Penyebab Keretakan Sunnah – Syi’ah;


Dalam kesempatan ini, kami ingin menjelaskan    mengenai    penyebab timbulnya     keretakan     dalam hubungan antara kedua kelompok:   Sunnah   dan   Syi’ah;   di samping yang telah kami ungkapkan   di   dalam  bab-bab  sebelum  ini   (terutama Bab  XI, XII, dan XIII). Tujuannya ialah membuat   diagnosis   mengenai penyakit yang menyebabkannya, agar kemudian dapat disusun terapi pemecahannya yang tepat. Untuk itu, bab ini kami bagi menjadi dua bagian.

Bagian Pertama

Bagian ini akan membicarakan tentang hal-hal yang mengganggu perasaan seorang Syi’i sehingga menyebabkannya hampir-hampir tak dapat bercampur, bersatu-padu dengan saudaranya yang Sunni. Yang terpenting di antaranya ialah:

(1)    Adanya kebiasaan pengkafiran, penghinaan, pencercaan dan ke-bohongan yang ditujukan kepada kaum Syi’ah, seperti telah Anda ikuti dalam bab-bab yang lalu (terutama bab XI, XII dan XIII).

(2)    Sikap saudara-saudara kami, Ahlus-Sunnah, yang senantiasa meng-abaikan mazhab Imam-Imam kami, dari kalangan Ahlui-Bayt, serta tidak adartya perhatian sedikit pun yang ditujukan kepada ucapan dan pendapat mereka di bidang ushul maupun furu”. Di bidang tafsir Al-Quran Al-Karim, kalangan Ahius-Sunnah tidak niau merujuk kepada penafsiran Ahlui-Bayt sedangkan mereka adalah “saudara kembar” Al-Quran. Kalaupun ada, jumlahnyajauh lebih sedikit daripada penafsiran yang berasal dari Muqatil bin Sulaiman, si dajjal penganut aliran tajsim. Demikian pula di bidang periwayatan hadis, tokoh-tokoh dari kalangan Ahlui-Bayt yang dijadikan hujjah (perawi yang dipercayai) jauh lebih sedikit daripada yang berasal dari kalangan Khawarij, Musyabbihah, Murji-ah dan Qadariyah. Dan jika Anda hitung semua hadis — yang tercantum dalam kitab-kitab hadis Ahlus-Sunnah — yang dirawi-kan oleh tokoh-tokoh keturunan Nabi saw. niscaya jumlahnya tidak akan sebanyak hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari sendiri dari riwayat slkrimah, si pendusta yang menganut aliran Khawarij.

Yang lebih menyakitkan lagi ialah sikap Al-Bukhari yang tidak mau berhujjah — dalam kitab Shahih-nya. — dengan para Imam Ahlul-Bayt An-Nabawiy. Tidak satu pun hadis yang dirawikannya dari Ashr Shadiq, Al-Kazhim, Ar-Ridha, Al-Jawad, Al-Hadiy dan Al-Hasan Al-‘Askariy (Imam ini hidup semasa dengan Al-Bukhari). la juga tidak merawikan dari Al-Hasan bin Al-Hasan (bin Ali bin Abi Thalib).1) Tidak pula dari Zaid bin Ali bin Husain, Yahya bin Zaid, Muhammad (An-Nafs Az-Zakiyyah) bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Ar-Ridha bin Hasan (cucu Nabi saw.) atau dari saudaranya: Ibrahim bin Abdul­lah. Tidak pula dari Al-Husain (Al-Fukhkhiy) bin Ali bin Al-Hasan bin Al-Hasan, Yahya bin Abdullah bin Al-Hasan, Idris bin Abdullah, Mu­hammad bin Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad (yang dikenal dengan nama Ibn Thabathaba) bin Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Hasan dan saudaranya: Al-Qasim Ar-Rassiy. Tidak pula dari Muhammad bin Muhammad bin Zaid bin Ali dan Muhammad bin Al-Qasim bin Ali bin Umar Al-Asyraf bin Zain Al-‘Abidin (Muhammad ini dikenal pula dengan julukannya: Shahib Ath-Thaliqan dan ia hidup semasa dengan Al-Bukhari).2) Tidak pula dari tokoh-tokoh Ahlul-Bayt selain mereka, seperti Abdullah bin Al-Hasan, Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq, dan lainnya yang termasuk tsaqal (peninggalan berharga) Rasulullah saw. di antara umatnya. Juga tidak satu hadis pun yang dirawikan oleh Al-Bukhari dari cucu kesayangan Rasulullah yang tertua, pemuka para pemuda penghuni surga: Al-Hasan r.a. Sementara itu, Al-Bukhari ber­hujjah dengan riwayat tokoh kaum Khawarij dan yang amat kuat ke-benciannya terhadap Ahlul-Bayt: ‘Imran bin Hath than yang pernah memuji Abdurrahman bin Muljam (pembunuh Amir Al-Mukminin Ali a.s.) dalam syairnya:

Aduhai, hantaman pedang dari orang bertakwa tiada bertujuan selain ridha Tuhan SangPemilik ‘Arsy Setiap kali aku menyebutnya, senantiasa kuingat seorang yang paling berpahala di atas neraca Akhirat.

Demi Tuhannya Ka’bah, Pengutus para nabi, di sini aku terpaksa berhenti sejanak. Sungguh perasaanku diliputi keheranan bercampur kekecewaan karena pikiranku tak pernah membayangkan bahwa masalahnya sampai sedemikian gawat. Namun Ibn Khaldun telah menyingkapkan rahasia yang menutupi. Dalam Muqaddimah-nya, pada pasal yang ditulisnya mengenai Ilmu Fiqh dan setelah menyebutkan mazhab-mazhab Ahlus-Sunnah, ia berkata: “Adapun Ahlul-Bayt telah bersikap ‘ganjil’ (syadz) menyendiri dengan pelbagai mazhab yang mereka ciptakan. Demikian pola fiqi yang hanya khusus bagi mereka, dan dibangun atas dasar pendapat mereka dalam hal mengecam sebagi-an dari para Sahabat.3) Juga berdasarkan pendapat mereka tentang ada-nya ‘ishmah (penjagaan dari segala dosa dan kesalahan) bagi para imam serta tidak diperkenankannya pendapat lain yang berlawanan dengan mereka. Semuanya itu merupakan dasar-dasar yang amat lemah.”4)

Berkata Ibn Khaldun selanjutnya: “Bersikap ‘ganjil’ seperti itu pula yang dilakukan oleh kaurn Khawarij. Tetapi mayoritas kaum Muslimin tidak menghiraukan mazhab-mazhab mereka, bahkan meng-ingkarinya dan mengecamnya dengan keras. Oleh sebab itu, kami tidak mengetahui sesuatu dari mazhab mereka,5) dan tidak pula meriwayat-kan kitab-kitab mereka. Semua itu tidak ada sedikit pun bekasnya selain di tempat-tempat hunian mereka. Demikian pula kitab-kitab kaum Syi’ah, hanya terdapat di negeri-negeri mereka, atau di negeri-negeri yang pernah dikuasai oleh pemerintahan mereka, di Maghrib dan Masyriq serta Yaman. Seperti itu pula keadaan kaum Khawarij. Setiap kelompok dari mereka (yakni Syi’ah dan Khawarij) mempunyai buku-buku dan pikiran-pikiran aneh dalam bidang fiqh , . .”

Demikianlah uraian Ibn Khaldun. Simaklah dengan saksama agar Anda merasakan keanehan-keanehan yang ada padanya.

Kemudian   ia   menyebutkan   tentang   pelbagai   mazhab   Ahlus-Sunnah. Dikatakan olehnya bahwa mazhab Abu Hanifah tersebar di Irak; mazhab Malik di Hijaz; mazhab Ahmad di Syam dan juga di Baghdad; dan mazhab Syafi’i di Mesir.

Setelah itu ia berkata: “Kemudian lenyaplah fiqh Ahlus-Sunnah di Mesir dengan munculnya kekuasaan kaum Rafidhah. Maka semarak-lah fiqh Ahlul-Bayt di sana6) dan reduplah yang selainnya. Hal ini ber-langsung sampai hancurnya kekuasaan kaum ‘Abidiyyin dari kalangan Rafidhah dengan kedatangan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub (Al-Ayyubi). Sejak itu kembalilah fiqh Syafi’i …”

Demikianlah Ibn Khaldun dan orang-orang yang seperti dia meng-anggap diri mereka berjalan di atas hidayah Allah dan Sunnah Rasulul-lah, sedangkan Ahlul-Bayt adalah orang-orang “ganjil”, ahli bid’ah, sesat dan rafidhah.

