AL-BADA’: PENGGANTIAN KETENTUAN SEMENTARA


Mungkin kita sering melihat tulisan atau mendengar orang ribut mempertentangkan mengenai Bada’ akibat kegagalan dalam berpikir memahaminya, pada tulisan ini akan membahas dengan ringkas apa yang di pertentangkan itu. bada’. Suatu masalah yang tidak kalah pentingnya dengan masalah-masalah yang telah kami bahas sebelumnya pada buku (lihat judul buku pada bagian akhir …*Admin).

Masalah bada’ adalah masalah yang paling dibesar-besarkan sehingga mencapai tingkat mengkafirkan penganut Syi’ah Imamiyah yang meyakini bada’. Beberapa buku ulama kita, Ahlus-Sunnah, telah membahas dan menvonis kafir bagi setiap orang yang menyakininya.

Pengertian Bada’

 Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bada’? Al-Bada

1

berasal dari induk kata bada

2

     Dan yabdu

3

  Yang berarti “tampak”

4

menurut penggunaan populer, al-bada’ mempunyai arti “kejelasan yang sebelumnya samar”. Dalam contoh penggunaan sehari-hari, misalnya, seseorang telah berniat melakukan sesuatu; karena tampak sesuatu baginya, maka ia mengubah niatnya.

Ulama Syi’ah Imamiyah di setiap zaman telah sepakat bahwa bada’ seperti pengertian di atas adalah salah dan tidak dibenarkan bila dinisbat-kan kepada Allah SWT. Dan ini terbukti dari buku-buku yang ditulis oleh ulama-ulama mereka. Sebab bada’ dengan pengertian seperti itu, mengurangi ilmu Allah SWT — Mahasuci Allah dari anggapan seperti itu — ka­rena ilmu-Nya telah meliputi segala sesuatu secara rinci dan menyeluruh. Tidak mungkin ada sesuatu yang tersembunyi dari ilmu-Nya kemudian baru tampak bagi-Nya belakangan.

Dalam riwayat-riwayat yang dibawakan oleh para ulama Syi’ah Imamiyah tentang konsep bada’ bagi Allah SWT, disebutkan bahwa sifat itu termasuk mutasyabih yang tidak dapat ditafsirkan secara lahiriah. Misal-nya yang tersebut dalarn Al-Ouran Al-Karim:

…Tangan Allah di alas tangan mereka… (QS 48:10)

Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menglialangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku… (QS 38:75)”

Allah akan membalas olok-olokan mereka… (QS 2:15)

…(yaitu) Tuhan yang Malta Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. (QS20:5)

Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (QS 89:22)

Juga dalam riwayat kitavAhlus-Sunnah, bahwa Allah senantiasa turun ke langit dunia setiap malam (1).

Secara rasional kita menolak Allah itu mempunyai anggota badan se-perti manusia, juga tersucikan dari berdiri, naik-turun, datang-pergi. Ka-rena semua itu memerlukan tempat dan arah yang keduanya memerlukan badan yang berwujud dan berbentuk. Allah juga tersucikan dari sifat marah yang berasal dari emosi dan sifat mengejek. Begitu juga Allah ter­sucikan dari sesuatu yang tampak bagi-Nya setelah sebelumnya tersembunyi.

Oleh karena itu kita mesti menafsirkannya dengan pengertian yang sesuai dengan kesucian dan kemuliaan Allah. Sehingga perkataan bada’ harus ditafsirkan bahwa Allah menampakkan sesuatu pada hamba-hamba-Nya, setelah la menyembunyikannya. Misalnya, diduga akan terjadi se­suatu di dunia karena salah satu sebab, kemudian Allah dengan takdir-Nya membatalkannya.

