KISAH AWAL TURUNNYA WAHYU DARI RIWAYAT AHLUS-SUNNAH


Halaman  ini berisi tentang cerita peristiwa pengutusan Nabi Muhammad saaw menurut riwayat hadis Ahlus-Sunnah.

 Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Tatkala Nabi saaw sedang menyen-diri di gua Hira’ tiba-tiba beliau mendengar suar menggema memanggil-nya. Beliau ketakutan dan mengangkat kepalanya. Tidak disangka-sangka ia melihat sesosok makhluk yang menakutkan sedang memanggilnya. Lalu beliau pun bertambah takut dan tidak dapat bergerak maju dan mundur. Kemudian dia berusaha memalingkan wajahnya dari sosok makhluk yang menyeramkan itu, namun yang dilihatnya itu meliputi langit semuanya.”

 Tragedi dramatis ini berjalan beberapa saat dan ia pun tidak dapat mengontrol dirinya dan lupa akan jiwanya, sehingga hampir saja beliau mengambil keputusan untuk nekat terjun dari puncak gunung karena begitu berat beban rasa takutnya. Pada saat itu Khadijah mengutus seseorang untuk mencari Nabi di gua Hira’ namun tidak menemukannya.

 Kemudian setelah sosok wajah yang menyeramkan itu sirna dari penglihatan Rasul, beliau kembali dengan segala macam ketakutan dan kege-lisahan yang meliputinya. Akhirnya beliau sampai di rumahnya dalam ke-adaan gemetar seperti menderita penyakit demam. Beliau memandang istrinya dengan sayu dan lesu seakan-akan minta pertolongan dan perlin-dungan. Beliau berkata: “Hai Khadijah, apakah gerangan yang sedang kualami?” Kemudian ia pun menceritakan semua kejadian yang dialami-nya, dan merebahkan diri dalam dekapan Khadijah dengan ketakutan yang membayanginya; perasaan yang mungkin hanya merupakan tipuan mata saja. Beh’au berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku dan aku yakin bahwa aku telah kemasukan jin.” (Ibnu Atsir mengomentari: “Yakni aku menderita penyakit saraf.”) Khawatir telah menjadi dukun atau gila.

Khadijah, istri beliau, akhirnya tidak tega dan memandangnya dengan penuh keprihatinan dan keharuan, seraya berkata: “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, dia tidak akan me-ngecewakan engkau. Maka demi Zat yang nyawa Khadijah di tangan-Nya. Sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi nabi umat ini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolong yang lemah dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.” Begi-tulah seterusnya ia berusaha menenangkan dan menghibur hati suaminya dengan kata-kata yang menyenangkan.

Kemudian, Khadijah mengadakan percobaan yang membawa keber-hasilan. la berkata: “Hai suamiku, beritahukan kepadaku tentang orang yang mendatangimu itu!” Beliau menjawab: “Ya.” la berkata lagi: “Maka jika ia nanti mendatangimu kembali beritahulah aku.” Tidak lama kemu-dian Malaikat itu pun datang kembali, lalu Rasulullah saaw berkata: “Hai Khadijah, inilah dia telah datang kepadaku.” Lalu Khadijah berkata: “Ya, berdirilah dan duduklah di paha kiriku.” Nabi menuruti perintahnya dan duduk di paha kirinya. Khadijah bertanya: “Apakah engkau masih melihat-nya?” “Ya.” Setelah itu, beliau pindah ke paha kanan istrinya. Dan Kha­dijah bertanya lagi: “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab: “Ya.” Khadijah lalu berkata: “Pindahlah ke pangkuanku!” Beliau mematuhi perintahnya dan duduk di pangkuan Khadijah. Kemudian Khadijah mem-buka dan melemparkan kerudungnya, dan Rasul masih duduk terdiam di pangkuannya. Khadijah bertanya untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau masih melihatnya?” Kali ini Rasulullah saaw menjawab: “Tidak.” Khadijah lalu berkata dengan penuh keceriaan: “Hai suamiku gembiralah dan tetap-lah teguh! la adalah malaikat bukan setan.”

