia dan para pembesar Kufah. Termasuk salah seorang pemimpin pasukan Imam Ali a.s. di perang Shiffin, dan wafat tahun kira-kira tahun 85 H.

( Rujuk, Al-Mihbar hal. 154, 338 dan 339, Lisanu Al-Mizan 5 hal. 330 dan Al-A’lam 6 hal. 319 ).

[34] Muslim bin Aqil bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, seorang tabi’in yang memiliki pandangan dan pengetahuan yang lua.s. serta keberanian yang kesohor. Ibunda beliau adalah seorang hamba sahaya yang dibeli oleh Aqil di Syam. Al-Husain a.s. mengutus Muslim ke kota Kufah untuk mengambil baiat penduduk kota Kufah. Muslimpun berangkat meninggalkan kota Mekah pada pertengahan bulan Ramadan tahun 60 H dan sampai di kota Kufah pada hari keenam bulan Syawal. Beliau adalah orang pertama dari sahabat setia Imam Husein a.s. yang mati syahid.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 80, Al-Thabaqat Al-Kubro 4 hal. 29, Ta.s.miatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 151, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 8-15, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 233, Tarikhu Al-Kufah hal. 59, Al-A’lam 7 hal. 222, Ansharu Al-Husain hal. 124 dan Dhiya’u Al-‘Ainain hal. 13-29 ).

[35] Abu Ishaq Mukhtar bin Abi Ubaidah bin Mas’ud Al-Tsaqafi, salah seorang pemimpin pemberontakan terhadap Bani Umayah. Beliau berasal dari Thaif dan pindah ke Madinah bersama ayahnya. Di Madinah, Mukhtar dekat dengan Bani Hasyim dan mencintai mereka. Abdullah bin Umar bin Khattab memperistri saudara perempuan Mukhtar yang bernama Shafiyyah. Ketika Imam Ali a.s. berada di Irak, Mukhtar dengan setia menyertai beliau. Setelah Imam Ali wafat, ia memilih untuk tinggal di Bashrah. Ubaidillah bin Ziyad menangkap dan menjebloskannya ke dalam penjara, lalu menga.s.ingkannya ke Thaif dengan perantara Ibnu Umar. Setelah kematian Yazid, Mukhtar bertolak menuju Kufah untuk menuntut bala.s. kematian Al-Husain a.s. dari para pembunuhnya. Beliau berhasil menguasai Kufah dan Maushil, mengejar dan menumpas habis para durjana pembunuh Al-Husain a.s.. Beliau tewas di tangan Mus’ab bin Zubair setelah terjadi peperangan antara keduanya pada tahun 67 H.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No.: 8547, Al-Farqu Baina Al-FIrak hal. 31-37, Al-Kamil fi Al-Tarikh 7 hal. 146 dan Al-A’lam 7 hal. 192 ).

[36] Nama ini tidak disebutkan oleh para perawi.

[37] Nama ini juga tidak disebutkan oleh para perawi.

[38] Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash Al-Zuhri Al-Madani. Dialah yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan empat ribu orang tentara untuk menyerbu Dailam, dengan menjanjikannya kekuasaan atas wilayah Rey. Tapi sewaktu berita keberangkatan Al-Husain a.s. dari Mekah menuju Kufah sampai ke telinga Ibnu Ziyad, ia segera mengirimkan sepucuk surat padanya dan memerintahkannya untuk segera kembali bersama pasukannya. Umarpun kembali. Ibnu Ziyad lalu memerintahkannya untuk membantai Al-Husain a.s. Umar menolak. Ibnu Ziyad mengancam dan mengingatkannya akan kota Rey. Akhirnya ia bersedia menerima tugas tersebut. Ketika Mukhtar bangkit melakukan pemberontakan, beliau mengutus orang untuk memburu dan membunuh Umar bin Sa’ad dan tamatlah riwayatnya.

(Rujuk, Al-Thabaqat 5 hal.125, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 21 dan Al-A’lam 5 hal. 47).

[39] Ubaidullah bin Ziyad bin Abihi (anak ayahnya, disebut demikian karena ayahnya tidak jelas), lahir di Bashrah. Ketika sang ayah meninggal, ia berada di Irak. Kemudian ia pergi ke Syam. Mu’awiyah mengangkatnya sebagai gubernur wilayah Khura.s.an pada tahun 53 H dan tinggal di sana selama dua tahun. Pada tahun 55 H, Mu’awiyah memindahkannya ke Bashrah. Yazid menetapkannya di sana pada tahun 60 H. Tragedi Karbala terjadi di masa kekuasaannya dan atas perintahnya. Setelah kematian Yazid, penduduk Bashrah berbaiat kepadanya. Namun tak lama berselang , mereka melawannya. Diapun lari mencari perlindungan ke Syam, lalu kembali lagi ke Irak. Di tengah jalan, Ibrahim Asytar menghadangnya. Peperangan antara tentara keduanya pun tak dapat dielakkan lagi. Pasukan Ubaidillah kocar-kacir. Ibrahim memburunya dan membunuhnya di Khazir, satu daerah di Maushil. Ubaidillah dikenal dengan sebutan Ibnu Marjanah. Marjanah adalah nama ibunya yang terkenal dengan kebejatan dan lacurnya.

(Rujuk, Tarikh Thabari 6 hal. 166, 7 hal. 18 dan 144, Al-A’lam 4 hal. 193).

[40] Bashrah adalah kota Islam yang dibangun pada masa khilafah Umar bin Khattab di tahun 18 H. Kota ini disebut dengan Bashrah karena kata bashah dalam bahasa Arab berarti batu yang lunak, dan kota inipun demikian. Bila ada yang menyebutkan dua Bashrah itu berarti Bashrah dan Kufah.

(Rujuk, Majma’u Al-Bahrain 3 hal. 225-226).

[41] Beliau adalah beka.s. budak Imam Husein a.s. yang menjadi kurir beliau ke kota Bashrah. Akan tetapi salah seorang pembesar kota Bashrah menyerahkannya kepada Ubaidillah bin Ziyad yang kemudian membunuhnya. Sebagian pakar sejarah menyebutkan bahwa Sulaiman ini ikut bersama Al-Husain di Karbala dan syahid di sana. Tampaknya mereka keliru dalam membedakan antara beka.s. budak beliau ini dengan bekas budak beliau lainnya yang syahid di Karbala.

( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 357,-358, Maqtal karya Khawarizmi 1 hal. 199, Biharu Al-Anwar 44 hal. 337-340, Ansharu Al-Husain hal. 74 dan Dhiya’u Al-‘Ainain hal. 39-40 ).

[42] Nama ini tidak disebutkan oleh para sejarawan.

[43] Mundzir bin Jarud bin ‘Amr bin Khumais Al-‘Abdi lahir pada masa Nabi. Ikut serta dalam perang Jamal bersama Imam Ali a.s. Imam Ali a.s. menjadikannya gubernur Ishtakhar. Dan ketika berita buruknya sampai ke telinga Amirul Mukminin Ali a.s., beliau mengiriminya surat dan memecatnya dari jabatannya itu. Ubaidillah bin Ziyad memberinya kekuasaan atas satu daerah di India pada tahun 61 H. Di sanalah ia meninggal dunia di penghujung tahun 61 H.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 8336, Jamharatu Al-Ansab hal. 279, Al-Aghani 11 hal. 117 dan Al-A’lam 7 hal. 292 ).

[44] Dalam naskah R: Bani Sa’id.

[45] Dikenal dengan julukan Ahnaf yang berarti bengkok karena kakinya yang memang bengkok. Para sejarawan Islam berselisih pendapat tentang namanya yang sebenarnya. Ada yang mengatakan Shakhr adapula yang menyebutnya Dhahhak. Ia lahir di kota Bashrah. Sempat mengalami ma.s.a hidup Nabi saw. walaupun tidak pernah bertemu dengan beliau. Pada perang Jamal, ia memisahkan diri dari pa.s.ukan Imam Ali a.s. Meninggal di kota Kufah.

( Rujuk, Al-Thabaqat 7 hal. 66, Jamharatu Al-Ansab hal. 206, Tarikhu Al-Islam 3 hal. 129 dan Al-A’lam 1 hal. 276-277 ).

[46] Naskah B: Kami akan melindungi anda dengan tubuh kami jika anda mau.

Naskah A: Jika anda mau lakukanlah !

[47] Na.s.kah A: Sa’ad bin Yazid.

[48] Na.s.kah A: Buhairah binti Mundzir.

Para sejarawan tidak menyebutkan biografinya.

[49] Kami tidak menemukan seorangpun yang menulis tentang riwayat hidupnya.

[50] Hani bin Urwah Al-Ghathifi Al-Muradi, berasal dari Bani Midzhaj. Beliau adalah salah seorang pembesar dan pemuka kota Kufah. Sempat mengalami masa hidup Nabi saw., juga orang kepercayaan Amirul Mukminin Ali a.s. Ikut serta dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Beliau juga termasuk otak dari gerakan bawah tanah pimpinan Hujur bin ‘Adiy melawan kekuasaan Ziyad. Gugur sebagai syahid di tangan Ubaidillah bin Ziyad pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 60 H. Kepala beliau dan Muslim bin Aqil dikirimkan ke Yazid bin Mu’awiyah oleh Ibnu Ziyad.

( Rujuk, Ta.s.miatu man Qutil ma’a Al-Husain hal. 156, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 10-15, Al-Mihbar hal. 480, Al-Naqaidh hal. 246, Al-Taj 3 hal. 359, Raghbatu Al-Amil 2 hal. 86, Jamharatu Al-Ansab hal. 382, Al-A’lam 8 hal. 68, Ansharu Al-Husain hal. 124-125 dan Dhiya’u Al-‘Ainain hal 30-38 ).

[51] Abul Qasim Muhammad bin Asy’ats bin Qais Al-Kindi, salah seorang pengikut Mush’ab bin Zubair. Terbunuh pada tahun 67 H.

(Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 8504 dan Al-A’lam 6 hal. 39).

[52] Asma’ bin Kharijah bin Hushain Al-Fazzari, seorang tabi’in dan termasuk pembesar kota Kufah. Wafat tahun 66 H.

(Rujuk, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 11, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 372, Al-Nujumu Al-Zahirah 1 hal. 179 dan Al-A’lam 1 hal. 305).

[53] Abu Umayyah Syuraih bin Harits bin Qais bin Jahm Al-Kindi, wafat tahun 78 H. Berasal dari Yaman. Jabatannya sebagai hakim kota Kufah dipegangnya dari jaman Umar, Utsman, Imam Ali a.s., Mu’awiyah sampai jaman Yazid. Mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada saat Hajjaj bin Yusuf menguasai kota Kufah pada tahun 77 H.

(Rujuk, Al-Thabaqat 6 hal. 90-100, Wafatyatu Al-A’yan 1 hal. 224, Hilyatu Al-Auliya’ 4 hal. 132 dan Al-A’lam 3 hal. 161).

[54] Na.s.kah R: Dia melantunkan bait syair Ma’dikarib Al-Zubaidi.

‘Amr bin Ma’dikarib bin Rabi’ah, bin Abdillah Al-Zubaidi, seorang jawara Yaman yang terkenal dengan perampokan yang kerap ia lakukan. Datang ke kota Madinah pada tahun 9 H bersama sepuluh orang lainnya dari Bani Zubaid, lalu ia masuk Islam dengan diikuti oleh sepuluh orang yang bersamanya. Terkenal dengan panggilan Abu Tsaur. Meninggal dunia di dekat kota Rey pada tahun 21 H. Menurut sebagian riwayat ia meninggal karena kehausan pada perang Qadisiyyah.

( Rujuk, Al-Ishabah biorgafi No. 5972, Al-Thabaqat 5 hal. 383, Khizanatu Al-Adab 1 hal. 425-426 dan Al-A’lam 5 hal. 86 ).

[55] Seorang yang terkutuk dan kejam. Biografinya tidak kami jumpai.

[56] Naskah R: Muslim bin Umar.

Sebagian naskah yang lain menyebutkan: Muslim bin Umair Al-Bahili.

Biografinya tidak diceritakan.

p>[57] Na.s.kah R: Umar bin Hajjaj.

[58] Biografinya tidak kami dapatkan.

[59] Dia adalah bekas budak Asy’ats bin Qais Al-Kindi yang melahirkan anak untuknya. Tapi dia juga memiliki anak dari orang lain yang diberinya nama Bilal bin Usaid. Dia dimerdekakan oleh Usaid Al-Hadhrami.

(Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 31, A’lamu Al-Nisa’ Al-Mukminat hal. 363-364, juga sumber-sumber rujukan lain yang menulis biografinya ).

[60] Biografinya tidak kami dapatkan.

[61] Sayyid Khu’i mengatakan, “Ziyad bin Ubaid … dialah yang bia.s.a dikenal dengan sebutan Ziyad bin Abihi (Anak ayahnya). Ibunya adalah Sumayyah yang terkenal itu. Cerita penisbatannya sebagai anak Abu Sufyan sudah sangat masyhur. Tapi yang sangat mengherankan, mengapa Allamah dan Abu Daud menggolongkan orang yang terkutuk anak orang terkutuk dan ayah dari orang terkutuk ini dalam golongan pertama dalam kitab mereka. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa Ziyad bin Ubaid adalah Ziyad yang lebih terkenal dengan nisbat pada ibunya Sumayyah. Wallahu a’lam.

( Rujuk, Mu’jamu Rijali Al-Hadis 7 hal. 309 ).

[62] Dalam kitab Mustadrakatu ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 50 disebutkan: Bakr bin Hamran, seorang yang bengis dan terkutuk, pembunuh Muslim bin Aqil.

[63] Dia adalah orang yang bengis dan terkutuk. Biografinya tidak disebutkan.

[64] Abdullah bin Zubair bin A’sya (Qais) bin Bajrah bin Qais bin Munqidz bin Tharif bin ‘Amr bin Qain Al-Asadi.

( Rujuk, Abadu Al-Thaff 1 hal. 146 )

[65] Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa bait syair ini adalah gubahan Farazdaq, dan sebagian meyakininya sebagai gubahan Sulaiman Al-Hanafi.

Nama asli Farazdaq adalah Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah Al-Tamimi Al-Darimi dengan julukan Abu Fara.s. Beliau adalah seorang penyair terhormat dari kota Bashrah. Syair-syairnya sangat berpengaruh pada kesusasteraan Arab. Beliau sangat dihormati oleh kaumnya. Ayah dan kakeknya adalah figur-figur dermawan yang disegani. Wafat di salah satu desa kota Bashrah pada tahun 110 H, dalam usia hampir seratus tahun.

(Rujuk, Khizanatu Al-Adab 1 hal. 105-108, Jamharatu A.s.y’ari Al-‘Arab hal. 163 dan Al-A’lam 8 hal. 93 ).

[66] Naskah B tidak menyebutkan hari Selasa.

[67] “Menurut pendapat lain tanggal delapan Dzulhijjah” tidak terdapat dalam naskah B. Sedangkan naskah A menyebutkan: Menurut pendapat lain pada hari Rabu tanggal delapan Dzulhijjah.”

[68] Syekh Teherani menyebutkan dalam kitab Al-Dzari’ah 8 hal. 241: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Rustam Al-Thabari Al-Amuli Al-Mazandarani hidup setelah zaman Muhammad bin Jarir Al-Thabari yang terkenal itu dan semasa dengan Syekh Thusi yang wafat pada tahun 460 H dan Najasyi yang wafat pada tahun 450 H.

[69] Dalailu Al-Imamah atau Dalailu Al-Aimmah beliau tulis setelah tahun 411 H. Syekh Teherani berkata, “Orang pertama yang menukil sesuatu dari kitab ini adalah Sayyid Ibnu Thawus …Dan seperti yang kami sebutkan sebelum ini, perpustakaan Ibnu Thawus pada tahun 605 H, memiliki kurang lebih 1500 jilid kitab, termasuk naskah lengkap dari kitab ini. Beliau sering menukil kitab tersebut baik awal, pertengahan maupun bagian akhirnya dalam banyak kitab karangan beliau. Dalam menukilnya beliau sering dengan jela.s. menyebutkan nama sang penulis. Sayangnya, naskah kitab tersebut tidak sampai pada genera.s.i sekarang kecuali hanya sebagiannya saja.

( Rujuk, Al-Dzariah 8 hal. 244 )

[70]Mustadraku Ilmi Al-Rijal 4 hal. 95 menyebutkan: Abu Muhammad Sufyan bin Waki’, biografinya tidak disebutkan oleh para ulama.

Muhammad bin Furat Al-Dahan meriwayatkan darinya dari ayahnya dari A’masy. Muhammad bin Jarir Al-Thabari juga meriwayatkan darinya dari ayahnya dari A’masy. Thabari dalam Dalail-nya banyak membawakan riwayat beliau khususnya dalam bab mukjizat.

[71] Abu Sufyan Waki’ bin Jarah bin Malih Al-Ruasi, beliau termasuk ahli hadis negeri Irak pada zamannya yang banyak menghafal hadis. Lahir di Kufah dan wafat di Faid sepulangnya dari ibadah haji pada tahun 197 H.

Pendapat lain mengatakan pada tahun 199 H. Ada juga pendapat ketiga yang menyebutkan tahun yang lain.

(Rujuk, Tadzkiratu Al-HufFadhlz 1 hal. 282, Hilayatu Al-Auliya’ 8 hal. 368, Mizanu Al-I’tidal 3 hal. 270, Tarikhu Baghdad 13 hal. 466 dan Al-A’lam 8 hal. 117 ).

[72] Nama beliau adalah Sulaiman bin Mihran Al-Asadi (dari Bani Asad, bukan karena keturunan tapi dianggap sebagai keluarga oleh mereka ). Dia adalah seorang tabi’in yang bera.s.al dari kota Rey. Hidup dan wafat di kota Kufah. Beliau telah meriwayatkan kurang lebih 1300 buah hadis. Wafat tahun 148 H

(Rujuk, Al-Thabaqat 6 hal. 238, Al-Wafayat 1 hal. 213, Tarikhu Baghdad 9 hal. 3 dan Al-A’lam 3 hal. 135).

[73] Naskah R: Al-Wafidi.

Biografinya tidak disebutkan.

[74] Naskah B: Zurarah bin Sholeh.

Kitab Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 425 menyebutkan Zurarah bin Khalaj dan Zurarah bin Sholeh adalah dua orang yang berbeda. Mengenai Ibnu Khalaj kitab tersebut menyatakan bahwa para ulama tidak menyebutkan biografinya. Beliau adalah salah seorang sahabat Imam Husein a.s.. yang pernah menyaksikan mukjizat beliau dan mendengar dari beliau sendiri bahwa beliau akan terbunuh sebagai syahid bersama para sahabatnya.

Adapun mengenai Ibnu Sholeh, ia menyebutkan bahwa beliau ini pernah berjumpa denan Imam Husein a.s.. tiga hari sebelum beliau bertolak menuju Irak dan meriwayatkan sesuatu dari beliau.

Tampaknya dua nama yang disebutkan di ata.s. ini adalah nama satu orang. Wallahu A’lam.

l [75] Kota Bshrah dan Kufah terkenal dengan sebutan ” Irakain” ( Dua Irak ). Irak dikenal dengan sebutan Sawad ( Hitam) karena tertutup oleh rerimbunan tanaman, kebun korma dan pepohonan. Lua.s. kawasan Sawad meliputi Maushil sampai Abadan dan Adzib sampai Halwan. Adapun negeri Irak yang kita kenal, luasnya kurang dari lua.s. Sawad.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 3 hal. 272 dan 4 hal. 93-95 ).

[76] Dulu sebelum ditaklukkan oleh tentara Islam, tempat ini adalah tempat pemakaman umum orang-orang nasrani. Daerah tersebut berada di sekitar makam Al-Husain a.s. di dekat Nainawa.

( Rujuk, Turatsu Karbala hal. 19 )

[77] Dalam naskah A, setelah khotbah Al-Husain di atas terdapat teks demikian:

Diriwayatkan oleh Mu’ammar bin Mutsanna dalam kitab ” Maqtalu Al-Husain a.s. “, beliau berkata, “Pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash bersama pasukan yang berjumlah besar memasuki kota Mekah. Dia sedang menjalankan tugas dari Yazid untuk menyerang Al-Husain a.s. Akan tetapi Al-Husain a.s. telah meninggalkan kota suci tersebut pada yang sama.”

Teks tersebut tidak terdapat dalam naskah R dan B. Sengaja kami nukilkan di sini karena mungkin terma.s.uk catatan pribadi penulis yang kemudian ditambahkan dalam teks asli kitab.

[78] Naskah A: Diriwayatkan dari kitab “Ashl “ karangan Ahmad bin Husein bin Umar bin Buraidah, perawi yang tsiqah dan terpercaya. Tapi sebenarnya riwayat ini dari Muhammad bin Daud Al-Qummi.

Naskah B: Ahmad bin Al-Qummi.

Muhammad bin Ahmad bin Daud bin Ali, syekh Thaifah, dengan julukan Abul Hasan Al-Qummi, wafat pada tahun 368 H. Beliau adalah penulis kitab “Al-Mazar” dan salah seorang guru besar Syekh Mufid. Husein bin Ubaidillah bin Al-Ghadhiri juga meriwayatkan hadis darinya.

( Rujuk, Al-Thabaqat bagian abad ke-4 hal. 236 ).

[79] Abul Qasim Muhammad Akbar bin Ali bin Abi Thalib, dikenal dengan sebutan Ibnul Hanafiyyah. Hanafiyyah adalah julukan ibunya Khaulah binti Ja’far. Beliau adalah orang yang alim, zuhud dan kuat. Dialog antara beliau dan Ali bin Al-Husain a.s.. seputar masalah imamah sangatlah masyhur. Dalam dialog tersebut beliau lalu tunduk dan patuh pada imamah dan kepemimpinan Ali bin Al-Husain a.s.. setelah adanya batu yang bersaksi akan imamah keponakannya itu. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Muhammad bin Al-Hanafiyyah bersimpuh di kaki Imam Sajjad. Wafat pada tahun 80 atau 81 H.

(Rujuk, Tanqihu Al-Maqal 3 hal. 115, Wafayatu Al-A’yan 5 hal. 91 dan Al-Thabaqat 5 hal. 91).

[80]Yaman, nama satu negeri di antara Oman dan Najran yang memanjang dari laut Arab sampai ke ‘Adan.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 5 hal. 447 ).

[81] Dari teks: “Diriwayatkan dari Muhammad bin Daud Al-Qummi…” sampai di sini, tidak terdapat dalam naskah R, tapi ada dalam naskah B dan A. Dalam naskah A setelah teks di atas masih ada kelanjutannya, sebagai berikut:

Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini dalam kitab “Rasail” menyebutkan dari Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husein dari Ayyub bin Nuh dari Shafwan dari Marwan bin Isma’il dari Hamzah bin Hamran dari Abu Abdillah a.s. ketika kami ramai membicarakan tentang keluarnya Al-Husain a.s. tanpa diikuti oleh Ibnu Al-Hanafiyyah, beliau berkata, “Wahai Hamzah, aku ingin mengatakan kepadamu sesuatu sehingga engkau tidak akan bertanya lagi setelah meninggalkan tempat ini. Ketika Al-Husain a.s. hendak pergi, beliau menulis surat yang isinya:

Bismillah Al-Rahman Al-Rahim.

Dari Al-Husain bin Ali kepada Bani Hasyim.

Amma ba’du. Siapa yang bergabung denganku akan mati syahid. Dan siapa yang idak ikut bergabung tidak akan hidup terhotmat. Wassalam.

Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Ra. dalam kitab “Maulidu Al-Nabi saw. wa Maulidu Al-Aushiya’ a.s.” menyebutkan riwayat dari Imam Abu Abdillah a.s. Ja’far bin Muhammad Shadiq a.s.., beliau berkata, “Ketika Abu Abdillah Al-Husain bin Ali a.s. pergi dari Mekah menuju Kufah, beliau bertemu dengan sepasukan malaikat yang turun dari langit dengan memegang tombak yang pendek dan menunggang kuda surga yang amat indah. Setelah mengucapkan salam kepada beliau, mereka berkata, “Wahai Hujjah Allah atas para hamba-Nya setelah kakek, ayah dan abangnya ! Allah Swt. telah mengutus kami untuk menolong kakekmu dalam banyak kesempatan. Dan kini kami diperintahkan untuk menolongmu.

Kepada mereka Al-Husain a.s. berkata,”Kita bertemu nanti di tempat aku tewa.s. terbunuh sebagai syahid, tanah Karbala. Jika aku telah sampai di sana, temui aku !”

Mereka kemudian berkata, “Wahai Hujjah Allah ! Allah telah memerintahkan kami untuk mendengar dan mematuhi kata-katamu. Apakah anda tidak kuatir kalau-kalau di tengah perjalanan anda dihadang oleh musuh, sehingga kami perlu menyertai anda dalam perjalanan ini ?

Al-Husain a.s. menjawab, “Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku apalagi mencelakanku hingga aku sampai di tempat aku akan dikuburkan.”

Kemudian sekelompok kaum Mukminin dari bangsa Jin datang dan berkata, “Kami adalah pengikut dan para pembelamu. Jika anda perintahkan kami untuk membunuh semua musuh-musuhmu, akan kami bantai mereka semua tanpa perlu anda bersusah-susah berperang.” Semoga Allah membalas kebaikan mereka.

Kepada mereka Al-Husain a.s. berkata, “Tidakkah kalian membaca ayat suci yang turun kepada kakekku ini ?

قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل الي مضاجعهم

“Katakanlah: Sekiranya kalian berada di rumah kalian sndiri, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh “. (Q.S. Al ‘Imran: 154 )

Jika aku berdiam diri di sini, bagaimana para makhluk terkutuk itu akan diuji ? Dan siapakah yang akan menempati kuburan yang telah Allah tetapkan untuk aku tempati di hari Dia membentangkan bumi ini dan menjadikannya tempat berkumpul bagi para pecintaku.

Di sanalah amal ibadah dan salat mereka diterima. Di sanalah doa mereka akan dikabulkan. Tempat yang menjadikan jiwa para syiah dan pecinta kami tenang dan tenteram, juga memberikan ra.s.a aman di dunia dan akhirat kepada mereka. Tapi, datanglah kalian pada hari Sabtu, hari ‘Asyura’ -dalam riwayat lain disebutkan hari Jumat- yang berakhir dengan terbunuhnya diriku. Setelah itu, tidak akan ada lagi seorangpun dari keluarga, keturunan dan saudaraku yang dikejar-kejar. Lalu kepalaku akan dikirimkan ke Yazid bin Mu’awiyah (Laknat Allah atas keduanya).

Pasukan jin setelah mendengar kata-kata beliau tersebut menjawab, “Wahai kekasih Allah dan putra kekasih-Nya , jika saja perintahmu itu tidak wajib untuk ditaati dan kami diperbolehkan untuk menentangmu, keputusanmu itu akan kami tentang dengan membunuh semua musuhmu.”

Kepada mereka Al-Husain selanjutnya berkata, “Demi Allah, kami lebih dapat melakukannya dari pada kalian. Akan tetapi hal itu dimaksudkan agar mereka yang binasa, binasa dengan keterangan yang nyata dan mereka yang hidup, hidup dengan keterangan yang nyata pula.”

Sampai di sini teks tambahan naskah A. Tambahan ini tidak terdapat dalam naskah B dan R. Kami nukilkan di sini karena mungkin tambahan ini adalah catatan kaki penulis yang kemudian disertakan dalam teks asli kitab.