Jadi bada’ merupakan nasakh dalam takwin sebagaiman nasakh yang. kita kenal dalam tasyri’. Kita mengatakan ada suatu ayat dinasakh oleh ayat yang lain, demikian juga di dalam bada’. Misalnya Allah menurunkan hukum wajib dan haram yang kelihatannya akan berkelanjutan, akan tetapi tiba-tiba turun wahyu untuk menasakhnya, karena Allah SWT sejak awal mulanya tidak menerangkannya tentang hukum tadi apakah sifatnya sementara atau langgeng. Kalau hal itu dijclaskan, maka bertentangan de­ngan hukum nasakh; atau jika ditentukan masa berlakunya, maka hukum tadi akan menjadi hukum sementara, bukan nasakh kemudian dinasakh lagi, tetapi Allah tidak menampakkan batas-batas masa berlakunya karena ada suatu hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka masalah nasakh ini hanya untuk memperlihatkan sesuatu yang tadinya samar bagi kita. Namun apabila hukum yang datang dari Allah sudah pasti dikatakan langgeng, maka anggapan adanya nasakh bertentangan dengan kelestarian itu atau Allah tidak mengerti maslahat-maslahat yang terkan­dung di dalam hukum-hukum-Nya.

Kesimpulan

Tidak mungkin terjadi hukum penghapusan setelah berlakunya hukum penetapan sebagaimana yang diakui oleh Jarullah Al-Turkistani dalam bukunya yang berjudul Al-Wasyi’ah. Sebenarnya penghapusan tersebut harus ditafsirkan sebagai apa yang telah ditetapkan secara zahir bukan apa yang sebenarnya bagi ilmu Allah. Jika begitu, maka kita akan menisbatkan apa yang tidak layak bagi Allah dan inilah arti bada’ yang sifatnya kiasan (majazi). Arti bada’ dalam makna seperti ini telah difirmankan oleh Allah SWT:

Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pemah mereka perk-irakan. Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu memperolok-olokkannya. (QS 39:47-48)

Dan begitulah, kadangkala sebagian gejala dan tanda-tanda yang muncul akan terjadinya sesuatu dalam wujud, lalu ternyata hal itu tidak terjadi. Dan ini dikategorikan sebagai bada’ majazi. Sebagai contoh, kisah Nabi Isa a.s. Beliau telah memberi kabar akan kematian seorang pengantin putri pada malam pcrnikahannya, lalu ternyata pada dini hari beliau mene-mukan pengantin itu masih hidup. Kem’udian diketahui setelah itu bahwa pengantin tersebut telah bersedekah pada malam pengantinnya. Lalu de­ngan sedekah itu Allah menghindarkan maut dari dirinya. Pengantin perempuan itu sebenarnya umurnya telah ditentukan oleh Allah akan berakhir tepat pada malam pengantinnya; dan pemberitahuan Nabi Isa a.s. itu adalah berdasarkan ilmu-Nya bahwa takdir maut itu sudah pasti, tanpa menyebutkan sedekah. Sedangkan Allah sendiri (menurut ilmu-Nya) me-ngetahui bahwa wanita itu akan bersedekah dan tidak jadi meninggal. Akan tetapi Nabi Isa tidak mengetahui hal itu. Nah itulah yang disebut oleh ulama Imamiyah dengan al-mahwu wa al-itsbat (penghapusan dan penetapan). Al-Quran menyebutkan:

Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang la kehendaki) dan di sisi-Nya terdapat Umm Al-Kitab (Lauh Al-Mahfuzh). (QS 13:39)

Dengan demikian kita dapat mengerti dengan jelas, bahwa sebenarnya tidak terjadi penghapusan melainkan setelah ada penetapan. Kalau begitu, tidak mungkin terjadi reaksi penghapusan suatu ketentuan, kecuali setelah ada aksi penetapan. Dan hal ini diakui oleh Jarullah Al-Turkistani dalam bukunya Al-Wasyi’ah; ia menyebutkan: “Maka hendaknya pengertian al-mahwu itu diartikan apa-apa yang telah zhahir-nya bukan pada yang tetap kenyataannya. Sebab jika tidak demikian maka kita mengatakan bagi Allah tidak pantas.” Dan inilah arti bada’ secara majazi. Akan tetapi ada bada’ yang diartikan sebagai penggantian atau pengubahan sesuatu yang disebabkan oleh perubahan ilmu. Pengertian bada’ semacam inilah yang salah (tidak benar) yang kita tuduhkan kepada kalangan Imamiyah, scbagaimana yang dilakukan oleh Al-Mukhtar Al-Tsaqafi yang tertulis di dalam riwayat Ahlus-Sunnah.