Untuk meneguhkan percobaan yang pernah dilakukan dengan penuh keberhasilan itu, maka Khadijah menuju ke saudara sepupunya yang ber-nama Waraqah bin Naufal, seorang penganut agama Nasrani, yang rajin membaca kitab kuno dan buku-buku agama. Ternyata Waraqah berkata dengan mantap: “Mahasuci! Seandainya engkau mempercayaiku wahai Khadijah! la telah didatangi oleh Al-Namus (Jibril) yang pernah menda-tangi Musa a.s., maka katakanlah kepadanya, hendaklah ia tetap tabah dan selalu teguh. la sesungguhnya adalah Nabi bagi umat ini. Seandainya aku ditakdirkan hidup pada zaman ini, niscaya aku akan beriman kepadanya.”

Kemudian Khadijah pulang menemiii suaminya dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari Waraqah. Setelah itu Nabi saaw menjadi tenang

dan dapat menguasai dirinya. Seketika itu pula ketakutannya sirna. Hal ini menimbulkan keyakinan yang mantap pada dirinya bahwa ia adalah se­orang Nabi. .

Menurut pandangan saya, cerita tentang ketakutan Nabi terhadap wa-jah yang menyeramkan itu adalah cerita yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak mengerti derajat kemuliaan Nabi Muhammad saaw. Hampir dapat dipastikan bahwa cerita tersebut merupakan suatu usaha untuk menjatuhkan citra kepribadian Muhammad saaw yang agung dan kewibawaan Rasulullah yang memiliki kehormatan yang tinggi. Ini juga merupakan suatu usaha untuk menggoyahkan pilar-pilar suci dari Allah yang paling mendasar dan prinsip, dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, Nabi sangat mulia di sisi Allah. Tidak mungkin beliau dilepaskan begitu saja dalam kegelisahan dan ketakutan di saat-saat kritis yang merupakan detik-detik perubahaan besar dalam lembaran hidup be­liau. Masa transisi yang sangat vital dari seorang manusia sempurna yang bertanggungjawab atas dirinya sendiri, menjadi manusia utusan dan ber-tanggungjawab atas umat dan masyarakat seutuhnya. Sebelum memasuki babak yang menentukan dari kritis seperti itu, beliau telah melangkah maju ke depan ke arah kesempurnaan manusia yang sangat agung dan mulia dalam perjalanan yang dahsyat. Dimulai dari alam ciptaan (manusia) me­nuju kepada Pencipta (Allah SWT), dan setelah mencapai puncak lalu kembalilah ia ke alam ciptaan (makhluk) dengan membawa kebenaran da­ri yang Maha Pencipta sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filo-sof, Al-Hakim Shadruddin Al-Syirazi.

Dengan demikian dapat kita sadari bahwa detik-detik yang menentu­kan itu merupakan jalur penghubung antara dua perjalanan: perjalanan pergi dan perjalanan kembali dalam situasi yang genting.

Mahasuci Allah, la tidak akan membiarkan kekasih-Nya mengalami kepedihan dan kegelisahan, justru setelah ia sampai pada puncak perte-muan, di mana ia akan dipilih sebagai utusan-Nya kepada manusia. Tidak mungkin Dia membiarkannya dalam ketakutan yang membahayakan, ke-mudian menakutinya dengan wajah yang serba menyeramkan sehingga beliau hampir tidak mampu lagi untuk mengendaUkan dirinya lagi, terkacaukan jalan pikirannya dan nyaris membawa kematian akibat makhluk tersebut.

Bukankah Muhammad saaw lebih mulia di sisi Allah daripada Ibrahim Al-Khalil, Musa Al-Kalim, dan nabi-nabi yang lain? Mereka tidak diting-galkan sendirian pada saat-saat yang genting sehingga meminta bantuan kepada orang lain. Muhammad saaw adalah lebih mulia ketimbang mereka.