[82] Tan’im nama satu daerah di luar kota Mekah, tepatnya antara Mekah dan Sarif, sejauh dua farsakh dari kota Mekah ( Satu farsakh kurang lebih 5,5 km, pent ) dan menurut pendapat lain empat farsakh. Daerah ini dinamakan Tan’im karena di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang bernama Na’iim sedang di sebelah kirinya gunung yang bernama Na’im dengan lembahnya yang dikenal dengan nama Na’man. Di Tan’im terdapat beberapa buah masjid yang mengelilingi masjid Aisyah dan tempat minum di jalan menuju Madinah. Dari tempat inilah orang-orang Mekah memakai pakaian ihram untuk melakukan ibadah umrah.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 2 hal. 49 ).

[83] Biografinya tidak kami temukan.

[84] Zatu ‘Irq adalah nama suatu tempat di mana orang-orang Irak bia.s.a menyaksikan bulan sabit ( Hilal ) di sana. Daerah ini berada di antara Najd dan Tihamah. Pendapat lain mengatakan, Irq adalah nama satu gunung yang berada di jalan menuju Mekah. Di sanalah Zatu ‘Irq berada. ‘Ashmu’i berkata, “Kawasan tinggi dari dataran rendah Rimmah sampai ke permulaan Zatu ‘Irq dinamakan Najd. ‘Irq adalah nama gunung yang menghadap Zatu ‘Irq.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 4 hal. 107-108 ).

[85] Disebutkan dalam Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 33: Bisyr bin Ghalib Al-Asadi Al-Kufi adalah seorang sahabat Imam Husain dan Imam Sajjad a.s., seperti yang dikatakan oleh Syekh Thusi dalam kitab Rijal-nya. Al-Barqi memasukkannya dalam daftar sahabat Imam Amirul Mukminin Ali, Al-Hasan, Al-Husain dan Sajjad a.s. Dialah dan saudaranya, Basyir, yang meriwayatkan doa Imam Husein a.s. pada hari Arafah di padang Arafat yang terkenal itu. Beliau juga meriwayatkan banyak hal dari Imam Husein a.s.. yang disebutkan dalam kitab “Uddatu Al-Da’i”. Abdulah bin Syarik meriwayatkan hadis darinya..

[86] Naskah R: Taghlibiyyah

Tsa’labiyyah adalah nama salah satu tempat di jalan yang menuju Mekah dari arah Kufah, setelah Syuquq dan sebelum Khuzaimiyyah, kurang lebih dua pertiga perjalanan. Di bawah tempat ini ada sebuah sumber air yang bernama Dhuaija’ah sejauh satu mil dari sana. Tempat ini dinamakan Tsa’labiyyah karena Tsa’labah bin ‘Amr pernah tinggal di sana. Pendapat lain mengatakan bahwa Tsa’labaha bin Daudan bin Asad adalah orang pertama yang singah dan menggali air di tempat ini.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buldan 2 hal. 78 )

[87] Biografinya tidak kami temukan.

[88] Zuhair bin Al-Qain Al-Bajli. Bani Bujailah adalah keturunan Anmar bin Arays bin Kahlan dari Arab Qahthan. Beliau ( Zuhair ), adalah salah seorang tokoh ma.s.yarakat Kufah. Tampaknya ketika bergabung bersama Al-Husain a.s., beliau telah berusia lanjut. Dalam doa ziarah disebutkan penghormatan khusus untuknya. Beliau bergabung bersama Al-Husain di tengah perjalanan dari Mekah menuju Irak, setelah sebelumnya enggan untuk bertemu dengan Al-Husain a.s. Beliau menyampaikan pidatonya di hadapan tentara Ibnu Ziyad sebelum terjadinya pertempuran tak seimbang di Karbala. Al-Husain a.s. mengangkatnya sebagai komandan para sahabat beliau.

(Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 396-397, 6 hal. 42 dan 422, Rijalu Syekh hal. 73 dan Ansharu Al-Husain hal. 88).

[89] Dailam binti ‘Amr atau Umar. Dialah yang mengatakan pada budak Zuhair setelah beliau mati syahid, “Pergi dan kafanilah tuanmu!” Budak tersebut berkata, “Akupun pergi. Saat melihat jasad Al-Husain a.s., aku berkata dalam hati, apakah aku akan mengkafani tuanku dan membiarkan jasad Al-Husain tanpa kafan ? lalu kuputuskan untuk mengkafani jasad Al-Husain a.s. Apa yang kulihat dan lakukan kuceritakan pada Dailam. Beliau berkata, “Bagus. Sungguh bagus sekali apa yang kau lakukan itu..” Lalu beliau memberiku kafan kedua dan berkata,”Pergi dan kafanilah tuanmu !” Akupun pergi dan melakukan apa yang ia perintahkan.”

( Rujuk, Biografi Imam Husain a.s. dari kitab Al-Thabaqat yang dimuat dalam majalah Turatsuna No.: 10 hal. 19 dan A’lamu Al-Nisa’ Al-Mukminat hal. 341 ).

[90] Zubalah, nama tempat yang terkenal di jalan menuju Mekah dari arah Kufah. Tempat ini adalah sebuah desa yang ramai dengan banyak pusat perbelanjan dan berada di an

BAGIAN KEDUA

KISAH SYAHADAH

Perintah Ubaidillah bin Ziyad untuk membantai Al-Husain as. disambut oleh pasukannya. Seruannya untuk menjauhkan diri dari kebenaran mereka ikuti. Agama Umar bin Sa’ad telah dibelinya dengan harga dunia. Tawarannya kepada Umar untuk menjadi komandan pasukan penjegal diterimanya dengan senang hati. Bersama dengan empat ribu orang pasukan berkuda, dia keluar untuk memerangi Al-Husain as. Selain itu Ubaidillah bin Ziyad juga mengirimkan lasykar demi lasykar hingga pada hari keenam bulan Muharram jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua puluh ribu orang. Pasukan besar ini mempersulit keadaan Al-Husain as. sampai persediaan air minum beliau habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau dan rombongan yang bersamanya.

Dengan berdiri bersandarkan pada pangkal pedangnya, beliau berkata dengan suara yang lantang, “Kuingatkan kalian kepada Allah. Apakah kalian mengenalku ?”

Mereka menjawab, “Ya, kami mengenalmu dengan benar. Engkau adalah putra dan cucu Rasulullah .”

Beliau bertanya lagi, “Tahukah kalian bahwa Rasulullah saw. adalah kakekku ?”

“Ya, benar,” jawab mereka serentak.

“Bukankah Fatimah putri Rasulullah adalah ibuku ?”

“Ya, benar.”

“Bukankah Ali bin Abi Thalib ayahku ?”

“Ya, benar.”

Bukankah Khadijah binti Khuwailid,[1] wanita pertama yang memeluk agama Islam adalah nenekku ?”, tanya Al-Husain as. selanjutnya.

“Ya, benar.”

“Bukankah Hamzah [2] penghulu para syuhada adalah paman ayahku ?”

“Ya, benar.”

“Bukankah Ja’far[3] yang terbang di surga adalah pamanku ?”

“Ya, benar.”

“Tahukah kalian bahwa kini pedang Rasulullah berada di tanganku ?”

“Ya, benar.”

Tahukah kalian bahwa sorban yang kupakai ini adalah sorban Rasulullah saw. ?”

“Ya, benar.”

“Tahukah kalian bahwa Ali as. adalah orang pertama yang memeluk agama Islam, orang yang paling berilmu,orang yang paling bijak dan pemimpin bagi semua insan Mukmin baik laki-laki maupun perempuan ?”, tanya Al-Husain as.

“Ya, benar.”

“Kalau begitu atas dasar apa kalian hendak membunuhku, padahal ayahku adalah orang yang kelak akan menjagi penjaga telaga Kautsar. Dialah yang akan menghalau sekelompok orang dari telaga itu seperti orang menghalau kawanan unta yang hendak meminum air. Bendera Rasulullah pun kelak akan berada di tangannya?”, tanya Al-Husain lebih lanjut.

“Semua yang anda katakan itu benar dan sudah kami ketahui,” jawab mereka. “Tapi meskipun demikian, kami tidak akan melepaskan anda sampai anda merasakan maut dalam keadaan dahaga yang mencekik leher.”

Saat Al-Husain as. menyampaikan pidatonya ini, anak-anak dan adik beliau, Zainab,yang mendengarkan kata-kata beliau itu serentak menangis meraung-raung sambil memukuli wajah mereka sendiri.

Al-Husain as. segera memanggil adiknya, Abbas[4], dan putra beliau, Ali[5]. Kepada mereka berdua beliau berkata, “Diamkanlah mereka! Jika tidak, mereka akan terus menangis.”

Syimr bin Dzil Jausyan[6] -semoga Allah melaknatnya- maju. Dengan suara yang lantang, dia memanggil-manggil, “Mana anak-anak saudariku, Abdullah[7], Ja’far[8], Abbas dan Utsman[9]?”

Kepada mereka Al-Husain as. berkata, “Penuhilah panggilannya sekalipun dia orang yang fasik! Sebab dia masih termasuk paman kalian.”

“Ada apa denganmu sampai kau memanggil kami?”, tanya mereka kepada Syimr.

Syimr menjawab,”Wahai keponakanku sekalian, Aku jamin kalian aman. Jadi jangan kalian bunuh diri kalian sendiri dengan membela Al-Husain. Tunduk dan patuhlah kepada Amirul Mukminin Yazid bin Mu’awiyah!”

“Celaka kau dan terkutuklah keamanan yang kau janjikan itu!,” ujar Abbas bin Ali as. ” Kau suruh kami untuk meninggalkan saudara dan pemimpin kami Al-Husain as., putra Fatimah as. dan tunduk kepada orang-orang laknat putra orang-orang terkutuk itu ?” Syimr pergi meninggalkan mereka dengan amarah yang meluap.

Perawi berkata: Sewaktu Al-Husain as. melihat gelagat yang menunjukkan akan ketidaksabaran mereka untuk segera menyerang dan tidak berfaedahnya semua nasehat yang beliau berikan, beliau berkata kepada Abbas, adiknya, ” Jika kau dapat memalingkan perhatian mereka hari ini, lakukanlah segera! Mungkin dengan itu kita dapat beribadah kepada Allah SWT pada malam ini. Karena Dia tahu bahwa aku sangat menyenangi salat menghadap kepada-Nya dan membaca ayat-ayat suci-Nya.”

Perawi berkata: Abbas meminta kesempatan tersebut kepada mereka. Umar bin Sa’ad tidak memberikan jawabannya. Umar[10] bin Hajjaj menegurnya. Katanya, “Demi Allah, mereka bukanlah orang-orang Dailam atau Turki yang meminta kesempatan itu. Sebaiknya kita berikan kesempatan ini kepada mereka. Apalagi mereka adalah keluarga dekat Nabi Muhammad saw.” Permintaan itupun mereka kabulkan.

Perawi berkata: Al-Husain as. duduk dan tertidur. Ketika terjaga, beliau berkata, “Wahai adikku Zainab, baru saja aku bermimpi melihat kakek kita Rasulullah saw., ayah, ibu, dan kakak kita Al-Hasan. Mereka semua berkata kepadaku,” Wahai Husain, kau akan segera pergi berkumpul bersama kami.” Sebagian riwayat menyebutkan kata “Besok”.

Perawi berkata: Zainab yang mendengar kata-kata abangnya itu langsung memukuli wajahnya dan berteriak histeris. “Zainab, hentikanlah! Jangan kau buat musuh gembira melihat musibah yang menimpa kita,” kata Al-Husain as. kepadanya.

Malampun tiba. Al-Husain as. mengumpulkan para sahabatnya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, beliau berkata,

“Amma ba’du. Aku tidak pernah tahu ada sahabat yang lebih setia dari kalian atau keluarga yang lebih mulia dan lebih baik dari keluargaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian padaku dengan balasan-Nya yang lebih baik.

Malam kini telah tiba. Jadikanlah ini kesempatan untuk pergi. Aku minta setiap orang yang pergi membawa pergi bersamanya seorang dari keluargaku. Pergilah di kegelapan malam ini. Tinggalkan aku seorang diri berhadapan dengan mereka. Sebab mereka hanya menginginkan aku.”

Saudara-saudara Al-Husain as., anak-anak beliau dan anak-anak Abdullah bin Ja’far[11] berseru, “Mengapa kita mesti melakukannya? Apakah supaya kita dapat hidup lebih lama setelah kematianmu? Semoga Allah tidak menakdirkan hal itu terjadi pada diri kita.” Orang pertama yang mengatakah hal itu adalah Abbas bin Ali dan kemudian diikuti oleh yang lainnya.

Perawi berkata: Al-Husain as. mengalihkan pandangannya ke arah anak-anak Aqil[12] dan berkata, “Cukup saudara kalian Muslim saja yang terbunuh. Kuizinkan kalian untuk pergi. Pergilah!”

Menurut riwayat lain, saat itulah saudara-saudara dan seluruh keluarga beliau berkata, “Wahai putra Rasulullah, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang dan apa jawaban kami kepada mereka jika kita sampai meninggalkan pemimpin kita dan anak dari putri Nabi kita saw., tanpa ikut membidikkan anak panah, tanpa menusukkan tombak dan tanpa mengayunkan pedang bersamanya. Tidak. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkanmu selamanya. Tapi sebaliknya, kami akan melindungimu dengan menjadikan badan ini sebagai perisai hidupmu sampai kami semua terbunuh dan syahid di sisimu lalu masuk di tempatmu di sisi Allah SWT. Semoga Allah memperburuk kehidupan setelahmu.”

Musim bin ‘Ausajah[13] bangkit dan berkata, “Apakah kami akan meninggalkanmu sendirian padahal musuh telah mengepungmu dari segala penjuru? Demi Allah, tidak! Semoga Allah tidak menakdirkan aku melakukan hal tersebut hingga aku dapat mematahkan tombakku di dada mereka dan membabat habis mereka dengan pedangku selagi pangkalnya masih berada dalam genggamanku. Dan jika aku tidak memiliki senjata lagi untuk berperang melawan mereka, akan kulempari mereka dengan batu. Tak akan kutinggalkan engkau sampai aku mati dalam membelamu.”

Said[14] bin Abdullah Al-Hanafi berdiri dan berseru, “Demi Allah, kami tidak akan pernah meninggalkanmu, wahai putra Rasulullah. Sehingga Allah mengetahui bahwa kami telah menjaga wasiat Nabi Muhammad saw. dengan membelamu. Jika akau tahu bahwa aku akan terbunuh dalam usahaku membelamu lalu hidup kembali dan dibakar hidup-hidup kemudian abuku disebarkan, begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali, tak akan kutinggalkan dirimu sampai kutemui ajalku. Apalagi aku tahu bahwa aku hanya akan sekali mati terbunuh lalu memperoleh kemuliaan abadi.”

Zuhair bin Al-Qain tak mau kalah. Katanya, “Demi Allah, wahai putra Rasulullah. Aku gembira jika harus mati terbunuh lalu hidup lagi sebanyak seribu kali, tapi Allah menyelamatkan anda dan keluarga anda dengan kematianku.”

Kemudian sahabat-sahabat beliau yang lain mengatakan hal yang serupa. Mereka berkata, “Jiwa kami adalah tebusan jiwa anda. Kami akan membela anda dengan tangan dan wajah kami. Bila kami harus mati terbunuh di sampingmu, berarti kami telah memenuhi janji kami kepada Allah dan kami telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kami.”

Pada waktu itu ada yang berkata kepada Muhammad bin Basyir Al-Hadhrami[15], ” Anakmu kini tengah ditawan di negeri Rey[16]” Ia menjawab, ” Aku hanya mengharapkan pahala dari Allah untuk kami. Aku tidak ingin melihat ia ditawan sedangkan aku masih hidup.”

Al-Husain as. memperhatikan pembicaraan tersebut. Beliau lalu berkata,“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Engkau kubebaskan dari baiatku. Lakukanlah sesuatu untuk kebebasan anakmu !”

“Semoga binatang-binatang buas memangsaku hidup-hidup jika aku sampai meninggalkan anda,” katanya.

“Kalau begitu , berikan kain-kain yang ada kepada anakmu ini untuk menebus saudaranya!” ujar Al-Husain as. Kemudian kain-kain yang berharga seribu dinar tersebut diserahkan kepadanya.

Perawi berkata: Malam itu Al-Husain as. dan para sahabatnya larut dalam dengungan rabbani. Dengungan suara mereka tak ubahnya suara kawanan lebah. Mereka tenggelam dalam ruku’, sujud, berdiri menghadap kiblat dan duduk bermunajat. Malam itu kurang lebih tiga puluh orang dari kamp Umar bin Sa’ad melewati mereka[17].

Keesokan harinya, Al-Husain as. memerintahkan untuk mendirikan sebuah kemah lagi dan meminta satu tempat yang berisi minyak kesturi yang telah dicampur dengan bunga. Lalu beliau masuk ke dalam kemah tersebut untuk memakai minyak.

Diriwayatkan bahwa Burair bin Hushain Al-Himdani dan Abdur Rahman bin Abdi Rabbih Al-Anshari[18] berdiri di depan pintu kemah itu menunggu giliran setelah beliau. Pada saat itulah Burair bercanda dengan Abdur Rahman. Abdur Rahman berkata kepadanya, “Hai Burair, kenapa engkau tertawa ? Sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan bermain-main ?!”

Burair menjawab,”Dari dulu sampai sekarang kaum kerabatku mengetahui bahwa aku bukanlah orang yang suka bermain-main. Tapi hal itu aku lakukan karena aku gembira sekali menyaksikan jalan yang kita lalui ini. Demi Allah, kita hanya perlu berhadapan dengan mereka sebentar sambil memainkan pedang kita, lalu kita akan segera jatuh ke dalam pelukan bidadari surga.”

Perawi berkata: Pasukan Umar bin Sa’ad bersiap-siap di atas kuda mereka. Melihat itu, Al-Husain as. segera mengutus Burair[19] bin Hushain untuk menasehati mereka. Tapi sayang, kata-kata Burair tidak mereka indahkan. Sia-sia saja usaha yang dilakukan oleh sahabat setia Al-Husain as. itu.

Al-Husain as. naik ke atas untanya – atau kudanya, menurut riwayat yang lain – dan meminta mereka semua untuk diam. Keheningan menyelimuti padang tandus dan gersang itu.

Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw., para malaikat, nabi dan rasul-Nya, beliau berkata,

“Cekalakah kalian semua! Saat kalian merengek-rengek meminta bantuan kami, kami segera datang memenuhi panggilan kalian. Tapi kini kalian justeru menghunus pedang untuk menyerang kami, padahal kalian masih terikat janji baiat dengan kami. Kalian nyalakan api yang sedianya kami siapkan untuk musuh kami dam musuh kalian. Kini kalian telah berubah menjadi budak-budak musuh kalian untuk memerangi pemimpin kalian sendiri, padahal mereka tidak berlaku adil kepada kalian dan tak ada kebaikan yang bisa kalian harapkan dari mereka.

Bukankah sebaiknya kalian sarungkan lagi pedang yang telah dihunus itu dan meninggalkan kami dengan hati lembut. Sekarang masih belum terlambat. Tapi rupanya kalian sangat cepat untuk mendapat kutukan.

Terkutuklah kalian, hai budak-budak hina, pendurjana, pencampak kitab Allah, pemutar balik kata, pewaris dosa-dosa, sasaran tiupan setan dan pemadam Sunnah ! Merekakah yang kalian dukung dengan menghinakan kami?

Demi Allah, ini bukan kali pertama kalian bertindak licik. Kelicikan ini telah mengakar pada kalian semua. Kini orang-orang merasa jijik menyaksikan tindakan kalian ini. Dan kalian menjadi santapan empuk para penguasa zalim.

Ketahuilah bahwa Yazid bin Mu’awiyah memberiku dua pilihan, mati atau hidup terhina. Kami tidak akan memilih kehinaan selamanya. Allah tidak menghendaki hal itu terjadi pada kami, juga Rasul-Nya dan kaum Mukminin. Jiwa suci kami lebih memilih mati dengan terhormat daripada tunduk kepada para penguasa zalim. Ketahuilah, bahwa aku memilih untuk mati bersama kelompok kecil ini, meski tak ada lagi orang yang mau membelaku.”

Lalu beliau meneruskan khotbah tersebut dengan bait-bait syair Farwah bin Masik Al-Muradi[20]:

Jika kami menang, hal itu sudah terbiasa dari dulu

Dan jika kalah, tak ada cela bagi kekalahan itu

Rasa takut tak pernah merasuki kalbu kami

Hanya ajallah dan adanya takdir ilahi

Bila maut tak menghampiri suatu golongan

Pasti ia sedang mendatangi kaum yang lain

Mautlah penutup umur orang-orang mulia

Ia jugalah pembinasa umat-umat terdahulu

Jika para raja hidup kekal, kitapun abadi

Jika orang mulia tetap hidup, kita tak akan mati

Katakanlah kepada mereka, “Ingatlah bahwa Kalian akan mengalami hal yang sama

Kemudian beliau berkata,

“Ketahuilah! Demi Allah, setelah ini kalian hanya akan hidup sebentar, selama waktu orang menunggang kuda. Selanjutnya kalian akan diputar seperti gilingan gandum dan digoncang dari porosnya. Ini adalah janji yang diberikan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah saw.

Karena itu bulatkanlah tekad kalian dan kumpulkanlah semua sekutu kalian untuk membinasakanku. Kemudian umumkan keputusan itu dan binasakanlah aku, jangan kalian beri aku kesempatan lagi!

Aku berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Tak ada sesuatupun yang melata di muka bumi kecuali ada pada kekuasaan-Nya. Tuhanku berada di jalan yang lurus.

Ya Allah, jangan Kau turunkan hujan untuk mereka ! Tapi azablah mereka dengan paceklik seperti paceklik di masa Yusuf as.!

Utuslah seorang dari bani Tsaqif untuk menguasai dan menghinakan mereka sehina-hinanya. Karena mereka telah mendustakan dan melecehkan kami. Engkaulah Tuhan kami. Kepada-Mulah kami berserah diri dan kepada-Mulah kami kembali. Engkau tempat kembali segala sesuatu.”

Al-Husain as. turun lalu meminta kuda Rasulullah saw. yang bernama “Murtajiz”. Setelah naik ke atasnya, beliau memerintahkan para sahabat setianya agar bersiap-siap untuk bertempur.

Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir AS beliau berkata, “Jumlah mereka semua empat puluh oang penunggang kuda dan seratus pejalan kaki.” Riwayat lain menyebutkan jumlah yang lain.

Perawi berkata: Umar bin Sa’ad bergerak maju dan membidikkan anak panahnya ke arah perkemahan Al-Husain as. sembari berseru, “Saksikanlah dan sampaikan pada tuan gubernur bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah.” Selanjutnya anak-anak panah menghujani perkemahan Al-Husain mengikuti anak panah bidikan Ibnu Sa’ad.

Kepada para sahabatnya Al-Husain as. berkata, “Semoga Allah merahmati kalian semua. Bangkit dan sambutlah kematian ini! Kematian yang memang harus kita alami. Anak-anak panah ini membawa pesan perang kepada kalian.”

Beberapa saat peperangan tak berimbang ini berkecamuk. Serangan demi serangan dilancarkan, sehingga beberapa orang dari sahabat Al-Husain as. gugur sebagai syahid.

Al-Husain as. memegang janggutnya dan berkata, “Allah sangat murka kepada bangsa Yahudi ketika mereka menisbatkan Uzair sebagai anak-Nya. Juga kepada orang-orang Nasrani saat mereka menjadikan-Nya oknum ketiga dari tiga oknum tuhan mereka. Kepada kaum Majusi Allah murka ketika mereka memilih menyembah matahari dan bulan daripada Allah. Dan kini kemurkaan Allah turun atas sekelompok orang yang bahu membahu membunuh anak dari putri Nabi mereka.

Ketahuilah! Demi Allah, tak akan kupenuhi tawaran mereka sampai aku menemui Allah SWT dengan tubuh bersimbah darah.”

Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as. berkata,

“Ayahku mengatakan bahwa ketika Al-Husain as. berpapasan dengan Umar bin Sa’ad dan pertempuran tengah berkecamuk dengan hebatnya, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berada di atas kepala Al-Husain as.

Lalu Allah memberinya dua pilihan: Kemenangan atas musuh-musuhnya atau bertemu dengan-Nya. Al-Husain as. memilih untuk bertemu dengan Tuhannya[21].”

Perawi mengatakan: Al-Husain as. berkata,”Adakah orang yang masih menginginkan ridha Allah dengan menolong kami ? Adakah orang yang masih mau membela kehormatan Rasulullah saw. ?”

Tiba-tiba Hurr bin Yazid Al-Riyahi menghadap komandan tertinggi pasukan Ibnu Ziyad, Umar bin Sa’ad dan berkata, “Masihkah kau berniat untuk memerangi orang ini?”

Umar menjawab, “Tentu. Aku akan terus memeranginya, minimal sampai kepalanya melayang dan jari-jari tangannya terpotong.”

Hurr pergi meninggalkan Ibnu Sa’ad dan menyendiri sedang badannya menggigil. Muhajir bin Aus[22] yang menyaksikan pemandangan aneh ini berkata,”Demi Allah, aku bingung melihat keadaanmu ini. Padahal jika ada orang yang bertanya, siapakah orang Kufah yang paling berani, aku akan dengan mantap menjawab bahwa orang itu adalah kau. Apa gerangan yang terjadi padamu?”

Hurr menjawab, “Demi Alah, aku dihadapkan pada dua pilihan, surga atau neraka. Aku bersumpah bahwa aku lebih memilih surga walaupun mesti dicincang atau dibakar hidup-hidup.”

Setelah berkata demikian, Hurr memacu kudanya dengan cepat menuju perkemahan Al-Husain as. dengan tangan di atas kepala dan berseru,”Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu, terimalah taubatku ini! Aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rasa takut yang mencekam hati kekasih-kekasih-Mu dan anak-anak putri Nabi-Mu.”

Kepada Al-Husain as. ia berkata, “Akulah orang yang menghalangimu untuk kembali ke kotamu dan menggiringmu ke tempat ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengira bahwa mereka akan berlaku sekejam ini padamu. Kini aku bertaubat kepada Allah. Masih terbukakah pintu taubat buatku ?”

Al-Husain as. menjawab,“Ya. Allah telah menerima taubatmu. Turunlah !”

Hurr berkata,”Lebih baik aku berada di atas punggung kudaku dan bertempur membelamu daripada berjalan kaki. Karena bila aku turun, mereka akan langsung membunuhku.”

Katanya lagi,”Jika aku merupakan orang pertama yang menghadang anda, izinkan aku untuk menjadi orang pertama yang gugur dari barisanmu. Aku berharap dapat menjabat tangan kakek anda, Rasulullah saw. di hari kiamat kelak.”

Al-Husain as. mengijinkannya. Kini Hurr berada di tengah-tengah medan laga dan bertempur dengan sengitnya hingga berhasil membuat beberapa jagoan musuh terkapar di tanah. Tapi iapun gugur sebagai pahlawan. Jasadnya dibawa ke perkemahan Al-Husain as. Beliau sambil membersihkan wajah Hurr dari debu dan tanah berkata, “Engkau Hurr (Merdeka) seperti nama yang ibumu berikan. Engkau bebas dan merdeka di dunia dan akhirat.”

Perawi berkata: Burair bin Khudhair, seorang yang terkenal zuhud dan ahli ibadah, keluar dari barisan. Yazid bin Mi’qal[23] datang menyambutnya. Keduanya sepakat untuk bermubahalah dan memanjatkan doa agar Allah SWT membinasakan orang yang bersalah di tangan orang yang benar.

Pertarungan antara keduanya dimulai. Sabetan pedang Burair mengakhiri hidup Yazid. Yazid tewas. Burair terus berperang dengan sengitnya sampai kemudian gugur sebagai syahid. Semoga Allah SWT meridhainya.