Tidaklah mengherankan apabila si Muslim menjadi kebingungan setelah mendengar ucapan-ucapan seperti ini. Bahkan tak mengheran­kan seandainya ia mati akibat kesedihan atas Islam dan para penganut-nya, setelah menyaksikan keadaan yang melampaui batas ini. Namun tak ada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan Allah SWT. La haula wa la quwwata ilia billah Al-‘Aliy Al-‘Azhim,

Bagaimana mungkin Ibn Khaldun menyatakan bahwa Ahlul-Bayt adalah orang-orang “ganjil”, sesat dan ahli bid’ah sedangkan mereka itulah yang telah dihilangkan dosa-dosanya dan disucikan sesuci-suci-nya oleh Allah, sebagaimana difirmankan-Nya dalam Al-Quran, dalam wahyu yang diturunkan melalui Jibril?7) Bukankah mereka itulah yang diajak-serta oleh Nabi saw. — atas perintah Tuhannya — ketika be-rangkat untuk ber-mubahalah (berdoa untuk saling mengutuk) melawan delegasi kaum Nasrani?8) Bukankah mereka itulah yang wajib dicintai sesuai dengan nosh Al-Quran?9) Bukankah mereka itulah yang wajib di-perwalikan (dijadikan wali, pemimpin yang dicintai dan diikuti)?10)

Bukankah mereka itulah yang diumpamakan sebagai “bahtera ke-selamatan” bagi umat11) apabila gelombang-gelombang kemunafikan datang menerjang; atau jaminan keamanan bagi mereka apabila badai perpecahan meniup kencang?12) Dan mereka itulah “pintu pengampun-an”13) yang membuat siapa saja yang memasukinya pasti merasakan ketenangan; atau seperti buhul tali pengikat keimanan yang takkan terurai sepanjang zaman. Mereka itulah salah satu di antara dua pe-ninggalan Nabi saw. yang amat berharga (tsaqalain}, yang takkan sesat siapa saja yang berpegang erat dengannya dan takkan beroleh petunjuk siapa saja yang mengabaikannya.14) Rasulullah saw. telah memerintahkan agar kita jadikan mereka seperti kedudukan kepala bagi jasad,15) atau bahkan seperti kedudukan kedua mata di kepala. Beliau juga melarang kita mendahului mereka ataupun tertinggal dari mereka.16) Mereka itulah — menurut beliau — para penjaga kemurnian agama. Pada setiap generasi dari umat ini selalu ada orang-orang dari kalangan mereka (Ahlul-Bayt) yang menghilangkan akibat penyimpangan dari agama yang sebeiumnya telah dilakukan oleh kaum yang sesat.17) Beliau juga telah mengumumkan bahwa mengenal mereka mendatangkan keselamatan dari neraka,18) mencintai mereka adalah “paspor” untuk meniti shirath sedangkan kesetiaan dalam memperwalikan mereka men-jauhkan dari siksa (di akhirat). Amal-amal saleh pun tak berguna bagi para pelakunya manakala tak disertai dengan pengakuan akan hak mereka (Ahlul-Bayt).19) Dan takkan bergeser kedua kaki seseorang pada Hari Kiamat sampai ia selesai ditanya tentang kecintaannya kepada mereka.20) Dan sekiranya seseorang menghabiskan usianya dalam ke-adaan berdiri, duduk, rukuk atau sujud di antara rukun (sudut Ka’bah) dan maqam (tempat berdirinya Ibrahim a.s. ketika membangun Ka’bah), sementara ia tidak memperwalikan mereka, maka ia akan masuk neraka juga.21)

Nah, patutkah — setelah semua ini — umat Islam menapak selain jalan mereka? Wajarkah apabila seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mengikuti sesuatu selain “sunnah” mereka?

Sungguh aneh, bagaimana Ibn Khaldun menggolongkan mereka dalam kelompok ahli bid’ah, dengan cara terus terang tanpa tedeng aling-aling, tanpa sedikit pun rasa malu atau cemas?!

Agar bersikap seperti itukah ia diperintahkan oleh ayat al-qurba (Asy-Syura: 23), At-Tath-hir (Al-Ahzab 33), ulil-amri (An-Nisa: 59), al-itisham bi habl Allah (Ali ‘Imran: 103)?! Atau agar bersikap seperti itukah ia diperintahkan oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya: . . . dan tetaplah kamu sekalian bersama “orang-orang yang tulus” …(At-Taubah 119)? Atau seperti itukah makna yang terkandung dalam perintah-perintah Rasulullah saw. dalam nash-nash beliau yang di-sepakati kesahihannya? Sungguh kami telah cukup menelitinya dengan pelbagai saluran dan sanadnya, sebagaimana tercantum dalam buku kami, Sabil Al-Mu’minin, demikian pula para ulama kami yang ter-kemuka, dalam buku-buku karangan mereka. Silakan membacanya agar Anda benar-benar mengetahui hakikat Ahlul-Bayt serta kedudukan mereka dalam agama Islam.

Betapapun juga, mereka itu tidak mempunyai dosa yang patut menimbulkan perasaan antipati terhadap mereka. Dan mereka itu bukanlah orang-orang bodoh sehingga menyebabkan mereka diabaikan begitu saja. Maka tidakkah lebih wajar seandainya para penganut mazhab yang empat mengutip pula mazhab Ahlul-Bayt dalam perkara-perkara yang diperselisihkan, sebagaimana mereka mengutip pelbagai pendapat dalam mazhab-mazhab lain yang tidak mereka jadikan pegang-an?

Namun dalam kenyataannya, mereka tidak mau memperlakukan Ahlul-Bayt seperti itu dalam masa-masa yang mana pun. Tetapi sebalik-nya, seolah-olah Ahlul-Bayt itu tidak pernah diciptakan Allah SWT, atau mereka itu adalah orang-orang yang tak pernah menyandang sedikit pun ilmu dan hikmah.

Kalaupun mereka menyebutkan tentang Ahiul-Bayt, maka yang demikian itu dalam rangka mencaci syi’ah (para pendukung) mereka dengan bermacam-macam penghinaan dan fitnahan, seperti telah Anda ikuti dalam bab-bab yang lalu.

Namun, bukankah kini, zaman permusuhan dan kezaliman telah berlalu, digantikan dengan zaman kasih sayang dan persaudaraan? Tidakkah masanya telah tiba bagi seluruh kaum Muslim untuk me-masuki kota ilmu nabawiy melalui “pintunya”? Bukankah saatnya kini telah datang bagi mereka untuk mendatangi “pintu pengampunan” dan berlindung di bawah naungan yang aman, dengan ikut berlayar di atas bahtera Ahlul-Bayt dan bersahabat dengan para pendukung mereka? Kiranya perselisihan paham antara kedua kelornpok Muslim kini telah kian menyempit; sinar fajar pun telah terbit menyinari mereka semua, mempererat ikatan persaudaraan di antara mereka. Maka segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Bagian Kedua

Bagian ini membicarakan tentang hal-hal yang mengganggu perasa­an Ahlus-Sunnali dan menyebabkan mereka hampir-hampir tak dapat bersatu padu dengEfn saudara-saudara mereka, kaurn Syi’ah.

Pada hakikatnya, semua itu adalah hal-hal yang dituduhkan ke-pada kami (kaum Syi’ah) tanpa dasar kebenaran, tetapi semata-mata akibat fitnahan yang dilontarkan pleh para pendusta. Anda telah me-nyimak — dalam bab-bab yang lalu — sebagian besar darinya, dan

semoga hal itu mampu memuaskan hati Anda. Namun masih tersisa satu masalah yang amat pelik dan sulit, yaitu masalah pencercaan ter­hadap para Sahabat Nabi (semoga Allah meridhai mereka).

Masalahnya bersumber pada sekelompok kaum ghulat (ekstrem) yang seringkali dimaksud ketika predikat “Syi’ah” disebutkan. Seperti misalnya, kelompok Al-Kamiliyyah yang membenci seluruh Sahabat (radhiallahu   ‘anhum)   dan  mencerca   semua  kalangan salaf (tokoh-tokoh Muslim terdahulu). Maka orang yang tidak mengerti menyangka bahwa seperti itulah pendapat kaum Syi’ah secara keseluruhan, lalu ia membenci semua kelompok mereka, tanpa membeda-bedakan antara yang baik dan yang jahat, atau antara yang bersalah dan yang tidak. Fadahal, sekiranya ia mengetahui pendapat kaum Imamiyah dan mem-baca ucapan-ucapan mereka mengenai masalah ini, niscaya ia akan menyadari   bahwa   pendapat   kaum   Imamiyah   adalah  yang  paling moderat  (tengah-tengah); karena mereka tidak bersikap keterlaluan dalam menilai para Sahabat seperti yang dilakukan oleh kaum ghulat, tetapi juga tidak berkelebihan dalam menyanjung mereka, seperti yang dilakukan oleh jumhur (mayoritas Ahlus-Sunnah).

Betapa mungkin tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dapat dilekatkan kepada kaum Imamiyah, sedangkan mereka ini dalam hal ber-tasyayyu’ (menganut aliran Syi’ah) hanyalah rnengikuti tokoh-tokoh besar dari kalangan para Sahabat. Hal ini dapat diketahui oleh para ami yang telah mempelajari buku-buku biografi para Sahabat (karangan para penulis Ahlus-Sunnah — Penerj.) seperti Al-Isti’ab, Al-Ishabah dan Usd Al-Ghabah.

Demi melengkapi faedah dan mencapai tujuan, di bawah ini kami sebutkan beberapa nama para Sahabat yang kebetulan kami ingat, sedangkan mereka itu termasuk syi’ah (para pembela dan pendukung) Ali a.s. Agar Anda ketahui bahwa merekalah yang kami jadikan teladan dan sikap merekalah yang kami jadikan anutan. Mudah-mudahan saja kami berkesempatan di lain waktu, untuk mengkhususkan sebuah buku yang menjelaskan  secara lebih terinci tentang ke-syi’ah-an mereka. Atau barangkali  ada di  antara para ilmuwan pen-tahkik yang men-dahului kami dalam menyusun buku seperti itu, sehingga paling sedikit, kami ikut mendapatkan kehormatan berkhidmat kepadanya, dengan menyebutkan nama-nama mereka dalam bab ini.