Kedua, sampai sekarang kami masih heran dan menyesalkan tindakan para analis sejarah yang mengutamakan logika seorang Khadijah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang rahasia-rahasia dan isyarat kenabian (nubuwwah) daripada logika seorang manusia sempurna dan utama, yang telah memikul misi Allah SWT. Kemudian wanita itu — Khadijah — mengadakan percobaan yang dimengerti apa maksudnya oleh Rasulullah saaw dalam upaya meyakinkan perkataannya dan didukung oleh perkataan Waraqah bin Naufal.

Kami pun tidak memahami apa sebenarnya motif keyakinan dan perasaan puas pada diri Nabi saaw ketika mendengar keterangan dari istrinya dan kesaksian yang diberikan oleh pendeta tua — Waraqah bin Naufal. Sehingga beliau dapat diyakinkan bahwa yang datang itu wahyu dari Allah yang Mahamulia dan Mahabijaksana? Jika dikatakan bahwa Waraqah membaca kitab-kitab kuno, maka kami bertanya apakah ada di zaman itu kitab-kitab agama yang tidak mengalami perubahan dan campur tangan manusia? Bukankah mimpi yang pernah dialami Nabi Muhammad saaw itu benar adanya? Bukankah ucapan salam yang diucapkan oleh Jibril pada awal pertemuan,Assalamu’alaykum wahai pesuruh Allah, telah beliau dengar? Begitu pula ucapan salam dari setiap pepohonan dan bebatuan setiap kali beliau lewat di depannya dalam perjalanan pulang kembali ke rumah Khadijah? Bukankah beliau menyadari sepenuhnya apa yang dirasakan dirinya selama beliau menyendiri di gua Hira’ sehingga beliau tidak perlu diyakinkan oleh istrinya dan pendeta Nasrani itu?

. Gambaran semacam itu jauh dari kebenaran. Cerita-cerita tersebut merupakan niat jahat dari orang-orang yang ingin menjatuhkan wibawa Nabi Muhammad saaw atau mencoba mencemari citra risalah Allah SWT.

Ketiga, ada perbedaan antara satu cerita dan cerita lainnya baik dalam jalan ceritanya maupun perawinya. Riwayat yang satu dengan riwayat yang lainnya tidak sesuai. Ini merupakan suatu bukti kebohongan dan kefiktifan cerita tersebut.

Dalam satu riwayat, Khadijah sendin yang menemui Waraqah dan menceritakan peristiwa yang terjadi. Sedangkan riwayat yang kedua men-ceritakan bahwa Nabi bersama Khadijah pergi menjumpai Waraqah. Ke­mudian Khadijah berkata kepada Waraqah: “Dengarlah anak saudaramu, Muhammad.” Lalu Khadijah menanyakan kepadanya dan ia pun men­ceritakan kejadiannya. Kemudian Waraqah berkata: “la adalah Namus — Jibril — yang pernah mendatangi Musa.” Pada riwayat ketiga, Nabi sendiri yang mendatangi Waraqah ketika beliau sadang thawaf di sekitar Ka’bah. Lalu Waraqah menyapanya dan berkata: “Wahai anak saudaraku, cerita-kanlah apa yang kau lihat dan kau dengar!” Lalu Rasulullah menceritakan-nya kepada Waraqah. Kemudian Waraqah berkata: “Demi Zat yang me-nguasai diriku! Sesungguhnya engkau adalah Nabi umat ini, jika aku masih hidup aku akan membantumu, bantuan yang hanya diketahui oleh Allah.” Pada riwayat keempat, diceritakan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan dari Waraqah, ia berkata: “Hai Muhammad, beritahulah aku tentang yang men-datangimu, Jibril.” Beliau menjawab: “Ia mendatangiku dari langit, kedua buah sayapnya terbuat dari mutiara, dan kedua telapak kakinya berwarna hijau.”2

Pada riwayat kelima, Abu Bakar menemui Khadijah di rumahnya. Ke­mudian Khadijah menyuruh Abu Bakar mengajak Rasul untuk menemui Waraqah. Lalu keduanya berangkat dan menceritakannya kepada Wara­qah…

Jika memang riwayat ini benar, mengapa Waraqah tidak segera ber-iman padahal ia tahu bahwa beliau — Muhammad — adalah seorang Na­bi?