Wahb bin Habbab Al-Kalbi[24] keluar dari barisan. Dengan terampil dan gerakan yang cepat dan lincah, ia menari-narikan pedangnya dan bertempur dengan gagah berani. Beberapa saat setelah itu, ia kembali ke perkemahan dan menghampiri ibu dan istrinya yang ikut dalan rombongan Al-Husain as. Kepada ibunya ia bertanya,”Ibu, puaskah kau menyaksikan aku bertempur di pihak Al-Husain ?”

Sang ibu menjawab,”Tidak. Aku tidak pernah akan merasa puas sampai menyaksikan kau terbunuh di sisi beliau?”

Istrinya berkata,”Wahb, demi Allah, jangan kau siksa aku dengan kepergianmu.”

“Anakku, jangan kau pikirkan apa yang istrimu katakan itu! Kembalilah ke medan laga dan berperanglah demi membela anak putri Nabimu. Kelak kau akan mendapatkan syafa’at kakeknya di hari kiamat.”

Wahb kembali ke tengah medan dan terus bertarung melawan musuh-musuh Allah sampai kedua tangannya putus. Sang istri menghampirinya dengan membawa kayu penyangga dan berseru,”Teruslah bertempur demi membela orang-orang suci ini, keluarga Muhammad Rasulullah saw.”

Wahb mendatangi istrinya dan menyuruhnya pergi ke kemah para wanita. Sambil memegangi pakaian sang suami ia berkata, “Aku tak mau kembali. Aku ingin mati bersamamu.”

Al-Husain as. menghampiri mereka dan menyuruh istri Wahb untuk segera kembali ke tempat para wanita berada dan berkata,“Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Kembalilah kau ke kemah para wanita. Allah merahmatimu.”

Wahb Al-Kalbi terus bertempur hingga akhirnya ia gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alahi.

Giliran Muslim bin ‘Ausajah maju. Dengan sengitnya, ia mengobrak-abrik barisan musuh. Segala rintangan dan cobaan ia lalui dengan tabah. Sampai ia jatuh tersungkur di atas tanah. Ia masih bernafas. Al-Husain as. bersama Habib bin Madhahir mendatanginya. Al-Husain berkata kepadanya,”Semoga Allah merahmatimu, hai Muslim.” Beliau membaca ayat suci:

فمنهم من قضي نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا

“Di antara mereka ada yang gugur, ada pula yang masih menunggu. Mereka tidak merubah-rubah (janji mereka).”

Habib mendekatinya dan berbisik,”Sungguh berat bagiku menyaksikan kematianmu, wahai Muslim. Bergembiralah karena surga telah menantimu. “

Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar Muslim menjawab, “Allah juga telah menjanjikan kebaikan untukmu.”

“Jika aku tahu bahwa aku hidup lebih lama lagi, dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu,” kata Habib lagi.

“Wasiatku padamu adalah dia – sambil menunjuk kepada Al-Husain as. – Berperanglah demi dia sampai engkau juga terbunuh seperti aku,” ujar Muslim.

“Dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu ini,” jawab Habib.

Muslim bin ‘Ausajah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ridhwanullahi ‘alahi.

‘Amr bin Quradhah Al-Anshari[25] maju meminta izin dari Al-Husain as. Beliau mengijinkannya. Iapun langsung masuk ke medan laga dan bertempur dengan gagah berani. Ia rindu untuk segera mendapatkan pahala dan berkhidmat pada Tuhan penguasa langit. Banyak nyawa tentara Ibnu Ziyad yang berhasil ia pisahkan dari badan mereka.

Dialah teladan dari kebenaran dan perjuangan. Tak ada anak panah yang melesat ke arah Al-Husain as. kecuali ia lumpuhkan. Dan tak ada pedang yang terayun ke arah Al-Husain as. kecuali ia tangkis dengan taruhan nyawa. Tak ada gangguan yang berhasil sampai ke tubuh Al-Husain as. selama dia ada, hingga badan ‘Amr penuh luka yang menganga. Sambil menengok ke arah Al-Husain as. ia berkata,”Ya Husain, wahai putra Rasulullah, setiakah aku padamu ? “

Al-Husain as. menjawab, “Ya. Kau akan berada di depanku di surga nanti. Sampaikan salamku kepada Rasulullah saw. dan katakan kepada beliau bahwa aku akan segera menyusul.”

‘Amr kembali bertempur dengan gigihnya hingga akhirnya ia gugur. Ridhwanullahi ‘alaihi.[26]

Jaun[27], seorang yang berkulit hitam, bekas budak Abu Dzar, maju siap bertempur. Kepadanya Al-Husain as. berkata, “Engkau tidak terikat baiat denganku. Demi keselamatanmu, engkau ikut bersama kami. Karena itu, jangan kau tempuh jalan yang kami pilih.”

Jaun menjawab, “Wahai putra Rasulullah, di saat senang aku selalu makan dari hidanganmu. Apakah kini dengan adanya kesulitan yang anda hadapi, aku lantas berdiam diri? Demi Alah, bau badanku ini busuk. Jalur keturunankupun hina. Dan kulitku hitam. Biarkan aku mencium bau surga sehingga bauku menjadi harum, silsilah kuturunanku menjadi mulia dan kulitku menjadi putih. Demi Allah tak akan kutinggalkan anda sampai darahku yang hitam ini bercampur dengan darah kalian.”

Iapun bertempur dengan sengitnya hingga gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alahi.

Perawi berkata: ‘Amr bin Khalid Al-Shaidawi[28] tampil ke depan dan berkata kepada Al-Husain as., “Wahai putra Rasulullah, nyawaku kujadikan tebusan jiwamu. Aku ingin segera menyusul kawan-kawanku dan tidak ingin mati setelah anda. Sebab jika hal itu terjadi, berarti aku akan menyaksikan anda dibantai seorang diri di depan mata keluargamu.”

Al-Husain as. menjawab, “Majulah! Kami akan segera menyusulmu.”

Iapun maju bertempur sampai akhirnya gugur. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Perawi berkata: Handhalah bin Sa’ad Al-Syabami[29] datang dan berdiri di depan Al-Husain as. untuk melindungi beliau dari serangan anak-panah, pedang dan tombak musuh dengan wajah dan dadanya, sambil berseru,

“Hai kalian semua, aku khawatir nasib kalian akan berakhir seperti musuh-musuh Allah, seperti kaum Nabi Nuh, Tsamud dan lainnya. Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.

Wahai kaumku, aku mencemaskan keadaan kalian di hari kiamat kelak.Hari di mana kalian akan kebingungan dan melarikan diri, padahal tak ada yang dapat melindungi kalian dari kemurkaan Allah. Wahai kaumku, jangan kalian bunuh Al-Husain, karena hal itu dapat menjadi penyebab kalian dibinasakan oleh Allah dengan azab-Nya. Sungguh merugi orang yang membuat kedustaan.”

Lalu ia berpaling menghadap Al-Husain as. dan berkata, “Bolehkah aku segera pergi menghadap Tuhan kita dan menyusul kawan-kawan yang lain?”

Beliau menjawab, “Pergilah ke tempat yang paling baik untukmu dari dunia seisinya! Pergilah menuju kerajaan Allah yang abadi!”

Ia maju dan berperang degan gagah berani. Dengan penuh kesabaran ia hadapi segala derita yang menimpanya hingga akhirnya ia jatuh tersungkur dan gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Waktu salat dhuhur tiba. Al-Husain memerintahkan Zuhair bin Al-Qain dan Sa’id bin Abdillah Al-Hanafi untuk maju ke depan beliau bersama setengah dari jumlah pasukan beliau yang masih tersisa. Mereka lalu melaksanakan salat khauf (Sholat di waktu perang tengah berkecamuk).

Sebuah anak panah melesat ke arah Al-Husain as. Sa’id bin Abdillah Al-Hanafi segera menyambutnya dengan berdiri tegak bak tameng hidup Al-Husain as., dan tak bergeming sedikitpun sampai akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah sambil berkata, “Ya Allah, kutuklah orang-orang ini seperti Engkau mengutuk kaum ‘Aad dan Tsamud. Ya, Allah, sampaikanlah salamku kepada Nabi-Mu. Sampaikan padanya derita dan perihnya luka yang kurasakan ini, karena mengharapkan pahala dari-Mu dengan membela cucu Nabi-Mu.”

Iapun menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tiga belas anak panah di tubuhnya, selain dari luka yang disebabkan oleh sayatan pedang dan tusukan tombak. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Perawi berkata: Suwaid bin Umar bin Abi Al-Mutha’[30], orang terhormat yang gemar salat, maju bertempur bak singa liar. Segala kepedihan dan keperihan ia hadapi dengan penuh ketabahan, hingga akhirnya jatuh di antara korban peperangan tak berimbang ini dengan berluimuran darah dari luka ynag ia alami. Tak ada lagi gerakan yang terlihat dari tubuhnya. Sampai kemudian ia mendengar suara orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Husain as. terbunuh. Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat, ia keluarkan pisau dari selah-selah sepatunya dan bangkit bertarung kembali hingga terbunuh. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Pasukan Al-Husain as. bertarung dengan sengitnya. Mereka seperti yang dikatakan orang:

Sekelompok orang, ketika ditantang bencana

Di antara pasukan berkuda yang siap menerjang

Mereka jadikan hati sebagai perisai

Berlomba hadiahkan nyawa mereka tersayang

Kini hanya Al-Husain as. dan keluarganya saja yang masih tersisa. Ali bin Al-Husain as., pemuda yang tampan dan menawan baik paras maupun peranginya ini, meminta izin ayahnya untuk maju melawan para durjana musuh-musuh Allah. Izin diberikan.

Al-Husain hanya dapat mengikuti langkahnya lewat pandangan yang sayu. Air mata membasahi pipinya. Sambil terisak beliau berkata, “Ya Allah, saksikanlah ! Pemuda yang sangat mirip dengan Rasul-Mu baik wajah, perangai maupun tutur katanya, kini maju menghadang musuh dan bertarung dengan mereka. Dialah obat kerinduan kami kepada Nabi-Mu. Dengan memandanginya kami dapat mengobati kerinduan itu.”

Kemudian beliau berseru, “Hai Ibnu Sa’ad, semoga Allah memutus garis keturunanmu seperti engkau memutus keturunanku dengan membunuhnya.”

Ali bin Al-Husain as. maju dan dengan gerakan yang lincah dan penuh semangat ia berhasil mencerai-beraikan barisan musuh. Korban berjatuhan terkena sabetan pedangnya. Kemudian ia kembali ke ayahnya dan berkata, “Ayah, rasa haus ini telah mencekik leherku. Dan besi ini terasa sangat berat di badanku.Adakah cara agar aku bisa mendapatkan air barang seteguk ?”

Al-Husain as. sedih mendengar permintaan anak kesayangannya itu dan sambil menangis beliau berkata, “Oh malangnya engkau! Dari mana aku bisa mendapatkan air? Bertempurlah sejenak! Tak lama lagi kakekmu Muhammad saw. akan memberimu minuman dengan cawannya dan setelah itu kau tidak akan merasakan dahaga lagi selamanya.”

Iapun kembali ke medan laga dan bertemput dengan sengitnya, hingga sebuah anak panah kiriman Munqidz bin Murrah Al-‘Abdi mengenainya. Ali bin Al-Husain as. tersungkur dan berseru, “Ayah, salam dariku untukmu. Ini dia, kakekku Rasulullah berkirim salam padamu dan berpesan agar engkau cepat-cepat datang menyusul kami.” Cawan syahadah ia teguk. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Al-Husain as. segera menghampirinya dan meletakkan pipi sang anak di pipinya seraya berkata, “Semoga Allah membinasakan mereka yang membunuhmu. Alangkah durhakanya mereka kepada Allah sehingga berani menginjak-injak kehormatan Rasulullah saw. Dunia kini tak berarti lagi setelah kepergianmu, anakku.”

Perawi berkata: Zainab binti Ali keluar dari kemah dan menjerit histeris,”Oh sayangku, oh keponakanku.” Ia menghampiri jasad Ali bin Al-Husain as. lalu menjatuhkan dirinya di atas tubuh tak bernyawa itu.

Al-Husain as. segera mengambil Zainab dan mengembalikannya ke kemah para wanita.

Satu demi satu jawara Bani Hasyim maju. Sebagian telah gugur di tangan musuh. Saat itulah Al-Husain as. berseru, “Bersabarlah wahai anak-anak pamanku ! Bersabarlah wahai keluargaku! Demi Allah, kalian tak akan merasakan kehinaan lagi setelah hari ini.”

Perawi berkata: Seorang anak yang belia[31] dengan wajah bak bulan purnama mendadak keluar dari barisan Al-Husain as. dan bertempur dengan sengit. Ibnu Fudhail Al-Azdi[32] datang dan memukul kepalanya. Tengkorak kepala sang anak pecah dengan luka yang menganga. Ia jatuh tersungkur dan menjerit, “Paman…”

Al-Husain as. segera keluar dari perkemahannya dan memacu kudanya secepat kilat. Dengan pedang yang terhunus di tangan kanannya dan amarah yang memuncak, disabetnya Ibnu Fudhail, yang saat melihat Al-Husain as. berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut yang hampir pasti. Pukulan Al-Husain as. ditangkisnya dengan lengan tangan. Suara lengkingannya terdengar kala tangan si durjana itu terlepas dari sikunya. Teriakannya terdengar oleh pasukan Ibnu Sa’ad. Mereka segera datang berusaha untuk dapat menolongnya. Tapi sial, kaki-kaki kuda mereka justeru menginjak-injaknya hingga ia tewas mengenaskan.

Perawi berkata: Debu-debu yang beterbangan reda sudah. Tampak Al-Husain as. berdiri di samping anak tersebut yang masih menyektak-nyentakkan kakinya di tanah. Beliau as. berkata, “Terkutuklah mereka yang telah membunuhmu. Di hari kiamat kelak, kakekmu[33] akan menuntut balas kematianmu dari mereka semua.”

Kemudian beliau berkata lagi, “Sungguh berat rasanya bagi pamanmu ini, kala mendengar panggilanmu tapi tak menjawabnya. Atau menjawab tapi suaranya tak lagi dapat memberikan apa-apa. Demi Allah, hari ini telah dipenuhi oleh orang-orang zalim dan sedikit orang yang mau menolong kita.”

Al-Husain menggendong jasad belia ini dan meletakkannya di tempat sanak keluarganya yang telah menjadi korban kebiadaban hari itu.

Saat Al-Husain as. memandangi jasad-jasad keluarga dan sahabatnya, beliau bertekad untuk menghadapi sendiri musuh-musuhnya dengan jiwa dan raga. Beliau berkata,

“Adakah orang yang mau membela kehormatan Rasulullah saw. ? Adakah seorang muslim di sini yang takut kepada Tuhannya karena menzalimi kami? Adakah orang yang mau menolong kami karena mengharapkan pahala dari Allah ?”

Jerit tangis para wanita meledak. Al-Husain as. mendatangi kemah dan berkata kepada Zainab,“Ambilkan anakku yang paling kecil[34]! Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya.”

Al-Husain as. mengambil anak tersebut. Ketika hendak menciumnya, sekonyong-konyong sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Harmalah bin Kahil[35] melesat dan menancap tepat di kerongkongannya yang mungil itu.. Leher sang anak menganga bagai disembelih. Kepada Zainab Al-Husain as. berkata, “Ambillah !”

Darah segar yang mengucur deras dari leher tersebut beliau tampung di telapak tangan hingga penuh. Lalu darah itu beliau lemparkan ke atas sambil berseru, “Ya Allah, ringankanlah deritaku ini! Engkau telah menyaksikan semuanya.”

Imam Baqir as. berkata, “Tak setetespun dari darah itu yang tertumpah ke tanah.”

Ada riwayat lain yang lebih logis dan layak untuk diterima. Saat-saat menengangkan dengan berkecamuknya peperangan dan sadisnya pembantaian yang dilakukan oleh musuh, bukan saat yang tepat untuk berpamitan dengan seorang bayi. Riwayat kedua ini menyebutkan bahwa Zainab, adik kandung Al-Husain as., keluar dari kemahnya dengan membawa bayi tersebut seraya berkata, “Abangku, anakmu ini sudah tiga hari lamanya tidak meneguk air sama sekali. Mintalah air untuknya barang seteguk.”

Al-Husain as. mengambil sang anak dan berkata kepada mereka, “Hai kalian semua! Kalian telah membantai sahabat-sahabat dan sanak keluargaku. Kini tinggal anakku yang masih bayi ini yang tercekik rasa dahaga. Berilah ia beberapa tetes air untuk membasahi tenggorokannya !”

Ketika Al-Husain tengah berkata demikian, tiba-tiba seseorang melepaskan anak panah ke arah bayi yang berada di tangan Al-Husain as. itu hingga menembus leher mungilnya.

Al-Husain as. memanjatkan doa agar Allah SWT mengazab mereka. Doa tersebut menjadi kenyataan dengan terbantainya mereka di tangan Mukhtar.

Perawi berkata: Rasa dahaga kian mencekik Al-Husain as. Dengan menunggang Mutsannat (Nama kuda beliau, pent), beliau pergi menuju sungai Furat. Abbas, adik beliau ikut menyertai. Di tengah jalan, mereka berdua dihadang oleh pasukan berkuda Ibnu Sa’ad. Seorang dari bani Darim membidikkan panahnya ke arah Al-Husain as. Anak panah itu dengan cepat melesat dan mengenai dagu bawah beliau. Al-Husain as. mencabutnya dan meletakkan tangannya di luka tersebut sampai darah memenuhi kedua telaak tangannya. Beliau melemparkan darah itu dan berkata, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu segala apa yang mereka perbuat terhadap anak putri Nabi-Mu.”

Pasukan kuda Ibnu Sa’ad kini menghadang Abbas dan mengepungnya dari segala penjuru. Dengan sadis mereka mencincangnya. Semoga Allah mensucikan ruhnya[36]. Ridhwanullahi ‘alaihi.

Menyaksikan itu Al-Husain as. tak lagi dapat membendung tangisnya. Dalam hal ini, seorang penyair berkata:

Pemuda yang paling pantas untuk ditangisi

Adalah yang membuat Al-Husain menangisinya

Dialah saudara, dan anak ayahnya, Ali

Abul Fadhl dengan luka di sekujur tubuhnya

Pembela setia dan pengikut sejati

Demi Al-Husain, tinggalkan air, pilih dahaga

Perawi berkata: Al-Husain as. menyerukan untuk bertanding dengannya. Semua yang mencoba maju, beliau robohkan, hingga banyak korban berjatuhan terkena sabetan pedang putra Ali tersebut. Sambil bertempur beliau bersenandung:

Kematian lebih baik dari menanggung hina

Tapi kehinaan lebih baik dari api neraka

Perawi berkata: Demi Allah, tak pernah sekalipun aku menyaksikan seorang yang hatinya telah pilu menyaksikan pembantaian anak, keluarga dan para sahabatnya yang lebih tabah Al-Husain as. Ketika pasukan musuh mendesaknya, dengan memainkan pedangnya beliau balas mendesak gerak laju mereka, bagai serigala yang melepaskan diri dari ikatan yang membelenggunya. Pasukan musuh yang berjumlah tiga puluh ribu orang beliau cerai-beraikan. Barisan mereka terobrak-abrik bak pasukan belalang.

Kemudian beliau kembali lagi ke kemah dan berkata lirih, “Tak ada daya dan upaya kecuali atas kehendak Alah yang Maha Tinggi dan Agung.”

Perawi berkata: Al-Husain as. terus bertempur sampai kemudian pasukan musuh menghalangi beliau untuk kembali ke perkemahannya.

Kepada mereka beliau berseru, “Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak lagi mempunyai agama dan tidak takut akan siksaan Allah di hari kiamat, jadilah orang-orang yang merdeka dalam urusan dunia kalian! Tengoklah kembali rasa kecemburuan kalian jika memang kalian orang Arab !”

Syimr menyahut, “Apa maksudmu, hai putra Fatimah?”

Al-Husain menjawab, “Akulah yang berperang dengan kalian. Sedang wanita-wanita itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian. Cegahlah orang-orang bengis, bodoh dan durjana ini dari perbuatan mereka menginjak-injak kehormatanku selagi aku masih hidup!”

“Kukabulkan permintaanmu itu, hai putra Fatimah[37],” sahut Syimr.

Mereka kemudian serentak maju menyerang Al-Husain as. Serangan dibalas dengan serangan. Meskipun demikian, Al-Husain as. berusaha untuk mendapatkan seteguk air yang bisa membasahi kerongkongannya. Usahanya sia-sia. Badan beliau kini menanggung tujuh puluh dua buah luka.

Al-Husain as. berhenti untuk beristirahat sejenak, setelah badan belau melemah dan ketangkasannya mengendur. Tiba-tiba sebuah batu menghantam dahinya selagi beliau berhenti. Dengan bajunya, beliau mengusap darah segar yang mengalir dari dahi suci itu.

Mendadak sebuah anak panah beracun dan bermata tiga lepas dari busurnya, melesat dan tepat bersarang di jantung beliau. Al-Husain as. berseru:

بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله

Lalu beliau mengangkat kepalanya ke atas dan berkata, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya cucu Nabi-Mu.”

Al-Husain as. mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah memuncrat bagai pancuran. Kegesitan Al-Husain as. dalam berperang kian melemah. Kini beliau berhenti dan berdiam diri. Setiap orang yang datang ke arahnya, langsung pergi menginggalkannya karena takut akan menemui Allah dengan darah Al-Husain as. Sampai kemudian seorang dari Bani Kindah bernama Malik bin Nasr[38] datang menghampiri dan memaki beliau. Tak lama kemudian ia mengayunkan pedangnya ke kepala Al-Husain as. Penutup kepala beliau terbelah dan pedang melukai kepalanya. Penutup kepala Al-Husain as. berubah menjadi merah bercampur darah.

Al-Husain as. meminta selembar kain untuk menutup luka yang menganga di kepalanya, juga sebuah topi yang diikatkan di kepala.

Tak lama setelah itu, pasukan berkuda musuh kembali menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdulah[39] bin Al-Hasan bin Ali – seorang anak yang belum akil baligh – keluar dari kemah para wanita berlari menuju ke arah Al-Husain as. Zainab binti Ali menyusul dan mencegahnya. Ia meronta-ronta dan berkata, “Demi Allah, aku tidak mau berpisah dari pamanku.”

Bahr bin Ka’ab[40] – menurut riwayat lain Harmalah bin Kahil – datang hendak memukul pedangnya ke arah Al-Husain as. Anak tersebut menghardiknya, “Hai anak perempuan kotor ! Kau akan membunuh pamanku ?”

Pedang terayun. Sang anak menangkisnya dengan tangan kosong. Lengan mungil itu nyaris terlepas dari pangkalnya dan tergantung di kulit tangan. Terdengar suara jeritan yang memilukan, “Pamaaan[41] !”

Al-Husain as. memeluknya dan berkata, “Bersabarlah menerima derita ini, wahai keponakanku. Sebentar lagi Allah akan mengumpulkanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh.”

Harmalah melepasakan anak panahnya hingga menembus leher anak Al-Hasan itu. Ia gugur di pangkuan pamannya, Al-Husain as.

Syimr bin Dzil Jausyan menyerang kemah Al-Husain as. dan merusaknya dengan tombak yang ada di tangannya, lalu berkata, “Beri aku api! Biar kubakar habis semua yang ada di dalamya.”

Al-Husain as. menyahut, “Hai anak Dzil Jausyan! Kau mau membakar keluargaku ? Semoga Allah membakarmu dengan neraka jahannam.”

Syabats datang dan memaki Syimr hingga akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu.

Perawi berkata: Al-Husain as. mengatakan kepada keluarganya, “Beri aku baju yang sudah kumal biar kupakai di bawah bajuku ini, supaya aku tidak telanjang jika mereka merampas pakaianku.”

Celana kolor diberikan. Al-Husain as. menolak dengan mengatakan, “Bukan ini. Ini adalah pakaian orang hina.” Lantas beliau mengambil baju yang sudah kumal dan jelek yang kemudian beliau kenakan di baawah baju aslinya. Ketika beliau terbunuh, mereka melucuti pakaian beliau.

Kemudian beliau mengambil celana dari kain Yaman. Setelah merobek celana itu beliau memakainya. Tujuan beliau merobeknya adalah supaya celana itu tidak ikut dirampas dari badannya. Setelah beliau terbunuh, Bahr bin Ka’ab merampasnya dan meninggalkan Al-Husain as. tanpa celana. Sebagai ganjaran atas apa yang diperbuatnya terhadap cucu Rasulullah saw. itu, Allah mengazabnya dengan menjadikan kedua tangannya kering seperti dua batang kayu kering di musim panas. Dan di musim dingin kedua tangannya itu basah dan mengeluarkan cairan darah dan nanah, sampai akhirnya maut menghabisi riwayatnya.

Al-Husain as. telah bersimbah darah dan tubuh beliau kini tak ubahnya seperti binatang landak. Saat itulah Shaleh bin Wahb Al-Muzani[42] menusukkan tombaknya ke pinggang beliau. Al-Husain as. jatuh tersungkur dari kudanya dengan pipi kanan menempel di tanah. Beliau bangkit kembali.[43]

Perawi berkata: Zainab keluar dari kemahnya dan berteriak histeris, “Oh abangku! Oh Junjunganku! Oh Ahlul Bait! Andai saja langit jatuh ke bumi dan gunung runtuh di lembahnya.”

Syimr dengan congkak menghadap pasukannya dan berseru, “Tunggu apa lagi kalian? Habisi orang ini!” Orang-orang terkutuk itu segera menyerang Al-Husain as. dari segala arah.

Zar’ah bin Syuraik[44] datang memukul pundak kiri Al-Husain as. Beliau balas memukul Zar’ah dan membantingnya ke tanah.

Seorang lagi datang dan memukulkan pedangnya di pundak suci Al-Husain as. Beliau jatuh tersungkur. Al-Husain as. kian melemah. Dengan susah payah beliau merangkak. Melihat itu, Sinan bin Anas Al-Nakha’i[45] menusukkan tombaknya di tulang atas dada Al-Husain as. lalu mencabutnya dan kembali menusukkan tombaknya itu di tulang dada beliau.

Tak puas dengan itu semua, Sinan membidikkan panahnya ke arah Al-Husain as. Anak panah itu tepat bersarang di leher beliau. Al-Husain as. jatuh. Sambil terduduk beliau berusaha untuk mencabut anak panah itu dari lehernya. Tapi setiap kali, kedua telapak tangan beliau lebih dahulu dipenuhi oleh darah yang mengucur deras. Darah itu beliau usapkan di kepala dan janggutnya seraya berkata, “Dengan begini aku akan menghadap Allah dengan berlumuran darah dan terampas hakku.”

Umar bin Sa’ad berkata kepada seorang di sebelah kanannya, “Turun kau dan habisi Al-Husain !”

Khauli bin Yazid Al-Ashbahi[46] lebih dahulu datang untuk memenggal kepala suci cucu Nabi saw. Tiba-tiba badannya menggigil gemetaran. Sinan bin Anas Al-Nakha’i datang dan tanpa membuang-buang waktu lagi ia ayunkan pedangnya ke leher Al-Husain AS sambil berkata, “Aku bersumpah demi Allah, akan kupenggal kepalamu meskipun aku tahu bahwa kau adalah cucu Rasulullah dan anak dari dua orang yang paling mulia di dunia.” Iapun memenggal kepala suci Al-Husain -salawat dan salam Allah atasnya dan atas keluarganya-.

Dalam hal ini penyair berkata:

Adakah bencana seperti yang menimpa Al-Husain

Di hari ia terbunuh di tangan kotor Sinan

Diriwayatkan bahwa Sinan di kemudian hari ditangkap oleh Mukhtar. Jari-jari tangannya dipotong sepanjang ruas jari. Kedua tangan dan kakinya dipisahkan dari tubuhnya. Lalu Mukhtar memasak minyak di dalam sebuah kuali dan melemparkan Sinan yang menggigil ketakutan ke dalamnya.

