TAKLIF & TAQLID


Pada kesempatan ini kami meng-upload bahasan beberapa dimensi yang terkait dengan tema   ushuluddin dan marja’iyah yakni masalah taklif dan taqlid. Hal ini mengingat bahwa kedua hal tersebut amat penting untuk dipahami seluruh pengikut Ahlul Bait alaihumussalam.

I. Persoalan Taklif

Taklif adalah apa-apa yang diturunkan dari siapa yang wajib ditaati pada mulanya; bersamanya terdapat rasa berat dan dengan syarat adanya pemberitahuan.

A. Keterangan Definisi

Sebagaimana diketahui, keinginan Allah dengan perbuatan-Nya merupakan hal yang guna/manfaatnya kembali kepada hamba-Nya. Dan, tidak ada hasil hakiki kecuali pahala. Karena apa yang bisa didapat tidak boleh lebih dari terhindarnya dari bahaya atas hasil yang tidak berkepanjangan. Ini bukanlah baik sebagai suatu keinginan dalam penciptaan hamba. Sementara pahala akan buruk kalau tidak

didahului oleh taklif.

Taklif berasal dari kata kulfah (rasa berat). Makna dari ungkapan: diturunkan terhadap sesuatu, artinya kepada pengembannya. Ungkapan: Siapa yang wajib ditaati, artinya adalah Allah. Sedangkan ungkapan: pada mulanya, bermakna bahwa ketaatan pada dasarnya kembali kepada Allah, seperti taat kepada Nabi, Imam, atau orang tua. Dengan rasa berat, karena ada perbandingan perkara yang tidak memberatkan, seperti nikah yang memberikan kenikmatan, makan, minum, dan lain-lain. Dengan syarat pemberitahuan: adalah persyaratan bagi pemberi Taklif kepada penerima taklif.

Dengan demikian, syarat baiknya taklif ada tiga hal:

1. Kembali kepada taklif itu sendiri:

– Tidak ada ke-fasat-sai padanya karena buruk

– Mendahului sebelum waktu_fi’il

– Memungkinkan untuk terlaksana (taklif yang mustahil, buruk)

– Terbukti sifat tambahan yang baik.

2. Kembali kepada mukallif (pemberi taklif)

– Berilmu terhadap sifatfi’il (tindakan), baik dan buruknya.

– Berilmu terhadap kadar yang pantas diterima bagi satu-persatu pelaksana taklif, dalam  bentuk pahala dan dosa.

– Kemampuannya untuk menyampaikan haknya yang berhak.

– Keadaannya bukan pelaku yang buruk.

3. Kembali kepada mukallaf (tempat taklif):

– Kemampuannya terhadap fi’il (perbuatan). Mustahil taklif yang tidak bisa dilaksanakan, seperti orang buta membaca (dengan mata), orang tuli mendengar.

– Berilmu terhadap tang-gung jawab (taklif) baginya atau kemung-kinan beriknu, sebingga jahil mutamakin dari ihnu tidak terampuni.

– Berkemungkinan dengan alat fi’il.

B. Ketergantungan Taklif pada Ilmu, Dhan, dan Amal

1. Ilmu dibagi menjadi:

a. Akal, seperti ihnu tentang Allah dan sifat-Nya, keadilan, kenabian, keimaman.

b. Sami (nosh), seperti syariat.

2. Dhan: seperti menentukan arah kiblat.

3. Amal: ibadah.

II. Persoalan Taqlid

Wajib bagi para mukallaf dalam beribadah dan bermuamalah untuk menjadi mujtahid atau muqallid atau muhtath. Ijtihad adalah mendapatkan hujjah (alasan, dalil) untuk hukum dengan malakah. Sedangkan taqlid adalah beramal atas dasar pandangan orang yang memiliki hujjah hukum syar ‘i.

Ijtihad memerlukan:

1. Pengetahuan akan Bahasa Arab

2. Pengetahuan akan Al-Quran

3. Ilmu Ushul

4. Ilmu Rijal/Dirayah

5. Fatwa orang-orang terdahulu

A. Keterangan Definisi

Makna lughawi (bahasa) dari qaladah adalah sesuatu yang diletakkan di pundak, baik di pundak sendiri ataupun orang lain. Hubungan antara makna ijtihad dan taqlid menjadi jelas manakala diletakkan pada orang awam yang menjadikan agama serta tindak-tanduk yang berhubungan dengan agamanya disandangkan kepada pundak pemberi fatwanya. Maka makna taqlid dalam fiqh adalah menjadikan agamanya turun dalam posisi penyandangan pada pundak faqih. Maka, mukallaf awam dalam posisinya adalah seperti melaksanakan hukum Allah yang benar, yang telah terjadi pembenaran. Karena ilmunya terhadap hal tersebut secara global, dia harus bersandarkan kepada hujjah, tidak ada jalan lain setelah tidak mampunya beramal dengan ikhtiyath – kecuali melalui fatwa. Maka tidak ada jalan keluar bagi tanggung jawabnya kecuali taqlid.