Terbukti di dalam sejarah bahwa Waraqah meninggal dalam keadaan belum beriman. Sedangkan riwayat yang berbunyi bahwa Nabi saaw me-lihatnya dalam mimpi bahwa Waraqah sedang mengenakan pakaian putih adalah maudhu’. Sebab jalur riwayatnya terputus dan tidak bersambung. Jika memang terbukti bahwa ia masuk Islam dan beriman, maka sudah pasti namanya akan tercantum di dalam golongan orang-orang yang ber­iman pada permulaan Islam.

Ibnu Asakir berkata: “Saya belum pernah menemukan seorang pun yang mengatakan bahwa ia (Waraqah) telah masuk Islam.”4 Waraqah masih hidup beberapa waktu sejak Nabi diutus. Bahkan telah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Waraqah pernah berjalan dan melihat Bilal sedang disiksa.

Ibnu Hajar mengatakan ini adalah bukti bahwa ia masih hidup semasa dakwah Rasul dikumandangkan, ketika beliau mengajak Bilal menganut agama Islam. Bilal waktu itu menerimanya, dan mengapa Waraqah tetap kafir dan tidak memeluk agama Islam sebagaimana yang lain? Mengapa ia tidak membantu perjuangan Nabi sebagaimana yang dijanjikannya dalam riwayat-riwayat yang kami bantah itu?

Wahyu Tidak Mungkin Mengandung Kekeliruan dan Keraguan

Ini merupakan tema lain yang patut kita bahas sampai tuntas sehingga kita dapat merasakan manfaatnya.

Masalah kedua yang sering diangkat oleh ulama-ulama dan sekaligus memenuhi kitab-kitab Ahlus-Sunnah adalah bahwa Nabi saaw salah de-ngar dalam menerima wahyu. Lalu ia dirundung oleh khayalan-khayalan palsu yang digambarkannya sebagai wahyu atau Iblis yang menyuarakan kepadanya sesuatu yang disangkanya wahyu dari Allah. Kami bertanya apakah mungkin bahwa Nabi saaw keliru dalam menerima wahyu?

Jika masalah pertama yang kita angkat adalah cerita tentang Nabi yang ketakutan, khawatir menjadi gila, lalu kembali ke rumah dan men-dekap istrinya yang setia untuk membantunya. Lalu istrinya mengajaknya menemui saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal dan seterusnya. Maka pada masalah kedua, Ahlus-Sunnah telah membenarkan Iblis memper-mainkan wahyu dari langit dan menaburkan intrik-intrik kepadanya; yang membuat beliau mengira bahwa yang ia dapat itu semata-mata hanya se­buah wahyu, sebagaimana yang telah terjadi dalam hadis “Al-Gharaniq”. Jika Jibril tidak segera menyadaarkan Nabi, beliau pasti akan hanyut ter-bawa oleh tipu daya Iblis.