Nama-nama di bawah ini kami susun sebagai berikut:*) Aban bin Sa’id bin Al-‘Ash Al-Amawiy. ‘Abbas bin’Abdul-Muththalib. ‘Adiy bin Hatim Ath-Tha-iy. ‘Abdullah bin ‘Abbas. ‘Abdullah bin ‘Abd Al-Madani Al-Haritsiy. ‘Abdullah bin Abi Rafi’. ‘Abdullah bin Abi Sufyan bin Al-Harits bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Abdullah bin Badil Al-Khuza’iy.

*)     Dalam buku aslinya, ditulis sesuai urutan abjad Hija-iyah — peneij.

Abdullah bin Dabbab Al-Mid-hajiy.

‘Abdullah bin Hanin bin Asad bin Hasyim.

‘Abdullah bin Hawalah Al-Azdiy.

Disebutkan dalam buku Amal Al-Amil, jilid I.

‘Abdullah bin Ja’far.

‘Abdullah bin Ka’b Al-Haritsiy.

‘Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt At-Tamimiy

‘Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzaliy.

‘Abdullah bin Naufal bin Al-Harits bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Abdullah bin Rabi’ah bin Harks bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Abdullah bin Thufail Al-‘Amiriy.

‘Abdullah bin Sahl bin Hunaif.

‘Abdullah bin Salamah Al-Kindiy.

‘Abdullah bin Warqa’As-Saluliy.

‘Abdullah bin Yaqthur.

Dalam Al-Ishabah disebutkan namanya adalah Ibn Yaqazhah. la adalah saudara sepersusuan Al-Husain bin AH r.a. dan gugur dalam membelanya.

‘Abdullah bin Zubair bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Abdurrahman bin’Abbas bin’Abdul-Muththalib.

‘Abdurrahman bin ‘Abd Rab Al-Anshariy.

Disebutkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam buku Al-Muwalah sebagai seorang di antara mereka yang mendengar nash Al-Ghadir, kemudi-an ikut bersaksi bagi Amir Al-Mukminin Ali ketika peristiwa “kesaksian di serambi masjid”. (Hal ini disebutkan dalam Al-Ishabah dan lainnya).

‘Abdurrahman bin Abza Al-Khuza’iy.

‘Abdurrahman bin Badil Al-Khuza’iy.

‘Abdurrahnlan bin Hasal Al-Jumahiy.

‘Abdurrahman bin Khirasy Al-Anshariy.

‘Abdurrahman bin As-Sa-ib Al-Makhzumiy. /

Abu Fudhalah Al-Anshariy.

Pengarang Al-hti’ab dan Al-Ishabah merawikan dalam bagian riwayat hidup Abu Fudhalah dari putranya, bahwa ia pernah men­dengar Ali r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah memberitahukan kepadaku bahwa aku tidak akan mati sebelum aku diangkat sebagai Amir (penguasa negeri), kemudian berlumur-an darah dan sini sampai ke sini (ia menunjuk ke mata dan kepala-nya).” Berkata Fudhalah (putra Abu Fudhalah) selanjutnya: “Maka ayahku kemudian mendampingi beliau (Ali r.a.), sampai ia (ayahku) terbunuh di Shiffin.” Abu Fudhalah termasuk salah seorang pejuang Badr. Abu Laila Al-Ghifariy.

(Tidak kami jumpai nama aslinya). Dalam biografinya, yang ter-iiuiiii dalam buku Al-Ishabah, Abu Ahmad dan Ibn Mandah mniwayalkan darinya, bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda:

“Akan datang fitnah (kekacauan) sepeninggalku. Jika hal itu ter-jadi, ikutilah Ali bin Abi Thalib. la adalah orang pertama yang ber-iman kepadaku dan orang pertama yang berjabatan tangan de-nganku kelak pada Hari Kiamat. Dialah Ash-Shiddiq Al-Akbar (yang paling tulus) dan Al-Faruq (yang menjelaskan antara yang hag dan bathil bagi umat ini), dan ia adalah Pemimpin Utama kaum Mukmin.” (Al-Hadits}. Ibn ‘Abdil-Barr juga merawikannya dalam riwayat hidup Abu Laila Al-Ghifariy.

Abu Mundzir.

Abu Rafi’ Al-Qibthiy.

Dia adalah man la (bekas budak) Rasulullah saw. Nama aslinya, Aslam atau Ibrahim. Ada pula yang menyatakan: Hurmuz atau Tsabit. la mempunyai beberapa anak cucu, semuanya termasuk pengikut dan pencinta Ahlul-Bayt sepenuhnya. Nama anak-anak-nya, Rafi’, Hasan, .Mughirah dan ‘Ubaidullah (yaitu orang yang pernah menulis daftar lengkap nama-nama para Sahabat Nabi yang ikut berperang bersama Ali r.a. dalam peristiwa Shiffin, yang kemudian dikutip oleh pengarang buku Al-Ishabah dan lainnya). Juga Ali (putra Abu Rafi’) yang mengarang buku di bidang ilmu fiqih berdasarkan mazhab Ahlul-Bayt. Itulah buku fiqih pertama dalam masa Islam yang dijadikan pegangan setelah Shahifah Imam Ali r.a. Adapun cucu-cucu Abu Rafi’ ialah: Hasan, Saleh, dan ‘Ubaidullah (ketiganya putra Ali bin Abu Rafi’). Dan Fadhl bin ‘Ubaidullah bin Abu Rafi’. Semuanya berketurunan baik-baik.

Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib.

Saudara sepupu Rasulullah saw. dan juga saudara sepersusuan beliau. Keduanya pernah disusui oleh Halimah As-Sa’diyah.

‘Ala’ bin ‘Amr Al-Anshariy.

‘Alba’ bin Haitsam bin Jarir.

‘Ali bin Abi Rafi’ Al-Qibthiy.

‘Amir (Abu Thufail) bin Watsilah Al-Kinaniy.

‘Ammar bin Abi Salamah Ad-Dalaniy.

Dalam Al-Ishabah disebutkan bahwa ia gugur sebagai syahid ber­sama Al-Husain bin Ali r.a.

‘Ammar (Abu Al-Yaqzhan) bin Yasir.

‘Amr bin Abi Salamah.

Putra Ummu Salamah yang dipelihara oleh Nabi saw.

‘Amr bin Anas Al-Anshariy.

‘Amr bin Farwah bin ‘Auf Al-Anshariy.

‘Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’iy.

‘Amr bin Hubair Al-Makhzumiy.

‘Amr bin Muhshan.

‘Amr bin Murrah An-Nahdiy.

‘Amr bin Salamah Al-Muradiy.

Ibn Hajar, dalam Al-Ishabah, menyebutnya sebagai orang yang ter bunuh bersama Hujur bin ‘Adiy. Hal ini diragukan sebagaimana yang tentunya diketahui oleh para ahli ilmu.

‘Amr bin Syarahil.

‘Amr bin-‘Umais bin Mas’ud.

‘Amr bin ‘Uraib Ai-Hamdaniy.

Anas bin Al-Harts (atau Al-Harits bin Nabih.)

Dialah yang mendengar Rasulullah saw. bersabda (sebagaimana yang disebutkan dalam buku Al-Ishabah): “Putraku ini (yakni Al-Husain bin Ali) akan terbunuh di suatu tempat yang dinamakan Karbala. Maka barangsiapa di antara kalian mengalami masa itu, hendaknya ia membelanya.” (Berkata pengarang Al-Ishabah}: “Di kemudian hari (yakni ketika terjadi peristiwa pembantaian Al-Husain), Anas bin Harits ikut berjuang di Karbala dan terbunuh di sana bersama Al-Husain r.a.” Demikian pula tersebut dalam buku Al-Isti’ab.

Anas bin Mudrik AI-Khats’amiy Al-Aklabiy.

‘Antarah As-Salamiy Adz-Dzakwaniy.

‘Aqil bin Abi Thalib. \

Aslam bin Bujrah As-Sa’idiy.

Aslam bin Al-Harits bin Abdui-Muththalib Al-Hasyimiy. Dia adalah saudara Naufal.

Aswad bin ‘Abs bin Asma’ At-Tamimiy.

‘Athiyyah.

Al-Isma’iliy menyebutnya di antara para Sahabat.

‘Auf (Misthah) bin Utsatsah Al-Muththalibiy.

‘Aun bin Ja’far bin Abi Thalib.

A’yan bin Dhabi’ah bin Najiah Ad-Darimiy At-Tamimiy.

Bara’ bin ‘Azib bin Al-Harits Al-Anshariy.

Disebutkan oleh Ibn As-Syuhnah dalam Tarikh-nya sebagai salah seorang yang bersama Ali r.a. menolak untuk segera memberikan bay ‘at kepada Abu Bakar r.a. pada hari Saqifah.

Bara’ bin Malik.

Saudara Anas bin Malik Al-Anshariy.

Barid Al-Aslamiy.