Kadangkala bada’ digunakan sebagai istilah menggantungkan perkara kepada suatu perkara yang lain. Pengertian ini menuntut adanya sesuatu yang bersyarat dan jika syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak akan terjadi. Dalam beberapa riwayat dari para imam dikabarkan bahwa barangsiapa yang bersilaturahmi, maka Allah akan mcmanjangkan umurnya serta menggandakan rizkinya. Itu berarti bahwa Allah memberi jaminan-jaminan itu sebagai akibat dari budi silaturahmi. Maka siapa pun yang melaku-kan hal ini, maka ia berhak mendapat jaminan dan memperoleh pengaruh yang timbul dari balik tindakannya yang luhur tersebut. Seandainya pe­ngaruh yang telah dijanjikan itu tidak terjadi, berarti syarat-syarat itu be­lum dipenuhi dengan sempurna.

Adapun bada’ yang bermakna perubahan kehendak (iradah) dan per-gantian kemauan-Nya yang terjadi akibat dari pergantian yang sebelumnya tidak diketahui dan dimiliki-Nya, maka para ulama Syi’ah Imamiyah menganggapnya sebagai kesesatan dan kerusakan akidah.

Nash-nash yang datang dari para imam tentang makna bada’ yang ber­arti memperjelas sesuatu yang sebelumnya dirahasiakan dan disembunyikan kepada manusia, atau bada’ dengan makna ketergantungan basil suatu perkara terhadap suatu syarat, tidak satu pun yang menafikan pe­ngertian dengan arti ini.

Pendapat Ulama Syi’ah Imamiyah tentang Bada’

Berikut ini adalah beberapa pendapat ulama Syi’ah Imamiyah tentang masalah-masalah bada’. Di antaranya:

a. Syaikh Al-Mufld menulis sebuah buku berjudul Awail Al-Maqalat. la menulis: “Apa yang saya fatwakan tentang masalah bada’ ialah sama dengan pendapat yang diakui oleh kaum muslimin dalam menanggapi masalah nasakh (penghapusan) dan sebagainya. Seperti, memiskinkan kemudian membuat kaya; mematikan kemudian menghidupkan dan ‘menambah umur dan rizki karena ada suatu perbuatan yang dilakukan. Itu semua kami kategorikan sebagai bada’ berdasarkan beberapa ayat dan nash-nash yang kami dapatkan dari para imam.”

b. Al-Syaikh Abu Ja’far Al-Shaduq mengatakan: “Adapun maksud dan pendapat kalangan Imamiyah tentang

 5 tampak dari Allah sesuatu. Itu diucapkan khusus bagi beberapa hal yang terjadinya hampir mustahil menurut pandangan manusia. Definisi ini berbunyi bahwa bada’ adalah sebuah pengertian di mana Allah mengetahui dan menentukan, lalu la menghapus apa yang la tentukan dan la ketahui dengan ketentuan lain. Dan inilah bada’ yang tidak diyakini oleh Imamiyah, sebab pengertian itu akan menuntut kita ber­anggapan bahwa Allah telah mengalami perubahan dalam ilmu dan kehendak (iradah); sekaligus menggambarkan ketidakmampuan Allah dalam mengetahui atau melihat masalah yang telah dan akan terjadi. Dalam sebuah hadis yang sahih yang diriwayatkan oleh Manshur bin Hazim, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Imam Abu Abdillah Al-Shadiq: “Apakah mungkin hari ini terjadi sesuatu yang tidak diketahui oleh Allah kemarin?” Beliau menjawab: “Tidak, siapa yang beranggapan demikian akan dihinakan oleh Allah.” la kembali bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi sampai menjelang hari Kiamat? Bukankah itu tercantum di dalam ilmu Allah?” Beliau menjawab: “Ya, sebelum Allah menciptakan makhluk.” Demikianlah keterangan Imam Ja’far Al-Shadiq.2

Di dalam kitab Kanz Al-Fawaid, disebutkan bahwa yang dimaksud de­ngan bada’ adalah kejadian yang tampak bagi manusia berlainan de­ngan yang mereka duga sebelumnya. Kemudian tersingkap dan dinamakan bada’ karena mirip dengan orang yang memerintahkan sesuatu, lalu melarangnya pada waktu itu juga.