Dalam masalah kedua ini, Ahlul Bait memandang bahwa Nabi sama sekali tidak keliru dalam menerima materi wahyu dan beliau tidak bingung atu ragu membeda-bedakan antara wahyu dengan bisikan Iblis terkutuk. Penglihatan beliau terbuka dari hijab yang senantiasa menutupi mata bani Adam terhadap hal-hal yang pelik. Pandangan beliau telah dibuka lebar-lebar sehingga beliau dapat melihat realitas yang sangat nyata yang berkaitan dengan persoalan metafisika yang terpisah secara total dari ilustrasi meterial. Melalui sisi metafisika itulah Rasul dapat meraba dan merasakan penjelmaan serta sorotan-sorotan cahaya dari malaikat yang mengisi seisi dunia sehingga beliau bertolak dan melambung dengan seluruh jiwanya menemui Allah, menerima keputusan dan kalimat-kalimat-Nya. Beliau da-pat rvilihat kenyataan yang sedang turun kepadanya, dengan penuh kesa-daran dan ketajaman pandangan bagaikan orang yang melihat matahari di siang bolong, yang sama sekali tidak mengandung kesalahandan kekaburan atas pandangan kesadarannya. Begitulah kondisi beliau ketika menerima wahyu.

Wahyu bukan suatu nilai pcmikiran yang timbul dari lubuk hati, sehingga mengandung kesalahan dan kekeliruan dalam menyusun muka-dimah dan hasilnya. Wahyu bukanlah hasil dari pandangan yang jauh sehingga ada kemungkinan tidak bersih dari noda-noda kekaburan dalam bentuk wujud dan kesesuaiannya. Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa kemungkinan adanya kekeliruan di dalam wahyu adalah sangat mustahil!

Hadis Al-Gharaniq

Ibnu Jubair telah membawakan sebuah riwayat yang dianggapnya sa-hih dari Muhammad bin Kaab, Muhammad bin Qais, Said bin Jubair, Ibnu Abbas dan lain-lainnya, bahwa ketika Nabi saaw berada di sekitar kaum musyrikin, di halaman Ka’bah atau di tengah-tengah perkumpulan mereka, beliau mengangankan datangnya beberapa ayat Al-Quran yang mendekat-kan hubungan antara dirinya dengan kaumnya yang sangat membencinya. Beliau risau dengan keadaan seperti itu dan mengharapkan persatuan dengan mereka berapa pun harga yang harus dibayar. Pada kondisi seperti itu tiba-tiba turun surat Al-Najm, lalu beliau membacanya sampai ayat yang berbunyi: Apakah kalian melihat Lata dan Uzza dan Manat dan ketiga yang lain. (QS 53:19-20)

Sampai di sini setan menyusupkan kalimat:

Itulah Gharaniq (berhala-berhala) yang mulia dan sesungguhnya sya-faat mereka senantiasa diharapkan.

Kemudian beliau mengira bahwa kalimat ini adalah wahyu. Beliau lalu membacakannya di tengah-tengah kaum Quraisy dan menyambungnya dengan ayat seterusnya dalam surat tersebut. Begitu surat itu selesai dibaca oleh Nabi, seluruh kaum muslimin dan musyrikin bersama-sama bersujud sebagai rasa penghormatn dan ungkapan terima kasih atas keter-bukaan Rasul dalam memuji dan mengagungkan tuhan-tuhan kaum musyrikin serta harapannya akan syafaat berhala-berhala itu.

Berita perdamaian ini tersebar, menjadi sensasi, serta didengar oleh para pengungsi — al-muhajirin — yang berada di kota Habasyah (Ethio­pia). Mereka kembali ke tanah air mereka semula — Makkah — dengan penuh kegembiraan atas kesepakatan yang mendadak ini, sebagaimana Rasul juga bergembira karena cita-cita lama di benaknya untuk memper-satukan kaumnya telah tercapai.

Pada riwayat lainnya, yang dibawakan oleh kalangan Ahlus-Sunnah disebutkan bahwa sesosok setan berwarna putih yang menyerupai wajah malaikat Jibril di hadapan Rasul telah menyusupkan kalimat-kalimat itu kepada beliau. Disebutkan pula bahwa Rasulullah saaw sedang menger-jakan salat di sisi maqam Ibrahim. Tiba-tiba ia tertidur lelap sejenak, lalu ia mengeluarkan kalimat itu tanpa disadari.