Ketika ia gugur sebagai syahid, Amir Al-Mukminin Ali r.a. me-mujinya dalam syair beliau:

Pahala Allah sebesarnya terlimpah ‘: ‘ ‘ atas keluarga Aslamiy yang gagah perkasa gugur di medan laga di sekitar (Bani) Hasyim. Barid, Abdullah, Munqidz dan kedua putra Maiik semuanya ter-golong para ksatria yang mulia.

Barid bin Hushaib Al-Aslamiy. :

Basyir (saudara Wada’ah) bin Abu Zaid Al-Anshariy.

la dan saudaranya itu ikut berperang dalam peristiwa Shiffin di pihak Ali r.a. Ayah rnereka gugur dalani perang Uhud.

Bilal bin Rabah AI-Habasyi.

Dhahhak (Al-Ahnaf) bin Qais At-Tamkniy.

Seorang yang dijadikan perumpamaan dalam kesabaran dan ke-bijakan. la dilahirkan di masa Nabi saw. masih hidup, namun ia tidak berjumpa dengan beliau. Kendatipun demikian, beliau men-doakan baginya.

Daud (Abu Laila) bin Bilal (ayah Abdurrahman Al-Anshariy).

Fadhl bin’Abbas bin’Abdul-Muththalib. ‘

Fakih bin Sa’d bin Jubair Al-Anshariy. “Vs

Farwah bin’Amr bin Wadaqali Al-Anshariy.

Habib bin Muzhahir bin Ri-ab bin Asytar Hajun.

Dia gugur di hadapan Al-Husain r.a. la adalah seorang tabi’i yang lahir pada masa Nabi saw. tetapi tidak berjumpa dengan beliau. Ibn Hajar menyebut namanya di bagian III dalam bukunya Al-Ishabah.

Hajjaj bin’Amr bin Ghuzayyah Al-Anshariy.

Hakam bin Mughffal bin’Auf Al-Ghamidiy,

Gugur sebagai syahid pada peristiwa Nahrawan.

Hakim bin Jabalah Al-‘Abdiy.

Dialah yang berjasa pada peristiwa Al-Jamal Al-Ash-ghar dan kemudian gugur sebagai syahid. Telah gugur bersamanya pada hari itu, putranya bernama Asyraf serta saudara Hakim bernama Ra’l bin Jabalah di antara tujuh puluh orang dan keluarganya. Peris­tiwa itu terjadi pada tanggal 25 Rabiul-Akhir 36 H, sebelum kedatangan pasukan Amir Al-Mukminin Ali r.a. di kota Basrah. Dan setelah itu, pecahlah perang Jamal Al-Akbar

Halal bin Abi Halah. ‘ (Termasuk juga, putranya Hind) At-Tamimiy.

Hani bin Nayyar ” Sekutu Al-Anshar.

Hani bin ‘Urwah bin Fadhfadh bin Nimran bin ‘Abd Yaghuts AUluradi. la gugur sebagai syahid ketika membela Muslim bin ‘Aqil, utusan Al-Husain bin Ali r.a. Disebutkan dalam bagian III, buku Al-Ishabah.

Hanzhalah bin Nu’man bin ‘Amir Al-Anshariy.

Harb Al-Maziniy (Abu Al-Ward bin Qais). ;

Harits bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib.

Harits bin’Amr bin Hizam Al-Khazrajiy.

Harits (Abu Qatadah) bin Rab’iy bin Baldahah Al-Anshariy. Harits bin Hatib bin ‘Amr Al-Anshariy.

Harits bin Naufal bin Harits bin’Abdul-Muththalib.

Harits bin Nu’man bin Umayyah Al-Ausiy.

Harits bin Zuhair Al-Azdiy.

Hassan bin Khauth (atau Khuth) bin Mis’ar Asy-Syaibaniy.

la berasal dari keluarga yang semua anggotanya adalah orang-orang pilihan. la bersama AM r.a. pada peristiwa Jamal. Demikian pula kedua putranya, Harits dan Bisyr, saudaranya, Bisyr bin Khauth, cucunya, ‘Anbas bin Harits bin Hassan, saudara sepupunya, Wuhaib bin ‘Amr Khauth, sepupunya yang lain, Aswad bin Bisyr bin Khauth, dan kemenakannya, Husain dan Hudzaifah bin Makhduj bin Bisyr bin Khauth. Pemegang panji waktu itu adalah Husain bin Makhduj bin Bisyr bin Khauth. Ketika ia gugur, panji itu diambil alih oleh paman mereka, Aswad, dan ia pun gugur lalu diambil alih oleh ‘Anbas bin Harits bin Hassan yang tersebut di atas. la pun gugur sehingga panji diambil alih oleh Wuhaib bin ‘Amr bin Khauth sampai ia gugur! (Demikian itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Sungguh Allah adalah Pemberi Karunia yang agung!).

Hasyim Al-Mirqal bin ‘Utbah bin Abi Waqqash Az-Zuhriy.

Hazim bin Abi Hazim Al-Ahmasiy.

Hudzaifah bin Al-Yaman Al-‘Absiy.

Hujur bin ‘Adiy Al-Kindiy.

Jabalah bin ‘Amr bin Aus As-Sa’idiy.

Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshariy.

Ja’dah bin Hubairah Al-Makhzumiy.

Dan ibunya, Ummu Hani.saudara sekandung Amir Al-Mukminin Ali r.a.

Ja’far bin Abu Sufyan bin Al-Harits bin ‘Abdul-Muthathalib Al-Hasyi-

miy.

Jahjah bin Sa’id Al-Ghifariy. Jarad bin Malik bin Nuwairah At-Tamimiy.

(Terbunuh pada peristiwa Al-Bithah bersama ayahnya). Jarad bin Thuhyah Al-Wahidiy.

Ayah Syabib bin Jarad yang gugur sebagai syahid dalam peristiwa Tuff bersama Al-Husain bin Ali, penghulu para syahid. Jariah bin Qudamah As-Sa’diy. Jariah bin Zaid.

Jubair bin Al-Hubab Al-Anshariy. Jundab bin Junadah.

Dikenal dengan nama Abu Dzarr Al-Ghifariy. Ka’b bin ‘Amr bin ‘Abbad Al-Anshariy.

Juga dikenal dengan julukannya, Abu Al-Yusr. Khalid bin Mu’ammar As-Sadusiy. Khalid bin Rabi’ah Al-Jadaliy. Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash Al-Amawiy.

Disebutkan namanya oleh Ibn Syuhnah dalam Tarikh-nyz sebagai salah seorang yang — bersama Ali r.a. — menolak untuk segera me-ngakui khilafah Abu Bakar r.a. Khalid bin Al-Walid Al-Anshariy. Khalid bin Zaid (Abu Ayyub) Al-Anshariy. Khalifah bin ‘Adiy Al-Bayadhiy. Kharsyah bin Malik Al-Audiy.

Khabbab bin Al-Aratt At-Tamimiy (atau Al-Khuza-‘iy). Khuwailid bin’Amr Al-Anshariy.

Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshariy (Dzu Asy-Syahadatain).

Malik dan Mutimm.

Keduanya putra Nuwairah.

Malik bin At-Tayyihan.

Mikhnaf bin Sulaim.

Datuk Abu Mikhnaf Al-Ghamidiy.

Miqdad bin ‘Amr Al-Kindiy.

Mirdas bin Malik Al-Aslamiy.

Miswar bin Syaddad bin ‘Umair Al-Qurasyiy.

Mughirah bin Naufal bin Harits bin ‘Abdul-Muththalib.

Muhajir bin Khalid bin Al-Walid Al-Makhzumiy.

la menuruni kecintaannya kepada Ali r.a. dari ibunya, seorang Syi’iy. (Si Ibu ini adalah putri Anas bin Mudrik bin Ka’b yang telah kami sebutkan namanya di bawah huruf A).

Muhammad bin Abu Bakar (Ash-Shiddiq) bin Abu Quhafah At-Taimiy.

Musayyab bin Najiyyah bin Rabi’ah Al-Fizariy.

la gugur dalam peperangan demi menuntut balas atas kematian Al-Husain bin Ali r.a., bersama Sulaiman bin Shard Al-Khuza’iy.

Nu’aim bin Mas’ud bin ‘Amir Al-Asyja’iy.

Nadhlah bin’Ubaid Al-Aslamiy.

Qais bin Abi Qais.

Qais bin Kharsyah Al-Qaisiy.

Qais bin Maksyuh Al-Bajaliy.

Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah Al-Anshariy.

Qardhah bin Ka’b Al-Anshariy.

Qutsam bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib.

Rabi’ah bin Qais Al-‘Adwaniy.

Rafi’ bin Abi Rafi’ Al-Qibthiy.

Rifa’ah bin Rafi’bin Malik Al-Anshariy.

Sa’d bin ‘Amr Al-Anshariy.

Sa’d bin Harits bin Shummah Al-Anshariy.

Sa’d bin Mas’ud Ats-Tsaqafiy.

la adalah paman Al-Mukhtar.

Sa’d bin Wahb Al-Khuyaniy.

Sahl bin Hunaif Al-Anshariy.

Sa’id bin Harits bin Abdul-Muththalib.

Sa’id bin Namran Al-Hamdaniy.

Sa’id bin Naufal bin Harits bin ‘Abdul-Muththalib.

Sa’id bin Sa’d bin ‘Ubadah Al-Anshariy.