Abu Thahir Muhammad bin Husein Al-Barsi dalam kitab “Ma’alimu Al-Din[47]” meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as., beliau berkata,“Ketika peristiwa terjadi, para malaikat gaduh[48] dan berkata, “Tuhan, ini Al-Husain kekasih-Mu, putra kekasih-Mu dan anak putri Nabi-Mu.” Lalu Allah SWT menunjukkan Al-Mahdi kepada mereka dan berfirman, “Aku akan membalas kematian Al-Husain dengannya.”

Perawi berkata: Waktu itu debu yang tebal dan berwarna pekat beterbangan di awan diiringi oleh angin merah, sehingga tak ada sesuatupun yang tampak. Melihat itu, orang-orang mengira bahwa azab Allah akan segera turun. Hal itu berlangsung beberapa saat sebelum kemudian menghilang kembali.

Hilal bin Nafi’ berkata, “Aku berada di barisan Umar bin Sa’ad. Mendadak seseorang berseru, “Tuan, bergembiralah! Syimr telah berhasil membunuh Al-Husain.” Akupun segera keluar menengok ke arah dua barisan bertemu. Kuhampiri ia. Al-Husain as. tengah melewati detik-detik akhir kehidupan di alam fana ini. Demi Allah, tak pernah aku menyaksikan seorang korban yang berlumuran darah yang lebih tampan dan bersinar wajahnya dari Al-Husain. Sinar yang memancar dari wajahnya dan ketampanan parasnya membuatku terlena dari berfikir untuk membunuhnya.

Pada saat-saat yang paling menegangkan itu, Al-Husain as. meminta air. Lalu kudengar suara orang yang mengatakan, “Demi Allah, kau tak akan mendapatkan air sampai kau masuk ke neraka dan meminum timah panasnya[49].”

Kepadanya Al-Husain as. menjawab, “Aku tidak mungkin masuk neraka. Tapi aku akan segera pergi menemui kakekku Rasulullah saw. dan akan tinggal bersamanya di sebuah rumah di dalam surga, di sisi Tuhan yang Maha Perkasa sambil meminum air surgawi yang segar. Lalu aku akan mengadukan kepadanya segala yang kalian perbuat terhadapku.”

Mendengar jawaban Al-Husain as. tersebut orang-orang terkutuk itu marah. Tak ada lagi rasa belas kasihan yang masih tersisa di lubuk hati mereka. Lantas mereka memenggal kepala Al-Husain as. sedang beliau terus berkata-kata kepada mereka. Aku heran sekali menyaksikan mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali. Kukatakan kepada mereka, “Demi Allah, aku tidak akan ikut urusan kalian selama-lamanya.”

Mereka lalu melucuti barang-barang yang kenakan oleh Al-Husain as. Ishaq bin Haubah[50] Al-Hadhrami mengambil baju beliau dan memakainya. Dengan perbuatannya itu, ia ditimpa penyakit belang dan rambutnya rontok.

Diriwayatkan bahwa di baju beliau terdapat lebih dari seratus buah tusukan pedang, tombak dan anak panah.

Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Al-Husain as. mengalami tiga puluh tiga buah tusukan dan tiga puluh empat buah luka sabetan pedang.”

Celana yang beliau pakai dirampas oleh Bahr bin Ka’ab Al-Tamimi. Diriwayatkan bahwa dengan mengambil celana tersebut, beberapa waktu lamanya ia menjadi lumpuh.

Serban beliau di ambil oleh Akhnas bin mirtsad bin ‘Alqamah Al-Hadhrami[51]. Menurut pendapat lain: Jabir bin Yazid Al-Audi[52]. Setelah serban tersebut dipakai, ia menjadi gila.

Aswad bin Khalid[53] mengambil sepasang sandal beliau as.

Bajdal bin Sulaim Al-Kalbi[54] mengambil cincin Al-Husain as. Jari tangannya terputus bersama cincin tersebut setelah ia memakainya. Di kemudian hari, ia ditangkap oleh pasukan Mukhtar yang lalu memotong kedua tangan dan kakinya, kemudian membiarkannya bersimbah darah hingga tewas.

Selendang beliau yang terbuat dari kain sutera diambil oleh Qais bin Asy’ats[55].

Baju besi beliau diambil oleh Umar bin Sa’ad. Ketika Ibnu Sa’ad terbunuh, Mukhtar memberikannya kepada Abu ‘Amrah[56], pembunuh Umar.

Jumai’ bin Khalq Al-Audi[57]. Mengambil pedang Al-Husain. Tapi ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwa yang mengambil pedang tersebut adalah seorang dari bani Tamim yang bernama, Aswad bin Handhalah.[58]

Pendapat ketiga adalah riwayat Ibnu Sa’ad[59], yang menyebutkan bahwa Al-Falafis Al-Nahsyali[60] yang mengambil pedang beliau as. Muhammad bin Zakaria[61] menambahkan bahwa pedang tersebut di kemudian hari berada di tangan putri Habib bin Budail[62].

Pedang yang dirampas ini bukanlah pedang Dzul Fiqar yang terkenal itu. Sebab Dzul Fiqar selalu disimpan dan dijaga bersama benda-benda lainnya yang merupakan pusaka kenabian dan imamah. Para perawi menukil riwayat-riwayat yang membenarkan klaim kita di atas.

Perawi berkata: Seorang budak perempuan datang dari arah kemah Al-Husain as. Seorang laki-laki menghadangnya seraya berkata, “Hai hamba Allah ! Tuanmu telah terbunuh.” Budak tersebut berkata, “Aku segera berlari menemui tuan-tuanku sembari menjerit histeris. Mendengar jeritanku, mereka langsung berdiri menghampiriku. Kami larut dalam tangisan dan jeritan.”

Pasukan musuh mulai menjarah apa-apa yang ada di kemah keluarga Rasulullah saw. dan para kekasih Zahra’. Mereka menarik dan merampas kain selendang orang perempuan dari belakang. Putri-putri Rasulullah dan keluarganya berhamburan keluar kemah dan menangis sahut menyahut, larut dalam suasana duka perpisahan dengan para penjaga mereka, orang-orang yang mereka cintai.

Hamid bin Muslim berkata: Aku melihat seorang wanita dari bani Bakr bin Wail yang ikut bersama suaminya di barisan Umar bin Sa’ad. Ketika menyaksikan orang-orang Ibnu Sa’ad dengan rakusnya menyerbu kemah para wanita keluarga Al-Husain as. dan menjarah apa saja yang mereka temukan, ia segera mengambil pedang dan berjaalan menuju perkemahan tersebut seraya berkata, “Hai keluarga Bakr bin Wail! Sadarkah kalian bahwa yang kalian merampas adalah barang-barang milik keluarga Rasulullah? Kekuasaan hanya milik Allah. Aku akan membalaskan dendam Rasulullah dari kalian semua.” Sang suami datang lalu mengambil dan mengembalikannya ke tempat semula.

Perawi berkata: Mereka kemudian mengeluarkan para wanita dari dalam kemah lalu membakar kemah-kemah tersebut. Wanita-wanita mulia keluarga Rasulullah keluar dengan perasaan sedih yang sangat, terampas segala hak mereka, dan bertelanjang kaki. Tak henti-hentinya mereka menangis. Mereka berjalan bagai tawanan yang hina.

Dengan memelas mereka berkata, “Demi Allah, kami mohon dari kalian. Ijinkan kami untuk melihat tempat jasad Al-Husain as. berada.” Saat menyaksikan jasad suci yang tercabik-cabik itu mereka menjerit hiteris dan memukuli wajah mereka sendiri.

Perawi berkata: Demi Allah, aku masih ingat bagaimana Zainab binti Ali meratapi Al-Husain as. dan menjerit dengan suara parau dan hati yang hancur,

“Oh Muhammad! Salam sejahtera dari Tuhan penguasa langit untukmu. Lihatlah! Ini Husainmu tengah terbujur kaku di alam terbuka dengan tubuh bersimbah darah. Badannya terpotong-potong.

Oh sungguh malang! Kini putri-putrimu menjadi tawanan musuh Allah. Hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Mustafa, Ali Murtada, Fatimah Zahra’ dan Hamzah Sayyidusy Syuhada, kuadukan penderitaan ini.

Wahai Muhammad! Ini Husainmu, terbaring di alam terbuka. Menjadi sasaran terpaan angin timur. Inilah korban kebiadaban anak-anak sundal.

Oh malangnya! Betapa beratnya penderitaan yang kau alami, wahai Abu Abdillah. Hari ini adalah hari kematian kakekku Rasulullah saw.

Wahai para sahabat Muhammad, lihatlah ! Cucu-cucu Nabi kalian sedang digiring sebagai tawanan.”

Dalam sebagian riwayat disebutkan:

“Oh Muhammad! Lihatlah putri-putrimu kini menjadi tawanan. Cucumu terbantai di padang sahara menjadi sasaran terpaan angin timur. Ini Husainmu yang terpenggal kepalanya dan terampas imamah dan serbannya.

Ayahku kujadikan tebusan jiwa orang yang dicincang di hari Senin, yang dirusak kemahnya, yang tidak jauh sehingga diharapkan kedatangannya, yang tiak terluka hingga perlu diobati.

Jiwaku ini tebusan jiwa orang susah yang telah bebas, orang dahaga yang telah gugur, yang janggutnya meneteskan darah, seorang cucu utusan Tuhan penguasa langit, cucu Nabi pembawa hidayah.

Demi Muhammad Mustafa. Demi Ali Murtada. Demi Khadijah Kubra. Demi Fatimah Zahra’, penghulu kaum wanita. Demi dia yang matahari kembali ke tempat semula hingga dapat melaksanakan salat.

Perawi berkata: Kata-kata Zainab ini membuat semua orang yang mendengarnya, baik kawan maupun lawan, menangis.

Terlihat Sakinah[63] putri Al-Husain as. memeluk jasad ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi itu. Beberapa orang badui datang dan menariknya dengan paksa agar meninggalkan tempat itu.

Perawi berkata: Umar bin Sa’ad berseru kepada pasukannya, “Siapa yang mau menjadi sukarelawan untuk menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kaki kudanya ?”

Sepuluh orang maju menyatakan kesediaan mereka. Mereka adalah:

Ishaq bin Haubah yang merampas baju Al-Husain.

Akhnas bin Mirtsad.

Hakim bin Thufail Al-Sabi’i[64].

‘Amr bin Shabih Al-Shaidawi[65].

Raja’ bin Munqidz Al-‘Abdi[66].

Salim bin Khaitsamah Al-Ja’fi[67].

Shaleh bin Wahb Al-Ja’fi[68].

Wahidh bin Ghanim[69].

Hani bin Tsubait Al-Hadhrami[70].

Usaid bin Malik[71].

Mereka segera memacu kuda dan menginjak-injak jasad Al-Husain as. dengan kaki kuda mereka hingga dada dan punggung cucu Nabi saw. itu hancur[72].

Perawi berkata: Kesepuluh orang itu datang menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Usaid bin Malik, salah seorang dari mereka, berkata:

Kamilah yang menghancurkan dada dan punggungnya

Dengan kuda yang lincah dan bertali kekang kuat

Kepada mereka Ibnu Ziyad bertanya, “Siapakah kalian?”

Dengan bangga mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kuda kami. Kami telah berhasil melumatkan punggung dan dadanya.”

Ubaidillah bin Ziyad sangat puas mendengar jawaban itu. Ia lalu memerintahkan untuk memberi mereka sedikit hadiah.

Abu Umar Al-Zahid[73] berkata, “Setelah kami teliti, ternyata kesepuluh orang tersebut adalah anak hasil zina.”

Di kemudian hari Mukhtar berhasil menangkap mereka semua. Setelah mengikat mereka dengan rantai besi, ia memerintahkan pasukan berkudanya untuk menginjak-injak dan melumatkan punggung mereka. Mereka semua tewas dengan cara demikian.

Ibnu Rabbah[74] berkata: Aku pernah bertemu dengan seorang buta yang ikut menyaksikan pembantaian terhadap Al-Husain as. Kepadanya aku bertanya perihal penyebab kebutaannya.

Dia menjawab, “Aku menyaksikan pembantaian itu dari dekat. Bahkan aku termasuk salah satu dari kesepuluh orang tersebut. Hanya saja aku tidak ikut andil memukul atau melempar sesuatu kepada Al-Husain. Setelah beliau terbunuh, aku pulang ke rumahku, lalu melaksanakan salat Isya’ dan kemudian tidur. Tiba-tiba aku melihat ada seorang yang datang kepadaku dan mengatakan, “Jawablah pertanyaan Rasulullah !”

Kukatakan, “Ada apa sehingga aku mesti pergi menemui beliau ?”

Tanpa menjawab, ia memegangku dengan erat dan menyeretku. Aku melihat Nabi saw. duduk di padang sahara. Kegelisahan tampak jelas pada raut wajahnya. Beliau bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah senjata kecil ada di tangan beliau. Di sebelah Rasulullah saw., kulihat ada seorang malaikat yang berdiri tegak dengan menghunus pedang yang terbuat dari api. Sembilan orang temanku telah lebih dahulu tewas di tangannya. Setiap ia memukulkan pedangnya, api segera tersembur darinya dan memanggang tubuh mereka.

Aku mendekat ke tempat beliau berada dan bersimpuh di hadapannya. Aku sapa beliau, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah.” Tak kudengar jawaban beliau. Lama beliau berdiam diri. Kemudian sambil mengangkat wajahnya, beliau bersabda, “Hai musuh Allah, kau telah menginjak-injak kehormatanku, membantai keluargaku dan tidak mengindahkan hakku sama sekali. Bukankah demikian ?”

Jawabku, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak ikut andil dalam memukulkan pedang, menusukkan tombak atau melemparkan anak panah sama sekali.”

“Benar,” jawab beliau. “Tapi bukankah kau telah ikut dalam menambah jumlah mereka ? Mendekatlah kemari !”

Aku mendekat. Beliau menunjukkan kepadaku sebuah bejana yang dipenuhi darah seraya bersabda, “Ini adalah darah cucu kesayanganku Al-Husain.”

Lalu beliau memoles mataku dengan darah itu. Ketika terjaga dari tidurku, mataku menjadi buta sampai sekarang.”

Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as., dari Rasulullah saw., beliau besabda, “Di hari kiamat kelak, Allah akan membangunkan sebuah kubah yang terbuat dari cahaya utnuk Fatimah. Lalu Al-Husain akan datang dengan kepala di tangannya. Saat menyaksikan hal itu, Fatimah menjerit histeris hingga tak ada satupun malaikat maupun nabi kecuali ikut larut dalam tangisan menyertainya. Maka Allah menampakkannya di depan Fatimah dalam sebaik-baik rupa. Kemudian Al-Husain as. menyerang para pembunuhnya tanpa kepala. Setelah itu Allah menghadapkan kepadaku semua orang yang ikut andil dalam membantai dan mencincangnya untuk kubunuh semuanya. Lalu mereka dihidupkan kembali untuk dibunuh oleh Amirul Mukminin Ali. Setelah itu mereka dibangkitkan lagi. Kini giliran Al-Hasan membantai mereka. Mereka hidup lagi. Al-Husain membunuh mereka semua. Kemudian mereka dihidupkan lagi. Lalu satu persatu keturunanku membunuh mereka semua. Saat itulah, kemarahan dan dendam yang lama terpendam tersalurkan dan semua derita dapat dilupakan.”

Kemudian Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Semoga Allah merahmati syiah kita. Demi Allah, mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka ikut menyertai kita dalam musibah dengan kesedihan dan derita mereka yang berkepanjangan.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Di hari kimat kelak, Fatimah datang diiringi oleh sekelompok wanita. Terdengar suara yang mempersilahkannya untuk masuk surga. Ia menolak dan berkata, “Aku tidak akan masuk sebelum tahu apa yang diperbuat umat terhadap anakku.”

Terdengar suara, “Lihatlah ke tengah-tenah padang Mahsyar !” Fatimah as. melihat Al-Husain as. berdiri tegak tanpa kepala. Ia menjerit histeris menyaksikan keadaan anaknya. Akupun ikut menjerit mendengar jeritannya. Demikian juga para malaikat.”

Dalam riwayat lain disebutkan: Fatimah meratap dan mengatakan, “Oh anakku! Oh buah hatiku!” Beliau meneruskan, Saat itulah Allah murka karena kemarahan Fatimah, lalu memerintahkan agar mereka semua dimasukkan ke dalam neraka yang disebut Habhab yang telah dinyalakan seribu tahun lamanya hingga berwarna hitam. Tak ada jalan bagi kesenangan untuk masuk ke dalamnya dan tak ada jalan bagi kesusahan untuk keluar darinya. Datang perintah dari Tuhan kepadanya, “Santaplah para pembunuh Al-Husain!” Neraka itupun segera melahap habis mereka. Setelah mereka berada di dalamnya, ia menggelegar diiringi oleh teriakan dan jeritan mereka.

Mereka lantas berseru, “Tuhan, mengapa Engkau menyiksa kami sebelum para penyembah berhala ?”

Datang jawaban dari Allah yang mengatakan, “Orang yang tahu tidak seperti orang yang tidak mengetahui.”

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Babuwaih[75] dalam kitab ‘Iqabu Al-A’mal[76].

[1]Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza dari bangsa Quraisy. Beliau adalah istri pertama Nabi saw. yang lima belas tahun lebih tua dari beliau. Beliau lahir di kota Mekah. Wanita ini mempunyai harta yang berlimpah dan perniagaan yang dikirimnya ke Syam dengan cara mengupah orang. Ketika Rasulullah saw. berumur 25 tahun, beliau pergi berniaga dengan harta Khadijah ke Syam dan kembali dengan keuntungan besar. Menikah dengan Rasulullah saw. sebelum masa kenabian.Nabi saw. mengajaknya untuk memeluk agama Islam dan beliau menerimanya dengan senang hati, sehingga beliau menjadi wanita Islam pertama. Bersama dengan Rasulullah saw.,beliau menunaikan ibadah salat secara diam-diam. Khadijah wafat di Mekah tiga tahun sebelum Nabi saw. hijrah ke kota Madinah.

(Rujuk, Al-Thabaqat Al-Kubro 8 hal. 7-11, Al-Ishabah bagian biografi wanita, Shifatu Al-Shafwah 2 hal. 2, Tarikhu Al-Khamis 1 hal. 301 dan Al-A’lam 2 hal. 302)

[2] Abu ‘Umarah Hamzah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, dikenal dengan gelar Sayyidusy Syahada’ yang gugur sebagai syahid pada tahun ke-3 H. Beliau adalah paman Nabi dan salah seorang bangsawan Quraisy. Ikut hijrah bersama dengan Nabi saw. ke Madinah. Ikut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Beliau terbunuh di perang Uhud dan dimakamkan di Madinah.

( Rujuk, Tarikhu Al-Islam 1 hal. 99, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 144 dan Al-A’lam 2 hal 278 ).

[3] Ja’far bin Abi Thalib as. dengan julukan Abu ‘Abdillah, seorang sahabat dari kalangan Bani Hasyim dan pemuda yang gagah berani. Beliau adalah orang pertama dari keturunan Abu Thalib yang gugur di jalan Islam. Gelar beliau yang lain adalah Abul Masakin (Ayah orang-orang miskin). Ja’far adalah anak ketiga Abu Thalib setelah Thalib dan ‘Aqil. Anak Abu Thalib setelah Ja’far adalah Ali. Ibu mereka Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ja’far syahid pada tahun kedelapan hijriyyah, dalam perang Mu’tah. Saat itu ia turun dari kudanya bertempur dengan gagah berani. Sambil memegang panji Islam di tangan kanannya, ia maju ke depan barisan kaum muslimin. Sewaktu tangan kanan beliau terkena sabetan pedang dan terlepas. dari pangkalnya, panji tersebut segera beliau pindahkan ke tangan kirinya. Tangan itu pun bernasib sama, putus disambar ayunan pedang musuh. Secepat kilat bendera suci itu beliau raih dan dekap ke dadanya, sampai akirnya beliau gugur sebagai syahid. Di jasad beliau saat itu terdapat 90 buah luka tusukan pedang, tombak dan panah. Nabi saw. bersabda bahwa Allah akan mengganti tangannya yang putus itu dengan sayap, sehingga ia dapat terbang berkeliling di dalam surga. Sebab itulah beliau terkenal dengan gelar Thayyar (Orang yang terbang seperti burung).

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin 6 hal. 18, Al-Bidayah wa Al-Nihayah 4 hal. 255, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 98, Usdu Al-Ghabah 1 hal. 286, Al-Ishabah 1 hal. 237, Al-Thabaqatu Al-Kubro 4 hal. 22, Hilyatu Al-Auliya’ 1 hal. 114, Shifatu Al-Shafwah 1 hal. 205 dan Al-A’lam 2 hal. 125 ).

[4] Abul Fadhl Abbas bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam bin Khalid bin Rabi’ah bin Wahid Al-‘Amiri. Abbas adalah anak Imam Ali yang pertama dari Ummul Banin. Beliau adalah seorang pemuda tampan yang gemar menunggang kuda gemuk dan besar, sedang kedua kakinya menggeser di tanah. Abbas. juga dikenal dengan sebutan Qamaru Bani Hasyim ( Purnama Bani Hasyim ). Dalam tragedi Karbala beliau mendapat tugas. sebagai pemberi air minum. Sewaktu beliau gugur, panji Al-Husain as. ada di tangannya. Beliau merupakan orang terakhir yang gugur dari saudara-saudara kandungnya. Pembunuhnya adalah Zaid bin Raqqad Al-Janbi dan Hakim bin Thufail Al-Tha’i Al-Nabsi. Kedua orang ini mendapatkan luka kutukan di tubuh masing-masing.

( Rujuk Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 84-85, Tasmiatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 76, Ansharu Al-Husain hal. 131 yang menyebutkan bahwa kitab Al-Ziarah dan Al-Irsyad menulis sesuatu tentang beliau, juga kitab sejarah karangan Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi ).

[5] Ali Akbar bin Al-Husain as, dengan julukan Abul Hasan, Seorang pemuda mulia dan gagah berani dari keturunan Abu Thalib. Ibunya bernama Laila binti Abi Murrah (Qurrah) bin ‘Urwah (‘Amr) bin Mas’ud bin Mughits (Ma’bad) Al-Tsaqafi. Ibu Laila bernama Maimunah binti Abu Sufyan bin Harb. Saat itu beliau berumur 27 tahun. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau ( Ali Akbar ) telah menikah dengan seorang wanita bekas budak. Beliaulah orang pertama dari Bani Hasyim yang terbunuh dalam peristiwa Karbala oleh tusukan pedang Murrah bin Munqidz bin Nu’man Al-‘Abdi, pada saat membela dan membentengi ayahnya dari serangan musuh. Para sahabat setia Imam Husein as.. segera mengejar Murrah dan menghabisinya dengan sabetan pedang mereka. Menurut riwayat, beliau lahir pada masa khilafah Utsman bin Affan. Para ahli sejarah menyebutnya Akbar untuk membedakannya dari adik beliau Ali Zainal Abidin dan Ali Ashghar.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 80-81, Al-Thabaqat 5 hal. 156, Tasmiatu man Qutila ma’a Al-Husain hal. 150, Rijalu Al-Syekh hal. 76 yang menyebutnya sebagai Ali Ashghar bin Al-Husain, Nasabu Quraisy hal. 57, Al-Bidayah wa Al-Nihayah 8 hal. 185, Al-A’lam 4 hal. 277 dan Ansharu Al-Husain hal. 129 yang menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkan sesuatu tentang beliau, juga Thabari, Ishfahani, Khawarizmi dan Mas’udi dalam kitab-kitab mereka ).

[6] Syimr bin Dzil Jausyan yang namanya aslinya Syurahbil bin Qurath Al-Dhababi Al-Kilabi, dengan julukan Abu Al-Shabighah, adalah salah seorang dalang pembunuhan dan pembenci Al-Husain as. Sebelumnya dia pernah memegang kekuasaan di suku Hawazin dan terkenal dengan keberaniannya. Ikut serta dalam perang Shiffin bersama dengan Imam Ali as.

Suatu saat, Abu Ishaq Al-Sabi’i mendengar Syimr berdoa setelah sholatnya, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku termasuk orang yang mulia, karena itu ampunilah aku !”

Kepadanya Abu Ishaq berkata, “Bagaimana Allah akan mengampunimu, padahal engkau telah andil dalam pembunuhan terhadap cucu tercinta Rasulullah saw. ?”

Syimr menyahut, “Apa yang dapat kami lakukan lagi selain itu ? Ketika para pemimpin kami memerintahkan sesuatu, tak ada lagi yang dapat kami lakukan selain mematuhinya. Bila kami menentang perintah tersebut, nasib kami akan lebih buruk dari keledai-keledai ini.”

Pada waktu Mukhtar mengadakan pemberontakan, ia termasuk orang yang dikejar-kejar. Syimr keluar dari kota Kufah dan melarikan diri ke Kiltaniyyah -sebuah desa di kawasan Khuzistan-. Di sana ia berpapasan dengan orang-orang Mukhtar. Syimr yang belum sempat berpakaian, segera menyerang membabi buta ke arah mereka. Abu Amrah mendapat kesempatan untuk menyabetkan pedangnya dan ia berhasil membunuh Syimr. Jasadnya dibuang dan menjadi santapan anjing-anjing liar.

( Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 92, Mizanu Al-I’tidal 1 hal. 449, Lisanu Al-Mizan 3 hal. 152, Jamharatu Al-Ansab hal. 72, Safinatu Al-Bihar 1 hal. 714 dan Al-A’lam 3 hal. 175-176 ).

[7] Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, ibu beliau bernama Ummul Banin binti Hizam. Pada saat terbunuh usia beliau 25 tahun. Kakaknya bekata kepadanya, “Majulah ke depanku, supaya aku dapat mengawasimu! ..” Beliau dibunuh oleh Hani bin Tsubait Al-Hadhrami. Pendapat lain mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi dengan panahnya yang dilanjutkan dengan tebasan pedang seorang dari Bani Tamim.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 82, Tarikh Thabari 6 hal. 89, Tasmiatu Man Qulita Ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 76, Ansharu Al-Husain hal. 129-130 yang menyebutkan bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad juga menuliskan sedikit biografinya, juga Thabari, Ishfahani, Mas.’udi dan Khawarizmi dalam kitab-kitab mereka ).

[8] Ja’far bin Ali bin Abi Thalib as., ibunya bernama ummul Banin. Usianya ketika terbunuh sembilan belas tahun. Pembunuhnya adalah Khauli bin Yazid Al-Ashbahi. Pendapat lain menyebutkan Hani bin Tsubait Al-Hadhrami.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 83, Tasmiati Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 149, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Ansharu Al-Husain hal. 130, dan menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkannya juga Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi dalam kitab mereka).

[9] Utsman bin Ali bin Abi Thalib, ibunya bernama Ummul Banin binti Hizam. Ketika terbunuh usianya 21 tahun. Khauli bin Yazid Al-Ashbahi melemparnya dengan panah hingga melemah. Lalu seorang dari Bani Abban bin Darim menebas kepalanya. Utsman inilah yang dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali as. berkata, “Anak ini kuberi nama Utsman, nama saudaraku Utsman bin Madh’un. Dalam riwayat lainnya, Hubairah bin Murim mengatakan, “Ketika kami sedang duduk bersama Imam Ali as., beliau memanggil anaknya yang bernama Utsman lalu berkata, “Aku tidak memberinya nama Utsman si khalifah, tetapi nama saudaraku Utsman bin Madh’un.”

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 84, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 150, Taqribu Al-Ma’arif tulisan tangan, Ansharu Al-Husain hal. 130 yang menulis bahwa Al-Ziarah dan Al-Irsyad menyebutkannya, juga Thabari, Ishfahani, Mas’udi dan Khawarizmi dalam kitab-kitab mereka).