Dalam sebuah riwayat, Nabi saaw yang menciptakan dua jumlah kata tersebut adalah juga yang mengeluarkannya dari sela-sela ayat Al-Najm tanpa sengaja, hanya karena menginginkan terciptanya kerukunan di setiap hati para musyrikin. Lalu beliau menyesal atas tindakan ini karena berbohong atas nama Allah. Tatkala matahari mulai terbenam dan siang mulai berganti malam, ia didatangi oleh Jibril (a.s.) yang berkata: Tunjuk-kanlah kepadaku surat itu (Al-Najm)!” Rasulullah menuruti perminta-annya dan membacanya dari permulaan surat. Sampai pada kalimat itu Jibril langsung menegurnya dan berkata: “Berhentilah! Dari mana kau dapat kalimat itu?” Lalu beliau menyesali tindakannya. Jibril mengatakan kepada beliau: “Engkau telah berbohong atas nama Allah, engkau telah mengatakan sesuatu yang Allah tidak mengatakannya.” Kemudian setelah mendengar apa yang telah dituturkan oleh Jibril, Rasulullah menjadi sedih sekali dan sangat takut kepada Allah.

Pada riwayat yang lain, Nabi berkata kepada Jibril: “Ada seorang yang datang menyerupai wajahmu, lalu ia menyusupkan kalimat itu di mulutku.” Lalu Jibril berkata: “Aku berlindung kepada Allah! Tidak mungkin aku telah membacakan kalimat itu kepadamu.” Keterangan Jibril ini membuat-nya amat sedih yang sangat membekas di benak beliau. Itulah sebabnya turun ayat berikut ini:

Dan mereka sesungguhnya hampir memalingkanmu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil engkau menjadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu nis-caya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benar kami akan rasakan kepadamu — siksaan — berlipat ganda di dunia ini. Dan siksaan berlipat ganda sesudah man, dan kamu tidak akan mendapat seorang penplong pun terhadap Kami. (QS 17:73-75)

Rasulullah saaw merasa amat sedih atas tindakan yang sekonyong-ko-nyong itu, sehingga turun ayat kepada beliau yang berbunyi:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan se­orang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai keinginan, setan pun mema-sukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. (QS 22:52)

Ayat ini diturunkan oleh Allah sebagai penenang dan penghibur hati Rasulullah yang scdang menderita kesedihan, sehingga beliau menjadi ceria dan jiwanya menjadi sehat kembali.

Demikianlah riwayat Al-Gharaniq yang palsu itu yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad saaw yang diriwayatkan oleh ulama Ahlus-Sun-nah. Dengan keberadaan riwayat Al-Gharaniq ini para orientalis dan me-reka yang selalu menginginkan cela di dalam agama Islam mempunyai pe-luang untuk memojokkan agama ini.

Padahal itu semua adalah cerita bohong yang mengatasnamakan para perawi dari Tabi’in dan para sahabat, seprti Ibnu Abbas.

Berikut ini alasan-alasan kita mengapat kita menolak hadis-hadis tersebut.

Pertama, jalur sambungan (sanad) hadis ini tidak bersambung secara langsung dengan para sahabat, akan tetapi riwayat ini disandarkan kepada segolongan tabi’in yang tidak hidup pada zaman Nabi saaw. Status hadis itu mursal, rangkaian perawinya loncat, tanpa menyebut salah satu perawi yang hidup pada saat peristiwa itu terjadi. Adapun penisbatan riwayat ini kepada Ibnu Abbas sebagai pembawa cerita, maka ini pun tidak kurang kepalsuannya dari yang lain, mengingat bahwa Ibnu Abbas lahir pada ta-hun ketiga sebelum hijrah. Terbukti sesuai dengan fakta sejarah, ia tidak menyaksikan kejadian tersebut.

Dengan demikiah dapat kita pastikan bahwa semua riwayat di atas tidak tersambung sanadnya dengan para saksi mata.