Adapun ayahnya, yaitu, Sa’d bin ‘Ubadah, disebutkan sebagai seorang Syi’iy oleh pengarang buku Ad-Darajat Ar-Rafi’ah fi Tha-baqat Asy-Syi’ah; namun kami meragukan keterangan itu.

Salamah bin Abi Salamah.

Anak tiri Nabi saw. dari Ummu Salamah.

Salman Al-Farisiy. ;

Salman bin Tsumamah Al-Ja’fiy.

Sammak bin Kharsyah.

Sa’nah bin ‘Uraidh At-Timawiy.

Yang pernah berdialog dengan Mu’awiyah di kota Madinah, dan di dalam dialog itu tersebut nama Ali r.a. Maka Mu’awiyah ketika itu merasa bahwa Sa’nah telah merendahkan kedudukan Mu’awiyah sehingga ia berkata: “Kukira orang ini telah pikun, maka perintah-kan kepadanya agar ia pergi.” Jawab Sa’nah: “Tidak, aku tidak pikun. Tetapi aku mohon darimu wahai Mu’awiyah — demi Allah — tidakkah Anda ingat ketika kita sedang duduk di hadapan Rasul-ullah saw., lalu Ali datang dan beliau menerimanya seraya ber-sabda: ‘Allah memerangi siapa yang memerangimu dan memusuhi siapa yang memusuhimu’.” Mendengar itu, Mu’awiyah segera me-mutuskan pembicaraan tersebut dan mengalihkan ke topik lain-nya.

Shabih maula Ummu Salamah.

Shaify bin Rab’iy Al-Ausiy.

Shaleh Al-Anshariy As-Salimiy.

Sha’sha’ah dan Shaihan, kedua putra Shauhan.

Sinan bin Syaf’alah Al-Ausiy.

Yang meriwayatkan sabda Nabi saw.: “Telah disampaikan oleh Jibril kepadaku bahwa Allah SWT – ketika mengawinkan Fathi-mah dengan Ali — telah memerintahkan kepada Ridwan agar memerintahkan kepada pohon thuba untuk berdaun sebanyak bilangan para pencinta Ahlul-Bayt.” (Hadis ini dikeluarkan darinya oleh Abu Musa sebagaimana tercantum dalam biografi Sinan dalam buku A l-Isha bah).

Suhail bin ‘Amr Al-Anshariy.

Sulaiman bin Hasyim Al-Mirqal Az-Zuhriy.

Sulaiman bin Shard Al-Khuza’iy.

Yang mati-matian berusaha untuk menuntut balas atas kematian Al-Husain bin Ali, Penghulu para syuhada, sehingga ia pun akhir-nya gugur sebagai syahid.

Sufyan bin Hani bin Jubair Al-Jaisyaniy.

Suwaid bin Ghaflah Al-Ja’fiy.

Syaiban bin Muhrits.

Syarahil bin Murrah Al-Hamdaniy.

Ibn As-Sakan, Ibn Syahin, Ibn Qani’ dan Ath-Thatjraniy me­riwayatkan darinya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali: “Bergembiralah, wahai Ali; hidup dan mati-mu bersama-sama aku.” Keterangan tersebut tercantum dalam buku Al-Ishabah.

Syuraih bin Hani bin Yazid Al-Haritsiy. la bukan Qadhi Syuraih.

‘I’amam bin’Abbas bin’Abudl-Muththalib Al-Hasyimiy.

‘lluilni bin Al>i Iliilah At-Tamimiy. lluuil ihii Allan Al Amnuriy.

Tsabit bin Qais bin Khuthaim Azh-Zhafariy.

Tsabit bin ‘Ubaid Al-Anshariy.

Tsa’labah bin Qaizhiy bin Shakhr Al-Anshariy.

‘Ubadah bin Shamit bin Qais Al-Anshariy.

‘Ubaid bin’Azib.

‘Ubaid bin At-Tayyihan. , Disebut juga ‘Atik Al-Anshariy.                               ;

‘Ubaidullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Ubaidah bin’Amr As-Sahnaniy.

‘Ubaidullah bin Naufal bin Harts bin ‘Abdul-Muththalib.

‘Ubaidullah bin Suhail Al-Anshariy An-Nubaity.

Umarah bin Hamzah bin’Abdul-Muththalib.

UbaybinKa’b.

Pemuka para pembaca (qurra’) Al-Quran. Ibn Syuhnah menyebut-nya dalam Tarikh-nya., sebagai salah seorang yang — bersama Ali r.a. — menolak untuk segera memberikan bay’at kepada Abu Bakar r.a.

‘Umarah bin Syihab Ats-Tsauriy.

Umru-ul-Qais bin’Abis Al-Kindiy.

‘Uqbah bin’Amr bin Tsa’labah Al-Anshariy.

‘Urwah bin Malik Al-Aslamiy.

Satu di antara beberapa orang dari suku Aslam yang beroleh puji-an Ali a.s. dalam syairnya yang telah disebutkan sebelum ini.

‘Urwah bin Syifaf bin Syuraih Ath-Tha-iy.

la berjuang bersama Amir Al-Mukminin Ali r.a. melawan kaum Khawarij. Ketika itu ia mendengar Ali r.a. berkata tentang mereka: “Takkan selamat dari mereka sepuiuh orang dan takkan terbunuh dari kita sepuiuh orang.” Dan memang ternyata taksiran beliau-itu tepat sekali.

‘Urwah bin Zaid Al-Khail.

‘Urwah bin Nimran bin Fadhfadh bin ‘Amr Al-Muradiy Al-‘Uthaifiy. la adalah ayah dari Hani yang gugur sebagai syahid dalam mem-bela Muslim bin ‘Aqil, utusan Al-Husain bin Ali r.a.

Usaid bin Tsa’labah Al-Anshariy. Salah seorang pejuang Badr.

‘Utbah bin Abi Lahab.

‘Utbah bin Daghl Ats-Tsa’labiy.

‘Utsman bin Hunaif Al-Anshariy. .

Uwais bin’Amir Al-Qaraniy.

Ia termasuk seorang tabi’i terkemuka yang pernah dirmbuatkan oleh Rasulullah saw. la memeluk agama Islam pada masa hidup Rasulullah tetapi tidak berjumpa dengan beliau. Ibn Hajar menyebutnya dalam bagian III bukunya, Al-Ishabah.

Wada’ah bin Abi Zaid Al-Anshariy.

Wahb (Abu Juhaifah) bin’Abdullah As-Siwa-iy.

Walid bin Jabir bin Zhalim Ath-Tha-iy.

Ya’la bin Hamzah bin ‘Abdul-Muththalib Al-Hasyimiy.

Ya’la bin’Umair An-Nahdiy.

Yazid bin Hautsarah Al-Anshariy. >:

Yazid bin Nuwairah Al-Anshariy.

Yazid bin Thu’mah Al-Anshariy. >.:,

Zaid bin Arqam Al-Khazrajiy.

Zaid bin Aslam Al-Balawiy. r                  i

Zaid bin Hubaisy Al-Asadiy.

Zaid bin Jariah (Atau bin Haritsah) Al-Anshariy.

Zaid bin Shauhan Al-‘Abdiy.

Zaid (atau Yazid) bin Syurahil Al-Anshariy.

Zaid bin Wahb Al-Juhaniy.

Zhalim (Abu Al-Aswad) bin ‘Amr Ad-Du-aliy.

Ibn Hajar menyebutnya dalam bagian III dari bukunya Al-Ishabah.

Ziyad bin Mathraf.

Yang diambil riwayatnya oleh Al-Barudiy, Ibn Jarir dan Ibn Syahin, sebagaimana tersebut dalam Al-Ishabah, katanya: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa ingin hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku serta masuk surga, maka hendaknya ia memperwalikan Ali dan keturunannya se-peninggalnya’.”

Zuhair (Abu Zainab) bin Hants bin ‘Auf.

* * *

Demikianlah nama-nama sebagian para syi’ah (pendukung dan pengikut Imam Ali a.s.) dari kalangan para Sahabat. Dan masih banyak lagi selain mereka yang dapat diketahui oleh para peneliti.

Selain itu, kami bersimpati kepada setiap orang dari kalangan para Sahabat yang mempunyai alasan — walau samar-samar — yang mem-buatnya tidak menonjolkan ke-syz’a/z-annya atau bersikap netral atau bahkan mengikuti para penguasa semata-mata demi memelihara ke-utuhan agama. Jumlah mereka ini banyak sekali. Karena itu, bagai-mana dapat dibenarkan adanya tuduhan yang dilontarkan kepada keseluruhan kaum Syi’ah bahwa mereka itu membenci para Sahabat semuanya? (Maha Suci Allah; sungguh ini adalah kebohongan amat keji!).

Kendatipun demikian, tak dapat disangkal bahwa memang ada sekelompok orang yang bersikap munafik dalam persahabatannya dengan Rasulullah saw. Kemunafikan mereka itu tampak jelas dengan berbagai makar dan pelanggaran besar yang mereka lakukan, juga dengan sikap permusuhan dan kebencian yang mereka tunjukkan ter-hadap Ali serta anggota Ahlul-Bayt lainnya. Hal ini dijelaskan pula oleh Al-Quran, antara lain dalam firman Allah SWT:

. . .Di antara  orang-orang Arab  Badui yang di sekelilingmu itu,

ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka melesat jauh dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami-lah yang mengetahui mereka . . . (At-Taubah: 101).