Penulis buku Kanz Al-Fawaid ini pernah bertukar pikiran untuk mem-bahas masalah bada’ dengan salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Mu’tazilah, di mana ia menekankan bahwa bada’ yang dianut oleh Ima­miyah itu tidak berbeda dengan yang diakui oleh mazhab lainnya. Letak perbedaannya hanya dalam nama dan istilah saja. Mereka juga tidak mengartikan bada’ sebagai perubahan kehendak Allah dan perubahan ilmu-Nya. Hal ini sama dengan contoh bila seorang majikan menyuruh pembantunya melakukan sesuatu, lalu pembantu menunjukkan sikap kesediaannya untuk melakukannya, namun sebelum pembantu itu melakukannya tiba-tiba majikan itu melarangnya melakukan pekerjaan dan tugas itu. Dengan demikian tampak bagi si pembantu sesuatu yang tidak diduganya, sebab ia sejak semula menginginkan perintah majikan itu yang fungsinya akan berkelanjutan dan tidak berubah. Tetapi setelah majikan melarang­nya baru kelihatan apa yang sejak tadi tidak diduga akan terjadi, yaitu larangan. Padahal majikan tahu bahwa pembantu akan menuruti perintahnya melakukan pekerjaan yang telah diperintahkannya. Tetapi ia me­merintahkan hal itu agar orang lain tahu sejauh mana ketaatannya kepada perintahnya.

Salah satu contoh lagi adalah kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, yang terdapat di dalam Al-Quran. Ketika Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anaknya, Ismail a.s. dan Ibrahim memenuhi perintah Allah untuk bersiap-siap untuk disembelihnya, tiba-tiba Allah mengubah perintah atau membatalkan perintah itu. Maka tampak sesuatu hal bagi Nabi Ibrahim yang tidak disangka sebelumnya. Iradah Allah SWT tidak berhubungan dengan penyembelihan, tetapi berhubungan dengan proses awal dan tindakan yang berhubungan dengan gerak mengambil pisau, mengasahnya dan mcletakkannya di atas leher anaknya, Ismail, dan lain sebagainya. Kadangkala tindakan ini saja sudah cukup bisa dianggap ‘penyembelihan’ secara tajawwuz (menganggap sesuatu yang belum terjadi seperti telah terjadi) atau dengan istilah yang lain disebut tawassu’ (.3)

Beberapa Riwayat dari Para Imam Syi’ah Imamiyah

Dalam riwayat-riwayat para imam Syi’ah Imamiyah konsep bada’ me-rupakan salah satu keimanan yang harus diyakini. Adapun riwayat tersebut adalah:

  1. Ibnu Abi Umair dari Marzam bin Hakim meriwayatkan bahwa ia per­nah berkata: “Saya mendengar Abu Abdillah Al-Shadiq berkata: “Ti­dak seorang pun diutus sebagai nabi kecuali mengakui bahwa Allah SWT dalam lima hal; yaitu: bada’, kehendak (masyi’ah), peribadatan Cubudiyah), sujud, dan taat.”
  2. Al-Ruban bin Shall pernah berkata: “Saya pernah mendengar Imam Al-Ridha berkata: “Allah tidak pernah mengutus seorang Nabi kecuali (antara lain) mengharamkan khamar dan menetapkan kebenaran ba­da’.”
  3. Dalam riwayat Zurarah bin A’yan dari Al-Baqir, ia berkata: “Mengakui penetapan bagi Allah akan bada’ adalah merupakan ketaatan pa­ling utama, sebab menetapkan dan mengakui bada’ bagi- Nya berarti mengakui kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu; menghidupkan setelah mematikan, memiskinkan setelah membuat kaya, menyakitkan setelah menyembuhkan, menambah umur dan rizki karena ada sebab tertentu.” Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saaw per­nah bersabda:6