Terdapat beberapa definisi taqlid berdasarkan pandangan fuqaha dan ahli ushul, di antaranya sebagai berikut:

1. Bertindak (iltizam) atas dasar pandangan orang lain (Thabathaba’i).

2.Menerima pandangan orang lain tanpa dalil (fakhir)

3.Mengetahui hukum dari orang lain

4.Mengambil pandangan orang lain

5.Melakukan tindakan sendiri dengan pandangan orang lain.

Apapun makna taqlid dan perbuatannya, yang terpenting adalah bahwa ia adalah suatu permasalahan yang menyangkut kewajiban dimana untuk beramal berdasarkan/sesuai dengan fatwa mujtahid. Sebagaimana juga kewajiban mujtahid untuk beramal berdasarkan apa-apa yang dihasilkan dari istimbath-nya.

B. Motivasi Awam untuk Bertaqlid

Terdapat dua hal yang mendasar yang menjadi penyebab seorang awam harus setelah tidak mampunya beramal dengan ikhtiyath-kecuali melalui fatwa. Maka tidak ada jalan keluar bagi tanggung jawabnya kecuali taqlid bertaqlid:

Pertama:

Setelah seorang awam beriman kepada Allah, Allah tidak akan meninggalkannya dalam kejahatan dan keraguan. Maka diutuslah Nabi dan diturunkan-Nya kitab. Aturan syari’ at mengatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan perintah dan larangan yang telah ditulis dalam Kitab dan Sunnah akan mengeluarkan mereka dari lingkaran pemilih ketaatan dan aturan peribadatan, dengan predikat kufur atas nikmat. Ini mewajibkan atas mereka dosa dan siksa dari Allah.

Kedua:

Cara pelak-sanaan taklif tidak akan keluar dari dua hal berikut ini:

1. Mendapatkan ilmu untuknya dengan cara mengeluarkannya dari tempat sangkaannya dari kitab dan sunnah, serta mendapatkan hujjah atasnya dari kedua sumber itu. Inilah yang dinamakan ijtihad. 2. Berhati-hati terhadap kesemua kemungkinan yang membatalkan pelaksanaannya (dalam ibadah). Inilah yang dinamakan ihtiyath. Dengan tidak adanya kemungkinan mendapatkan hujjah untuk taklif bagi orang awam, dan tidak adanya kemungkinan untuk berihtiyath, serta tidak tahunya cara ber-ihtiyath, maka akal akan memutuskan dengan cara lain:

Taqlid. Yakni, menghubungkan (amalnya) kepada sesiapa yang memiliki hujjah atas hukum bagi dirinya. Inilah yang dinamakan taqlid: kembalinya jalur kepada ‘alim. ‘tidak ada yang lain kecuali akal. Begitulah alasan-rasionalnya manusia dalam hidupnya.

Muhaqqiq Khurasani mengatakan dalam Kifayah: “Kalau tidak, akan tertutuplah pintu ilmu (untuk kebenaran taqlid) secara mutlak bagi orang awam dengan ketidakmampuannya untuk mengetahui dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dengan juga tidak dibenarkannya taqlid baginya.   Kalau tidak, maka akan terjadi daur dan tasalsul.”

Kembalinya awam dari kalangan muslimin kepada para mujtahid yang beristimbath sebagai hukum Allah dari sumber-sumbernya, dalam hal haram dan halalnya Para Imam AS serta mengetahui hukum-hukum mereka, telah merapakan perjalanan yang dilalui kehidupan kaum muslimin sejak masa awal. Yakni, dari sisi dimana ketika dilihat dan didengar Para Imam Maksum tanpa adanya penentangan mereka; yang berarti diridhai dan dibenarkan mereka.

C. Beberapa Hukum Taqlid

Tidak ada keraguan bahwa pada dasarnya tidak ada kekuasaan dan wilayah seseorang atas orang lain, kecuali kekuasaan dan wilayah Allah SWT

Car a untuk mengetahui seorang mujtahid sebagai marji’ yang a ‘lam:

1. Mengujinya

2. Menanyakan kepada 2 (dua) orang adil yang layak menguji

3. Berkumpul (bergaul) dengannya

4. Mendengarkan pendapat kebanyakan yang dapat diambil manfaat (ilmu)nya bahwa dia a ‘lam

Cara mendapatkan fatwa dari marji’

1. Mendengar langsung

2. Mendengar dari 2 (dua) orang adil atau 1 (satu) orang yang dapat dipercaya

3. Merujuk langsung ke risalah amaliyah-nya, bila tak dimungkinkan kesalahannya

Tidak dipermasalahkan a’lamiyah (paling alim) dalam hal ruju’ (kembali) kepada mujtahid, kecuali dalam hal taqlid. Selain permasalahan tersebut (taqlid), maka dapat dikembalikan permasalahannya kepada faqih. Seperti masalah perwalian yatim, orang gila, dan wakaf, apabila tidak ada walinya. Atau, permasalahan wasiat apabila tidak ada wasih-nya.Karena, kalau kita perhatikan, keberadaan faqih dapat digolongkan menjadi:

1. Keberadaannya sebagai marji’ dalam hal taqlid dan berfatwa

2. Keberadaannya sebagai marji’ dalam hal qadi.

3. Keberadaannya sebagai wali dan pemimpin muslimin

Pembahasankeberadaanke-1 danke-2 merupakan satu pembahasan yang telah dibahas di atas, sementara untuk yang ke-3 dapat diketahui lebih lanjut.