[10] Naskah A: ‘Amr bin Hajjaj.

[11] Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Quraisyi, termasuk sebagai sahabat Nabi saw.. Beliau lahir di Habasyah (Etopia.Pent) ketika ayah dan ibunya hijrah ke sana. Beliau adalah anak kaum muslimin pertama yang lahir di sana. Terkenal sangat dermawan, hingga mendapat julukan Bahr Al-Jud (Samudera kedermawanan). Banyak penyair yang memujinya lewat bait syair mereka. Beliau termasuk salah seorang komandan tentara Ali di perang Shiffin. Wafat di Madinah pada tahun 80 H. Ada pula pendapat yang menyebutkan tahun yang lain.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 4582, Fawatu Al-Wafayat 1 hal. 209, Tahdzibu Ibni Asakir 7 hal. 325, Al-A’lam 4 hal. 76 dan Zainab Al-Kubra karangan Syekh Ja’far Al-Naqdi ).

[12] Abu Yazid, Aqil bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Quraisyi adalah orang bangsa Quraisy yang paling banyak tahu tentang sejarah, kelebihan, kekurangan dan nasab mereka. Beliau adalah seorang sahabat yang berlisan fasih dan cepat dalam menjawab. Saudara seayah Ja’far dan Ali yang lebih tua dari mereka berdua ini, hijrah ke Madinah pada tahun 8 H. Mendertia kebutaan di akhir hayatnya dan wafat pada permulaan zaman pemerintahan Yazid. Riwayat lain mengatakan beliau wafat pada masa Mu’awiyah.

( Rujuk, Al-Ishabah biografi No. 5630, Al-Bayan wa Al-Tabyin 1 hal. 174, Al-Taj 8 hal. 30 dan Al-A’lam 4 hal. 242 ).

[13] Muslim bin ‘Ausajah Al-Asadi, salah seorang jawara Arab pada masa awal Islam. Beliau adalah orang pertama dari sahabat setia Al-Husain as. yang syahid, setelah mereka yang gugur terlebih dahulu dalam serangan pertama. Beliau termasuk sahabat yang pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. Beliaulah yang mangambil baiat untuk Imam Husein as. di Kufah. Muslim bin Aqil mengangkatnya sebagai komandan seperempat jumlah orang Bani Midzhaj dan Bani Asad dalam perjuangannya yang singkat. Ketika hadir di Karbala, beliau telah berusia lanjut.. Beliau termasuk tokoh penting di kota Kufah. Syabats bin Rab’i menyampaikan rasa sedihnya atas terbunuhnya beliau.

( Rujuk, Rijalu Al-Syekh hal. 80, Tarikh Thabari 5 hal. 435, 369, Biharu Al-Anwar 45 hal. 69, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 249, 250, 252, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 28, Al-A’lam 7 hal. 222, Ansharu Al-Husain hal. 108, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 52 yang menyebutkan bahwa Muslim bin ‘Ausajah Al-Asadi dari Bani Sa’ad bin Tsa’labah tewas di tangan Muslim bin Abdullah dan Ubaidillah bin Khasykarah ).

[14] Naskah R: Sa’ad bin Abdullah.

[15] Naskah B: Muhammad bin Bisyr Al-Hadhrami.

Dalam biografi Imam Husein as. dari kitab Al-Thabaqat hal. 180, riwayat ini juga ada dan nama orang ini sama dengan nama yang ada di sini. Tetapi kitab Tarikh Thabari 5 hal. 444 dan Ansabu Al-Asyraf menyebutkan nama tersebut sebagai Basyir bin ‘Amr.

[16] Rey adalah nama satu kota terkenal dan termasuk kota besar zaman itu. Kota ini memiliki banyak buah-buahan dan anugerah Tuhan lainnya. Daerah ini adalah tempat persimpangan jamaah haji yang melewati jalan biasa dan yang datang dari daerah-daerah sekitar pegunungan. Jarak antara Rey dan Naisyabur 160 farsakh. Sedangkan antara Rey dan Qazwain 27 farsakh.

( Rujuk, Mu’jamu Al-Buladan 2 hal. 79 dan 3 hal. 116 ).

[17] Naskah A setelah ini menyebutkan:

Demikianlah Al-Husain yang asyik beribadah dan memiliki sifat-sifat yang sempurna. Ibnu ‘Abdi Rabbih menulis dalam juz ke-4 dari kitab Al-‘Iqd : Ada orang yang berkata kepada Ali bin Al-Husain as., “Mengapa ayah anda mempunyai anak sedikit ?” Beliau dalam jawabannya mengatakan ,”Yang mengherankan adalah kenapa aku menjadi anaknya, padahal beliau setiap harinya salat seribu rakat. Lalu kapan beliau mempunyai kesempatan untuk mendatangi istri-istrinya.”

[18] Naskah R: Abdur Rahman Abdu Rabbih.

Abdur Rahman bin Abdi Rabbih Al-Anshari dari Bani Salim bin Khazraj. Amirul Mukminin Ali as. adalah guru yang mengajarinya Al-Quran. Beliau termasuk salah seorang yang mengambil baiat untuk Al-Husain as. di Kufah. Tampaknya, beliau adalah seorang bangsawan dan tokoh terkemuka.

( Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 423, Rijalu Al-Syekh hal. 76-77, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 153, Biharu Al-Anwar 45 hal. 1, Ansharu Al-Husain hal. 97 ).

[19] Naskah A: Khudhair

Naskah R: Hudhair

[20] Abu ‘Amr Farwah binti Masik (Masikah) bin Harits bin Salamah Al-Ghuthaifi Al-Muradi, seorang sahabat, salah seorang gubernur Islam dan penyair yang beras.al dari Yaman. Di zaman Jahiliyyah, dia termas.uk seorang pengikut raja-raja Bani Kindah . Pada tahun kesembilan atau kesepuluh hijrah, dia pindah ke Mekah dan masuk agama Islam. Di tahun-tahun akhir hayatnya, ia pindah ke Kufah. Wafat tahun 30 H.

( Rujuk, Al-Thabaqat 1 hal. 63, Al-Ishabah biografi No. 6983, Raghbatu Al-Amil 4 hal. 10 dan Al-A’lam 5 hal. 143 ).

[21] Naskah A setelah ini menyebutkan: Diriwayatkan oleh Abu Thahir Muhammad bin Husein Al-Narsi dalam kitab Ma’alimu Al-Din.

[22] Para ahli sejarah Islam tidak menyebutkan biografinya.

Kitab Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 155 menyebutkan bahwa Muhajir bin Aus adalah salah seorang yang terbunuh di barisan Al-Husain as. Dia berasal dari kabilah Bujailah. Wallahu a’lam, mungkin saja ada dua orang yang bernama Muhajir bin Aus. Atau mungkin orang ini pada awalnya berada di barisan Umar bin Sa’ad lalu bergabung dengan pasukan Imam Husain as. dan gugur bersama beliau.

[23] Naskah A: Yazid bin Mughfil.

Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia orang yang kejam dan terkutuk.

[24] Naskah A: Wahb bin Janah.

Dalam kitab Dhiya’u Al-‘Ainain hal. 25 disebutkan: Wahb bin Abdullah bin Habbab Al-Kalbi, ibunya bernama Qamra. Banyak orang yang menyebutkan kisahnya dalam peristiwa Karbala yang dinukil dari kitab Malhuf dan kitab Maqtal lainnya.

[25] Naskah R dan A: ‘Amr bin Qurthah.

Dalam banyak buku namanya disebutkan ‘Amr bin Quradhah Al-Anshari. Kitab Al-Ziarah menyebutnya dengan nama Umar bin Ka’ab Al-Anshari. Naskah lain dari Al-Ziarah menulisnya Imran. Beliau diutus oleh Al-Husain as. untuk berunding dengan Umar bin Sa’ad.

(Rujuk, Tarikh Thabari 5 hal. 413, Al-Manaqib 4 hal. 105, Biharu Al-Anwar 45 hal. 22, 71, Maqtalu Al-Husain 2 hal. 22, Ansharu Al-Husain hal. 104, dan Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 153).

[26] Naskah B setelah ini menyebutkan: Kitab Al-Manaqib menulis syair ‘Amr:

Seluruh Anshar telah mengetahui dengan baik

Bahwa aku setia dalam membela keluarga

Aku bertempur dengan pedang tanpa gentar

Demi Al-Husain kekasih dan pujaanku

[27] Jaun seorang bekas. budak berkulit hitam dan berusia lanjut. Ayahnya bernama Hawi. Dalam beberapa kitab disebutkan bahwa namanya adalah Juwain bin Abi Malik.

(Rujuk, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 152, Rijalu Al-Syekh hal. 72, Al-Manaqib 4 hal. 103, Al-Maqtal 1 hal. 237 dan 2 hal. 19, Tarikh Thabari 5 hal. 420, Biharu Al-Anwar 45 hal. 82 dan Ansharu Al-Husain hal. 72 ).

[28] Naskah R: Umar bin Khalid Al-Shaidawi.

‘Amr bin Khalid Al-Shaidawi berasal dari Shaida, seperti yang dinukil oleh banyak sumber kepustakaan. Kitab Al-Rajabiyyah menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Khalaf. Sepertinya perbedaan ini timbul dari kesalahan menulis nama Khalid.

Bani Shaida adalah salah satu pecahan kabilah Bani As.ad dari bangsa Arab keturunan ‘Adnan. Sebagian ahli meyakini bahwa beliau ini adalah ‘Amr bin Khalid Al-Azdi. Sebab, masih menurut mereka, telah terjadi kesalahan dalam menulis antara Al-Azdi dan Al-Asadi. Tetapi menurut hemat kami, perbedaan ini muncul karena memang dua nama itu adalah nama dua orang yang berbada. Walaupun kami tetap tidak menutup kemungkinan bahwa kedua nama tadi adalah nama satu orang.

(Rujuk, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 155, Tarikh Thabari 5 hal. 446, Al-Maqtal 2 hal. 24, Biharu Al-Anwar 45 hal. 72 dan 23, Ansharu Al-Husain hal. 102 ).

[29] Naskah R: Handhalah bin Sa’ad Al-Tsami.

Naskah A: Handhalah bin As.’ad Al-Syami.

[30] Nama beliau adalah Suwaid bin ‘Amr Al-Khats’ami, seperti yang disebutkan dalam banyak sumber sejarah. Beliau adalah orang terhormat yang gemar sholat, salah seorang dari dua sahabat Al-Husain as. yang masih tersisa dan gugur setelah Imam Husain as. terbunuh. Dialah akhir korban kebiadaban tentara Ibnu Ziyad yang tewas. di tangan Hani bin Tsubait Al-Hadhrami. Beliau keturunan Khats’am bin Anmar bin Arasy dari bangsa Arab Qahthan.

( Rujuk, Rijalu Al-Syekh hal. 74, Al-Manaqib 4 hal. 102 yang menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Abi Al-Mutha’ Al-Ja’fi, Biharu Al-Anwar 45 hal. 24, Tasmiatu Man Qutila Ma’ Al-husain hal. 154 yang menyebutnya dengan nama Suwaid bin ‘Amr bin Al-Mutha’, Ansharu Al-Husain hal. 91-92 ).

[31] Dia adalah Qasim bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, saudara kandung Abu Bakar bin Al-Hasan yang gugur terlebih dahulu.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 50 ).

[32] Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 88 menyebutnya dengan nama ‘Amr bin Sa’id bin Nufail Al-Azdi.

[33] Naskah A: Kakek dan ayahmu …

[34] Dia adalah Abdullah bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dari ibu yang bernama Rubab binti Imruul Qais bin ‘Adi bin Aus. Nama pembunuhnya diperselisihkan oleh para ahli sejarah. Sebagian mengatakan bahwa pembunuhnya adalah Harmalah, tapi sebagian lagi menyebutkan Uqbah bin Bisyr.

( Rujuk, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal 89-90 ).

[35] Biografinya tidak disebutkan oleh para ahli sejarah. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.

Ketika Harmalah berhasil ditangkap oleh pasukan Mukhtar, ia dihadapkan pada sang komandan. Mukhtar saat melihat wajah orang terkutuk ini langsung menangis dan berkata, “Celakalah engkau! Tidak cukupkah apa yang kau lakukan hingga tega membantai seorang bayi dan menyembelihnya ? Hai musuh Allah, tidakkah kau tahu bahwa dia adalah cucu Rasulullah ?” Selanjutnya Mukhtar memerintahkan untuk menjadikannya sasaran bidikan anak panah. Tak lama kemudian tubuh Harmalah telah menjadi sasaran berpuluh-puluh anak panah. Iapun tewas secara mengenas.kan.

Riwayat lain mengatakan, saat Mukhtar memandang Harmalah, ia berkata, “Syukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan menuntut balas. darimu, hai musuh Allah. Mukhtarmemanggil algojonya dan berkata, “Potong kedua tangan dan kakinya !” Perintah dilakas.anakan. “Bawakan api kemari !”, perintah Mukhatar kemudian. Api kini telah berada di hadapannya. Lalu ia mengambil pedang besinya dan memanggangnya hingga memerah. Setelah pedang itu berwarna putih, ia meletakkannya di leher Harmalah sampai matang diringi jeritan dan raungan Harmalah. Adegan itu berkelanjutan sampai leher orang terkutuk itu putus.

( Rujuk Hikayatu Al-Mukhtar hal. 55 dan 59 ! ).

[36] Naskah B: setelah ini menyebutkan: Orang yang membunuhnya adalah Zaid bin Warqa’ Al-Hanafi dan Hakim bin Thufail Al-Sanbusi.

[37] Naskah B: Syimr menjawab, “Kukabulkan permintaanmu itu.” Iapun lalu berseru, “Menjauhlah kalian dari sanak keluarga orang ini ! Seranglah ia sendiri ! Aku bersumpah dia adalah lawan yang baik.” Merekapun segera menyerang beliau.

[38] Para sejarawan tidak menyebutkan biografinya. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.

[39] Abdullah bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ibunya adalah putri Salil bin Abdullah, saudara Abdullah bin Jair Al-Bajli.

Pendapat lain mengatakan: Ibunya adalah seorang budak.

Ada juga yang mengatakan: Rubab binti Imruul Qais. Ketika terbunuh umurnya baru sebelas. tahun.

(Rujuk, Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain hal. 150, Maqatilu Al-Thalibiyyin hal. 89, Rijalu Al-Syekh hal. 76 dan Ansharu Al-Husain hal. 132 ).

[40] Naskah B: Abjar bin Ka’ab. Para ulama tidak menulis biografinya. Ia adalah seorang yang bengis dan terkutuk. Setelah ini akan disebutkan bahwa dialah yang merampas celana yang dikenakan oleh Al-Husain as.

[41] Naskah B dan A: “Ibuuu !”

[42] Kitab Mustadraku ‘Ilni Al-Rijal 4 hal. 248 menyebutkan: Shaleh bin Wabh Al-Muzani seorang yang bengis dan terkutuk….

[43] Naskah A: Pipi kanan beliau menempel tanah. Beliau berseru, “

بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله “.

Lalu beliau bangkit lagi

[44] Kitab Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 426 menulis: Zar’ah bin Syuraik Al-Tamimi. Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia adalah serang yang kejam dan terkutuk.

[45] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 161: Sinan bin Anas., pembunuh Imam Husain as. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Ibnu Ziyad membunuh Sinan kala ia berkata, “Aku telah membunuh orang yang mempunyai ayah dan ibu paling mulia.”

Akan tetapi, pendapat yang masyhur dan populer menyatakan bahwa tentara Mukhtarlah yang membunuhnya.

Dalam kitab Hikayatu Al-Mukhtar hal. 45 disebutkan: Ibrahim salah seorang komandan pasukan Mukhtar, ketika Sinan tertangkap berkata kepadanya, “Celakalah kau ! Ceritakan apa yang kau lakukan di hari Thaff (Asyura’) !”

Ia menjawab, “Aku tidak melakukan apa-apa kecuali hanya mengambil tali pengikat celana Al-Husain.” Mendengar itu Ibrahim menangis lau memerintahkan untuk mencincang paha Sinan dan membakar dagingnya hingga setengah matang. Kemudian ia memerintahkan Sinan untuk memakannya. Setiap kali ia menolak, tusukan pisau menyentuh badannya. Ketika ia sudah lemas dan ajal telah mendekatinya, Ibrahim menyembelihnya dan membakar bangkainya.

[46] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 344: Khauli bin Yazid Al-Ashbahi, salah seorang pembunuh Al-Husain AS. Tewas di tangan Mukhtar.

[47] Syekh Tehrani dalam kitab Al-Dzari’ah 21 hal. 198 mengatakan: Ma’alimu Al-Din karangan Syekh Abu Thahir Muhammad bin Hasan Al-Qursi (Al-Barsi). Sayyid Ibnu Thawus menukil riwayat darinya di dalam kitab Al-Malhuf

[48] Naskah A: Para malaikat gaduh dengan suara tangis mereka dan berkata, “Tuhan, .. “

[49] Naskah A: Aku mendengar Al-Husain menjawab, “Celaka kau ! Aku tidak akan mas.uk ke neraka dan tidak akan meminum cairan panas.nya. Tapi …”

[50] Naskah A: bin Huwayyah.

Akan disebutkan setelah ini bahwa ia termasuk salah satu dari sepuluh orang uyang menginjak-injak jasad suci Al-Husain as. dengan kuda mereka. Dia adalah anak hasil zina.

[51] Dalam sebagian naskah disebutkan: Akhnas bin Mirtsad.

Akan disebutkan bahwa ia termasuk dari sepuluh orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain as. dengan kuda mereka hingga dada dan punggung beliau hancur. Diapun anak zina.

[52] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 105. Jabir bin Yazid Al-Audi. Biografinya tidak disebutkan oleh para ulama. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.

[53] Dalam biografi Imam Husain as. dari kitab Al-Thabaqat hal 187 disebutkan: Aswad bin Khalid Al-Audi. Seorang yang kejam dan terkutuk.

[54] Naskah R: Najdal

Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 2 hal. 5. Bajdal bin Sulaim Al-Kalbi, seorang yang bengis dan terkutuk yang tewas di tangan Mukhtar.

[55] Dalam biografi Imam Husain as.. dari kitab Al-Thabaqat hal. 187 disebutkan: Selendang beliau diambil oleh Qais bin Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia lalu terkenal dengan sebutan Qais Qathifah (Selendang).

Biografinya tidak disebutkan tapi ia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.

[56] Biografinya tidak disebutkan.

[57] Naskah B: Al-Azdi.

Dalam biografi Imam Husain as. dari kitab Al-Thabaqat hal. 187 disebutkan: Pedang beliau yang lain diambil oleh Jumai’ bin Khalq Al-Audi.

Biografinya tidak tertulis. Dia adalah seorang yang bengis dan terkutuk.

[58] Biografinya tidak disebutkan. Dia seorang yang kejam dan terkutuk.

[59] Naskah R: Ibnu Sa’id

Naskah A: Ibnu Abi Sa’ad.

Teks di atas. diambil dari naskah B, dan inilah yang benar. Sebab beliau adalah Muhammad bin Sa’ad bin mani’ Al-Bashri, wafat tahun 230 H, penulis kitab Al-Thabaqat Al-Kubra, yang dicetak tidak sempurna. Di antara kekurangan cetakannya adalah mengenai biografi Imam Husain as. Biografi Imam Husain as. dari kitab Al-Thabaqat dicetak di majalah “Turatsuna” No. 10 dengan tahqiq Allamah Sayyid Abdul Aziz Al-Thabathaba’i. Dan riwayat Ibnu Sa’ad yang dinukil di sini dapat anda rujuk di majalah Turatsuna No. 10 hal. 187.

[60] Naskah R: Al-Qalaqis.

Naskah B: Al-Qalafis.

Teks diambil dari naskah A dan biografi Imam Husain as. dari kitab Al-Thabaqat hal. 187.

[61] Abu Abdillah Muhammad bin Zakaria bin Dinar Al-Ghilabi. Salah seorang pemuka Syiah di kota Bashrah. Wafat pada tahun 298 H. Beliau menulis kitab dengan judul Maqtalu Al-Husain as..

( Rujuk, Rijalu Al-Najasyi hal. 346-347, Al-Fihrist karangan Ibnu Al-Nadim hal. 121 dan Tanqihu Al-Maqal 3 hal. 117 ).

[62] Kami tidak menemukan satu sumberpun yang menulis biografi putri Habib bin Budail ini. Sedangkan Habib bin Budail sendiri adalah salah seorang yang meriwayatkan hadis Wilayah (Kepemimpinan Imam Ali as.. pent)

( Rujuk, Al-Ghadir 1 hal. 25 dan Usdu Al-Ghabah 1 hal. 441 ).

[63] Sakinah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib as, seorang wanita mulia dan terhormat. Beliau adalah penghulu wanita di zamannya. Wafat pada tahun 117 H. Sebagian ahli sejarah menisbatkan banyak kedustaan yang sudah jelas kepada beliau. Di sini kami tidak dapat membahasnya.

( Rujuk, Al-Thabaqat 8 hal. 348, Al-Durru Al-Mantsur hal. 244, Wafayatu Al-A’yan 1 hal. 211 dan Al-A’lam 3 hal. 106 ).

[64] Naskah B dan A: Al-Sunbusi. Teks diambil dari naskah R.

Dia adalah Hakim bin Thufail Al-Tha’i, termasuk salah seorang pemuka kamunya dan orang yang ditokohkan pada zaman Bani Umayyah. Ketika Mukhtar berhasil menguasai Kufah dan mengumumkan pembunuhan massal terhadap para pembunuh Al-Husain, Hakim ditangkap dan dijadikan sasaran bidikan anak panah hingga tewas dengan tubuh yang lebih mirip landak dengan banyaknya anak panah yang menancap di tubuhnya.

( Rujuk, Al-Kamil fi Al-Tarikh 4 hal. 94 dan Al-A’lam 2 hal. 269 ).

[65] Para ahli sejarah tidak menyebutkan biografinya. Dia seorang yang bengis dan terkutuk.

[66] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 3 hal. 395. Raja’ bin Munqidz Al-‘Abdi, para sejarawan tidak menyebutkan biografinya. Ia orang yang kejam.

[67] Naskah A: Khutsaimah.

Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 7. Salim bin Khaitsamah Al-Ja’fi. Biografinya tidak tertulis. Ia seorang yang keji dan terkutuk.

[68] Mustadraku ‘Ilmi Al-Rijal 4 hal. 248. Shaleh bin Wahb Al-Muzani, seorang yang keji dan terkutuk.

[69] Naskah B dan A: Bin Na’im.

Biografinya tidak tertulis. Dia orang yang kejam dan terkutuk.

[70] Naskah A: Hani bin Syabats.

Biografinya tidak tertulis. Dia orang yang kejam dan terkutuk.

[71] Biografinya tidak tertulis. Dia seorang yang kejam dan terkutuk.

[72] Banyak ulama yang berpendapat bahwa mereka berniat untuk melumatkan punggung dan dada Al-Husain as. Akan tetapi Allah SWT tidak mengizinkan hal itu terjadi dan mereka tidak sempat melakukan niat jahat mereka itu. Sebagian riwayat menguatkan klaim ini. Wallahu a’lam.

[73] Naskah B: Abu ‘Amr.

Beliau adalah Muhammad bin Abdul wahid bin Abu Hasyim Al-Mutharraz Al-Bawardi yang dikenal dengan sebutan Ghulamu Tsa’lab. Beliau termasuk salah seorang ahli bahasa yang bersahabat dengan Tsa’lab, ahli ilmu Nahwu. Banyak karya yang ia tinggalkan. Wafat di Baghdad pada tahun 345 H.

( Rujuk, Wafayatu Al-A’yan 1 hal. 500, Tarikhu Baghdad 2 hal. 356 dan Al-A’lam 6 hal. 254 ).

[74] Dia adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang tabi’in. Dia bekas budak yang berkulit hitam. Lahir di Yamandan dibesarkan di Mekah. Lalu ia menjadi mufti di sana. Wafat pada tahun 114 H. ( Rujuk, Tadzkiratu Al-Huffadh 1hal. 92, Shifatu Al-Shafwah 2 hal. 119 dan Al-A’lam 4 hal. 135 ).

[75] Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa bin Babuwaih Al-Qummi, yang lebih dikenal dengan Syekh Shaduq, seorang muhaddits besar. Tak ada orang Qom yang sepadan dengannya. Beliau pindah ke kota Rey. Wafat pada tahun 381 dan dimakamkan di sana. Banyak karya yang ditinggalkannya.

Kitab ‘Iqabu Al-A’mal menjelas.kan siksaan dosa-dosa yang diperbuat manusia. Kitab ini dicetak bersama kitab beliau lainnya, “Tsawabu Al-A’mal”. Telah dicetak berulang-ulang.

[76] Nas.kah A setelah ini menyebutkan:

Disebutkan dalam kitab Tadzyil karangan Syekh Muhadditsin di Baghdad Muhammad bin Najjar jilid ke-30 dalam biografi Fatimah binti Abul Abbas Al-Azdi dengan sanadnya dari Thalhah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Musa bin Imran pernah memohon dari Tuhannya, “Tuhanku, saudaraku Harun telah meninggal dunia. Ampunilah segala kesalahannya.” Allah menjawabnya dengan berfirman, “Hai Musa anak Imran, jika kau memohon ampunan untuk seluruh umat manusia dari zaman dahulu hingga akhir kelak, niscaya akan kukabulkan permintaanmu itu. Kecuali bagi mereka yang telah membunuh Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib as..”

 

BAGIAN KETIGA

PASCA SYAHADAH

Pada hari itu juga, Umar bin Sa’ad melalui kurirnya, Khauli bin Yazid Al-Ashbahi dan Hamid bin Muslim Al-Azdi[1] mengirimkan kepala Al-Husain bin Ali as. kepada Ubaidillah bin Ziyad sebagai persembahannya. Tak cukup dengan itu, ia memerintahkan pasukannya untuk memenggal kepala para syuhada lainnya dan memberikannya kepada Syimr bin Dzil Jausyan, Qais bin Asy’ats dan ‘Amr bin Hajjaj. Merekapun segera menempuh perjalanan menuju Kufah dengan membawa kepala-kepala suci korban kebiadaban pasukan Ibnu Ziyad.

Ibnu Sa’ad sendiri melewatkan hari itu di Karbala. Tengah hari berikutnya, ia bersama keluarga Al-Husain as. yang masih tersisa bergerak meninggalkan tempat itu. Para wanita ia tempatkan di atas unta tanpa alas dan atap. Wajah-wajah mereka menjadi tontonan para musuh Allah. Padahal mereka adalah pusaka Nabi yang paling mulia. Mereka digiring bagai tawanan perang dari Turki atau Rumawi dengan menanggung segala duka dan nestapa.

Sungguh tepat penyair yang berkata:

Seorang Nabi bani Hasyim dilimpahi salawat

Tapi cucunya ditawan, sungguh mengherankan[2].

Diriwayatkan bahwa kepala-kepala tentara Al-Husain yang berjumlah tujuh puluh delapan buah itu dibagi-bagikan di antara beberapa kabilah. Tujuannya adalah supaya mereka semua mendapat sedikit hadiah dari Ubaidillah bin Ziyad dan Yazid bin Mu’awiyah.

Bani Kindah datang dengan membawa tiga belas buah kepala, dipimpin oleh Qais bin Asy’ats

Bani Hawazin membawa dua belas buah kepala diketuai oleh Syimr bin Dzil Jausyan.

Bani Tamim membawa tujuh belas buah kepala.

Bani Asad membawa enam belas buah kepala.

Bani Midzhaj membawa tujuh buah kepala.

Dan orang-orang yang lain membawa tiga belas buah kepala.

Perawi berkata: Setelah Ibnu Sa’ad meninggalkan Karbala, sekelompok orang dari Bani Asad datang dan mensalati jasad-jasad suci yang bersimbah darah tersebut lalu menguburkannya di tempat yang ada sekarang ini.