Tiada yang menolak takdir kecuali doa; dan seseorang tidak memperoleh rizkinya karena suatu kesalahan yang dilakukannya; tidak dapat menambah umur seseorang melainkan perbuatan baik, tapi itu berdasarkan ilmu dan qadha-Nya(4) .

 Karena Allah sudah menentukan dalam qadha-Nya bahwa seorang hamba kalau berbuat kebaikan terhadap sanak keluarganya akan bertam-bah umur dan rizkinya. Ini bukan berarti adanya perubahan dalam iradah-Nya, sehingga yang telah dan akan berlalu sudah diliputi oleh ilmu-Nya dan oleh ketentuan qadha-Nya semula.

  1. Al-‘Iyasyi meriwayatkan dari Ibnu Sinan bahwa Abu Abdillah Al-Sha-diq pernah berkata: “Sesungguhnya Allah memajukan apa yang Dia kehendaki, mengundurkan apa yang Dia kehendaki, menetapkan apa yang Dia kehendaki dan Umm Al-Kitab ada pada-Nya.” Kemudian be-liau berkata: “Maka semua perkara yang Allah inginkan, itu sudah ada pada ilmu-Nya jauh sebelum Dia membuatnya (melakukan). Tidak satu pun tampak menjadi jelas, melainkan telah diketahui-Nya. Tidak se­suatu pun yang tampak yang tadinya tidak Dia ketahui.” Dan sebagian riwayat yang lain dari para imam mereka disebutkan bahwa ketentuan pasti yang disebut dengan Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-‘Ilm Al-Makhzun tidak berlaku dan tidak berkaitan sama sekali dengan bada’. Sedangkan yang terkena bada adalah al-qadha al-mawquf dengan ketentuan yang tidak bertentangan dengan iradah Allah SWT. Maka jelas bahwa iradah Allah hanya menyangkut dengan sesuatu kebalikannya yang dikarenakan terjadinya perbuatan atau terwujudnya syarat yang menye-babkan penghapusan sesuatu untuk menetapkan sesuatu yang lain.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa bada’ dalam urusan- urus-an manusia, sama dengan nasakh dalam hukum syariat tanpa mensyarat-kan sesuatu yang tidak pantas bagi Allah SWT. Bahkan sebaliknya me­rupakan pengakuan setulusnya akan kekuasaan mutlak yang dimilikinya dalam kejadian dan tetapnya segala sesuatu serta pada saat itu juga tidak menyebabkan putusnya amal seorang hamba dalam mendapatkan taufik untuk mengerjakan taat atau menjauhi maksiat.

  1. Shahih Bukhari, Bab Al-Tahajjud; Darimi, Bab Shalat; Shahih Muslim, Kitab Musafir, bab 168; Ttamuda, Bab Shalat; Ibnu Majah, Iqamah.
  2. AbdAJ-HalimJundi Imam Jafar Shadiq ( Majlis Alam Islami,    Cairo, hal. 270.
  3. KanzAl-Fawaid, 105
  4. Musnad Ahmad, juz 5,    280;   dan   Ibnu Majah, juz 1, hal. 35 (dalam mukadimah-nya); Al-Hakim, Mustadrak, juz 1, hal. 493

Tulisan ini di sadur dari Buku :

 Sunna-Syi’ah

Dalam Ukhuwah Islamiyah

Menjawab

“Dua Wajah Saling Menentang”

Karya Abul Hasan Ali Nadwi”

Oleh:

Screenshot_8

Catatan dari admin:

Mengenai penulis, admin hanya mendapat keterangan dari salah satu suite yang biasa di baca disini atau Clik Biografi.

Leave a comment