Banyak berita mutawatir dari Imam-imam kami yang menyatakan bahwa orang-orang itu telah murtad.

Barangkali cukup bagi Anda untuk menegaskan hal itu, beberapa hadis  yang disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (Jilid IV, akhir Bab “Ar-Riq&q”) dari Abu Hurairah, katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Aku sedang berdiri (yakni pada hari Kiamat, dan di samp ing Al-Haudh) ketika kulihat sekelompok orang yang kukenal. Tiba-tiba keluar seorang di antara aku dan mereka dan berkata: ‘Mari bersamaku.’ Aku bertanya: ‘Ke mana?’ ‘Ke neraka, demi Allah!’jawab-nya. Aku bertanya lagi: ‘Apa yang telah mereka lakukan?’ la men-jawab: ‘Mereka itu telah murtad sejauh-jauhnya, sepeninggalmu!’ Tak lama kemudian, kulihat sekelompok lainnya, sehingga ketika aku telah mengenali mereka, ada seorang yang keluar di antara mereka dan menemuiku. la berkata: ‘Mari bersamaku!’ Aku bertanya: ‘Ke mana?’ ‘Ke neraka, demi Allah!’  jawabnya. Aku bertanya lagi: ‘Apa yang mereka lakukan?’ Jawabnya: ‘Mereka itu telah murtad sejauh-jauhnya, sepeninggalmu!’ Sedemikian itu sehingga kulihat tidak ada yang selamat dari mereka kecuali beberapa orang saja, seperti ternak yang ditelantar-kan’.”

Dalam Bab “Al-Haudh”, Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Pada Hari Kiamat, ada sekelompok dari para sahabatkir mendatangiku di Al-Haudh, tetapi mereka itu diusir dari sana. Maka aku pun berkata: ‘Mereka itu adalah sahabat-sahabatku, ya Allah!’ Namun la akan berkata: ‘Engkau tidak tahu apa saja yang mereka lakukan sepeninggalmu. Mereka itu telah murtad sejauh-jauhnya!'”

Dalam bab itu pula, Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi saw. bersabda: “Akan ada beberapa orang dari sahabat-sahabatku yang kelak (pada Hari Kiamat) mendatangiku di Al-Haudh. Ketika aku telah mengenali mereka, tiba-tiba mereka dijauhkan dariku. Dan aku pun berkata: ‘Mereka itu adalah sahabat-sahabatku.’ Maka la akan ber­kata: ‘Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggal­mu!'”

Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam bab tersebut, dari Sahl bin Sa’d, katanya: Telah bersabda Nabi saw.: “Aku akan mendahuluimu di (telaga) Al-Haudh. Siapa saja yang mengunjungiku akan minum dari-nya. Dan siapa saja yang minum, takkan merasa dahaga selama-lamanya. Pada waktu itu, akan ada sekelompok orang yang datang mengunjungi­ku di sana, yang aku mengenal mereka dan mereka pun mengenal aku. Namun mereka akan dihalang-halangi antara aku dan mereka.” (Berkala Al-Bukhari sclanjutnya): Telah berkata Abu Hazim: Ucapanku di-dengar olch Nu’man bin Abi ‘lyasy yang langsung bertanya: Begitukah yang Anda dengar dari Sahl? Ya, jawabku. Maka ia berkata lagi: Aku bersaksi telah mendengar Abu Sa’id Al-Khudriy yang menambahkan sabda Nabi saw.: . . . raaka aku berkata: “Mereka itu adalah sahabat-ku.” Namun aku mendengar suara yang berkata: “Engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!” Dan aku pun akan berkata: “Celaka, celakalah orang yang mengubah-ubah sepeninggalku!”

Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam bab tersebut, dari Asma’ binti Abu Bakar r.a., katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Aku sedang berada di Al-Haudh ketika melihat siapa saja dari kamu yang mendatangiku. Dan akan ada beberapa orang yang akan dijauhkan dari-ku, sehingga aku berkata:  “Wahai Tuhanku, mereka itu dariku, dari umatku!” Maka akan dikatakan kepadaku: “Adakah engkau merasakan apa yang mereka lakukan sepeninggalmu?” Maka — demi Allah — mereka itu segera kembali menjauh dariku. (Berkata Al-Bukhari selan-jutnya): Setiap kali Abu Mulaikah mendengar hal itu, ia berkata: “Ya Allah  kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan yang menjauhkan kami (dari Nabi saw.) dan menggoyahkan kami dari agama kami!” Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya. (Bab “Ghazwah Al-Hudaibiyah”, jilid III) dari Al-‘Ala’ bin Musayyab dari ayahnya, katanya:   “Aku berjumpa dengan  Bara’ bin  ‘Azib  r.a. lalu berkata kepadanya:  ‘Sungguh Anda amat beruntung. Anda telah bersahabat dengan Nabi saw. dan ikut ber-feay ‘at kepadanya di bawah “pohon’V Namun ia berkata: ‘Wahai putra saudaraku, engkau tidak tahu apa yang kami lakukan sepeninggal beliau!”

Al-Bukhari juga merawikan pada awal bab tentang “Firman Allah SWT:   .. . Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” (An-Nisa:   125)  yaitu dalam  Shahih-nya, jilid II, “Kitab Permulaan Ciptaan”; dari Ibn ‘Abbas dari Nabi saw., sabdanya: “Sungguh kalian akan dikumpulkan (pada Hari Kiamat) dalam keadaan telanjang, tak beralas kaki dan tak berbaju serta gelisah.” Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran: . . . Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan per-tama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami   tepati;  sesungguhnya   Kami-lah   yang akan  melaksanakannya. (Al-Anbiya’: 104). Sabda beliau selanjutnya: “Yang pertama memper-oleh pakaian ialah Ibrahim. Dan ada sebagian orang dari sahabat-sahabatku akan dibawa kelak ke arah kiri (yakni ke neraka-— Penerj.) Aku pun berkata:  ‘Sahabatku, sahabatku!’ Maka terdengarlah suara: ‘Mereka itu telah murtad sejauh-jauhnya, sepeninggalmu!’ Dan aku pun akan berkata sebagaimana yang dikatakan oleh si hamba yang saleh: . . . Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada ber-sama  mereka.  Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala

sesuatu. (Al-Ma-idah: 117).”

Dan barangsiapa membaca hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad (dalam Musnad-nya., akhir jilid V), dari Abu Thufail, ia akan mengetahui bahwa ,di antara mereka (para “Sahabat”) ada sekelompok

orang yang pada malam f‘al-‘aqabah” (pada peristiwa Perang Tabuk — Penerj.) dengan sengaja hendak mengejutkan unta yang dikendarai oleh Nabi saw. agar jatuh ke dalam jurang bersama beliau. “.. . mereka ingin (hendak membunuh Nabi), hal yang tak dapat mereka capai. Dan se­sungguhnya mereka itu tiada membenci kecuali (justru) karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka . . .” (At-Taubah: 74).

Siapa saja yang membaca Surah At-Taubah, akan mengetahui bahwa “mereka itu memang sengaja ingin mencetuskan fitnah (kekacau-an) dan mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (membinasakan)-mu (Muhammad saw.) sampai kemudian datanglah kebenaran (per-tolongan Allah) dan menanglah agama Allah sedangkan mereka tidak menyukainya . . .” (At-Taubah: 48).

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu, padahal mereka bukanlah dari golong-anmu; tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu apabila terbuka kedoknya). Jikalau mereka memperoleh tempat per-lindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah) niscaya mereka akan pergi ke sana dengan secepat-cepatnya. (At-Taubah: 56-57).

Dan di antara mereka ada yang menyakiti (perasaan) Nabi dan berkata: “Nabi itu mudah mempercayai apa saja yang didengarnya.” Katakanlah: “Ia adalah pendengar yang baik bagi kamu; ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang Mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang beriman di antara kamu.” Adapun orang-orang yang menyakiti Rasulullah, bagi mereka tersedia azab yang pedih. (At-Taubah: 61).

Mereka bersumpah kepada kamu dengan nama Allah demi mem-buat kamu ridha. Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebihpatut mereka cari keridhaannya, jika mereka adalah orang-orang yang ber-iman. (At-Taubah: 62).

Tidakkah mereka itu mengetahui bahwa barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannam-lah bagi-nya, ia kekal di dalamnya, dan itulah kehinaan amat besar. (At-Taubah: 63).

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu Surah yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu; sesungguhnya Allah akan mengeluarkan (menyatakan) apa yang kamu khawatirkan itu.(At-Taubah: 64).

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang perbuatan mereka itu) tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apa-kah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”(At-Taubah: 65).

Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah:

“Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.” Tapi setelah Allah memberikan kepada mereka se­bagian dart karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan menjauh, dan memanglah mereka itu orang-orang yang selalu berpaling (dari kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan di hati mereka sampai saat mereka menemui Allah, karena pengingkaran mereka ter-hadap yang telah mereka janjikan kepada-Nya, dan juga karena mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77).

Mereka itulah yang mencela kaum Mukminin yang memberi sedekah dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak me-miliki sesuatu (untuk disedekahkan), selain sekadar kesanggupannya, lalu mereka (orang-orang munafik) itu mengejek mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan untuk mereka (tersedia) azab yangpedih. (At-Taubah: 79).