Ibnu Sa’ad berjalan dengan tawanan Karbala. Ketika sampai di dekat kota Kufah, penduduk kota berduyun-duyun datang menonton tawanan yang sebenarnya adalah keluarga nabi mereka sendiri.

Perawi berkata: Seorang wanita Kufah dari atas atap bertanya, “Tawanan dari manakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah keluarga Nabi Muhammad saw. yang menjadi tawanan.”

Mendengar itu, sang wanita langsung turun dan mengumpulkan kain, selendang dan kerudung yang ada lalu memberikannya kepada mereka. Dengan demikian, mereka kini dapat menutup badan mereka dengan sempurna.

Perawi berkata: Di antara para tawanan terdapat Ali bin Al-Husain as. yang kala itu sedang sakit sehingga kelihatan lemah. Juga Hasan bin Al-Hasan Al-Mutsanna[3] yang dengan penuh ketabahan membela paman dan imamnya, hingga menderita cukup banyak luka di tubuhnya[4]. Zaid[5] dan ‘Amr[6], keduanya putra Al-Hasan as., juga bersama mereka.

Penduduk Kufah larut dalam ratapan dan tangisan. Ali bin Al-Husain as. berkata kepada mereka, “Kalau kalian meratapi dan menangisi kami, lalu siapa yang membantai kami?”

Basyir bin Khuzaim Al-Asadi[7] berkata: Aku melihat Zainab binti Ali as. saat itu. Tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan-akan semua kata-katanya keluar dari mulut Amirul Mukminin Ali as. Beliau memberi isyarat agar semuanya diam. Nafas-nafas bergetar. Suasana menjadi hening seketika. Beliau mulai berbicara:

“Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam atas kakekku Rasulullah Muhammad saw. dan keluarganya yang suci dan mulia.

Amma ba’du. Wahai penduduk Kufah! Wahai para pendusta dan licik. Untuk apa kalian menangis? Air mata ini tak akan berhenti mengalir. Tangisan tak akan cukup sampai di sini. Kalian ibarat wanita yang mengurai benang yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga bercerai-berai kembali. Sumpah dan janji setia kalian hanyalah sebuah makar dan tipu daya.

Ketahuilah, wahai penduduk Kufah! Yang kalian miliki hanya omong kosong, cela dan kebencian. Kalian hanya tampak perkasa di depan wanita tapi lemah di hadapan lawan. Kalian lebih mirip dengan rumput yang tumbuh di selokan yang berbau busuk atau perak yang terpendam. Alangkah kejinya perbuatan kalian yang telah membuat Allah murka. Di neraka kelak kalian akan tinggal untuk selama-lamanya.

Untuk apa kini kalian menangis tersengguk-sengguk? Ya, demi Allah, banyaklah menangis dan sedikitlah tertawa, sebab kalian telah mencoreng diri kalian sendiri dengan aib dan cela yang tidak dapat dihapuskan selamanya. Bagaimana mungkin kalian dapat menghapuskannya sedangkan orang yang kalian bunuh adalah cucu penghulu para nabi, poros risalah, penghulu pemuda surga, tempat bergantungnya orang-orang baik, pengayom mereka yang tertimpa musibah, menara hujjah dan pusat sunnah bagi kalian.

Ketahuilah, bahwa dosa kalian adalah dosa yang sangat besar. Terkutuklah kalian! Semua usaha jadi sia-sia, tangan-tangan jadi celaka, dan jual beli membawa kerugian. Murka Allah telah Dia turunkan atas kalian. Kini hanya kehinaanlah yang selalu menyertai kalian.

Celakalah kalian wahai penduduk Kufah! Tahukah kalian, bahwa kalian telah mencabik-cabik jantung Rasulullah? Putri-putri beliau kalian gelandangkan dan pertontonkan di depan khalayak ramai? Darah beliau telah kalian tumpahkan? Kehormatan beliau kalian injak-injak? Apa yang telah kalian lakukan adalah satu kejahatan yang paling buruk dalam sejarah yang disaksikan oleh semua orang dan tak akan pernah hilang dari ingatan[8].

Mengapa kalian mesti keheranan menyaksikan langit yang meneteskan darah? Sungguh azab Allah di akhirat kelak sangat pedih. Di sana kalian tidak akan tertolong. Jangan kalian anggap remeh waktu yang telah Allah ulurkan ini. Sebab masa itu pasti akan datang dan pembalasan Allah tidak akan meleset. Tuhan kalian menyaksikan semua yang kalian lakukan.”

Perawi berkata: Demi Allah, aku melihat orang-orang tertegun dan larut dalam tangisan. Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka. Aku melihat seorang lelaki tua berdiri di sampingku sambil menangis hingga janggutnya basah. Ia berkata, “Demi ayah dan ibuku, kalian adalah sebaik-baik manusia. Keturunan kalian adalah sebaik-baik keturunan. Tak ada cela dan aib pada kalian.”

Diriwayatkan dari Zaid bin Musa, dia berkata, “Ayahku menukilkan kepadaku apa yang dikatakan oleh kakekku as. Beliau berkata, Fatimah Sughra setelah memasuki ke kota Kufah, berpidato:

“Aku memuji Allah sebanyak butiran pasir dan kerikil, seberat ‘arsy sampai tanah. Aku memuji-Nya, beriman dan bertawakkal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku menyaksikan bahwa keluarga Nabi, pembawa rahmat itu disembelih di tepi sungai Furat dan tidak ada orang yang datang untuk menuntut darahnya.

Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari melakukan kedustaan atas nama-Mu atau mengatakan atas nama-Mu hal-hal yang berlawanan dengan apa yang Kau perintahkan untuk menjaga wasiat Ali bin Abi Thalib as. Seorang yang hak-haknya dirampas lalu dibunuh di salah satu rumah Allah tanpa adanya kesalahan darinya sedikitpun -demikian juga hal yang dialami oleh putra Ali yang kemarin baru saja terbunuh-. Padahal di sana ada sekelompok orang yang di lisannya mengatakan bahwa mereka orang muslim dengan kepala yang tertunduk. Mereka tidak melindunginya dari kezaliman di masa beliau hidup maupun setelah kepergiannya. Sampai Engkau mengangkatnya ke sisi-Mu dengan jiwa yang mulia dan ruh yang suci.

Keutamaannya dikenal dan sikapnya ramai dipergunjingkan orang. Tak pernah ia gentar dalam menghadapi cacian dan cemoohan orang, dalam mencari ridha-Mu. Engkau bimbing ia menuju Islam kala ia masih kanak-kanak. Dan ketika telah menginjak usia dewasa, Kau bekali ia dengan segala keutamaan.

Dia selalu mengharap ridha-Mu dan ridha Rasul-Mu sampai Kau panggil ia menghadap-Mu. Hidupnya penuh dengan kezuhudan dan tidak pernah berlomba untuk mencari dunia. Hanya akhiratlah yang ia harapkan. Dia selalu berjuang di jalan-Mu. Sehingga Engkau meridhainya dan memilih serta membimbingnya ke jalan-Mu yang lurus.

Ammu ba’du. Hai ahli Kufah! Hai para penipu, orang-orang yang licik dan congkak! Kami Ahlul Bait kini tengah diuji oleh Allah hingga berhadapan dengan orang-orang seperti kalian. Dan Allah pun tengah menguji kalian dengan kami. Kami berhasil melalui ujian dengan hasil yang memuaskan. Sebagai ganjarannya Allah menganugerahi kami ilmu dan hikmah-Nya. Kamilah pemegang ilmu dan hikmah-Nya. Kamilah hujjah Allah atas seluruh penduduk bumi ini. Dialah yang telah memuliakan kami dengan kemurahan-Nya dan mengutamakan kami atas semua mahluk-Nya dengan menjadikan Muhammad, Nabi dan kekasih-Nya, dari golongan kami.

Tapi kalian malah mendustakan kami dan memperlakukan kami seperti memperlakukan orang-orang kafir. Kalian menganggap darah kami halal untuk ditumpahkan dan harta kamipun layak untuk dirampas. Seakan-akan kami ini orang-orang Turki atau Kabul. Hal seperti ini sudah pernah kalian lakukan terhadap kakek kami dahulu. Pedang-pedang kalian masih basah dengan darah kami, Ahlul Bait. Perbuatan kalian itu timbul karena dendam dan kedengkian kalian terhadap kami.

Kini kalian bersuka cita dan hati kalian berbunga-bunga. Sungguh yang kalian lakukan adalah suatu kedustaan besar atas nama Allah dan tipu daya akbar. Tapi ketahuilah bahwa Allah sebaik-baik yang berbuat makar dan tipu daya.

Jangan buru-buru terbawa rasa senang oleh apa yang kalian lakukan dengan menumpahkan darah dan merampas harta kami. Sebab semua musibah dan derita yang kami alami sudah termaktub di Kitab, sebelum Allah menciptakan mahluk-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Supaya kalian tidak kecewa karena hilangnya kesempatan atau bergembira atas apa yang kalian dapatkan. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan congkak.[9]

Celaka kalian! Tunggulah datangnya kutukan dan azab yang akan segera turun atas kalian! Bencana dari langit akan datang bertubi-tubi. Kalian akan segera ditimpa azab. Kalian akan saling berperang satu sama lain. Lalu akan masuk ke neraka dengan siksaannya yang pedih di hari kiamat kelak, sebagai balasan atas kezaliman yang kalian lakukan terhadap kami. Ingatlah bahwa kutukan Allah pasti akan jatuh pada orang-orang zalim.

Celaka kalian! Tahukah apa yang telah kalian lakukan terhadap kami? Siapakah yang kalian bunuh? Kaki manakah yang kalian gunakan untuk maju memerangi kami?

Demi Allah, hati kalian telah berubah keras bagai batu. Perasaan kalian telah pekat. Hati kalian pun terkunci. Pendengaran dan penglihatan kalian telah tertutupi. Setan telah bermain-main dengan kalian, mendikte dan menutupi pandangan kalian. Karena itu, kalian telah menjadi sangat jauh dari hidayah Ilahi.

Celaka kalian, hai Ahli Kufah! Tahukah kalian hutang apa yang mesti kalian bayar pada Rasulullah saw.? Darah siapakah yang kalian tumpahkan dengan melawan saudaranya, Ali bin Abi Thalib as., kakekku, juga anak-anaknya dan keluarga Nabi yang suci? Lalu seorang dari kalian dengan bangga mengatakan:

Kami telah bunuh Ali dan anak-anak Ali

Dengan pedang Hindun dan seperangkat tombak

Kami tawan wanita mereka bak tawanan Turki

Kami bantai mereka dengan kemenangan telak

Semoga mulut itu menjadi sasaran hujan batu! Apakah kau bangga membantai mereka yang telah Allah sucikan dan bersihkan dari noda dan dosa sesuci-sucinya. Tunggu dulu! Jongkoklah kau seperti ayahmu berjongkok, karena semua orang akan mendapatkan segala ganjaran dari apa yang telah diperbuatnya.

Atau mungkin kalian iri dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada kami ?

Celakalah kalian!

Apa dosaku jika lautku penuh air

Sedang lautmu kering, tak menutupi cacing laut

Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah, Zat dengan karunia ynag agung. Siapa saja yang tidak Dia beri cahaya, tak akan mendapat cahaya[10].”

Suara tangisan meledak. Mereka berkata, “Cukuplah wahai putri orang-orang suci! Anda telah membakar hati kami, menyesakkan dada dan mengobarkan perasaan kami.” Beliaupun diam.

Giliran Ummu Kultsum binti Ali as. berpidato di hari itu dari belakang tabir yang menutupinya. Dengan suara parau dan isak tangisnya, ia berkata,

“Hai Ahli Kufah! betapa kejinya perbuatan kalian! mengapa kalian sampai menghinakan Al-Husain dan membunuhnya, merampas harta, menawan keluarga dan menyakitinya? Celaka dan terkutuklah kalian!

Tahukah kalian siapakah orang-orang yang memperdaya kalian? Dosa apakah yang kalian pikul di pundak kalian? Darah siapakah yang kalian tumpahkan? Siapakah wanita mulia yang kalian zalimi? Siapakah putri kecil yang kalian rampok? Harta apakah yang kalian rampas? Kalian telah membunuh sebaik-baik lelaki setelah Rasulullah saw. Rasa belas kasihan telah sirna dari hati kalian. Ingatlah bahwa tentara Allah akan menang dan tentara setan akan merugi !”

Kemudian beliau melanjutkan:

“Kalian bunuh saudaraku yang tabah, celakalah kalian

Neraka dengan api berkobar adalah tempat kalian

Kalian tumpahkan darah yang telah Allah haramkan

Al-Quranpun melarangnya, juga Muhammad

Bergembiralah dengan api neraka, sebab kalian esok

Akan berada di dalamnya dengan panas yang sangat

Aku hidup menangisi dan meratapi saudaraku

Sebaik-baik manusia setelah Nabi sampai hari akhir

Air mata tak kunjung reda meski telah kuhapus

Membasahi pipi terus menerus tanpa henti”

Perawi berkata: Orang-orang riuh dengan tangisan, raungan dan ratapan. Para wanita menguraikan rambut mereka, menaburkan pasir di kepala, memukuli wajah, menampar pipi dan memanjatkan kutukan dan laknat atas para durjana. Sedangkan para lelaki menangis dan menarik-narik janggut mereka. Demi Allah, aku tak pernah menyaksikan orang sebanyak itu menangis bersama-sama.

Kemudian Imam Ali bin Al-Husain Zainul Abidin as. memberi isyarat agar mereka supaya mereka diam. Suasana hening seketika. Beliau bangkit dan berdiri. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat dan salam kepada Nabi saw., beliau berkata,

“Wahai orang-orang sekalian! Siapa yang mengenalku berarti dia mengenalku. Dan yang tidak mengenalku, aku akan perkenalkan diriku. Aku Ali putra Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Aku putra dia yang disembelih di tepi sungai Furat tanpa ada orang yang datang menuntut balas atas kematiannya.

Aku putra dia yang diinjak-injak kehormatannya, ketenangannya dirampas, hartanya dirampok, dan keluarganya ditawan.

Aku putra dia yang dibunuh dengan penuh kesabaran. Ini cukup menjadi kebanggaanku.

Wahai orang-orang Kufah! Kuingatkan kalian kepada Allah. Tahukah kalian bahwa kalianlah yang menulis surat kepada ayahku, tapi kemudian kalian tipu beliau ? Kalian telah berjanji untuk setia dan membaiatnya lalu kalian perangi dan menghinakannya.

Celakalah kalian atas apa yang kalian lakukan pada diri kalian sendiri! Betapa busuknya pikiran kalian! Dengan mata apakah kalian akan memandang Rasulullah saw. ketika beliau bersabda kepada kalian, “Kalianlah yang telah membunuh keluargaku dan menginjak-injak kehormatanku. Kalian tidak masuk dalam golongan umatku.”

Perawi berkata: Suara tangis kembali meledak dari segala penjuru. Masyarakat saling berkata satu dengan yang lain, “Tanpa kalian sadari kalian kini telah binasa.”

Beliau melanjutkan, “Semoga Allah merahmati orang yang mau menerima nasehatku dan menjaga wasiatku tentang Allah, Rasul-Nya dan Ahlul Bait. Karena Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kita semua.”

Serempak mereka menjawab, “Wahai putra Rasulullah! Kami siap untuk mendengar, mentaati dan menjaga janji kami padamu. Tak akan kami biarkan anda seorang diri. Kami tidak akan memusuhimu. Pilihan kami adalah apa yang anda pilih. Semoga Allah merahmati anda. Kami akan perangi orang-orang yang anda perangi dan berbuat baik kepada siapa saja yang anda perlakukan dengan baik. Kalau perlu kami akan seret Yazid dan berlepas diri dari orang-orang yang menzalimi anda dan menzalimi kami.”

Beliau berkata, “Tidak mungkin kalian akan melakukan apa yang kalian katakan itu. Kalian adalah orang-orang licik dan pembuat makar. Kalian telah dihalang-halangi oleh syahwat dan hawa nafsu. Atau mungkin kalian akan memperlakukan aku seperti kalian memperlakukan ayahku kemarin? Demi Allah, hal itu tidak mungkin terjadi. Luka di hati ini belum sembuh. Baru saja ayahku dibantai bersama keluarganya. Aku belum dapat melupakan kesedihan Rasulullah, ayahku dan saudara-saudaraku. Aku belum dapat melupakan kemarahannya di tenggorokanku, kegetirannya di kerongkonganku dan kesedihannya yang merasuk menyesakkan dadaku. Aku hanya berharap kalian tidak berpihak pada kami dan tidak memerangi kami.”

Kemudian beliau as. berkata,

“Tak heran Al-Husain dibunuh karena orang tuanya

yang lebih baik darinya dan lebih mulia

Jangan dulu gembira, hai ahli Kufah dengan apa

yang menimpa Al-Husain, hal itu lebih besar rasanya

Dialah korban di tepi Furat, jiwaku tebusannya

Ganjaran orang yang menzaliminya adalah neraka”

“Kami hanya akan puas dengan kalian bila kepala dibalas dengan kepala. Tak ada hari yang bersahabat dengan kami atau memusuhi kami” kata beliau lagi.

Perawi berkata: Ibnu Ziyad duduk di atas singgasana di istananya yang megah. Sesuai dengan perintahnya, izin masuk ke istana untuk menghadiri pertemuan yang ia adakan diberikan untuk umum. Kepala suci Al-Husain as. di bawa ke hadapannya bersama dengan para wanita keluarga Al-Husain as. dan anak-anaknya.

Zainab binti Ali as. duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Ibnu Ziyad bertanya, “Siapakah dia ?” Terdengar jawaban, “Dia Zainab binti Ali.”

Ibnu Ziyad berpaling kepadanya dan berkata, “Puji syukur kepada Allah yang telah mempermalukan kalian dan membuka kedok kebohongan kalian.”

Zainab menjawab, “Yang sebenarnya dipermalukan adalah orang fasik dan yang mempunyai kebohongan adalah para pendosa, bukan kami.”

Ibnu Ziyad menyahut, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah lakukan terhadap saudara dan keluargamu ?”

“Aku tidak melihat ketentuan Allah kecuali indah. Mereka adalah sekelompok orang yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk mati terbunuh. Merekapun bergegas menuju kematian itu. Allah kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak kau akan dihujani pertanyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapa pemenang di hari itu! Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!”

Perawi berkata: Ibnu Ziyad marah bukan kepalang. Hampir saja ia mengambil keputusan membunuh Zainab.

‘Amr bin Huraits[11] segera menegurnya, “Tuan, dia hanya seorang wanita. Seorang wanita tidak akan dihukum karena kata-katanya.”

Kepada Zainab, Ibnu Ziyad berkata, “Allah telah menyembuhkan luka hatiku dari Al-Husain, si durjana, juga para pendosa dan pembangkang dari keluargamu.”

Zainab menyahut, “Sungguh kau telah membunuh pemimpinku, memotong rantingku dan mencabut pokokku. Jika kesembuhanmu adalah hal itu, berarti engkau telah sembuh.”

Ibnu Ziyad berkata lagi, “Wanita ini memang ahli dalam bersajak. Dulu ayahnya juga seorang penyair.”

“Hai Ibnu Ziyad! Untuk apa wanita bersajak,” sergah Zainab.

Ubaidillah menoleh ke arah Ali bin Al-Husain as. dan bertanya, “Siapa dia ?”

Ada yang menjawab, “Dia adalah Ali bin Al-Husain.”

“Bukankah Allah telah membinasakan Ali bin Al-Husain ?” tanyanya.

Ali bin Al-Husain as. mejawab, “Aku mempunyai saudara yang juga bernama Ali bin Al-Husain. Dialah yang dibantai oleh orang-orangmu.”

“Allahlah yang telah membunuhnya,” bantah Ibnu Ziyad.

Beliau menjawab,

الله يتوفى الأنفس حين موتها

“Allahlah yang mematikan jiwa-jiwa ketika ajalnya telah tiba.”

“Lancang benar mulutmu berani membantah kata-kataku,” hardik Ibnu Ziyad. “Seret dan penggal kepalanya!”

Zainab, bibi Ali bin Al-Husain, ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Ibnu Ziyad, berseru, “Hai Ibnu Ziyad! Kau tak mau menyisakan seorangpun untuk kami? Jika kau mau membunuhnya bunuh aku sekalian !”

Imam Ali bin Al-Husain as. berkata kepada bibinya, “Bibi, diamlah! Biar aku yang berbicara dengannya.” Beliau berpaling kepada Ibnu Ziyad dan berkata, “Hai Ibnu Ziyad! Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian! Tahukah kau bahwa kematian adalah hal yang biasa bagi kami. Bahkan kebahagian kami akan terasa lebih sempurna dengan kematian sebagai syahid.”

Ibnu Ziyad memerintahkan para pengawalnya untuk memindahkan Ali bin Al-Husain as. dan tawanan yang lain ke suatu tempat di sebelah mesjid raya kota.

Zainab binti Ali berkata, “Jangan sampai ada seorang pun wanita Arab yang masuk ke tempat kami kecuali hamba sahaya. Karena mereka juga pernah ditawan seperti kami sekarang ini.”

Kemudian Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan agar kepala suci Al-Husain as. diarak keliling di lorong-lorong kota Kufah.

Di sini saya merasa perlu untuk menuliskan apa yang dikatakan oleh sebagian orang yang perpikiran sehat saat meratapi korban pembantaian dari keluarga suci Rasulullah saw. ini:

Kepala anak putri Nabi dan washinya

Di atas tombak menjadi bahan tontonan

Muslimin mendengar dan menyaksikannya

Tapi, tak ada protes ataupun keluhan

Semoga mata saksikan dirimu jadi buta

Dan telinga yang mendengar menjadi tuli

Kau buka banyak mata sedang kau terlelap

Kau tutup mata yang tak sedih atas deritamu

Tak satupun taman kecuali berharap

Agar kau disana dan menjadi kuburmu

Perawi berkata: Ibnu Ziyad naik ke atas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat-Nya, ia berpidato. Di antara isi khotbahnya adalah:

“Segala puji bagi Allah yang telah menampakkan kebenaran dan orang-orangnya sekaligus memberikan kemenangannya kepada Amirul Mukminin Yazid bin Mu’awiyah dan para pengikutnya dengan membinasakan pendusta putra pendusta.”

Belum sempat ia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba Abdullah bin ‘Afif Al-Azdi[12] -seorang pengikut Ahlul Bait yang setia dan seorang yang zuhud. Matanya yang kiri cacat di perang Jamal dan yang satunya lagi di perang Shiffin. Pekerjaan sehari-harinya hanya duduk di mesjid agung kota dan sholat di dalamnya hingga malam tiba- bangkit dan berseru,

“Hai anak Marjanah! Pendusta anak pendusta itu adalah kau dan ayahmu, juga orang yang menempatkanmu di sini berikut ayahnya. Hai musuh Allah! Tidak cukupkah kau membunuh anak Nabi sehingga naik ke atas mimbar kaum muslimin dan berbicara seenaknya ?”

Perawi berkata: Ibnu Ziyad naik pitam dan berseru, “Siapa orang yang lancang membuka mulutnya ini ?”

“Akulah yang berbicara tadi, hai musuh Allah,” jawabnya. “Apakah setelah membantai keturunan suci Rasulullah saw. yang telah Allah bersihkan dari segala noda dan dosa kau masih mengaku sebagai muslim ?

Oh, di manakah gerangan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar yang akan membalas perbuatanmu dan pemimpinmu si laknat anak orang terlaknat itu ?”

Perawi berkata: Kemarahan Ibnu Ziyad makin memuncak, hingga urat-urat lehernya bertonjolan keluar. “Seret ia kemari!”, perintahnya dengan galak. Para pengawal segera menghampiri dan mengepung dari segala penjuru untuk menangkapnya. Para pemuka bani Azd, sepupu-sepupu Abdullah bangkit menyelamatkannya dari tangkapan tentara Ibnu Ziyad lalu mengeluarkannya dari mesjid dan mengantarnya pulang ke rumah.

Dengan geram Ibnu Ziyad berkata, “Cepat pergi ke rumah orang buta ini. -orang buta keluarga Adz ini. Semoga Allah membutakan hatinya seperti membutakan matanya- dan bawa dia kemari!”

Para pengawal segera pergi menuju rumah Abdullah. Bani Azd yang mendengar berita ini bergegas menyusul mereka ke sana bersama beberapa kabilah Yaman untuk menyelamatkan saudara mereka itu.

Berita sampai ke telinga Ubaidillah bin Ziyad. Ia lantas mengumpulkan kabilah bani Mudhar bergabung dengan pasukan Muhammad bin Asy’ats dan memerintahkan mereka untuk membabat habis orang-orang tadi.

Perawi berkata: Kedua belah pihak terlibat pertempuran yang sengit. Beberapa orang jatuh sebagai korbannya.

Pasukan Ibnu Ziyad berhasil maju dan mendesak mereka sampai mendekati rumah Abdullah bin ‘Afif. Setelah mendobrak pintu rumah, mereka berhamburan masuk ke dalamnya dan menyerbu tuan rumah.

“Ayah, musuh telah datang seperti yang kua cemaskan,” jerit putri Abdullah.

Sang ayah menyahut, “Tenanglah! Tak akan terjadi apa-apa terhadapmu. Ambilkan pedangku!”

Pedang kini berada di tangan Abdullah. Dengan lincahnya ia memainkan pedang dan mempertahankan diri dari serangan musuh sambil berkata,

“Aku putra orang mulia dan terhormat

‘Afif, ayahku dan aku putra Ummu Amir

Berapapun kalian, berbaju besi atau tidak

Juga jawara akan lemah saat bertempur”

Putri Abdullah berkata, “Jika saja aku seorang lelaki, akan kuhabisi orang-orang keparat yang telah membunuh keluarga Nabi ini.”

Pasukan mengepungnya dari segala arah. Abdullah sibuk membela diri. Tak ada seorangpun yang mampu menaklukkannya. Setiap ada yang datang dari satu arah, sang anak berseru, “Ayah, mereka datang dari arah ini.”

Mereka kemudian mengepungnya dan menyerang secara bersamaan. Sang anak yang setia berseru, “Oh malangnya ayahku! Dia kini dikepung dari segala arah tanpa ada yang datang menolongnya.”

Mengetahui hal itu, Abdullah memutar-mutarkan pedangnya sambil berkata,

“Aku bersumpah jika kudapat melihat

Kalian semua akan terdesak olehku”

Perawi berkata: Keadaan ini berlangsung beberapa saat sampai akhirnya mereka berhasil menangkapnya. Kemudian Abdullah dibawa menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Ketika melihatnya, Ibnu Ziyad berkata, “Puji syukur kepada Allah yang telah menghinakanmu.”

“Hai musuh Allah! Dengan apa gerangan Allah menghinakanku seperti yang kau katakan tadi ?”, jawab Abdullah bin ‘Afif

“Aku bersumpah jika kudapat melihat

kalian semua akan terdesak olehku”

“Hai Abdullah! Apa pendapatmu mengenai Amirul Mukminin Utsman bin Affan[13],” tanya Ibnu Ziyad.

“Hai budak bani ‘Ilaj! Hai putra Marjanah! Apa hubunganmu dengan Utsman, baikkah ia atau jelek, shalehkah ia atau fasik. Allahlah yang menangani segala urusan hamba-Nya. Dialah yang menjadi hakim di antara mereka dan Utsman dengan segala keadilan dan kebenaran. Lebih baik kau tanyakan kepadaku tentang dirimu, ayahmu, juga Yazid dan ayahnya,” jawab Abdullah.

Ibnu Ziyad dengan geram berkata, “Demi Allah, aku tidak akan bertanya apapun lagi kepadamu, sampai kau mati perlahan-lahan.”