Tidak ada keraguan bahwa pada dasarnya tidak ada kekuasaan dan wilayah seseorang atas orang lain, kecuali tekuasaan dan wilayah Allah SWT.   Karena Dialah Rabb, Malik, dan Tuhan mereka. Dia-yang mencipta dan memerintah. Pada-Nya kekuasaan dan penggunaan atas kepunyaan-Nya. Segala kehendak pengguna dan kekuasaan selain-Nya serta intervensi dalam hukum dan keputusan-Nya selalu memerlukan ketentuan-Nya. Sebagaimana ketentuan Allah terhadap Nabi dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisaa’ 59)

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih utama di dalam Kitab Allah dari pada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada auliya’ kalian. Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab.” (QS Al-Ahzab 6).

Maka dengannya, Nabi memiliki posisi yang mana pandangannya memiliki kekuasaan politik, ekonomi, qadhi, jihad, dan pengaturan permasalahan muslimin dan menyusunnya dalam semua aspek. Begitu juga fungsi Para Imam, yang satu setelah satunya, dalam wilayah dan pemerintahan berdasarkan ketentuan Allah. Sebagaimana kita pahami dalam tafsir ungkapan Ulil Amri, dan lain-lain.

Bagaimana halnya ketika dalam kondisi ghaibah (Imam Mahdi)? Apakah dapat dibuktikan bahwa faqih memiliki wilayah yang mutlak atau tidak? Ini dapat dijelaskan dengan:

1. Telah diketahui bahwa masalah yang paling penting adalah perlunya manusia dalam kehidupannya akan adanya seorang yang ahli politik dan wali dalam perihal kehidupannya, baik yang berkenaan dengan masalah politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Karena, tidak adadalamkehidupanmereka yanghampa dari pengatur mereka dan pengatur perihal kehidupan mereka. Hal inipun diungkap-kan oleh Amirul Mukminin: “Laa budda linnaasi min amiir” (“Adalah keharusan bagi manusia memiliki pemimpin”).

2. Merupakan suatu hal yang tidak rasional kalau dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, cukup, dan terakhir, tetapi syarat-syaratnya tidak me-nyempurnakan kehidupan manusia yang diwajibkanmengikutinya, sehinggaterpe-nuhilah semua aspek kehidupannya.

Sebagaimana dikatakan Rasul pada Haji Wada’: “Wahai manusia, apa-apa yang akan mendekatkan kalian kepada Allah dan menjauhkan kalian dari neraka, semuanya telah kuperintahkan; dan apa saja yang menjauhkan kamu dari Allah dan mendekatkan kepada neraka, sesungguhnya telah kularang tentangnya.”

Rasulullah SAWW, di masa hidup beliau, melaksanakan kepemimpinan dalam segenap aspek kehidupan: politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain, yang diperlukan manusia, sampai dengan pengangkatan Imam Ali AS dan imam-imam untuk umataya dalam hal keimanan dan politik. Ini tercermin dalam ayat: “Al yauma akmaltu lakum diinukum wa atmamtu ‘alaikum….”

3. Banyak riwayat Ahlul Bait yang menjelaskan pelbagai keberadaan wali untuk umat dan dengan kriteria serta hikmahnya.

Seperti dalam khutbah Imam Ali As ketika di Siffin. “Kedudukan mereka sebagai pemegang wasiat rahasia-Nya, pelindung urusan-Nya, sumber pengetahuan tentang Dia, lembah kitab-kitab-Nya dan gunung agama-NYA Dengan mereka Allah (SWT) meluruskan punggung agama yang bengkok menghilangkan getar anggota tubuhnya. (Nahjul Balaghah).

Sehingga dapat kita simpulkan:

1. Perlunya keberadaan wali untuk masyarakat.

2. Perlunya menjaga hak-hak dan berwali via verse.

3. Adanyakonsekuensipenentangan.

4. Sesungguhnya dengan memahami keyakinan atas dasar ungkapan dan ibarat-ibarat yang ada merupakan petunjuk bahwa wilayah dan wali serta sifat-sifatnya adalah faqih yang lengkap syaratnya. Maka pengertian wilayah terangkum dari ketentuan khabar dan hadits yang melihatnya merupakan dasar fiqh Syi’ah. Padanya, pembangunan Umat Islam terbukti pada faqih adil yang syar’i.

Pemahaman inipun merupakan suatu hal dari keyakinan kita tentang tahunya Rasul dan Para Imam bahwa akan terjadi ke-ghaib-an Imam Ke-12 yang berkepanjangan. Dengan itu pula terbuktilah keberadaan wilayah-nya faqih yang mutlak, ditambah lagi dengan riwayat yang tidak terbantah, baik matan maupun sanad, seperti bahwa “ulama adalah pewaris para nabi.”

Maka makna taqid dalam fiqh adalah menjadikan agamanya

turun dalam posisi penyandangan pada

pundak faqih

Haidar Ruhani

Leave a comment