Baik kamu memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak me-mohonkannya bagi mereka (sama saja). Bahkan seandainya kamu me­mohonkan ampun bagi mereka tujuhpuluh kali, niscaya Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka . . . (At-Taubah: 80).

Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. Dan janganlah kamu ter-pesona oleh harta benda dan anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan mereka kafir. Dan apabila diturunkan suatu Surah (yang memerintahkan kepada orang-orang munafik itu): “Hendaknya kalian beriman kepada Allah dan berjihad beserta Rasulullah,” niscaya orang-orang yang memiliki ke-sanggupan di antara mereka akan meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berjihad) seraya berkata: “Biarkanlah kami bersama orang-orang yang tidak ikut berjihad.” Mereka rela berada bersama orang-orang lemah yang tidak ikut berjihad, dan hati mereka telah dikunci-mati sehingga mereka tidak mengerti lagi (kebahagiaan beriman dan ber­jihad). (At-Taubah: 84-87).

Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah apabila kamu telah kembali kepada mereka agar kamu berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka neraka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan. Mereka ber­sumpah kepadamu agar kamu ridha akan mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha akan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha akan orang-orang fasik itu. (At-Taubah: 95-96).

Demikianlah ayat-ayat dalam Surah At-Taubah cukup menunjuk-kan tersebarnya kemunafikan di antara mereka. Oleh sebab itu, sungguh kami tidak mengerti bagaimana setiap orang yang pernah mcngalami

“persahabatan” dengan Nabi saw., semuanya menjadi orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya) dan ‘adil (menyandang sifat keadilan) secara serta-merta, segera setelah wafatnya Nabi saw.?!

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul; telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, lalu kamu berbalik ke belakang (menjadi murtad)? Barangsiapa ber-balik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat apa pun kepada Allah. Dan Allah akan memberi balasan (pahala) kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144).

Yaitu orang-orang yang mensyukuri kenikmatan risalah Muham­mad saw.; sehingga mereka tidak berbalik ke belakang (murtad) dan tidak mengada-adakan suatu penyimpangan sepeninggal beliau dan tidak mengubah-ubah, melainkan tetap ber-istiqamah dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Mereka itulah yang senantiasa beroleh semua kebaikan dan mereka itulah orang-orang yang berjaya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalam-nya, dan itulah sebesar-besarnya kemenangan.

Dan mereka itulah yang tidak membutuhkan pujian para pemuji atas dukungan yang mereka berikan selalu, demi tersebarnya dakwah agama yang haqq secara nyata. Maka, menujukan kecintaan kepada mereka adalah wajib dan mendoakan bagi mereka adalah fardhu.

Wahai Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau biar-kan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penya-yang!

* * *

Alhamdulillah, telah selesai buku ini, buah pena pengarangnya yang paling sedikit perkhidmatannya di antara para pembela perkasa agama Islam, dan yang paling kecil jasanya di antara para pengawal setia mazhab Imamiyah: Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawiy. (Semoga Allah SWT meliputinya dengan luthf dan kasih-sayang-Nya).

Ditulis di kota Shur, Jabal ‘Amil pada tahun 1327 H. Dalam cetak-an kedua ini telah ditambah dengan dua bab, yaitu Bab VII dan XIII di samping beberapa tambahan dan catatan yang sangat penting, dalam berbagai babnya, terutama Bab VIII — X (yakni tentang Para Penakwil).

Segala puji bagi Allah sejak awal sampai akhirnya. Salawat <lan salam atas hamba-Nya yang termulia di antara para hamba Nyas Muhammad serta keluarganya yang diberkahi.*

1)     Al-Hasan bin Al-Hasan, menurut kaum Syi’ah Zaidiyyah, adalah Imam zamannya se-peninggal pamannya: Al-Husain bin Ali a.s. (cucu Nabi saw.). Kemudian setelah dia, Al-Imam Zaid bin Ali dan selanjutnya nama-nama yang kami sebutkan setelah Zaid, sesuai dengan urutannya.

2)     Terbunuh di Irak tahun 250 H., enam tahun sebelum wafatnya Al-Bukhari.

i an

3)     Sungguh kami tidak mengerti, betapa mungkin mazhab-mazhab fiqh dibangun atas dasar pengecaman terhadap sebagian dari para Sahabat? Bagaimana hukum-hukum fu.ru’ dalam syariat dapat disimpulkan dari tindakan mengecam sebagian orang? Padahal Ibn Khaldun digolongkan dalam kelompok para filosof. Mengapa ia berbicara tidak karuan seperti ini?

4)     Para ahli dalam lingkungan mazhab Imamiyah, dalam buku-buku ilmu kalam yang mereka susun, telah membuktikan dengan dalil-dalil aqliyah dan naqliyah mengenai ‘ishmah imam-imam mereka. Ruangan ini tidak cukup untuk menguraikannya. Selain itu, apabila kami mdakukannya juga, kami akan menyimpang dari tema buku ini. Cukup kiranya sebagai dalil tentang ‘ishmah mereka, ialah keterangan (dari hadis-hadis Nabi saw.) bahwa kedudukan mereka itu disamakan dengan kedudukan Al-Quran yang takkan pemah disentuh oleh kebatilan. Juga bahwa mereka merupakan jaminan keselamatan bagi umat ini dari bahaya perpecahan, dan karena itu, apabila ada kabilah bangsa Arab yang berlawanan dengan mereka, maka kabilah itu adalah paitai iblis. Dan bahwa mereka (Imam-imam Ahlul-Bayt) bagaikan bahtera keselamatan dan “pintu pengampunan” bagi umat ini. Dan bahwa merekalah yang senantiasa menjaga agama ini dari penyim-pangan kaum yang sesat, manipulasi kaum perusak serta penakwilan kaum yang bodoh. (Salawat dan salam Allah atas mereka semua).

5)     Dengan ucapannya ini, Ibn Khaldun telah mendustakan dirinya sendiri. Sebab, jika ia tidak mengetahui sesuatu dari mazhab-mazhab mereka dan tidak meriwayatkan kitab-kitab mereka serta tidak ada sesuatu yang ditemuinya tentang kitab-kitab itu, dari mana-kali ia dapat mengetahui bahwa mereka itu adalah orang-orang “sesat dan ahli hid’ah”? Dan dari manakah ia dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mazhab mereka semuanya lemah?! Sungguh celakalah orang-orang yang memvonis berdasarkan perkiraan dan per-sangkaan semata-mata.

6)      Perhatikaniah betapa ia mengakui bahwa kaum Rafidhah berpegang pada mazhab Ahlul-Bayt.

7)     Menunjuk kepada firman Allah:

Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan segala dosa dari kamu, wahai Ahlul-Bayt, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab: 33).

Simaklah kembaii Catalan kami mengenai ayat ini dalam buku kami, Al-Kalimah Al-Gharra’fl Tafdhil Az-Zahra’.

8)     Menunjuk kepada firman Allah:

‘.. Marilah kita memanggU anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita fcer-mubahalah kepada Allah dan kita minta agar kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali ‘Imran: 61).

9)     Menunjuk kepada finnan Allah:

Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluargaku.” (Asy-Syura 23).

10)     Menunjuk kepada sebuah hadis yang dirawikan oleh Ad-Dailamiy dan lainnya (sebagai­mana disebutkan dalam buku Ash-Shawa’iq) dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang ayat: “. . . dan tahanlah mereka; sungguh mereka itu akan di-tanya . . .” (Ash-Shaffat 24) bahwa mereka akan ditenya tentang sikap mcmperwalikan Ali. Bcrkala pula Al-Imam Al-Wahidy (scbagaimana disebutkan juga dalam Ash-Shawa fq ketika menafsirkan ayat tersebut); bahwa mereka akan ditanya tentang perwalian Ali serta Ahlul-Bayt.

11)     Telah berkata Ibn Hajar dalam Ash-Shawa<iq (halaman 93) ketika membahas tentang tafsir ayat ketujuh di antara ayat-ayat yang dikemukakannya dalam bab XI sebagai ber-ikut: “Telah dirawikan melalui beberapa saluran yang saling rnemperkuat, bahwa Nabi saw. pernah bersabda: ‘Sesungguhnya perumpamaan Ahlu-Bayt-ku di antara kamu sekalian, seperti bahtera Nuh; siapa ikut berlayar di atasnya, niscaya akan selamat.’ Dan ditarribahkan dalam riwayat Muslim sebagai berikut: “Dan barangsiapa enggan berlayar di atasnya, niscaya akan tenggelam {atau dalam sebuah riwayat lainnya: … niscaya akan binasa).”