Abdullah bin ‘Afif menjawab, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ketahuilah! Dulu aku selalu memohon kepada Allah, Tuhanku, agar aku dianugerahi-Nya syahadah, jauh sebelum kau lahir. Aku juga memohon kepada-Nya agar aku mati di tangan orang yang paling terkutuk dan yang paling Dia benci. Sewaktu kedua mataku tidak dapat melihat lagi, aku putus asa untuk meraih syahadah. Tapi sekarang, Alhamdulillah, Dia memberiku karunia itu setelah aku putus asa dan menunjukkan kepadaku bahwa doaku telah dikabulkan-Nya.”

“Penggal kepalanya!” perintah Ibnu Ziyad. Kepala Abdullah bin ‘Afif melayang. Lalu badannya disalib di Sabkhah[14].

Perawi berkata: Ubaidillah bin Ziyad menulis surat kepada Yazid bin Mu’awiyah untuk memberitahunya berita terbunuhnya Al-Husain bin Ali as. dan keadaan keluarga beliau. Surat yang sama juga ia kirimkan kepada ‘Amr bin Said bin ‘Ash[15], gubernur Madinah.

‘Amr setelah menerima surat kiriman Ibnu Ziyad tersebut, langsung naik ke atas mimbar dan memberitahu penduduk kota Madinah akan apa yang telah terjadi terhadap diri cucu Rasulullah saw. Jerit tangis bani Hasyim tak terbendung lagi. Acara berkabung dilaksanakan oleh semua. Zainab[16] binti Aqil bin Abi Thalib meratapi kematian Al-Husain saw. dan berkata,

“Apa yang kan kalian katakan jika Nabi bertanya

Sebagai akhir umat, apa yang telah kalian lakukan?

Terhadap anak dan keluargaku sepeninggalku

Kalian tawan mereka dan bantai bersimbah darah

Inikah balasan ajakan dan nasehatku

Dengan perbuatan keji terhadap keluargaku”

Ketika malam tiba, penduduk kota Madinah mendengar suara yang mengatakan:

“Hai para pembunuh Al-Husain dengan kejam

bersiap-siaplah mendapat azab dan balasan

Semua yang di langit menangisinya

Baik nabi, syahid maupun rasul utusan[17]

Terkutuklah kalian lewat lisan putra Daud

Juga Musa dan Isa pembawa injil Tuhan”

Adapun Yazid bin Mu’awiyah, sewaktu surat Ibnu Ziyad sampai ke tangannya, setelah membaca dan mengetahui isinya, segera menulis surat jawaban kepada Ubaidillah dan memerintahkannya untuk segera mengirimkan kepala Al-Husain as. dan para syuhada lainnya bersama dengan para tawanan dan barang peninggalan beliau kepadanya.

Ibnu Ziyad memanggil Muhaffar bin Tsa’labah Al-‘Aidzi[18] dan menyerahkan kepala-kepala suci tersebut bersama para tawanan kepadanya. Muhaffar menggelandang mereka sampai ke Syam seperti menggelandang tawanan kafir. Wajah para wanita tersebut menjadi tontonan penduduk kota-kota yang mereka lalui.

Ibnu Lahi’ah[19] dan yang lainnya bercerita tentang sesuatu yang kami nukilkan di sini seperlunya saja. Dia berkata:

“Suatu hari aku sedang thawaf di Ka’bah. Tiba-tiba pandanganku jatuh pada seseorang yang sedang berdoa. Dalam doanya tersebut ia berkata, “Ya Allah, ampunilah aku! Tapi Engkau tidak mungkin akan mengampuniku.”

Kepadanya kukatakan, “Hai hamba Allah, takutlah kepada-Nya dan jangan kau ulangi lagi kata-katamu itu ! Walaupun dosa-dosayang telah kau lakukan itu seluas negeri ini dan sebanyak daun seluruh pohon yang ada, lalu engkau meminta ampunan dari Allah, Dia pasti akan mengampunimu. Karena Dia Maha Pengampun dan Penyayang.”

Ia menoleh kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kemari, sehingga aku bisa bercerita kepadamu apa yang terjadi pada diriku.”

Aku mendekat. Dia kemudian memulai pembicaraannya dan berkata,

“Ketahuilah bahwa aku termasuk salah satu dari lima puluh orang yang membawa kepala Al-Husain as. ke Syam. Setiap sore kami beristirahat dan meletakkan kepala tersebut di dalam peti dan asyik menenggak arak mengelilingi peti tersebut. Kawan-kawanku asyik minum-minuman sampai malam hari, hingga mabuk. Aku sendiri tidak ikut bergabung dengan mereka.

Ketika malam tiba, aku mendengar suara petir menyambar dan kilat yang menerangi angkasa. Tiba-tiba kulihat pintu langit terbuka. Tampaklah Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Ishaq, Isma’il dan Nabi kita Muhammad saw. disertai Jibril dan sekelompok malaikat.

Jibril mendekati peti tempat kepala Al-Husain as. berada, lalu mengeluarkan kepala tersebut, mendekap dan menciuminya. Para Nabi melakukan hal yang sama. Nabi Muhammad saw. tak kuasa menahan tangisnya menyaksikan kepala cucunya tercinta, Al-Husain as,. yang kini tanpa badan dan terbaring di padang sahara. Para Nabi menghibur beliau.

Kepada beliau Jibril berkata, “Wahai Muhammad, Allah memerintahkanku untuk mematuhi semua perintahmu mengenai umatmu ini. Jika kau perintahkan, akan kugoncang tempat tinggal mereka dan kujadikan bagian atasnya menjadi bagian bawah sehingga mereka terhimpit di tengah-tengahnya, seperti yang kulakukan terhadap kaum Luth.”

Nabi saw. menjawab, “Tidak, wahai Jibril. Mereka akan berhadapan sendiri denganku di depan mahkamah Allah kelak di hari kiamat.”

Setelah itu para malaikat mendatangi kami untuk menghabisi kami. Aku berteriak, “Ya Rasulullah, tolonglah aku.”

Beliau menjawab,“Pergilah! Allah tidak akan mengampunimu[20].”[21]

Perawi berkata: Mereka bergerak dengan membawa serta kepala Al-Husain as. dan para tawanan menuju Syam. Sewaktu mereka hampir sampai di kota Damaskus, Ummu Kultsum mendekati Syimr – salah seorang yang ikut dalam rombongan itu – dan berkata, “Aku ada urusan denganmu.”

“Apa keperluanmu ?”, tanyanya.

Beliau menjawab, “Jika nanti kita sampai di kota, lewatkanlah kami lorong-lorong yang sepi, sehingga tidak banyak mata yang menonton kami. Kemudian perintahkan pasukanmu untuk memisahkan kepala-kepala ini dari bawaan mereka dan menjauhkannya dari kami. Kami sudah cukup tersiksa dengan banyaknya mata yang memandang kami dalam keadaan seperti ini.”

Menanggapi permintaan itu, Syimr memerintahkan pasukannya untuk menancapkan kepala-kepala suci tersebut di ujung tombak tepat di tengah-tengah rombongan dan barang bawaan mereka -untuk lebih menunjukkan sikap keji dan kekufurannya- dan melewati jalan yang ramai untuk mempertontonkan para tawanan di depan khalayak ramai. Sesampainya mereka di pintu kota Damaskus, mereka berhenti di jalan menuju pintu mesjid Jami’, tempat para tawanan diistirahatkan.

Diriwayatkan bahwa sebagian tabi’in setelah menyaksikan kepala Al-Husain as., mengurung diri selama sebulan, menghindar dari kawan-kawannya. Sewaktu mereka menemukannya dan menanyakan penyebab tindakan itu, ia menjawab, “Tidakkah kalian melihat apa yang kita alami ini?” Kemudian ia bersenandung:

Mereka datang membawa kepala cucu Muhammad

Yang telah berlumuran dengan darahnya

Seakan dengan membunuhmu, wahai cucu Muhammad

Mereka membunuh Rasul dengan sengaja

Mereka bunuh engkau dengan dahaga tanpa perduli

Padahal mereka telah mengubur Al-Quran dan ilmu

Mereka berseru bahwa engkau telah terbunuh

Padahal mereka juga mengubur takbir dan tahlil

Perawi berkata: Seorang lelaki tua datang mendekati para tawanan keluarga Al-Husain as. dan berkata, “Puji syukur ke hadirat Allah yang telah membinasakan kalian, menjadikan dunia ini aman dari kekacauan yang kalian buat dan memberi kesempatan kepada Amirul Mukminin untuk menghabisi kalian.”

Ali bin Al-Husain as. bertanya kepada orang itu, “Hai syekh, apakah anda pernah membaca Al-Quran ?”

“Ya,”jawabnya.

“Tahukah anda ayat ini:

قل لا أسألكم عليه أجرا الا المودة في القربى

“Katakanlah: Aku tidak meminta sesuatu upahpun dari kalian atas seruanku ini kecuali kasih sayang kalian kepada keluargaku.[22]

“Ya, ayat ini sudah pernah aku baca,”jawabnya.

“Kamilah yang keluarga Nabi saw. yang dimaksudkan ayat itu. Hai Syekh, pernahkah kau membaca ayat yang ada di surath bani Israil ini:

وآت ذا القربى حقه

“Berikanlah kepada keluarga dekat hak-hak mereka[23],”tanya beliau lagi.

“Ya, aku pernah membacanya,”jawab orang tua itu.

“Kamilah keluarga yang dimaksud ayat itu. Hai Syekh pernahkah kau membaca ayat ini:

واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن لله خمسه وللرسول ولذي القربى

“”Ketahulah bahwa sesungguhnya apa saja yang kalian dapatkan sebagai ghanimah, maka seperlimanya adalah milik Allah, Rasul, keluarga dekat Rasul …[24]“,tanya beliau lagi.

“Ya,” sahut si syekh.

“Kamilah keluarga dekat Rasul itu. Hai Syekh, pernahkah kau membaca ayat:

انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

“Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa kalian, wahai Ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.[25]

“Ya, aku pernah membacanya,” jawabnya mantap.

Beliau berkata, “Kamilah Ahlul Bait yang telah Allah istimewakan dalam ayat thaharah ini, wahai Syekh.”

Perawi selanjutnya berkata: Pak tua itu terdiam menyesali kata-kata yang telah keluar dari mulutnya itu dan berkata, “Bersumpahlah demi Allah bahwa kalian adalah mereka yang disebutkan dalam ayat-ayat tadi !”

Ali bin Al-Husain as. menjawab, “Demi Allah, tanpa diragukan lagi, kami adalah mereka. Demi kakek kami Rasulullah, kamilah mereka yang dimaksudkan oleh ayat-ayat itu.”

Orang tadi menangis sejadi-jadinya seraya melemparkan serban yang dikenakannya. Lalu mengangkat kepala ke atas dan berkata, “Ya Allah, aku berlepas tangan dari musuh-musuh keluarga Muhammad, baik jin maupun manusia.” Kemudian ia berpaling ke Ali bin Al-Husain as. dan berkata, “Masih adakah kesempatanku untuk bertaubat ?”

Beliau menjawab, “Tentu, jika kau benar-benar mau bertaubat, Allah pasti akan menerimanya dan kau akan bersama kami.”

“Aku kini bertaubat,” ujarnya.

Berita mengenai orang tua tersebut sampai ke telinga Yazid bin Mu’awiyah. Dengan perintahnya, orang tersebut dibunuh.

Perawi berkata: Barang-barang milik Al-Husain as., para wanita dan keluarganya yang masih tersisa, dihadapkan kepada Yazid bin Mu’awiyah dengan kaki dan tangan yang terbelenggu.

Ketika para tawanan yang dengan keadaan mengenaskan itu sampai di hadapan Yazid, Ali bin Al-Husain as. berkata kepadanya,

“Hai Yazid, kuingatkan kau pada Allah. Menurutmu apa yang bakal terjadi jika Rasulullah melihat kami dalam keadaan yang seperti ini?”

Yazid memerintahkan pengawalnya untuk melepaskan belenggu yang mengikat para tawanan.

Kemudian kepala suci Al-Husain as. diletakkan di hadapannya, sedangkan para wanita berada di belakangnya supaya tidak melihat langsung kepala itu. Tetapi Ali bin Al-Husain bisa menyaksikan kepala sang ayah dengan jelas. Dan sejak saat itu, beliau tidak pernah memakan kepala apapun juga.

Adapun Zainab, sewaktu pandangannya jatuh ke kepala Al-Husain as., ia langsung menarik-narik bajunya dan menjerit histeris dengan suara yang menyayat hati, “Oh Husain! Oh kekasih Rasulullah! Oh putra Mekah dan Mina! Oh putra Fatimah Zahra, penghulu para wanita ! Oh anak putri Mustafa!”

Perawi berkata: Demi Allah, dengan jeritannya itu, seluruh orang yang hadir di majlis Yazid, hanyut dalam tangisan. Yazid hanya terdiam membisu.

Seorang wanita dari bani Hasyim yang tinggal di istana Yazid meratapi Al-Husain as. dan berkata, “Oh Husain! Oh sang kekasih Allah! Oh tuanku! Oh pemimpin Ahlul Bait! Oh putra Muhammad! Oh pengayom para janda dan anak yatim! Oh korban kebiadaban anak-anak sundal!”

Perawi berkata: Mereka yang mendengarnya menangis terisak-isak.

Yazid mengambil tongkat kayunya. Dengan tongkat tersebut, ia memukul-mukul wajah dan menusul-nusuk gigi seri Al-Husain as.

Melihat itu, Abu Barzah Al-Aslami[26] bangkit dan berseru, “Hai Yazid, celakalah kau! Gampangnya kau memukul-mukul gigi seri Al-Husain dengan tongkatmu itu? Aku bersumpah bahwa dulu aku sering melihat Nabi saw. menciumi mulut Al-Husain dan abangnya, Al-Hasan, seraya bersabda,

“Kalian berdua adalah dua penghulu pemuda ahli surga. Semoga Allah membinasakan orang yang membunuh kalian, melaknat dan menyiapkan untuknya tempat di neraka yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali.”

Perawi berkata: Yazid naik pitam dan memerintahkan para pengawalnya untuk mengeluarkan Abu Barzah dari majlis. Iapun lantas diseret keluar istana.

Selanjutnya Yazid mendendangkan bait-bait syair Ibnu Zi’bari[27] yang mengatakan:

Andai saja nenek moyangku di Badar menyaksikan

Betapa paniknya Khazraj menghindari tikaman

Niscaya mereka kan bersuka cita ceria

dan berkata, Hai yazid kau luar biasa

Kami bantai mereka hingga pemimpin tertinggi

Hutang kita di Badar lunaslah kini

Hasyim hanya bermain dengan kekuasaan

Padahal tak ada berita atau wahyu Tuhan

Jangan sebut aku dari Khandaf jika tak kuasa

Membalas Ahmad, dengan anak cucunya

Perawi berkata: Zainab binti Ali bangkit dan berkata, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat atas Muhammad dan keluagranya. Maha benar Allah kala berfirman,

ثم كان عاقبة الذين أساؤو السوآى أن كذبوا بآيات الله وكانوا بها يستهزءون

“Kemudian, akhir cerita dari orang-orang yang melakukan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan selalu mempermainkannya.”[28]

Hai Yazid, kau kira dengan menyiksa kami sedemikian rupa dan menggiring kami seperti menggiring hamba-hamba sahaya, kami lantas menjadi hina di sisi Allah dan engkau menjadi mulia? Atau mungkin dengan perbuatanmu itu, kau mendapatkan derajat yang istimewa di sisi-Nya? Sehingga kau sombongkan dirimu dengan segala kebanggaan, karena melihat dunia tengah berpihak kepadamu, semua urusanmu mudah, sedangkan kami kini tak memiliki kekuasaan apapun? Nanti dulu, jangan tergesa-gesa! Lupakah kau bahwa Allah SWT telah berfirman:

ولا يحسبن الذين كفروا أنما نملي لهم خير لأنفسهم انما نملي لهم ليزدادوا اثما ولهم عذاب مهين

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik buat mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka supaya dosa mereka bertambah. Dan bagi mereka azab yang menghinakan.”[29]

Hai Ibn thulaqa’[30], adilkah tindakanmu memberikan pakaian yang layak kepada istri-istri dan hamba sahayamu, sedang putri-putri Rasulullah kau giring sebagai tawanan? Pakaian mereka compang-camping. Wajah mereka terbuka. Musuh-musuh menggiring mereka dari satu kota ke kota lainnya. Mereka menjadi bahan tontonan khalayak ramai. Wajah-wajah mereka dipandang oleh semua orang. Tak ada lelaki yang menjaga kehormatan mereka dan menjadi penolong.

Bagaimana mungkin anak orang yang memuntahkan hati orang-orang mulia dan dagingnya tumbuh dari darah para syuhada, dapat diharapkan perlindungannya ?

Bagaimana mungkin orang yang melihat kami dengan mata permusuhan, kebencian dan kedengkian, dikatakan sebagai orang yang bernaung di bawah atap hidayah kami, Ahlul Bait ?

Lalu dengan enaknya kau katakan,

Niscaya mereka kan bersuka cita ceria

dan berkata, Hai Yazid kau luar biasa

Kau katakan itu sambil memukul-mukulkan tongkatmu di mulut dan gigi seri Abu Abdillah Al-Husain as., penghulu pemuda ahli surga.

Pantas sekali kata-kata ini keluar dari mulutmu yang kotor itu. Bukankah kau yang telah menambah luka hati kami dengan menumpahkan darah cucu Muhammad saw., bintang-bintang di bumi dari keluarga Abdul Mutthalib. Lalu kau berbicara dengan nenek moyangmu dan mengira bahwa kau dapat memanggil mereka ?!

Tak lama lagi kau pun akan menyusul mereka. Saat itulah kau akan menyesali perbuatanmu dan berharap agar kau bisu dan lemah, hingga tak dapat mengucapkan kata-katamu itu dan tak melakukan kekejaman yang telah kau lakukan terhadap kami.

Ya Allah, ambillah hak-hak kami. Balaslah kezaliman yang telah mereka perbuat terhadap kami! Jatuhkanlah kemurkaanmu kepada mereka yang telah menumpahkan darah kami dan membantai para pelindung kami !

Hai Yazid, demi Allah, apa yang kau lakukan itu tidak lain hanyalah menguliti dirimu dan mencincang dagingmu sendiri. Kelak kau akan berhadapan dengan Rasulullah saw. dengan memikul dosamu menumpahkan darah cucu beliau dan menginjak-injak kehormatan beliau lewat apa yang kau lakukan terhadap keluarganya. Itu akan terjadi setelah sebelumnya Allah memberi kekuasaan kepda mereka dan mengembalikan hak-hak mereka sepenuhnya.

ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون

“Dan janganlah kau kira mereka yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapat rizqi”[31]

Cukup Allah yang menghukumi, Muhammad yang menuntut dan Jibril yang membantu beliau. Saat itulah, orang yang mengangkatmu dan mendudukkanmu di singgasana kepemimpinan atas kaum muslimin sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. Hal yang amat buruklah yang akan dialami oleh orang-orang zalim. Kau akan tahu siapakah sebenarnya yang memiliki tempat terburuk dan penolong sedikit.

Jika kata-kataku ini dapat mengakibatkan petaka bagiku karena merendahkanmu, membesarkan kejahatanmu dan mencacimu, aku siap menerimanya. Inilah yang keluar dari mata yang letih menangis dan dada yang terasa sesak dan panas.

Ketahuilah! Hal yang mengherankan adalah bahwa orang-orang mulia, para pecinta Allah, gugur di tangan orang-orang thulaqa’. Tangan-tangan kotor itu telah berlumuran oleh darah kami. Mulut-mulut mereka mengunyah dan melumat daging kami. Jasad-jasad suci ini menjadi rebutan mereka, pencari kesempatan. Bila kini kau rampas semua hak kami, ketahuilah, bahwa tak lama lagi kau akan melihat bahwa kesuksesan dan kemenangan ada di pihak kami di saat kau tak memiliki apapun juga kecuali amal perbutan jahatmu. Allah tidak akan berbuat zalim kepada para hamba-Nya. Hanya Dialah yang dapat memberikan pertolongan.

Silahkan, lakukanlah apa yang kau inginkan. Demi Allah, kau tak akan pernah bisa menghapuskan nama baik kami atau memadamkan wahyu yang turun kepada kami. Kau tidak akan pernah mengungguli kami dan tidak akan dapat menghilangkan cela yang kau lakukan.

Akal busuk, kekuasaan dan kekuatanmu tak akan berarti apa-apa di saat terdengar suara yang menyerukan, “Ketahuilah bahwa laknat dan kutukan Allah telah dijatuhkan atas orang-orang zalim.”

Segala puji bagi Allah yang telah menutup umur orang pertama kami dengan kebahagiaan dan ampunan, dan orang terakhir kami dengan kematian syahid dan rahmat.

Kepada Allah aku memohon, agar Dia menyempurnakan pahala mereka, menambah cucuran rahmat-Nya kepada mereka dan memperlakukan kami dengan baik setelah kepergian mereka. Dia Maha pengasih dan penyayang. Bagi kami cukuplah Allah, Dia sebaik-baik yang mengatur urusan hamba-Nya.

Yazid, dengan nada mengejek, berkata:

Ini hanya jeritan dari mulut wanita

Betapa ringan maut bagi wanita berduka

Perawi berkata: Yazid bermusyawarah dengan para penasehatnya perihal apa yang mesti ia perbuat terhaadap para tawanan itu.

Mereka menjawab, “Tuan, jangan sampai anjing liar dan buas mempunyai anak.”

Nu’man bin Basyir menyela, “Cobalah lihat bagaimana Rasulullah memperlakukan mereka. Kaupun melakukan yang demikian.”

Seorang penduduk Syam ketika pandangannya jatuh pada Fatimah binti Al-Husain as. berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau boleh aku meminta gadis ini sebagai budak.”

Mendengar Fatimah mendekap Zainab, bibinya, dan berkata, “Bibi, setelah aku jadi yatim, aku hendak dijadikan budak.”

Zainab menenangkannya dan berkata, “Tidak. Tak akan kubiarkan itu terjadi. Orang fasik ini tak akan mendapat kemuliaan.”

“Siapakah gadis ini ?”, tanya orang tadi.

Yazid menjawab, “Fatimah binti Al-Husain dan yang itu bibinya, Zainab binti Ali.”

“Maksud anda Al-Husain putra Fatimah dan Ali bin Abi Thalib ?”, tanyanya dengan nada terkejut.

“Ya,” jawab Yazid enteng.

“Semoga Allah melaknatmu, hai Yazid! Kau telah membantai keluarga Nabimu dan menawan putri-putrinya? Demi Allah, aku kira mereka ini tawanan perang dari Rumawi,” serunya.

“Demi Allah, kau akan segera menyusul mereka,” kata Yazid. Dia lalu memerintahkan algojonya untuk memenggal kepala orang Syam tersebut.

Perawi berkata: Yazid memanggil seorang penceramah dan menyuruhnya untuk naik ke atas mimbar dan mencaci Al-Husain dan ayahnya.

Iapun naik ke atas mimbar dan mulai mencaci maki Amirul Mukminin Ali as. dan Al-Husain as. secara membabi-buta, lalu memuji dan menyanjung Mu’awiyah dan Yazid.

Ali bin Al-Husain as. yang hadir di situ, dengan suara lantang, berkata,

“Celakalah kau, hai pengkhotbah ! Kau beli kepuasan hati seorang manusia fasik dengan kemurkaan Allah SWT, Sang Pencipta. Bersiap-siaplah kau untuk masuk ke neraka !

Abu Sinan Al-Khafaji[32], sangat tepat dalam menggambarkan keadaan Amirul Mukminin dan anak-anaknya dalam sebuah bait syair:

Di atas mimbar kalian caci mereka

Padahal kekuasaan kalian karena pedangnya

Perawi berkata: Hari itu Yazid menjanjikan kepada Ali bin Al-Husain as. bahwa ia akan mengabulkan tiga permintaan beliau.

Selanjutnya ia memerintahkan supaya para tawanan di tempatkan di sebuah rumah yang tidak cukup melindungi mereka dari udara panas dan hawa dingin. Mereka tinggal di sana sampai wajah-wajah mereka memucat. Selama berada di negeri itu, hari-hari mereka lalui dengan ratapan dan tangisan untuk Al-Husain as.

Sakinah berkata: Pada hari keempat kami berada di Syam, saya bermimpi. Beliau lantas menceritakan mimpinya itu dengan panjang lebar. Di akhir ceritanya, beliau berkata- Saya melihat seorang wanita yang duduk di haudaj (tempat tertutup yang diletakkan di atas punggung unta.pent) sambil meletakkan tangannya di kepala. Saya bertanya, “Siapakah dia ?” “Fatimah binti Muhammad,”jawab mereka.

“Aku bersumpah bahwa aku harus bertemu langsung dengan beliau dan menceritakan apa yang mereka perbuat terhadap kami,” kataku selanjutnya.

Akupun berlari menghampirinya. Begitu sampai dan berdiri di hadapannya, aku menangis dan berkata, “Ibu, mereka telah merampas hak-hak kami. Ibu, mereka telah menghancurkan kami. Mereka telah menginjak-injak kehormatan kami. Mereka telah membunuh Al-Husain, ayah kami.”

Beliau lalu berkata, “Cukup Sakinah! Kau telah menyayat jantungku dan menambah luka hatiku. Lihatlah! Ini baju Al-Husain, ayahmu, yang tak akan pernah berpisah dariku selamanya sampai kelak aku menemui Allah dengan membawanya. ”

Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Abul Aswad Muhammad bin Abdur Rahman[33], dia berkata, “Aku pernah bertemu dengan Ra’su Al-Jalut. Dia berkata, “Aku adalah keturunan Daud as. melalui tujuh puluh perantara. Umat Yahudi bila bertemu denganku, mereka akan menghormatiku. Tapi kalian malah membunuh cucu Nabi kalian sendiri yang hanya selisih satu generasi dari beliau.”

Diriwayatkan dari Imam Ali bin Al-Husain Zainal Abidin as., beliau berkata, “Ketika kepala suci Al-Husain as. dibawa ke istana Yazid, ia mengadakan pesta minum-minuman arak dan meletakkan kepala tersebut di hadapannya sambil menenggak minuman.

Seorang duta Kaisar Rumawi dan para pembesar negeri itu, ikut hadir pada acara tersebut. Sang duta bertanya, “Wahai penguasa Arab, kepala siapakah ini ?”

“Apa urusanmu dengan kepala ini ?”, tanya Yazid.

“Jika aku pulang ke negeriku, kaisar akan bertanya kepadaku tentang semua hal yang aku saksikan di sini. Karena itulah aku ingin sekali menceritakan pada beliau perihal kepala ini sehingga beliau ikut bergembira dengan kegembiraan anda,” jawab sang duta.

“Ini adalah kepala Al-Husain bin Ali bin Thalib,” sahut Yazid.

“Siapakah nama ibunya?”, tanya orang Rumawi itu lagi.

“Fatimah putri Rasulullah,” jawabnya

“Betapa rendahnya diri dan agamamu ini!” ujarnya. “Agamaku jauh lebih baik dari agamamu. Ayahku termasuk keturunan Nabi Daud as. melalui banyak generasi. Orang-orang Nasrani selalu mengagungkanku dan berebut mengambil tanah yang kupijak untuk mendapat berkah sebab aku masih keturunan Daud as. Tetapi kalian malah membunuh anak dari putri Nabi kalian sendiri, padahal antara dia dan kekeknya itu tak ada pemisah kecuali seorang ibu saja. Agama apa ini yang kalian peluk?”

Kepada Yazid, ia berkata lagi, “Pernahkah anda mendengar kisah tentang gereja Hafir ?”

“Ceritakanlah! Aku siap mendengarkannya,” kata Yazid.