Di samping itu, kode etik dan cara penjernihan yang sebenarnya da-lam meneliti sanad-sanad riwayat tersebut pasti menolak dan tidak membenarkan hadis mursal ini sebagai bahan dalil yang dapat dipercaya dan diandalkan.

Ibnu Hajar dalam hal ini mempunyai pendapat sendiri dengan ucap-annya: “Hadis ini mursal, sedangkan dari tiga jalur pembawa riwayatnya adalah orang-orang yang dipercaya (dikategorikan) memenuhi kriteria sa-hih.” Lalu Ibnu Hajar mempertahankan kebenaran riwayat ini terhadap orang yang memperselisihkan kebenaran riwayat tersebut. Menurut Ibnu Hajar, karena jalur-jalur hadis itu banyak dan semuanya menuju satu konklusi, maka hal itu merupakan bukti kebenaran atau mempunyai san-daran yang otentik. Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: “Hadis-hadis mursal dapat dijadikan dalil, sekalipun bagi orang yang tidak menganggap hadis mursal sebagai hujjah dan sandaran, sebab jalur sanad riwayat itu saling menguatkan dan mempunyai satu titik tenm.”(FathulBari, juz 8, hal. 338).

Kami bertanya, apakah berita bohong jika tersebar akan menjadi be-rita benar yang harus dipercaya?

Kedua, Adanya kesaksian kebanyakan para ahli hadis atas kebohong-an riwayat ini dan bahwa jalur-jalur yang menuju ke arahnya lemah dan tidak berbobot. Riwayat tersebut dibawakan melalui sanad yang lemah berdasarkan ilmu hadis, “Hadis berkenaan dengan riwayat selain melalui jalur Ibnu Jubari semuanya lemah, perawi-perawinya tidak dapat diper­caya, atau dituduh terlibat usaha pemalsuan hadis atau pengurangan; atau hadis itu diriwayatkan melalui sanad yang terputus (munqatf), yaitu mata rantai yang menghubungkan antara rawi pertama dan rawi terakhir hilang.”

Pada baris-baris selanjutnya akan kita buktikan juga bahwa riwayat yang dikeluarkan melalui Ibnu Jubair juga mursal atau lemah.

Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, salah seorang Imam besar dan terke-muka di kalangan mazhab Syafi’i mengatakan: “Dipandang dari sudut logj-ka hadis ini tidak kukuh dan mantap. Perawi-perawinya tidak ada yang bercitra baik dan bebas noda.

Abu Bakar Ibn Al-Arabi mengatakan: “Semua yang diriwayatkan oleh Thabari dalam masaJah ini adalah batil dan tidak benar serta tidak mem­punyai sandaran.”

Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah telah menulis sebuah buku khu-sus untuk menolak kebenaran cerita palsu ini. la membuktikan bahwa cerita itu merupakan pemalsuan kaum zindiq.”

Al-Qadhi ‘lyadh mengatakan: “Hadis tersebut tidak dibawakan oleh salah seorang dari perawi-perawi terpercaya (tsiqah), yang bebas cela de­ngan sanad yang bersih dan bersambung. Namun hadis-hadis yang demi-kian ini selalu dibesar-besarkan dan disenangi oleh para ahli tafsir dan ahli sejarah yang cenderung membawakan hal-hal yang langka dan aneh ten-tang segala sesuatu yang ada pada buku-buku baik yang sahih maupun yang cacat (tidak dapat dipertanggungjawabkan).

Al-Syarif Al-Murtadha menulis: “Adapun hadis-hadis yang diriwayat-kan mengenai masalah ini tidak perlu diperhatikan dan dihiraukan karena memuat hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Rasulullah saaw; dan akal sehat manusia tidak mungkin mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Rasul-rasul. Andaikata cerita tersebut pun tidak dikatakan lemah oleh para ahli hadis, maka apakah orang yang pernah mendengarkan firman Allah berikut ini, dapat membenarkan riwayat tersebut?