12)     Menunjuk sabda Rasulullah saw.: “Bin tang-bin tang adalah petunjuk bagi keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di lautan. Adapun Ahlu-Bayt-ku adalah petunjuk keselamatan bagi umatku dari perpecahan. Maka apabila ada kabilah Arab yang ber-lawanan jalan dengan mereka, niscaya akan berpecah-belah dan menjadi partai Iblis.” (Dirawikan oleh Al-Hakim secara marfu’ dari Ibn ‘Abbas seraya menyatakannya sebagai hadis sahih sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim. Hal ini disebutkan oleh Ibn Hajar dalam bukunya, Ash-Shawatq (hal. 93) ketika membahas ayat ketujuh dalam bab XI. Juga telah dirawikan oleh- Ibn Abi Syaibah dan Musaddad dalam Musnad-Musnad mereka, serta At-Tirmidzi dalam Nawadir Al-Ushul, Abu Ya’la, At-Tabrani dan Al-Hakim, dari Salamah bin Akwa’, katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Bintang-bintang adalah (jaminan) keselamatan bagi penghuni langit, dan Ahlu-Bayt-ku adalah (jaminan) keselamatan bagi umatku.” Al-Hafizh Ash-Suyuthiy telah mengutipnya dalam bukunya, Ihya-ul Matt bi Fadha-il AM Al-Bayt, Juga An-Nabhaniy dalam ArbaHn-nyz, serta banyak ulama lainnya.

13)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw.: “Perumpamaan Ahlu-Bayt-ku di antara kalian seperti bahtera Nuh; barangsiapa ikut berlayar di atasnya, akan selamat; dan barangsiapa men-jauhkan diri darinya, akan tenggelam. Juga seperti *pintu pengampunan’ bagi Bani Israil.” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dari Abu Dzar rju Dan juga Ath-Thabraniy dalam Asfi-Shaghir dan Al-Ausath dari Abu Sa’id, katanya: Aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Perumpamaan Ahlu-Bayt-ku di antara kalian, seperti bahtera Nuh; barangsiapa ber­layar bersamanya, niscaya akan selamat, dan barangsiapa menjauh dariuya, niscaya akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlu-Bayt fcu di antara kalian, seperti *phitu pengampun­an’ di antara Bani Israil, barangsiapa nronasukinya, akan beroleh pengampunan.”

14)     Menunjuk kepada sabda Rasulullah saw.: “Sungguh aku meninggalkan bagi kamu ats-tsaqalain (dua hal amat berharga) kamu takkan sesat sepeninggalku, untuk selama-lama-nya — selama kamu berpegang teguh padanya — yaitu Kitab Allah dan ‘itrah-k.u, Ahlu-Bayt-ku. Kedua-duanya takkan berpisah sampai bertemu kembaii denganku di Al-Haudh. Maka perhatrkanlah baik-baik bagaimana kamu memperlakukan kedua-duanya sepening­galku.” Hadis’ ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Al-Hakim sebagaimana tercantum dalam buku Ihya Al-Mait, karangan Ash-Shuyuthiy. la termasuk di antara hadis-hadis yang telah dikenal secara meluas yang diriwayatkan oleh kebanyakan ahli hadis dengan susun-an kalimat yang hampir serupa dan dengan sanad-sanad sahih. Berkata Ibn Hajar, yang mengutipnya dari Tirmidzi dan lainnya, ketika menafsirkan ayat keempat, bab XI dalam kitalmyu, As^-Shawa’iq sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa hadis ini (tentang berpegang teguh pada  tsaqalain) memiliki banyak jalur riwayat dari lebih dari duapuluh orang dari

15)     Menunjuk kepada keterangan yang dikutip oleh banyak tokoh besar seperti AI-‘Aliamah Ash-Shabban dalam bukunya, Is’af Ar-Raghibin (buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ai-Bayan, [kelompok Penerbit Mizan, Bandung] cet. I, tahun 1989 dengan judul, Teladan Suci Keluarga Nabi. Hadis tersebut dapat Anda baca di halaman 87 buku itu — penerjemah) sebagai berikut: “Telah diriwayatkan oleh banyak ahli hadis (dalam kitab-kitab As-Sunan) melalui sekelompok para Sahabat bahwa Nabi saw. peraah bersabda: ‘Perumpamaan Ahlu-Bayt-ku bagirau seperti bahtera Nuh; barang-siapa ikut berlayar di atasnya, akan selamat, dan barangsiapa enggan (atau menjauh dari-nya), akan binasa.’ Daiam riwayat lain: “. .. akan tenggelam.” Dalam suatu riwayat: “… akan dijebloskan ke dalam api neraka.” Dan dalam riwayat Abu Dzarr ada tambah-an: “… dan telah kudengar beliau bersabda: ‘Jadikanlah Ahlu-Bayt-ku bagi kamu, seperti kedudukan kepala dari jasad, dan seperti kedudukan kedua mata dari kepala’.”

16)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw. dalam hadis tentang keharusan berpegang pada ats-tsaqalain: “.. . maka janganlah kamu mendahului mereka (Ahlul-Bayt), nanti kamu binasa; dan jangan pula tertinggal dari mereka, nanti kamu binasa dan jangan menggurui mereka, sebab mereka lebih mengetahui dari kamu.” Banyak dari kalangan ularaa mengutipnya dari Ath-Thabraniy seperti Al-‘Allamah Abu Bakar Al-‘Alawiy dalam buku­nya, Rosy fat Ash-Shadiy (Bab V) dan Ibn Hajar ketika membahas penafsiran ayat ke-empat (Bab XI) dalam bukunya, Ash-Shawa tq.

17) Menunjuk kepada hadis yang dirawikan oleh Al-Mulla dalam Sirah-nya., dengan sanadnya sampai Rasulullah saw.; sabda beliau: “Dalam setiap generasi peneras di antara umatku ada orang-orang adil dari kalangan Ahlu-Bayt-ku yang membersihkan agama ini dari penyimpangan orang-orang sesat, manipulasi kaum perusak dan penakwilan kaum yang jahil. Ketahuilah, Imam-imam kalian adalah duta-duta kalian dalam menghadap Allah; maka perhatikan baik-baik siapa yang akan mewakili kalian menghadap-Nya.” Hadis ini juga dikutip oleh Ibn Hajar dalam Ash-Shawa’iq, halaman 92.

18)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw.: “Mengenal AalMuhammad (Ahlul-Bayt) mendatang­kan keselamatan dari neraka; mencintai AalfMuhammad adalah ‘paspor’ untuk meniti shirath dan memperwalikan Aal Muhammad menjauhkan dari siksa.” Hadis tersebut dirawikan oleh Al-Qadhi lyadh dalam bukunya, Asy-Syifa, pada bab yang menjelaskan bahwa berbuat kebajikan yang ditujukan kepada keluarga dan keturunan (dzurriyah) Nabi saw.; termasuk penghormatan dan kebaktian kepada beliau juga. Simaklah keterangannya itu di awal halaman 41, bagian II buku tersebut, cetakan Astana, tahun 1328.

19)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw.: “Tetaplah kalian mencintai kami, Ahlul-Bayt, sebab barangsiapa menghadap Allah sedangkan ia mencintai kami, akan masuk surga dengan syafaat kami. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, takkan berguna amal se­seorang baginya kecuali dengan mengenal hak kami.” Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan dikutip oleh Ash-Shuyuthi dalam Iky a Al-Mait bi Fadha-il Ahl Al-Bayt. Juga An-Nabhani dalam Arba Yn-nya.

20)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw.: “Takkan bergeser kedua kaki seseorang (kelak pada Hari Kiamat) sampai ia ditanya tentang empat hal: tentang usianya, bagaimana ia habis-kan; tentang jasadnya, bagaimana ia gunakan tenaganya; tentang hartanya, untuk apa ia belanjakan dan darimana ia peroleh; juga tentang kecintaannya kepada kami Ahlul-Bayt.” Hadis ini dirawikan oleh Ath-Thabrani dari Ibn ‘Abbas secara marfu’, dan dikutip oleh Ash-Shuyuthi dalam Ihya ‘Al-Mait serta An-Nabhani dalam Arbaln-nya.

21)     Menunjuk kepada sabda Nabi saw. yang dirawikan oleh Ath-Thabrani dan AJ-Hakim, sebagaimana tersebut dalam buku Ikyd’ Al-Mait, Al-Arbafn, dan lainnya: “.. . maka sekiranya seseorang merapatkan kedua kakinya (berdiri) di antara rukun dan maqam, lalu ia shalat dan puasa sedangkan ia membenci keluarga Muhammad, niscaya ia akan masuk neraka juga.” Dan telah dirawikan oleh Al-Hakim dan Ibn Hibban dalam Shahih-nya (sebagaimana tersebut dalam Ihya’ Al-Mait, Al-Arba’in, dan lainnya) dari Abu SaHd bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada seseorang membenci kami, Ahlul-Bayt, kecuali ia akan-masuk neraka.” Dan telah dirawikan pula oleh Ath-Thabrani (sebagaimana tersebut dalam Ihya’ Al-Mait karangan Ash-Shuyuthi) dari Al-Hasan, cucu Rasulullah, bahwa ia berkata kepada Mu’awiyah bin Khudaij: “Hati-hatilah, jangan sekali-kali membenci kami, sebab Hasul-‘ ullah saw. bersabda: ‘Tiada seorang pun membenci kami atau dengki terhadap kami, kecuali ia akan dijauhkan dari Al-Haudh dengan cambuk-cambuk dari api’.” Dirawikan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (sebagaimana tersebut dalam Ihya’ Al-Mait dan Al-Arbaln) dari Jabir, katanya: Aku mendengar Rasulullah berkhutbah: “Wahai manusia sekalian! Barangsiapa membenci kami, Ahlul-Bayt, maka ia akan dibangkitkan Allah kelak pada hari Kiamat, sebagai seorang Yahudi.”

Syarafuddin Al-Musawi