Iapun mulai bercerita, “Di antara Oman[34] (Amman)[35] dan Cina[36] ada sebuah lautan dengan jarak tempuh perjalanan enam bulan[37]. Tak kehidupan di sana kecuali hanya satu kota di tengah laut dengan panjang delapan belas farsakh dan lebar delapan farsakh. Tak ada satu kotapun di dunia yang lebih besar dari kota ini. Kafur dan Yaqut banyak dihasilkan dari sini. Kota ini memiliki banyak perkebunan za’faron dan kayu gahru. Penduduk kota ini beragama kristen. Roda pemerintahan tidak dijalankan oleh raja, tapi oleh mereka sendiri.

Di kota ini banyak terdapat gereja, dengan gereja terbesar yang lazimnya disebut Hafir. Di mihrab gereja ini terdapat sebuah tempat yang terbuat dari emas dan digantungkan. Di situlah tempat Hafir. Menururt kepercayaan mereka, Hafir adalah nama seekor keledai yang biasa dinaiki oleh Isa. Tempat itu mereka hias sedemikian rupa dengan kain sutera dan emas.

Setiap tahun umat kristen berbondong-bondong datang menziarahinya. Mereka berthawaf mengelilinginya, menciuminya dan memanjatkan doa kepada Allah SWT di situ. Inilah yang mereka lakukan terhadap Hafir, keledai yang menurut kepercayaan mereka sering ditunggangi oleh Isa, Nabi mereka. Tetapi yang kalian lakukan terhadap anak dari putri Nabi kalian sendiri adalah pembantaian atas dirinya. Semoga Allah tidak memberkati kalian dan agama kalian.”

Yazid dengan geram berteriak, “Bunuh orang nasrani ini, biar tidak mencoreng namaku di negerinya !”

Si Nasrani yang merasa bahwa perintah Yazid bukan main-main, segera menyahut, “Rupanya kau juga ingin membunuhku?”

“Ya, benar,” jawab Yazid.

Lalu katanya, “Ketahuilah, bahwa semalam aku bermimpi bertemu dengan Nabi kalian. Kepadaku beliau bersabda, “Hai nasrani, kau akan segera masuk surga.” Aku terkejut keheranan mendengar kata-kata beliau itu. Dan kini aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Kemudian ia melompat ke tempat kepala Al-Husain as., lalu mendekap dan menciuminya sambil menangis sampai ia terbunuh.

Suatu hari Ali bin Al-Husain Zainal Abidin as. keluar berjalan-jalan di pasar Damaskus. Minhal bin ‘Amr[38] yang melihat beliau segera menyambut dan menyapa, “Bagaimana keadaan anda, wahai putra Rasulullah ?”

Beliau menjawab, “Keadaanku tak ubahnya bagaikan Bani Israil yang hidup di tengah-tengah kaum Fir’aun. Lelaki mereka dibunuh sedangkan para wanitanya dibiarkan hidup.

Hai Minhal, bangsa Arab bangga di hadapan bangsa Ajam, sebab Nabi Muhammad saw. adalah orang Arab. Suku Quraisy berbangga di depan suku-suku Arab lainnya sebab Muhammad dari golongan mereka. Tapi kami, keluarga Nabi, hak-hak kami dirampas, orang-orang kami dibantai dan kami diusir. Melihat keadaan kami yang seperti ini, kami hanya dapat mengatakan, Inan lillahi wa inna ilahi raji’un.”

Sungguh tepat apa yang dikatan oleh Mihyar[39].

Mereka agungkan kayu mimbar beliau

Sedang di kaki mereka, tergolek anak-anaknya

Atas dasar apa mereka mengikuti kalian

Sedang kalian hanya sahabat kakek mereka

Suatu hari Yazid memanggil Ali bin Al-Husain as. dan ‘Amr bin Al-Hasan[40]. ‘Amr ketika itu masih kecil. Diriwayatkan bahwa usianya kala itu masih sebelas tahun. Kepadanya Yazid berkata, “Kau mau bergulat dengannya (anaknya yang bernama Khalid[41]) ?”

‘Amr menjawab, “Tidak. Tapi kalau kau beri kami berdua pisau, aku siap membunuhnya.”

Mendengar itu Yazid bergumam:

Tabiat yang sudah kukenal dari ular berbisa

Bukankah ular akan melahirkan ular juga

Lalu Kepada Imam Ali bin Al-Husain as. ia berkata, “Sebutkan tiga permintaanmu yang kujanjikan akan kupenuhi itu !”

Beliau as. menjawab, “Pertama beri aku kesempatan untuk melihat wajah tuan dan junjunganku Al-Husain as., sehingga aku dapat mengenangnya kembali dan mengucapkan selamat tinggal.

Kedua, semua barang milik kami yang telah disita dan dirampas oleh pasukanmu supaya dikembalikan lagi kepada kami.

Ketiga, jika kau mau membunuhku, tunjuklah seseorang yang bertugas mengantarkan para wanita ini pulang ke kota kakek mereka Nabi Muhammad saw.”

Yazid berkata, “Mengenai ayahmu, kau tidak akan pernah melihatnya lagi. Adapun tentang hukuman mati yang sedianya akan dijatuhkan atasmu, telah aku aku hapuskan. Karena itu yang akan mengantarkan mereka pulang ke Madinah tidak lain adalah kau sendiri. Masalah barang-barang yang telah disita itu, aku ganti kalian dengan berlipat kali lebih banyak dari harga sebenarnya.”

“Kami tidak membutuhkan hartamu, karena hartamu adalah milikmu sendiri. Tapi yang kuminta adalah barang-barang milik kami yang telah disita. Sebab di antaranya terdapat kain, kerudung, kalung dan baju milik nenek kami Fatimah binti Muhammad Rasulullah,” jawab beliau.

Yazid memerintahkan untuk mengembalikan seluruh barang yang telah disita dari keluarga suci Nabi Muhammad saw. dan menambahnya dengan dua ratus dinar. Imam Ali Zainal Abidin menerima uang tersebut lalu membagi-bagikannya kepada kaum fakir miskin.

Setelah itu ia mengirimkan tawanan keluarga besar Fatimah as.[42] pulang ke kampung halaman mereka di kota suci Rasulullah saw., Madinah.

Adapun kepala Al-Husain as., menurut riwayat, dibawa kembali ke Karbala dan dimakamkan bersama jasadnya yang mulia di sana. Hal inilah yang diyakini kebenarannya oleh pengikut madzhab Syiah.

Selain dari pendapat ini, ada banyak riwayat yang berbeda-beda yang tidak kami sebutkan di sini, mengingat yang kami inginkan adalah buku yang ringkas seputar tragedi Karbala.

Perawi berkata: Ketika rombongan keluarga Al-Husain as. yang pulang dari Syam, sampai di Irak, kepada penunjuk jalan mereka berkata,

“Lewatlah jalan Karbala!”

Sesampainya mereka di tempat Al-Husain as., keluarga dan para sahabatnya terbunuh, mereka melihat Jabir bin Abdillah Al-Anshari[43] bersama sekelompok orang dari bani Hasyim dan keluarga Nabi saw. yang lainnya datang di sana untuk menziarahi kubur Al-Husain as. Secara kebetulan mereka berkumpul menjadi satu. Mereka saling peluk diiringi oleh tangisan dan kesedihan sambil memukul-mukul pipi mereka sendiri. Di sana mereka mendirikan acara berkabung yang menyayat hati semua insan. Para wanita yang tinggal di sekitar Karbala, ikut bergabung. Acara ini berlangsung selama beberapa hari.

Diriwayatkan dari Abu Janad Al-Kalbi[44], ia berkata, “Saya mendengar dari para pedagang kapur yang mengatakan, “Pada malam terbunuhnya Al-Husain as., kami sedang keluar menuju Jibbanah[45]. Sayup-sayup terdengar terdengar suara bangsa Jin yang sedang meratapi Al-Husain as. Mereka berkata, “

Rasul sering mengusap dahinya

Hingga cahaya memancar dari pipinya

Ayah ibunya pembesar Quraisy

Kakeknya sebaik-baik orang tua

Perawi berkata: Mereka kemudian bergerak meninggalkan tanah Karbal

 

Daftar Pustaka

  • Al-Quran Al-Karim
  • Syekh Muhammad Samawi, Ibsharu Al-‘Ain fiAnshari Al-Husain ( Diterbitkan oleh Perpustakaan Bashirati Qom, 1408 H).
  • Qadhi Nuurullah Mar’asyi Tustari, Ihqaqu Al-Haq, (Qom : Perpustakaan Umum Ayatullah Mar’asyi Qom).
  • Sayyid Jawad Syubbar, Adabu Al-Thaff, (Beirut : Dar Al-Murthadla)
  • Syekh Mufid, Al-Irsyad, (Qom: Muktamar Seribu Tahun Syekh Mufid ).
  • Ali bin Muhammad Al-Jazri, Usdu Al-Ghabah, ( Mesir).
  • Khairuddin Zarkali, Al-A’lam, Dar Al-‘Ilmi li Al-Malayin (Beirut). Dari kitab tersebut kami banyak menukil biografi tokoh-tokoh dalam buku ini.
  • Muhammad Hassun dan Ummu Ali Masykur, A’lamu Al-Nisa’ Al-Mukminat, (Intisyarat Uswah, 1411 H).
  • Ibnu Makula, Al-Ikmal, (Beirut : Percetakan Muhammad Amin).
  • Sayyid Ibnu Thawus, Al-Aman, (Qom: Muassasah Aalu Aal Al-Bait).
  • Ahmad bin Yahya Baladziri, Ansabu Al-Asyraf, (Beirut: Dar Al-Ta’aruf).
  • Syekh Muhammad Mahdi Syamsuddin, Ansharu Al-Husain, (Al-Dar Al-Islamiyyah, 1401 H).
  • Allamah Hilli, Iidhahu Al-Isytibah, (Qom: Yayasan Al-Nasyru Al-Islami).
  • Allamah Syekh Majlisi, Bihar Al-Anwar, (Teheran: Dar Al-Kutub Al-‘Arabiyyah).
  • Sulaiman Hadi Al-Tha’mah, Turatsu Karbala’, (Beirut: Muassasah Al-A’lami).
  • Biografi Imam Husain as. dan tragedi yang menimpa diri beliau, dari kitab Al-Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad, (Qom : Penerbit Muassasah Aal Al-Bait), dalam majalah Turatsuna ,edisi kesepuluh .
  • Fadhl bin Zubair Al-Kufi salah seorang sahabat Imam Baqir as. dan Imam Ja’far Shadiq as., Tasmiatu Man Qutila Ma’a Al-Husain, ( Qom: Majalah Turatsuna ) edisi kedua.
  • Abu Shaleh Al-Halabi, Taqribu Al-Ma’arif, (Qom : naskah tulisan tangan yang tersimpan di perpustakaan umum Ayatullah Mar’asyi Qom).
  • Syekh Abdullah Mamqani, Tanqihu Al-Maqal
  • Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqallani, Tahdzibu Al-Tahdzib, (India: Percetakan Dairatu Al-Ma’arif Al-Nidzamiyyah).
  • Muhammad bin Hasan bin Duraid, Hamharatu Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-‘Ilmi li Al-Malayin ).
  • Sayyid Ibnu Thawus, Hikayatu Al-Mukhtar fi Akhdzi Al-Tsaar, (Qom : Mansyurat Al-Radhi Qom).
  • Allamah Hilli, Khulashatu Al-Aqwal Al-Rijal, (Qom: Mansyurat Al-Syarif Al-Radhi).
  • Syekh Agha Buzurq Teherani, Al-Dzari’ah ila Tashanifi Al-Syi’ah, (Beirut : Dar Al-Adhwa’).
  • Ibnu Daud bin Husain bin Ali, Al-Rijal, (Qom: Mansyurat Al-Syarif Al-Radhi ).
  • Syekh Thusi, Al-Rijal, (Qom: Mansyurat Al-Syarif Al-Radhi ).
  • Al-Najasyi, Al-Rijal, (Qom: Muassasah Al-Nasyr Al-Islami ).
  • Al-Rijal fi Taj Al-‘Arus, (Haidar Abad: Percetakan Majlis Dairatu Al-Ma’arif Al-Utsmaniyyah, 1401 H) .
  • Syekh Abdullah Al-Affandi, Riyadhu Al-‘Ulama, (Qom: Perpustakaan Umum Ayatullah Mar’asyi ).
  • Syekh Ja’far Al-Naqdi, Zainab Al-Kubra, (Qom: Muassasah Al-Imam Al-Husain as.).
  • Syekh ‘Abbas Al-Qummi, Safinatu Al-Bihar, (Muassasah Intisyarat Farhani).
  • Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al-Dzahabi, Siyaru A’lami Al-Nubala’, (Beirut: Muassasah Al-Risalah).
  • Ibnu Abi Al-Hadid Al-Mu’tazili, Syarh Nahj Al-Balaghah, (Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah).
  • Ismail bin Hammad Al-Jauhari, Al-Shihah, (Beirut: Dar Al-‘Ilmi fi Al-Malayin, 1990).
  • Muhammad Hasan Bugrath Al-Sabzawari, Dhiya Al-‘Ainain fi Tadzkirati Ashhabi Al-Husain, (Masyhad: Percetakaan Iran Masyhad).
  • Syekh Agha Buzurg Teherani, Thabaqat A’lami Al-Syi’ah, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi ), bagian abad keempat.
  • Sayyid Ibnu Thawus, Al-Tharaif, (Qom: Percetakan Al-Khayyam).
  • Syekh Abdul Husain Al-Amini, Al-Ghadir, (Teheran: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah).
  • Muhammad ‘Ashif Fikrat, Indeks Alif Ba’ untuk naskah-naskah tulisan tangan yang ada di perpustakaan Imam Ridha, (Intisyarat Al-Maktabah Al-Ridhawiyyah).
  • Sayyid Ahmad Al-Husaini, indeks naskah-naskah tulisan tangan yang ada di Perpustakaan Umum Ayatullah Mar’asyi Qom.
  • Abdul Husain Hairi, Indeks naskah-naskah tulisan tangan yang di Perpustakaan Majlis Teheran, (Teheran: Nasyriyyat Maktabi Al-Majlis).
  • Indeks naskah-naskah tulisan tangan yang ada di perpustakaan Mulk Teheran, (Teheran: Intisyarat Hunar).
  • Syekh Thusi, Al-Fihrist, (Qom: Mansyurat Al-Syarif A-Radhi).
  • Muntajabuddin Ali bin Ubaidillah, Fihrits Ulama’i Al-Syi’ah wa Mushannifihim, (Teheran: Al-Maktabah Al-Murtadhawiyyah).
  • Khanbaba Musyar, Fihriste Kitabhaye Capie Arabi, (Perpustakaan Ranggin).
  • Syekh Muhammad Taqi Tustari, Qamusu Al-rijal, (Qom: Muassasah Al-Nasyr Al-Islami).
  • Latan Golbarq, Kitab Khaneh-ye Ibne Thawus wa Ahwal wa Atsar-e Uu, (Qom: Perpustakaan Umum Ayatullah Mar’asyi).
  • Sayyid Ibnu Thawus, Kasyfu Al-Mahajjah, (Qom: Daftar-e Tablighat-e Islami).
  • Syekh ‘Abbas Al-Qummi, Al-Kuna wa Al-Alqab, (Qom:Intisyarat-e Bidar).
  • Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, 1408 H).
  • Sayyid Ibnu Thawus, Al-Luhuf, (Qom: Mansyurat Al-Syarif Al-Radhi).
  • Syekh Faris Tabriziyan, Al-Majaziru Al-Thaifiyyah fi ‘Ahdi Al-Syekh Al-Mufid, (Muktamar Seribu Tahun Syekh Mufid, 1413 H).
  • Syekh Fakhruddin Al-Thuraihi, Majma’u Al-Bahrain, (Najaf: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah).
  • Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Mukhtasharu Tarikh Dimasyq, (Beirut: Dar Al-Fikr).
  • Sayyid Abdul ‘Aziz Al-Thabathaba’i, Al-Mudawwanat Al-Tarikhiyyah li Waqi’ati Al-Thaff, ( Majalah Al-Mausum, 1412 H ), edisi ke-12, jilid ke-3.
  • Syekh Ali Al-Namazi, Mustadraku ‘Ilmi Rijali Al-Hadits, (Teheran: Percetakan Haidari, 1414 H).
  • Ibnu Syahr Asyub, Ma’alimu Al-‘Ulama, (Najaf: Percetakan Haidariyyah).
  • Taqut bin Abdillah, Mu’jamu Al-Buldan, (Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, 1399 H).
  • Sayyid Abul Qasim Al-Khu’i, Mu’jamu Rijali Al-Hadits, ( Beirut: 1409 H ), cetakan keempat.
  • Abul Fajar Al-Ishfahani, Maqatilu Al-Thalibiyyin, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah).
  • Abu Mikhnaf Luth bin Yahya, Maqtalu Al-Husain, (Qom: Percetakan Ilmiyyah).
  • Abu Mikhnaf Luth bin Yahya, Maqtalu Al-Husain wa Mashra’u Ahli Baitihi wa Ashhabihi fi Karbala’, (Qom: Mansyurat Al-Syarif Al-Radhi).
  • Muwaffiq bin Ahmad Al-Khawarizmi, Maqtalu Al-Husain, ( Qom: Mansyurat Maktabati Al-Mufid).
  • Sayyid Abdur Razzaq Al-Musawi Al-Muqarram, Maqtalu Al-Husain, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islami, 1399 H).
  • Ibnu Syahr Asyub, Al-Manaqib, (Intisyarat Mushthafawi).
  • Abu Mikhnaf Luth bin Yahya, Waq’atu Al-Thaff, (Qom: Muassasah Al-Nasyr Al-Islami).
  • Al-Syablanji, Akaamu Al-Marjan, (Kairo: Al-Shabih).
  • Al-Syabrawi Al-Zubaidi, Al-Ithaf bi Hubbi Al-Asyraf, ( Mesir ).
  • Al-Qirmani, Al-Akhbar Al-Thiwal, ( Baghdad ).
  • Al-Daynuri, Al-Akhbar Al-Thiwal, ( Kairo, 1330 H ).
  • Ibnu Atsir, Usd Al-Ghabah, (Mesir: 1280 H).
  • Muhammad bin Shabban, Is’afu Al-Raghibin, (Mesir), catatan kaki Nuuru Al-Abshar.
  • Al-Dzahabi, Asmau Al-Rijal, tulisan tangan.
  • Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, Al-‘Ishabah, (Mesir).
  • Kahhalah, A’lamu Al-Nisa’, (Damaskus: 1359 H).
  • Abu Al-Faraj Al-Ishbahani, Al-Aghani, (Mesir) .
  • Majiduddin Al-Hanbali, Al-Uns Al-jalil, (Kairo).
  • Al-Baghdadi, Idhahu Al-maknun.
  • Muthahhar bin Thahir Al-Muqaddasi, Al-Bad wa Al-Tarikh, (Syalun : 1916).
  • Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, (Mesir : Al-Sa’adah).
  • Al-Jahidh, Al-Bayan wa Al-Tabyin, (Mesir).
  • Qasim Al-Hanafi, Taj Al-Tarajim, (Libsik, 1862).
  • Muhammad Murtadha Al-Zubaidi, Taj Al-‘Arus, (Kairo).
  • Muhammad bin Ahmad Al-Dimasyqi, Tarikhu Al-Islam, (Mesir).
  • Al-Dzahabi, Tarikhu Al-Islam, (Mesir).
  • Utsman Dadeh Al-hanafi, Tarikhu Al-Islam wa Al-Rijal.
  • Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Tarikhu Al-Umami wa Al-muluk, (Mesir: Al-Istiqamah).
  • Al-Khatib, Tarikhu Baghdad, (Mesir: 1349 H) .
  • Al-Suyuthi, Tarikhu Al-Khulafa’, (Mesir : Al-Maimaniyyah).
  • Husein bin Muhammad Al-Diyar Al-Bakri, Tarikhu Al-Khamis, (Mesir : Al-Wahbiyyah).
  • Ibnu ‘Asakir, Tarikhu Dimasyq, (Raudhah Al-Syam), diambil dari intisari kitab tersebut.
  • Al-Barraqi, Tarikhu Al-Kufah, (Najaf : 1356 H).
  • Al-Sam’ani, Al-Tahbir.
  • Ali bin Husein Bilkatsir, Al-Tuhafatu Al-‘Aliyyah wa Al-Adabu Al-‘Ilmiyyah, (Tulisan tangan).
  • Al-Dzahabi, Tadzkiratu Al-Huffadh, (Haidar Abad).
  • Sibth Ibnu Al-Jauzi, Tadzkiratu Al-Khawash, (Al-Ghariy).
  • Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran, (Bulaq Mesir) catatan kaki Fath Al-Bayan.
  • Abu Zakaria Al-Nawawi, Tahdzibu Al-Asma’ wa Al-Lughat, (Mesir).
  • Ibnu Hajar Al-Asqallani, Tahdzibu Al-Tahdzib, (Haidar Abad: 1325 H).
  • Abdul hadi Al-Abyari Al-Misri, Jaliyatu Al-Kadir fi Starhi Mandhumati Al-Barzanji, (Mesir).
  • Ibnu Al-Atsir Al-Jazri, Jami’u Al-Ushul, (Mesir).
  • Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman, Jam’u Al-Fawaid min Jami’i Al-Ushul, (Mesir).
  • Ibnu Abi Al-Kahattab, Jamharatu Asy’ari Al-‘Arab, (Mesir: 1308 H).
  • Ibnu Khurram, Jamharatu Al-Ansab, ( Mesir: 1948 ).
  • Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatu Al-Auliya’, (Mesir: 1351 H).
  • Abdul Qadir bin Umar Al-Baghdadi, Khazanatu Al-Adab, ( Mesir: 1299 H).
  • Al-Suyuthi, Al-Khashaishu Al-Kubra, (Haidar Abad).
  • Zainab Fawaz, Al-Durru Al-Mantsur fi Thabaqati Rabbati Al-Khudur, (Mesir: 1312 H).
  • Muhibbuddin Al-Thabari, Dzakahiru Al-‘Uqba, (Kairo: Al-Qudsi ).
  • Ibnu Jarir Al-Thabari, Dzailu Al-Mudzil, (Mesir: 1326 H), yang di cetak di akhir kitab Tarikhu Al-Umami wa Al-Muluk.
  • Al-Zamakhsyari, Rabi’u Al-Abrar.
  • Abu Bakr Al-Alawy, Rasyfatu Al-Shadi, (Al-Ghariy).
  • Sayyid bin Ali Al-Marsyafi, Raghbatu Al-Amil min Kitabi Al-Kamil, (Mesir).
  • Muhib Al-Thabari, Al-Riyadhu Al-Nadhirah fi Manaqibi Al-‘Asyrah, (Mesir: 1327 H).
  • Muhammad Amin Al-Baghdadi Al-Suwaidi, Sabaiku Al-Dzahab fi Ma’rifati Qabaili Al-‘Arab, (Baghdad: 1280 H).
  • Abdul Aziz Al-Maimani, Samathu Al-Laali, (Mesir:1354 H).
  • Al-Dhahabi Siyaru A’lami Al-Nubala’, (Mesir) .
  • Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj Al-Balaghah, (Beirut).
  • Al-Nabhani, Al-Syarafu Al-Muabbad li Aali Muhammad, (Mesir).
  • Shahihu Al-Tirmidzi, (Mesir: Al-Shadi).
  • Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi, Shifatu Al-Shafwah, (Haidar Abad: 1355 H).
  • Ahmad bin Hajar Al-Haitsami, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah,(Mesir : Abdul Lathif) .
  • Abdul Wahhab Al-Sy’rani, Al-Thabaqatu Al-Kubra, (Kairo).
  • Abyari Al-Mishri, Al-‘Araisu Al-Wadhihah.
  • Ibnu ‘Abdi Rabbih, Al-‘Iqdu Al-Farid, (Mesir).
  • Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, ‘Umdatu Al-Qari, (Kairo).
  • Burhanuddin Muhammad bin Ibrahim, Ghuraru Al-Khashaish, (Mesir).
  • Ibnu Al-Shabbagh Al-Maliki, Al-Fushulu Al-Muhimmah, (Al-Ghurri).
  • Ibnu Al-Nadim, Al-Fihrits.
  • Ibnu Al-Atsir, Al-Kamil fi Al-Tarikh, (Mesir).
  • Haji Khalifah, Kasyfu Al-Dhunun.
  • Al-Kunji Al-Syafi’I, Kifayatu Al-Thalib, (Al-Ghariy).
  • Al-Daulabi, Al-Kuna wa Al-Asma’, (Haidar Abad: 1322 H).
  • Abdur Rauf Al-Munawi, Al-Kawakibu Al-Durriyyah, (Mesir: Al-Azhari).
  • Ibnu Al-Atsir, Al-Lubab fi Tahdzibi Al-Ansab, (Mesir: 1356 H).
  • Al-Asqallani, Lisanu Al-Mizan, (Haidar Abad: 1331 H).
  • Al-Qalqasyandi, Maatsiru Al-Inaqah, (Kuwait).
  • Abdullah bin Muhammad bin Abdillah bin Abi Al-Dunya, Majabi Al-Da’wah, (Bombay).
  • Al-Haitami, Majma’u Al-Zawaid, (Kairo: Al-Qudsi ).
  • Al-Baihaqi, Al-Mahasinu wa Al-Musawi, (Beirut).
  • Muhyiddin Ibnu Al-‘Arabi, Mahadhiru Al-Abrar, (Mesir).
  • Muhammad bin Habib, Al-Mihbar, (Haidar Abad: 1361 H).
  • Ibnu Al-Atsir, Al-Mukhtar, (Tulisan tangan).
  • Al-Sya’rani, Mukhtasharu Tadzkirati Al-Qurthubi, (Mesir).
  • Al-Yafi’i, Mir’atu Al-Jinan, (Haidar Abad).
  • Al-Thabarani, Al-Mu’jamu Al-Kabir, (Tulisan tangan).
  • Muhammad Khan bin Rustam Al-Badkhasyi, Miftahu Al-Naja fi Manaqibi Aali Al-‘Aba, (Tulisan tangan).
  • Al-Khawarizmi, Maqtalu Al-Husain, (Al-Ghariy).
  • Al-Syahristani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Mesir).
  • Ahmad bin Hanbal, Al-Manaqib, (Tulisan tangan).
  • Maula Ali Al-Hindi, Muntakhabu Kanzi Al-‘Ummal, (Mesir), catatan kaki dari kitab Musnad .
  • Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi, Al-Muntadhim, (Haidar Abad: 1357 H).
  • Al-Dzahabi, Mizanu Al-I’tidal, (Mesir: 1325 H).
  • Ibnu Taghri Burdi, Al-Nujumu Al-Zahirah, (Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah).
  • Mush’ab bin Abdullah Al-Zubairi, Nasabu Quraisy, (Mesir: 1953 ).
  • Al-Zarandi, Nadzmu Durari Al-Simthain, (Al-Qadha’).
  • Mu’ammar bin Al-Mutsanna, Al-Naqaidl Baina Jarir wa Farazdaq, (Lidan).
  • Al-Syablanji, Nuuru Al-Abshar, (Mesir).
  • Yusuf bin Ahmad Al-Yaghmuri, Nuuru Al-Qabas Al-Mukhtashar min Al-Muqtabas,(Qisyaran).
  • Al-Qalqasyandi, Al-Nihayah.
  • Al-Shafdi, Al-Wafi bi Al-Wafayat.
  • Al-Hadhrami Ba Katsir, Wasilatu Al-Maal, (Tulisan tangan).
  • Hamd bin Yusuf Al-Kindi, Al-Wulatu wa Al-Qudhat, (Beirut 1908).
  • Al-Qanduzi, Yanabi’u Al-Mawaddah, (Istanbul).

Leave a comment