Demikianlah supaya Kamiperkuat hatitnu dengannya dan Kami baca-kannya kelompok demi kelompok. (QS 25:32)

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagai perkataan atas nama Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. (QS 69:44-45)

Kami membacakan (Al-Quran) kepadamu Muhammad, maka kamu rt-dakakanlupa.(QS8T.6)

Demikianlah penjelasan dari Al-Murtadha.

Imam Al-Fakhr Al-Razi memberikan penjelasan: “Cerita ini adalah ri­wayat mayoritas ahli tafsir terkenal. Adapun para peneliti dan pengkaji (ahl al-tahqiq) menganggapnya sebagai hal yang batil dan dibuat-buat (maudhuf). para peneliti itu mengajukan beberapa daUl naqli Al-Quran dan Al-Sunnah — dan dari dalil akal dalam upaya menolak cerita ini.

Al-Allamah Thabathabai mengatakan: “DaUl-daUl yang pasti yang membuktikan keterjagaan (‘ishmah) Nabi Muhammad saaw dengan sen-dirinya sudah cukup untuk mengategorikan isi (matan) riwayat ini bohong, sekalipun sanadnya dianggap sahih.

Kita wajib membersihkan Nabi Muhammad saaw dari keburukan seperti itu, yang dapat merendahkan wibawa dan kehormatan para Nabi. Selain melalui sanad yang lemah, materi hadis ini pun palsu karena be­berapa alasan berikut ini:

Pertama, adanya pertentangan yang jelas dengan nash-nash Al-Quran Al-Karim dalam banyak segi. Kedua, mengandung perlawanan yang sangat jelas dengan derajat dan status keterjagaan (‘ishmah) para Nabi yang telah diakui dan mutawatir baik dengan dalil akal maupun ijma’ kaum muslimin. Ketiga, cerita tersebut tidak mungkin diselaraskan dengan seluruh ayat di surat itu dari pelbagai segi, baik dari segi lafal maupun dari segi gaya bahasa sastranya; sehingga dapat diraba dengan jelas oleh setiap orang yang mengetahui sedikit banyak tentang penuturan dan perkataan yang benar (fasih) dalam AlrQuran. Lebih tepat lagi, bahwa susunan kalimat yang begitu rupa tidak akan luput dari sorotan pembesar Quraisy yang paling paham kesusasteraan Arab, apalagi dilakukan oleh Nabi sebagai orang yang paling fasih dari bangsa Arab.

  1. Surah Ibnu Hisyam, juz 1, hal. 252-255; Shahih Bukhari, juz 1, hal. 3-4; Tarikh Al-Thabari, juz 2> hal. 207; Taftir Al-Thabari, juz 30, hal. 161; Haikal, Hayat Muhammad, 95-96; Muslim, juz 1, hal. 97-99.
  2. UsudAl-Ghaba/t, juz 4, hal. 671. Riwayat ini maudhu’ sebab Waraqah meninggal sebelum Ibnu Abbas dilahirkan.
  3. Al-Suyuthi, Al-Itqan, juz 1, hal. 24.
  4. Ibnu Hajar, Al-lshabah, juz 3, Dar Al-Fikr, hal. 633.
  5. Tafsir Al-Thabari, juz 17, hal. 131; Al-Durr Al-Mantsur, juz 6, hal. 66; Path Al-Bari, juz 8, hal. 338.
  6. TarikfiAl-Syu’ubAl-Islamiyafi, Karl Broklemen, hal. 34.
  7. Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, juz 23, hal. 51.
  8. Abu Bakar Ibn Al-Arabi. FathulBari, juz 8, hal. 338/
  9. Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, juz 23, hal. 51.
  10. TanzihAl-Anbiya”, hal. 107-109.
  11. Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, juz 23, hal. 50.
  12. Al-Allamah Muhammad Husain Al-Thabathabai, TafsirAl-Mizan,\va. 14, hal. 435.

*Husein Al-Habsy